Aku terkesiap, karena tak menduga bakal mendapat kecupan di pipi segala. Maka aku pun tidak bisa bersikap kaku lagi. Kubelokkan mobilku ke bahu jalan, lalu kuhentikan tapi mesinnya tetap aktif.
“Kenapa berhenti di sini Chep?” tanyanya.
“Ciuman Ibu barusan membuat hatiku berdesir. Jadi harus kutenangkan dulu.”
“Hihihiii… kamu bisa aja. Kalau aku diterima sebagai manager marketing, nanti aku berikan semuanya untukmu Chep.”
“Terus profesi Ibu sebagai dosen gimana?”
“Ya ditinggalkan aja. Aku ingin move on dan seolah dilahirkan kembali, dengan profesi dan suasana baru.”
“Ibu lihat bangunan yang belum selesai di sebrang jalan itu?”
“Owh… keren sekali… itu bangunan yang akan dijadikan kantor barumu Chep?”
“Iya. Mau lihat – lihat ke sana?”
“Gak usahlah. Kecuali kalau Chepi mau memeriksanya ke sana.”
“Aku tidak ada urusan dengan buruh yang sedang bekerja di situ. Aku hanya berurusan dengan kontraktornya. Kalau dua bulan lagi belum siap juga, aku pasti claim nanti.”
“Kalau Chepi gak keberatan, sekarang anterin aja aku pulang. Supaya Chepi tau di mana rumahku.”
“Boleh. Tapi kita makan siang dulu ya.”
“Terserah Boss,” sahutnya sambil tersenyum.
Gila… dalam keadaan tersenyum seperti itu, Bu Claudia memang cantik sekali. Terutama matanya yang sayu dan bibibrnya yang sensual itu… membuatku jadi rikuh. Ingin sekali mencium bibirnya. Tapi aku masih menghormatinya sebagai dosenku.
Tapi Bu Claudia seolah tahu apa yang kuinginkan. Dan… ia mendahuluiku. Mencium bibirku dengan mesranya. Membuatku gelagapan, tapi lalu kulingkarkan lenganku di lehernya. Dan melumat bibirnya dengan lahap.
Bermenit – menit kami saling lumat bibir di dalam mobilku yang kacanya gelap semua ini. Tanpa rasa takut kelihatan dari luar.
Setelah ciuman kami terlepas, Bu Claudia menyandarkan kepalanya di bahu kiriku. Lalu terdengar suaranya, “Kalau aku diangkat sebagai manager marketing, Chepi akan menjadi orang pertama move-on ku.”
Aku tidak cepat menyahut, meski hatiku sudah menerimanya. “Sekarang kita isi perut dulu ya. Kalau perut lapar, tidak bisa bicara secara normal.”
Tapi Bu Claudia bicara terus: “Kalau aku dijadikan manager marketing, dijadikan perempuan simpananmu pun aku siap Boss.”
“Is that your promise?” tanyaku.
“Yes. That’s my promise,” sahutnya.
Di belakang setir mobil yang sudah kujalankan di jalan raya, aku membayangkan seandainya hal itu terjadi. Bahwa dosenku yang usianya 31 atau 32 tahunan, yang kulitnya bule, berperawakan tinggi langsing dan sangat cantik itu menjadi simpananku… pasti menyenangkan.
Lalu belokkan mobilku ke pelataran parkir sebuah restoran bertaraf internasional.
Suasana di dalam restoran itu kebetulan sedang lengang, karena jam makan siang sudah lewat. Sudah jam empat sore.
Sementara itu suasana perasaanku jadi berubah drastis kalau dibvandingkan dengan suasana di kampus. Karena Bu Claudia terus – terusan menatapku dengan mata sayunya, bibir sensualnya pun menyunggingkan senyum manis terus.
Aku memesan steak double combo, whiskey cola dan kopi esspresso tanpa gula. Sementara Bu Claudia memesan spaghetti bolognesse, hot wings dan juice guava.
“Jadi keputusannya gimana? Apakah aku diterima?” tanya Bu Claudia pada suatu saat.
“Dua – duanya diterima,” sahutku.
“Dua – duanya gimana?”
Akuj menengok ke sekitarku, karena takut ada yang ikut nguping pembicaraan kami. Setelah merasa aman, aku berkata perlahan, “Diterima sebagai manager marketing dan menjadi perempuan simpananku.”
“Hihihiii… point kedua sih bukan lamaran. Harus Chepi yang nembak duluan.”
“Ya udah, sekarang kutembak… dooorrr…” ucapku sambil menodongkan telunjukku ke dada Bu Claudia.
Bu Claudia memegang dadanya sambil memejamkan mata dan berkata, “Aku siap meladeni boss siang mau pun malam.”
Aku yang duduk di sampingnya pun mendekatkan mulutku ke telinganya, lalku berbisik, “Si dede langsung bangun Sweetheart…”
Bu Claudia menatapku dengan bola mata bergoyang. Dan berkata perlahan, “Nanti nginep aja di rumahku ya.”
“Boleh?”
“Boleh lah. Aku kan sendirian di rumah. Ada juga pembantu, biasanya jam segini sudah pulang.”
“Oke. Untuk pendekatan profesi dan pribadi, aku akan tidur di rumah Ibu.”
“Aku kan calon anak buahmu. Jangan manggil Ibu lah. Panggil apa saja asal jangan manggil Ibu.”
“Manggil Beib boleh?”
“Hihihiii… iya… enak juga dipanggil beib sama brondong.”
“Umurku sudah sembilanbelas tahun Beib.”
“Iya… sebelas tahun lebih muda dariku.”
“Memangnya udah tigapuluh tahun? Kelihatannya kayak di bawah duapuluhlima.”
“Masa sih?! “Bu Claudia mengerling centil. Memang perempuan paling suka kalau dibilang cantik dan lebih muda daripada usianya. Padal tadi aku mengira usianya sudah di atas 30 tahun. Ternyata pas 30.
“Itu kopi esspresso tanpa gula?”
“Iya.”
“Bagus tuh minum kopi tanpa gula. Biar terasa manfaatnya. Apalagi espresso begitu.”
“Iya Beib.”
