“Mau kemana?” Mimah tersenyum hangat menyambut Abidzar dan Celine yang kompak keluar kamar.
“Mau ke sawah, bu. Mau bantu-bantu sambil isi waktu luang, Celine kebosanan..” jawabnya.
Celine hanya diam dengan senyum tipis yang canggung.
“Celine pakaiannya terlalu bagus, ibu ada pakaian khusus ke sawah, sebentar.” Mimah terlihat senang dengan perkembangan keduanya.
“Iya, pakaian kamu terlalu bagus.” Abidzar tersenyum sambil mengusap puncak kepala Celine. “Hari ini percobaan ke dua, semoga lulus lagi ya..”
Celine menepis usapan mendebarkan itu agak salah tingkah. “Ck! I-iya,” balasnya.
Celine menatap Mimah yang datang dengan kaos lusuh, celana bunga-bunga yang begitu norak.
“Nah, ini juga ibu ada topi pemberian dari bu Dewi, ibu belum pernah pakai,”
Celine menerima itu dengan ragu, dia harus memakai pakaian yang norak, lusuh, dan saling tabrakan warna?
“Gih, ganti.” Abidzar menuntun Celine kembali ke kamar dan dia memilih menunggu di luar sambil ngobrol dengan Mimah.
“Celine sungguh mau pergi, Abi?” Mimah mengusap lengan Abidzar sekilas dengan senang.
“Iya, bu. Aku bikin dia perlahan berbaur, agar terbiasa.”
“Tanpa berontak? Sungguh?”
“Hm, Celine sepertinya mulai luluh walau kadang masih gengsi dan ketus, tapi perkembangannya baik sekarang,” jawabnya yang semakin membuat Mimah senang.
“Benarkan kata ibu, dengan kesabaran, kelembutan dan perhatian, perlahan sekeras apapun akan luluh,”
“Iya, bu. Dan pada dasarnya Celine baik,”
Celine di kamat mendengar itu menghangat, padahal dia sudah nakal dan membuat onar di desa ini. Tapi tetap saja dianggap baik.
Membuat perasaannya tak enak dengan ketulusan suami dan mertuanya itu.
Apa sudah saatnya dia benar-benar memperbaiki diri dan percaya pada mereka?
***
Celine terlihat risih dengan yang dipakainya. Dia pernah mengatai para petani lusuh dan dia mengalaminya kini.
“Kita ke sawah, mau turun juga. Jadi sayang kalau pakai pakaian bagus,”
Celine menoleh menatap Abidzar yang memakai kaos lusuh juga, dia baru sadar.
“Kita kotor-kotoran,” tambah Abidzar dengan terus menuntun Celine menelusuri jalan setapak yang pinggiran-pinggirannya sudah sawah itu.
Celine memperhatikan langkahnya sampai tergelincir beberapa kali. Untungnya Abidzar sigap menangkap.
“Jalannya di depan, aku arahin dari belakang.” Abidzar agar mudah menangkap Celine jika jatuh tergelincir.
Celine kembali merasa berdebar, begitu di perhatikan.
“Belok kiri,”
Celine pun belok, menatap banyaknya para petani yang sibuk dengan yang mereka tanam.
“Siang, pak.” sapa Abidzar dengan ramahnya.
Celine terlihat gugup saat mereka mengangkat pandangan, melihat dia dan Abidzar. Kali ini apa yang mereka pikirkan.
Apa mereka takut hasil tanamnya dia hancurkan?
“Eh pengantin baru, pagi Abi, pagi neng Celine..” balas mereka silih berganti, dengan ramahnya.
Celine hanya tersenyum canggung. Meremas gugup jemari Abidzar yang menuntun sebelah tangannya.
“Ga papa, mereka semua udah maafin kamu,” bisik Abidzar.
“E-emangnya gue kenapa!” ketusnya lalu melanjutkan langkahnya dan “Ahk!” pekiknya saat sebelah kaki masuk ke sawah basah penuh lumpur.
Abidzar menangkapnya segera, membuat Celine tidak jatuh terlalu dalam.
“Iuuhhh!” jerit Celine merengek.
Petani di sana hanya tersenyum sambil menggeleng samar, anak manja dari kota memang beda. Pikir mereka.
Abidzar menggendongnya agar kembali ke posisi awal. “Ga papa, kitakan mau kotor-kotoran.” lalu Abidzar benarkan celana yang hampir melorot itu.
Celine hanya menekuk wajahnya sebal.
“Ngasuh anak, nak Abi,” canda pak Wahid.
“Iya, pak.” Abidzar terkekeh sambil masih membenarkan celana yang ternyata kedodoran di Celine itu.
Tak heran, tubuh Celine tipis akibat dietnya itu.
“Sebentar, aku iket dulu biar ga melorot.”
Celine semakin menekuk wajahnya. Apa katanya tadi, anak? Andai saja dia tidak sedang ingin berubah, sudah di pastikan dia akan cabuti semua benih yang bapak itu tanam.