Bu Claudia mengerling manja lagi mendengar sebutan Beib terlontar dari mulutku.
Setelah selesai makan, kami tinggalkan pelataran parkir restoran itu, menuju ke rumah Bu Claudia. Ternyata rumahnya terletak di kompleks perumahan kelas menengah. Tidak sederhana namun tidak terlalu mewah.
Tapi begitu masuk ke dalam rumah dosenku itu, kelihatan penataannya serba klasik. Mungkin almarhum suaminya punya selera serba klasik. Tapi untuk seorang dosen seperti Bu Claudia, penataan serba klasik begitu memang cocok. Sehingga segalanya tampak serba intelektual.
“Mau minum apa?” tanya Bu Claudia setelah aku duduk di ruang tamu.
“Gak usah repot – repot. Duduk aja sini,” kataku sambil menepuk sofa klasik yang tengah kududuki.
“Sebentar ya. Mau ganti baju dulu,” sahutnya sambil melangkah masuk ke dalam.
Aku ditinggalkan sendirian di ruanmg tamu itu. Dengan perasaan seperti sedang bermimpi. Bahwa Bu Claudia yang terkenal jutek di kampus itu, kini hampir berada di dalam genggamanku.
Tak lama kemudian Bu Claudia muncul lagi. Sudah mengenakan gaun tanpa lengan yang terbuat dari bahan kaus berwarna biru tua.
Tadinya kupikir dia akan langsung duduk di sampingku. Tapi ternyata tidak. Dia malah berdiri di depanku sambil menyingkapkan gaun kaus birunya tinggi – tinggi, sehingga paha putih mulusnya terlihat jelas.
“Bagaimana? Apakah aku punya nilai yang sesuai dengan kriteriamu untuk dijadikan kekasih rahasiamu?”
“O my God! Sa… sangat sesuai…!” sahutku dengan mata melotot.
Aku masih berdiri terpaku ketika Bu Claudia sedang menelanjangi dirinya tanpa keraguan sedikit pun. Begitu mulus tubuh tinggi semampainya. Mulai membayangkan betapa romantisnya kalau aku sudah menggaulinya nanti.
Lalu ia menarik pergelangan tanganku. Dan menuntunku masuk ke dalam kamarnya.
Di dalam kamarnya itulah ia melepaskan busanaku sehelai demi sehelai sampai tubuhku telanjang bulat seperti dirinya. Dan… ia spontan menggenggam kontolku yang sudah agak tegang ini sambil berdesis, “Yessssss… Chepi punya kejutan… bahwa di balik wajah tampan ini ternyata penis Chepi ini XL size…
Lalu ia meraihku ke atas bednya yang berbentuk klasik, seperti tempat tidur para raja di Eropa pada zaman dahulu.
“Bentuk Chepi perfect sekali. Aku yakin bisa move on, lalu akan menjadikan Chepi satu – satunya kekasihku,” ucap Bu Claudia sambil menghimpit dadaku, laluj menciumi bibirku dengan lahapnya.
Sementara aku asyik meremas – remas bokongnya yang indah. Tidak terlalu gede, tapi juga tidak tepos.
Karena Bu Claudia mewnelungkupi dada dan perutku, dengan sendirinya kontolku bertempelan dengan memeknya. Dan ini membuat nafsuku semakin menjadi – jadi. Kontolku pun mulai sangat ngaceng. Namun aku tidak langsung menerjang memeknya yhang bersih plontos itu. Aku masih suka beraksi dari perut ke atas.
Dan pada suatu saat aku mulai melorot turun. Wajahku pun mulai berhadapan dengan kemaluan Bu Claudia yang tercukur bersih. Dan tanpa ragu aku mulai menjilati kemaluannya yang tampak jelas lipatan – lipatan kulitnya itu, sambil mendorong sepasang pahanya agar merenggang selebar mungkin.
Terdengar suara Bu Claudia, “Ooooh… sejak suamiku meninggal, ini pertama kalinya vaginaku disentuh lelaki Chep…”
Aku tidak menjawabnya, karena mulutku sedang terbenam di permukaan memek Bu Claudia. Memek yang membuatku tenggelam dalam keasyikan. Karena memek Bu Claudia ini sedagalanya serba jelas. Mana bagian luar dan bagian dalamnya, mana pula kelentitnya. Setelah lidahku puas menggasak bagian dalamnya, lalu mengarah ke kelentitnya yang tampak jelas itu, sementara jari tengahku pun mulai kubenamkan ke dalam liang memeknya.
Bu Claudia menggeliat – geliat sambil merintih – rintih manja, “Chepppiii oooo… ooooh Cheeeep… Cheeepiiiii… ooooh… Cheeeepiiii… su… sudah… jangan terlalu lama jilatinnya… nanti keburu becek Cheeep… !”
Mendengar rintihan Bu Claudia seperti itu, aku pun cepat menjauhkan mulutku dari memek gundulnya, lalu meletakkan moncong kontolku tepat di ambang “pintu” dosenku. Dan dengan sekuat tenaga kudorong kontol ngacengku… langsung melesak masuk ke dalam liang memek dosenku yang 75% bule itu… blessss…
Bu Claudia merangkul leherku ke dalam pelukannya. Disusul dengan ciuman yang bertubi – tubi di bibirku.
Setelah ciuman itu terlepas, aku bergumam, “Serasa bermimpi… dosenku yang selalu jutek di kampus, sekarang bisa jadi milikku…”
“Iya. Aku memang sudah jadi milikmu sekarang Boss…” sahutnya sambil tersenyum manis.
Aku pun mulai mengayun batang kemaluanku, bermaju – mundur di dalam liang memek yang terasa ngepas dengan keinginanku. Terlalu sempit tidak, longgar pun tidak. Pokoknya aku bisa menggerakkan kontolku secara leluasa. Dan gesekan antara kontolku dengan dinding liang memek Bu Claudia ini, terasa sekali.
Ternyata Bu Claudia pun merasakan hal yang sama. Ketika kontolku mulai mengentot liang sanggamanya sambil menjilati lehernya, ia berbisik terengah, “Chepi… ooooh… belum pernah aku merasakan ML yang seenak ini Chep… ooooh… aku jadi langsung jatuh hati padamu… langsung sayang padamu Chep…
“Sayangnya seorang dosen kepada mahasiswanya?” pancingku.
“Aku malu mengakuinya. Ini sudah bukan sayang biasa Chep… aku sudah jatuh cinta padamu… karena… karena kamu sangat memenuhi kriteriaku. Malu aku mengakui hal ini. Oooh… karena kamu jauh lebih muda dariku…”
“Cinta tidak mengenal usia Beib…” ucapku yang kususul dengan ciuman lahapku di bibir sensualnya. Sambil mempergencar entotanku. Bu Claudia pun semakin menggeliat – geliat dan merintih – rintih histeris. “Cheppiii… oooh… cheeeep… aaaaah… aaaaaa… aaaaah… Cheeeepiiiii… aaaaa…
Di saat lain, kuemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket mediumnya yang masih sangat kencang itu. Semakin merem melek juga lah mata sayu dosenku itu.
Bahkan ketika aku mulai gencar menjilati ketiaknya yang bersih dan harum itu, disertai dengan sedotan – sedotan kuat, tubuh tinggi putih mulus itu pun semakin menggeliat – geliat dan mengejang – ngejang.
Aku pun semakin gencar mengentotnya, sambil menjilati leher jenjangnya atau ketiak bersih harumnya.
Cukup lama aku melakukan semuanya ini. Sehingga keringat pun mulai membasahi tubuhku, bercampur aduk dengan keringat Bu Claudia.
Sampai pada suatu saat, Bu Claudia mulai memperlihatkan gejala – gejala akan mencapai orgasmenya. Ia mengejang tegang… tegang sekali. Sementara nafasnya tertahan, matanya pun terpejam.
Lalu… kurasakan liang memeknya seperti spirel… seperti ular yang sedang membelit batang kemaluanku. Disusul dengan hembusan nafasnya yang tertahan beberapa detik, “Aaaaaaaah… indah sekali Chep…”
Lalu ia berkali – kali mendaratkan kecupan mesranya di bibirku.
“Udah orgasme?” tanyaku.
“Udah.”
“Tapi aku masih jauh.”
“Lanjutin aja. Gak apa – apa. Siapa tau aku bisa orgasme lagi nanti.”
Aku pun melanjutkan aksiku, mengayun batang kemaluanku dalam kecepatan standar. Memang liang memek Bu Claudia jadi licin sekali, sehingga kontolku lancar mengentotnya. Tapi anehnya liang memek wanita 75% bule itu tidak becek. Padahal biasanya wanita yang sudah orgasme, liang memeknya jadi becek. Memek Tante Irenka juga becek memeknya setelah orgasme.
Ketika aku sedang asyik – asyiknya mengentot Bu Claudia, tiba – tiba dosenku berbisik, “Ganti posisi yuk. Aku di atas. Gimana?”
“Oke, “aku menghentikan entotanku. Lalu mencabut kontolku dari liang memek wanita bule itu.
Kemudian aku menelentang, sementara Bu Claudia berusaha memasukkan moncong kontolku ke dalam memeknya. Dan ketika memeknya itu menurun, bleessss… kontolku pun langsung membenam ke dalam liang memek Bu Claudia yang licin dan hangat itu.
Tadinya kupikir Bu Claudia akan melakukan posisi seperti penunggang kuda di atas tubuhku. Tapi ternyata tidak. Setelah kontolku membenam ke dalam liang memeknya, Bu Claudia menghempaskan dadanya ke atas dadaku. Sehingga aku berinisiatif untuk mengayun kontolku, meski posisiku berada di bawah. Sementara Bu Claudia pun mengayun memeknya untuk membesot – besot kontolku.
Namun beberapa saat kemudian Bu Claudia lebih asyik mencium dan melumat bibirku, sementara memeknya hanya bergerak sedikit – sedikit. Tentu saja aku harus berperan untuk beraksi. Dengan mengayun kontolku segencar mungkin, sambil meremas – remas bokong dosenku yang jelita itu.
Namun semuanya ini berpengaruh padaku. Rasanya detik – detik krusialku mulai datang. Tapi aku berusaha untuk mengatur nafasku, agar aku tidak terlalu cepat berejakulasi.
Sampai pada suatu saat, Bu Claudia mulai merintih – rintih histeris lagi, “Chepiiii… oooo… oooooooh… Cheeeeepiiii… oooooh… ooooh… ooooh… Cheeeepiiiii… oooh… ooooh… aku mau orgasme lagi Cheeep…”
Kini terasa Bu Claudia berkelojot – kelojot di atas perutku. Lalu sekuijur tubuhnya terasa kejang… kejang sekali. Pada saat itu pula aku menancapkjan kontolku sedalam mungkin di dalam liang memek Bu Claudia yang terasa sedang berkedut – kedut kencang ini.
Dan… akhirnya aku berhasil meraih detik – detik indah ini. Bahwa ketika lendir libido Bu Claudia terasa mengalir membasahi kontolku, pada saat itu pula moncong kontolku memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crooootttt… cretttt… croooottttt… crettt… crooootttt… creettt… crooootttt…!
Bu Claudia terkapar di atas perutku, dengan tubuh bermandikan keringat. Aku pun terkulai lemas, sambil meresapi nikmatnya persetubuhan yang baru selesai ini.
Malam itu aku habis – habisan melampiaskan nafsu birahiku kepada Bu Claudia. Kebetulan Bu Claudia sendiri laksana seekor harimau betina yang haus belaian dan gesekan.
Malam itu sampai tiga ronde aku menyetubuhi dosenku yang cantik bermata sayu itu. Bu Claudia pun memperlihatkan betapa dahaganya akan belaian dan cumbuan lelaki. Setelah dua ronde aku menyetubuhinya, tanpa segan – segan lagi ia mengoral kontolku. Tentu saja ini bereaksi pada alat kejantananku. Ngaceng lagi.
Sampai lewat tengah malam barulah semuanya selesai. Lalu kami bersih – bersih di kamar mandi. Dan sama – sama merebahkan diri di atas bed.