“Yuk jalan lagi,” Abidzar mengusap topi Celine. “Jangan cemberut, senyum tipis aja. Nanti kebiasaan,” lanjutnya.
Celine mendelik karena banyak sekali maunya.
“Senyum,” Abidzar menatapnya lembut dengan senyuman, tidak merasa takut dengan delikannya.
Celine pun tersenyum.
“Nah, cantik.” Abidzar terlalu lembut, terkesan tengah mengasuh anak itu benar.
***
“Gini?”
“Pinter, iya gitu.”
Celine terlihat bagai anak kecil yang terus ingin mendapat pujian dan ketagihan dipuji.
Abidzar senang sekaligus sedih.
Celine anak baik yang hanya ingin dipuji, hal sekecil apapun. Dia membutuhkan perhatian bukan perbandingan.
Lihat, lucunya dia sekarang yang mau turun ikut menanam padi. Terus saja meminta pujian atas kerjanya yang bagus.
“Gini?”
Abidzar tertawa pelan, untung dia sabar. Setiap padi yang berhasil di tanam masa harus terus dapat pujian.
“Iya, udah bisa ya.. Kamu cepet belajar,” Abidzar bersuara takjub.
Celine semakin melambung, bersemangat menanamnya walau di belakangnya Abidzar membenarkan hasil yang di tanamkan Celine.
Hanya beberapa yang sesuai, yang lainnya hanya asal nempel di atas lumpur dan tidak tertancap.
Kedua kaki Celine sudah kotor, sekarang sepertinya Celine tidak peduli lagi soal itu. Saat awal turun menjerit dan mengeluh, tapi sekarang terlihat nyaman.
“Gini,”
“Iya,” astaga Abidzar jadi gemas.
“Ah.. Pegel,” Celine yang terus membungkuk menegakan dulu tubuhnya.
“Mau istirahat, neng Celine?”
Celine menatap pria tua ramah itu. Padahal sudah terlihat kakek-kakek tapi masih bisa turun ke sawah.
“Mau.” jawabnya pelan.
Abidzar tersenyum. “Ayo, kita duduk sama kakek di sana.” ajaknya sambil menuntun Celine yang ragu.
***
“Sejuk mungkin, kek.” Abidzar menatap Celine yang terlelap di gubug kayu yang biasa para petani tempati untuk beristirahat.
Celine tidur cukup lama, hingga Abidzar selesai dengan tugasnya barulah Celine bangun.
“Kita pulang,”
“Padinya,” tunjuk Celine masih agak linglung setengah mengantuk.
“Udah selesai.”
Mereka pulang, membersihkan kaki di air terjun kecil. Membuat Celine merasa healing. Ternyata seru, lumayan menepis kebosanannya.
“Yuk, kita mandi.”
“Bareng.”
“Ada, ibu.”
“Pokoknya bareng!”
“Iya,” dengan lembut Abidzar mengalah. Dia pastikan Celine tidak jatuh dan mereka pun melewati jalanan normal hingga sampai di rumah.
“Kalian mandi dulu, ibu mau ke pasar sama bu Dewi,”
“Bukannya jauh ya?” celetuk Celine.
“Oh itu, iya jauh. Cuma suami bu Dewi pulang, jadi ada kendaraan.”
Celine ingin bersuara ikut, ingin kembali berontak tapi anehnya dia tidak bisa saat menatap wajah Abidzar.
“Oh, kalau gitu hati-hati, bu.” Ngocoks.com
Celine melirik keduanya yang terdiam. Apakah seterkejut itu. Membuatnya salah tingkah dan canggung aja.
“Iya, nak.” Mimah mengusap lengan Celine dengan senang sekali.
Abidzar juga tersenyum dengan menatapnya bangga. Celine mengulum senyum samar, kenapa ya dia senang dibuatnya.
***
Di pinggiran bak mandi Celine duduk, kakinya membelit pinggang Abidzar, lengannya membelit leher Abidzar.
Abidzar menggerakan pinggulnya sesuai keinginan Celine yang katanya ingin cepat.
“Ah..” Celine merasa bebas menyuarakan suaranya.
Abidzar mengecupi rahang Celine, menatapnya lalu kembali mengecupinya. Dia tidak melarang Celine mendesah, toilet paling belakang di rumahnya, tidak akan ada orang melintas di sana.
Celine terdongak gelisah, merasakan perutnya yang menegang.
Abidzar sasar lehernya, dadanya lalu menggendongnya. Bergerak tak lama lalu menurunkannya.
Celine segera memunggungi Abidzar, membungkuk dan mengeratkan pegangan di pinggiran bak air itu.
Abidzar usap sisi pinggangnya lalu menekannya hingga kembali tenggelam dan bergerak lagi.
“Celine,” Abidzar kecupi rambut pirang yang ada di punggung dengan setengah basah itu.
Abidzar mulai tertular nakalnya. Dia mulai menggerakan instingnya. Kali ini tidak hanya Celine yang dominan.
Bersambung…