Sebelum tidur, masih sempat Bu Claudia menuturkan kisah pribadinya.
Aku terharu mendengar curhat Bu Claudia tentang masa lalunya. Bahwa ia menikah dengan seorang pengusaha yang baru menceraikan istrinya, karena Bu Claudia tidak mau dijadikan istri kedua.
Lalu hidupnya bahagia di samping pengusaha itu, meski lelaki itu 20 tahun lebih tua dari Bu Claudia.
Pengusaha itu sangat memanjakan Bu Claudia. Maklum perbedaan usia mereka sangat jauh. Sehingga pengusaha itu memperlakukan Bu Claudia seperti perlakuan terhadap anak kandungnya sendiri.
Bu Claudia pun berusaha untuk mencintai lelaki itu, meski usianya jauh lebih tua dari harapan awalnya. Dan akhirnya ia merasakan bahagianya bersuamikan lelaki yang sudah tua. Karena lelaki itu seolah sudah membuang egonya, lalu hanya megutamakan kebahagiaan Bu Claudia.
Katakanlah Bu Claudia tidak merasa kekurangan apa pun dalam kehidupannya. Karena selalu dimanjakan oleh suaminya.
Namun ternyata kebahagiaan itu hanya berlangsung dua tahun. Karena pada tahun ketiga, lelaki tua itu mengidap kanker hati, yang mustahil bisa disembuhkan. Lalu lelaki itu dirawat di sebuah rumah sakit paling terkenal di Singapore.
Cukup lama dia dirawat di rumah sakit yang terkenal dan termahal di Singapore itu. Tentu saja ia harus menjalani berbagai macam cara pengobatan di rumah sakit itu, agar dia bisa sembuh. Tapi ia hanya hanya bisa bertahan selama 7 bulan dirawat di Singapore. Setelah berkali – kali menjalani kemoterapi dan sebagainya, lelaki iktu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya dalam pelukan Bu Claudia.
Lalu bagaimana dengan harta peninggalan pengusaha itu? Boleh dibilang habis untuk membiayai perawatannya selama di Singapore. Hanya rumah yang ditinggali oleh Bu Claudia itu sisanya, berikut segala isinya.
Sedangkan Bu Claudia sudah terbiasa hidup bergelimang harta, tanpa kekurangan apa – apa. Tapi setelah suaminya meninggal, dosenku itu seolah harus mulai dari nol lagi.
Banyak sekali kekurangan yang harus ditutupi oleh Bu Claudia.
Belakangan ini Bu Claudia sering memikirkan semua itu. Bahkan setelah berhari – hari mempertimbangkannya, akhirnya dia memutuskan untuk resign sebagai dosen, lalu mencari pekerjaan baru di perusahaan swasta. Sampai akhirnya dia membaca iklan yang kumuat di media cetak dan elektronik.
“Begitulah ceritanya,” ucap Bu Claudia di akhir penuturannya, “Kalau aku mempertahankan statusku sebagai seorang dosen, aku akan selalu banyak kekurangan. Karena aku harus selalu membantu Mama dan adik – adikku.”
“Orangtua masih ada?” tanyaku.
“Tinggal Mama yang masih ada. Papaku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu,” sahutnya.
“Adiknya berapa orang?”
“Dua orang. Yang besar baru selesai es-satu. Sedang nyari kerja juga. Yang kecil baru tamat SMA dan sedang mendaftar untuk menjadi polwan.”
“Berarti adiknya yang kecil cewek ya.”
“Dua – duanya cewek. Kami tiga bersaudara, cewek semua.”
Aku tidak menanggapinya.
Bu Claudia melanjutkan, “Tadinya aku jadi tulang punggung mama dan adik – adikku. Tapi sekarang aku tidak bisa membantu mereka lagi.”
“Yang cewek es-satu dari fakultas apa?”
“Psikologi.”
“Kalau begitu rekrut saja dia untuk menjadi manager personalia.”
“Haaa?! Serius Sayang?” Bu Claudia memegang kedua pergelangan tanganku.
“Serius. Tapi gajinya tentu tidak sebesar gaji manager marketing. Lagian gaji es-satu tentu tak bisa sama dengan gaji Bu Claudia yang sudah es-dua kan.”
“Tentu saja. Tapi tidak apa – apa. Dia pasti mau kok. Memangnya gaji manager personalia berapa?”
Lalu kusebutkan nominal gaji dan uang makan manager personalia.
Spontan Bu Claudia berkata, “Wah, segitu sih gede dong. Aurora pasti mau.”
“Aurora? Dewi Fajar?” tanyaku sengaja mau bercanda.
“Nama adikku yang S1 psikologi itu.”
“Baru Spsi, kenapa gak sekalian ambil program psikolog?”
“Biayanya sayang. Nanti kalau sudah bekerja sih mudah – mudahan aja bisa ngambil S2 psikolog.”
“Sekarang psikolog harus S2 ya?”
“Iya. Notaris juga kan harus S2 dulu.”
Lalu kami terdiam. Dalam kantuk tak tertahankan.
Dan akhirnya sama – sama tertidur nyenyak, sambil saling berpelukan.
Besoknya, pagi – pagi sekali aku sudah bangun karena teringat rencanaku untuk menyelesaikan pembayaran rumah untuk Nike itu, sekaligus berniat membeli perabotan untuk mengisi rumah barunya.
Tapi setelah mandi dan mengganti pakaianku dengan pakaian casual, Bu Claudia sudah menyediakan dua gepok roti bakar isi smoke beef dan secangkir black coffee.
“Kopinya tidak pakai gula kan?” tanya Bu Claudia ketika aku sudah duduk di depan meja makan kecil dan bundar.
“Iya. Ibu sudah ngerti kebiasaanku ya.”
“Sayang, jangan manggil Ibu terus dong. Sebulan lagi aku sudah resign sebagai dosen. Jadi setelah cutimu habis, Chepi takkan menemukanku di kampus lagi.”
“Lalu aku harus manggil apa?”
“Panggil apa aja, asal jangan manggil Ibu lagi. Rasanya risih mendengar sebutan itu dari mulut lelaki yang sudah menggauliku.”
“Panggil Clody aja,” kata Bu Claudia, “Adikku juga namanya Aurora, tapi dalam keseharian dipanggil Rory aja. Adik bungsuku bernama Catalina, tapi dalam kesehairian dipanggil Cathy aja.”
“Rasanya kurang ajar manggil namamu langsung Beib,” ucapku.
“Kalau di Eropa, saling manggil nama dengan yang jauh lebih tua pun biasa saja. Bahkan ada juga anak yang memanggil nama saja kepada ibunya. Gak apa – apa.”
“Okelah. Aku mau memanggilmu Clod aja… Clody.”
“Iya. Dua bulan lagi aku kan bakal jadi anak buahmu Boss.”
“Oke deh. Tapi sebulan lagi kita harus melakukan meeting dulu. Semua manager harus dikumpulkan. Nanti aku akan menjadi komisaris utama. Semengtara calon dirutnya… calon istriku sendiri Beib.”
“Iya.”
“Nggak enak ya dengar calon istriku bakal jadi dirut nanti?”
“Biasa – biasa aja. Aku kan tidak akan menuntut untuk menjadi istrimu Sayang. Yang penting hubungan rahasia kita sebaiknya berjalan terus secara rapi.”
“Itu pasti Beib. Aku sendiri kan membutuhkanmu. Tapi kalau kamu hamil nanti, gimana?” tanyaku sambil memegang tangan Claudia yang terletak di atas meja bundar itu.
“Biarin aja. Aku mau kok hamil olehmu. Asal jangan dalam waktu dekat – dekat ini. Karena aku harus bekerja dulu sebaik mungkin di perusahaanmu kan?”
Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam mobilku, sambil memijat nomor hape Nike. Lalu :
“Kamu sudah ada di kantor Beib?”
“Iya. Bukankah kemaren udah janjian mau ke perumahan itu lagi?”
“Oke. Tunggu aja, sebentar lagi juga aku tiba di kantor.”
Dari rumah klasik Bu Claudia, hanya dibutuhkan waktu setengah jam untuk mencapai rumahku.
Tapi aku tidak memasukkan mobil ke garasi rumahku. Kuminta Nike agar keluar dari kantor dan masuk ke dalam mobilku, agar bisa menghemat waktu. Karena aku ingin ke toko yang menjual segala perabotan rumah, dari segala jenis furniture sampai ke barang – barang elektronik tersedia lengkap di toko itu. Tak usah disebut namanya ya, nanti disangka iklan terselubung pula.
Menghabiskan waktu lebih dari sejam aku dan Nike di toko yang serba lengkap itu. Kemudian aku meminta agar semua yang telah kubeli itu diantarkan ke rumah di kompleks perumahan elit itu, sekaligus minta dipasangkan semua pada tempatnya masing – masing.
Kemudian kami menuju kompleks perumahan yang terletak agak di luar kota itu.
Pada waktu para tukang yang membawa perabotan rumah itu sedang memasangkan segala yang sudah kubeli di tempatnya masing – masing, aku dan Nike menuju kantor managemen perumahan itu. Untuk menyelesaikan pembayaran rumah yang telah dip;ilih oleh Nike. Tentu saja Nike yang harus menandatangani akte jual beli rumah itu di depan notaris yang sudah hadir di kantor managemen.
Keuntungan dari penjualan ketiga kapal tanker itu sangat banyak. Sehingga dana yang kupakai untuk membeli rumah itu terasa sedikit, meski nilainya milyaran.
Setelah transaksi di depan notaris itu selesai, aku dan Nike kembali ke rumah yang sudah kubayar lunas itu.
Ternyata semua perabotan baru itu sudah selesai dipasang di tempatnya masing – masing. Aku pun tak lupa memberikan uang tip kepada para tukang yang sudah memasang dan menata semua perabotan itu.
Setelah para tukang itu berlalu, Nike tampak ceria sekali. Karena kemaren rumah itu masih kosong melompong, tapi kini sudah lengkap semua. Bahkan peralatan kitchen pun sudah dilengkapi oleh perabotannya yang serba baru (tentunya serba mahal pula).
“Aku jadi speechless Bang. Karena aku tak menyangka akan mendapatkan hadiah yang selengkap dan semahal ini,” kata Nike sambil memeluk dan menciumi pipiku.
“Kan sebulan lagi kamu akan menjadi permaisuriku Beib.”
“Siap Sayang. Aku kan sudah menjadi milikmu. Jadi apa pun yang akan kamu lakukan, aku akan selalu mengikutinya.”
“Sebulan setelah menikah, kamu akan menjadi direktur utama pula. Jadi mulai saat ini kamu harus bisa menjaga wibawa, agar tidak ada yang berani melecehkanmu kelak. Soalnya para manager yang akan menjadi anak buahmu, semuanya sudah sarjana. Sedangkan kamu baru mulai kuliah semester pertama. Jadi… pandai – pandailah memimpin perusahaan nanti ya.
“Siap Bang. Aku akan berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk perusahaan. Aku sudah banyak membaca dan menghapalkan buku – buku tentang managemen, leadership dan sebagainya. Mudah – mudahan aja pengetahuanku tidak kalah oleh manager – manager yang semuanya sarjana itu.”
“Besok kan hari Sabtu. Jadi kita habiskan weekend kita di rumah ini ya.”
“Iya Bang. Hitung – hitung refreshing aja ya.”
“Iya, sekalian membuktikan keperawananmu. Siap?”
“Siap Sayang. Kalau Abang mau, sekarang juga siap.”
“Gak usah terburu – buru. Besok saja, hitung – hitung bulan madu pre wedding.”
Nike tersenyum. Lalu mencium bibirku dengan mesranya. Disusul dengan kata kata, “Terima kasih Bang Chepi Sayang… aku bahagia sekali mendapatkan semua ini.”
“Iya Sayang. Kamu kan calon permaisuriku. Jadi… segalanya harus serba perfect. Tinggal mobilnya yang belum ada.”
“Kantornya kan deket dari sini. Jalan kaki juga bisa. Hitung – hitung olah raga tiap hari.”
“Hushhh… jangan Sayang. Kita belum pada jadi sarjana. Sementara para manager sarjana semua. Kekurangan itu harus diimbangi dengan tampil seperfect mungkin. Mana ada direktur utama jalan kaki? Nanti diketawain oleh anak buah kita Nik.”
“Mmm… iya deh. Tapi kalau mau beliin mobil, pilih yang matic ya. SOalnya kalau manual, aku belum bisa nyetirnya.”
“Ya iyalah. Mobilku sendiri bisa manual bisa matic. Tapi aku selalu menggunakan matic tiap kali nyetir. Di zaman sekarang yang sering macet di jalan, mobil matic lebih tepat untuk digunakan. Makanya pabrik – pabrik mobil juga punya rencana bahwa kelak mobil itu harus matic semua. Menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Beberapa saat kemudian kami pulang ke kantor lagi, karena masih jam kerja. Aku dan Nike sudah janjian bahwa besok pagi dia harus sudah ada di rumah baru itu sebelum jam sembilan pagi. Dan aku berniat untuk “membuktikan keperawanannya” besok juga. Sementara pernikahanku dengan Nike sudah kujadwalkan pada bulan depan di tanggal muda.
Tante Irenka juga termasuk yang harus kukasih tau rencana pernikahanku dengan Nike.
“Nanti pernikahan kita sederhana saja ya. Jangan pesta gede – gedean. Yang penting keluargamu dan keluargaku hadir semua,” kataku ketika masih dalam perjalanan pulang.
“Iya. Aku juga tidak menginginkan pesta besar – besaran. Yang penting kita disahkan dulu sebagai suami istri Bang.”
“Memangnya kamu udah siap untuk menjadi ibu rumah tangga Beib?”
“Siap Bang. Aku sudah ingin meladeni cowok yang sangat kucintai.”
“Jika pada suatu saat kamu dimadu olehku, bagaimana?”
“Kalau memang harus begitu, silakan aja. Karena aku sudah banyak mempelajari, bahwa istri yang rela dimadu oleh suaminya, akan ditempatkan di surga.”
“Seandainya aku ini raja, kamu adalah permaisuriku. Yang lain hanya selir.”
“Yang penting aku jangan disakiti aja nanti Yang.”
“Mana mungkin aku mau menyakitimu? Percayalah… kamu ini sosok yang paling kucintai di dunia ini.”
Nike mencium pipi kiriku, lalu berkata, “Abang juga cowok yang paling kucintai di dunia ini.”
Sebelum tiba di rumahku, kubelokkan mobilku ke pekarangan sebuah restoran yang letaknya tidak jauh dari rumahku. “Kita makan dulu ya. Aku sudah lapar sekali Beib.”
Nike cuma mengangguk dengan senyum manis, lalu turun dari mobilku. Dan bersama melangkah ke restoran itu.
Setelah makan barulah kami lanjutkan bergerak menuju rumahku yang letaknya sekitar 100 meter dari restoran itu.
Setibanya di rumahku, Nike langsung masuk ke ruang kerjanya yang bersatu dengan ruang kerjaku. Sementara aku langsung masuk ke dalam kamarku.
Di dalam kamar kantukku malah datang. Menguap terus, sampai akhirnya tertidur nyenyak sekali.
Ketika hari mulai malam barulah aku terbangun. Itu pun karena terbangunkan oleh bunyi denting handphoneku. WA dari Nike.
Nike : – Bang ada masalah nih. Mama maksa ingin lihat rumah baru itu. Karena aku baru ngasih tahu dikasih rumah oleh Abang. –
Aku : – Terus? –
Nike : – Ini aku sudah berada di rumah baru itu Bang. –
Aku : – Ya, gakpapa. Kan mamamu juga berhak tahu milik anaknya. Lalu masalahnya di mana? –
Nike : – Mama ingin ngerasain tidur di rumah ini Bang –
Aku : – Ya izinkan aja. Kan ada tiga kamar di situ. –
Nike : – Masalahnya kita kan punya rencana besok pagi. Gimana? –
Aku : – Gampang soal itu sih. Rencananya kita lakukan di villa aja. Bilang sama mamamu, ada urusan bisnis di luar kota, gitu. –
Nike: – Iya. Tapi Abang gak marah nih? –
Aku: – Masa marah. Malah seneng kalau mamamu udah berada di rumahmu itu. Lagian besok jadi ada yang nungguin rumah pada waktu kita sedang berada di villa. –
Nike: – Iya Bang. Terima kasih atas kebijaksanaan Abangku Sayang ya. –
Aku: -Tadi gimana reaksinya setelah mamamu tahu keadaan rumahmu itu? –
Nike :- Uuuh dia tampak girang sekali. Sampai menciumiku sambil meneteskan air mata. Dia pun menasehatiku, agar selalu setia padamu Yang. –
Aku: – Kamu bilang kalau kita bakal kawin sebulan lagi? –
Nike: -Soal itu sih udah bilang seminggu yang lalu. Mama seneng kok dengar kita mau kawin. –
Aku: – Syukurlah. Oke… besok aku jemput ke rumah baru aja ya. Bilang sama mamamu ada urusan bisnis di luar kota giktu. Jangan bilang mau ke villa. –
Nike: – Iya sayang. Sampai jumpa besok pagi yaaa. –
Aku :-Iya. –
Setelah chat lewat WA selesai, kuletakkan handphoneku di atas meja tulisku. Sambil tersenyum sendiri. Karena membayangkan seperti apa perasaan Tante Esther setelah menyaksikan rumah untuk anaknya itu. Sudah lengkap dengan perabotan serba mahal pula.
Tentu saja Tante Esther akan merasa senang. Karena kalau hubunganku dengan Nike berlanjut ke pelaminan, berarti hubungan rahasiaku dengannya akan berlanjut terus. Bukankah selama ini minimal seminggu sekali aku “menengok” memeknya di jam – jam kerja? Bukankah aku pun selalu mentransfer duit ke rekening tabungannya, sehingga dia takkan merasa kekurangan lagi.
Esok paginya, tepat seperti yang dijanjikan, jam sembilan pagi mobilku sudah diparkir di depan rumah baru yang sudah menjadi milik Nike itu.
Di depan Nike, aku bersikap seperti biasa kepada mamanya. Mencium tangannya dengan sikap sopan. Seolah belum pernah terjadi apa – apa di antara aku dengan mamanya yang semok dan seksi abis itu.
“Sebentar… aku mau pakai make up dulu ya,” ucap Nike, yang lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya setelah aku mengangguk.
Pada saat itulah Tante Esther berbisik di dekat telingaku, “Nanti kalau Nike tidur di rumah ini, sekali – sekali nginep di rumahku ya. Main siang terus… sekali – sekali ingin juga ngerasain main malam.”
Aku mengangguk sambil menahan tawaku.
O, betapa jahanamnya diriku ini. Calon mertua pun sering kuentot…!
Dan sekarang… aku sedang merencanakan untuk “membuktikan keperawanan” anaknya pula.
Tapi khusus mengenai Nike, cintaku padanya memang sudah mendalam sekali. Sehingga terkadang aku merasa takkan bisa hidup tanpa Nike. Karena segala sikap dan perilakunya selalu menyenangkan hatiku. Dan tentu saja karena dia cantik sekali di mataku.
Beberapa saat kemudian Nike sudah duduk di dalam mobilku yang sudah kugerakkan meninggalkan perumahan elit itu.
“Mentalmu sudah siap Beib?” tanyaku di belakang setir mobilku.
“Siap Yang,” sahutnya.
“Siap apa?” tanyaku lagi.
“Siap untuk menyerahkan keperawananku padamu Sayang.”
Aku tersenyum mendengarnya.
Mobilku meluncur terus ke arah utara, menuju villa yang letaknya tidak jauh dari kotaku. Hanya belasan kilometer jaraknya.
Villa yang sebenarnya punya Tante Aini itu terletak di ketinggian, sehingga udaranya selalu sejuk. “Tersembunyi” pula di balik pepohonan tinggi. Dan kalau ingin menikmati keindahan alam di sekelilingnya, harus naik dulu ke lantai atas.
Tapi pagi itu aku tidak ingin menikmati indahnya alam di sekitar villa yang tampak sederhana dari luar tapi mewah di dalamnya itu. Aku hanya ingin menikmati bagaimana indahnya tubuh tinggi semampai Nike dalamn keadaan telanjang bulat.
Dan Nike patuh saja ketika kuminta agar melepaskan seluruh busananya. Sehingga tubuh putih mulus itu terbuka di depan mataku.
Tubuh yang nyaris sempurna itu sudah siap untuk kumiliki dari ujung kaki sampai ujung rambutnya. Tubuh yang tinggi langsing, tetapi tidak kurus, berkulit putih kekuningan sebagaimana lazimnya kulit keturunan Chinese. Bokong yang seksi tapi masih dalam ukuran wajar. Sepasang toket yang tidak gede, tapi kecil pun tidak.
Aku memang ingin punya istri – istri yang variatif bentuknya. Aku sudah punya rencana menikahi Nike, kemudian Anna (adik Mamie) dan Anastazie (adik Tante Irenka). Dengan memiliki mereka bertiga, mungkin aku merasa sudah lengkap.
Satu – satunya yang belum kumiliki adalah cewek yang kulitnya gelap. Seandainya kelak aku ingin melengkapi “jatahku” dengan memiliki 4 orang istri, mungkin aku akan mencari cewek yang kulitnya berwarna sawomatang atau kalau perlu yang hitam sekalian.
Tapi kalau bisa aku akan bertahan dengan tiga orang istri saja. Kecuali kalau memang sudah merasakan butuhnya istri keempat, barulah aku akan mencarinya.
Dan kini si cantik Nike sudah merebahkan dirinya di atas bed villa, dalam keadaan telanjang bulat. Inilah pertama kalinya aku menyaksikan Nike telanjang.
Sebelum ia telanjang, aku sudah menyiapkan mental, bahwa seandainya ada kekurangan di tubuhnya, aku akan melupakannya. Karena aku sudah sangat mencintainya.
Tapi ternyata tiada cela setitik pun di tubuh putih mulus itu. Sehingga aku pun mulai menelanjangi diriku sendiri, kemudian naik ke atas bed.
Sambil duduk di sisi Nike, kupegang pergelangan kaki kanannya. Kemudian kuciumi betisnya… naik ke atas… kuciumi lutut dan pahanya, sampai ke pangkalnya.
Bintik menghitam di atas vaginanya. Bintik – bintik rambut yang baru akan tumbuh lagi.
Kemudian kurentangkan sepasang pahanya lebar – lebar, karena aku akan mulai membasahi kemaluannya dengan air liurku.
Nike menurut saja. Setelah pahanya mengangkang, aku pun menelungkup di antara kedua pahanya itu, sambil menciumi memek amoy cantik itu.
Nike diam saja. Bahkan ketika aku mengangakan bibir memeknya, sehingga tampak bagian dalamnya yang berwarna pink itu, Nike pun masih terdiam.
Namun ketika aku mulai menjilati bagian yang berwarna pink itu, Nike mengejut, kemudian menggeliat sambil memegangi sepasang bahuku.
Dan ketika aku semakin gencar menjilati bagian yang berwarna pink itu, Nike mulai menggeliat – geliat dan mendesah – desah, “Aaaaaaah… Baaaang… aaaaaaah… aaaaaahhhhh… aaaaaaaah… Baaaaaang… aaaaaaah… aaaaaahhhh…”
Bahkan ketika aku sudah menemukan kelentitnya dan mulai menjilatinya dengan gencar, Nike mulai mengejang – ngejang dengan rintihan histerisnya yang tiada henti berlontaran dari mulutnya.
“Baaaaang… oooooooh… Baaaaang… oooooohhhhhh… Baaaaaang… oooooh… ooooooohhhhh… Baaaaaang… oooooohhhhhh… aku… aku merasa seperti… melayang – layang gini Baaaaang… ooooh… Baaaaang… ooooohhhhh… Baaaaang… aku melayang ini Baaaaang… oooooohhhhhhh …
Aku tidak mempedulikan rintihan Nike. Karena targetku ingin secepatnya membuat bagian dalam memeknya basah oleh air liurku bercampur dengan lendir libido Nike sendiri.
Dan setelah terasa bagian dalam memeknya itu sudah sangat basah, aku pun menjauhkan mulutku dari vaginanya. Lalu meletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek amoy cantik itu.
Kuarah – arahkan moncong kontolku sebentar. Dan setelah terasa sudah pas arahnya, kudorong batang kemaluanku sekuat tenaga. Uuuuggghhhhhhh… kontolku malah melengkung ke atas, seperti pacet (lintah darat) mau melompat.
Tidak meleset. Tapi arahnya masih kurang tepat. Maka setelah mengamatinya sejenak di mana letak mulut liang sanggamanya, kubetulkan letak moncong kontolku. Diikuti dengan dorongan sekuatnya. Mmmmm… mulai melesak masuk sedikit demi sedikit…!
Kepala penisku sudah masuk. Setelah didorong berulang – ulang, membenam lagi sampai lehernya.
Gila. Sempit sekali liang memek Nike ini. Maka kukerahkan tenagaku agar masuk minimal setengahnya. Pada saat aku sedang mendorong kontolku inilah Nike memeluk leherku sambil berbisik terengah, “Su… sudah masuk ya?”
“Iya, baru sedikit,” sahutku, “Kalau sakit tahan sedikit ya.”
“Iii… iya… kata orang sih yang pertama suka sakit sedikit… lanjutkan aja Honey…” sahut Nike lirih.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk membenamkan lagi sedikit demi sedikit. Berhasil; juga membenamkan kontolku separohnya.
Lalu mulailah aku menarik kontolku sedikit, lalu mendorongnya lagi. Menariknya lagi dan mendorongnya lagi.
Makin lama batang kemaluanku bisa masuk makin dalam ketika aku sedang mendorongnya. Sedikit demi sedikit liang memek Nike mulai beradaptasi dengan ukuran kontolku yang memang di atas rata – rata ini.
Meski gerakannya masih perlahan, kontolku sudah mulai mengentot liang memek Nike yang super sempit ini.
Makin lama makin lancar juga entotanku, karena mungkin lendir libido Nike “ikut campur” untuk melicinkan liang memeknya.
Nike pun mulai mendesah dan merintih – rintih, sambil mendekap pinggangku erat -erat.
“Sayaaaaang… aaaaaaah… ini luar biasa rasanya Sayaaaang… terasa mengalir dari ujung kaki ke ujung rambut… aaaaah… aku… aku merasa seperti sedang melayang – layang di atas langit Sayaaaaang… oooooh… aku… aku semakin mencintaimu Sayaaaang…”
Aku pun “melengkapi” aksiku. Dengan menciumi dan menjilati leher Nike, disertai gigitan – gigitan kecil. Semakin hangat juga tubuh kekasih tercintaku ini. Bahkan setelah belasan menit akuj mengentotnya, keringat Nike mulai membasahi leher dan wajahnya. Lalu bercampur – aduk dengan keringatku.
Tanganku pun mulai beraksi. Ketika aku masih “sibuk” menjilati lehernya, tanganku ikut beraksi, untuk meremas toketnya yang masih sangat kencang ini. Terkadang kupelintir dan kuelus – elus pentilnya, sehingga Nike semakin klepek – klepek.
Karena ini untuk yang pertama kalinya aku menyetubuhi Nike, aku tak bermaksud menyiksanya terlalu lama. Pada waktu aku sedang gencar mengentotnya, diiringi oleh desahan dan rintihan Nike, aku menunggu gejala – gejala akan orgasmenya Nike. Karena aku bermaksud untuk “melepas”nya berbarengan.
Setelah lewat setengah jam, Nike mulai berkelojotan. Nah… pasti dia mau orgasme. Aku pun mempercepat entotanku. Dan ketika Nike mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat ke atas, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin. Sampai mentok di dasar liang memek Nike.
Pada saat itulah terjadi sesuatu yang sangat indah. Bahwa ketika liang memek Nike berkedut – kedut kencang, moncong kontolku pun tengah mengejut – ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crooootttt… cretcret… crooootttt… crott… croooottttt… croooootttt!
Lalu aku terkapar di atas perut Nike. Sementara Nike pun terkapar lemas.
Tapi tak lama kemudian aku mencabut kontolku dari liang memek Nike. Karena aku ingin melihat apakah ada darah perawannya atau tidak.
Ternyata memang ada. Berarti Nike memang masih perawan sebelum kuentot tadi.
Tapi aku tidak mengucapkan apa – apa. Aku hanya mencium bibirnya semesra mungkin. Sebagai tanda cintaku padanya semakin dalam.
Nike pun lalu bangkit dan memandang ke arah darah di bekas bokongnya tadi.
Kemudian dia menciumku diikuti dengan bisikan, “Aku semakin mencintaimu Bang.”
Aku tersenyum dan bertanya, “Enak gak barusan?”
“Luar biasa enaknya,” sahut Nike.
“Dan kamu sudah merasakan permainan orang dewasa.”
“Iya Bang.”
“Mau pakai obat anti hamil dulu gak?” tanyaku.
“Emang ada?”
“Ada tuh di tasku,” kataku sambil menunjuk ke tas kecil yang biasa kubawa kalau bepergian. Isinya memang obat – obatan dan uang cash.
“Kalau bisa, memang jangan hamil dulu Bang.”
“Setuju. Nanti setelah kamu bisa mengembangkan diri di perusahaan, barulah kita rencanakan untuk hamil.”
Setelah menelan pil kontrasepsi, Nike mengenakan pakaian kembali dan duduk di sampingku yang juga sudah berpakaian kembali di atas sofa.
Kubelai rambutnya sambil bertanya, “Apakah kamu sedih karena telah kehilangan keperawananmu?”
“”Nggak. Masa sedih. Aku kan sudah menyerahkan kepada cowok yang sangat kucintai. Lagian bulan depan juga kita menikah kan?”
“Iya. Persiapannya harus dikebut. Karena sebulan itu tidak lama.”
“Iya Sayang,” sahut Nike sambil menciumi pipiku bertubi-tubi.
Bersambung…