“Ini mungkin dunia pria, tetapi pria mudah dikendalikan oleh wanita.” ― Ashly Lorenzana
Tadinya kupikir Mama ingin main dalam posisi WOT, karena beliau berlutut dengan kedua lutut berada di kanan – kiri panggulku. Tentunya dengan memek berada di atas kontol ngacengku. Tapi ternyata tidak. Mama bergerak terus ke atas, sehingga memeknya persis berada di atas mulutku. Pada saat itulah Mama berkata, “Jilatin dulu memek Mama sampai basah ya.
“Siap Mam. Memek Mama seperti enak ngejilatinnya,” sahutku sambil membiarkan memek Mama turun sampai “hinggap” di bibirku.
Kedua tanganku mengangakan memek tembem Mama yang bersih dari jembut ini. Sehingga tampaklah bagian dalamnya yang berwarna pink itu. Bahkan kelentitnya pun tampak menonjol. Kata Mamie, kalau kelentit sudah muncul dari “persembunyian”nya, berarti pemilik kelentit itu sudah horny berat. Dalam kalimat lain, Mama juga sudah horny, makanya bersedia mengabulkan keinginanku.
Mama mulai mendesah – desah ketika aku mulai gencar menjilati memeknya. Bahkan ketika aku fokus menjilati kelentitnya, Mama mulai merengek – rengek histeris, “Ooooh… Chepiiii… iyaaaaaa… jilatin terus itilnya Cheeeep… aduududuuuhhhh… kamu kok seperti sudah pengalaman… bisa jilatin itil segala …
Kuhentikan jilatanku sejenak untuk menjawab, “Aku kan sering nonton bokep Mam…”
Lalu kulanjutkan menjilati itil Mama secara lebih intensif. Sehingga dalam tempo singkat saja memek Mama terasa sudah sangat basah.
Tampaknya Mama pun menyadari hal ini. Karena ia cepat menelentang. “Ayolah masukin kontolmu sini… mumpung memek mama sudah basah,” kata Mama sambil menarik kontolku dan meletakkan moncongnya di ambang memek Mama yang sudah ternganga basah. Lalu mencolek – colekkannya sebentar, seperti mencari arah yang ngepas.
Lalu Mama merentangkan sepasang paha gempal tapi putih mulus itu sambil berkata, “Ayo dorong kontolmu Chep.”
Sebenarnya aku sudah berpengalaman dengan Mamie. Sehingga tanpa diberi instruksi pun aku sudah tahu apa yang harus kulakukan.
Maka kudorong batang kemaluanku sekuatnya. Dan langsung membenam lebih dari separohnya… blesssskkkk…!
“Oooo… oooooh… sudah ma… masuk Sayang, “Mama spontan merengkuh leherku ke dalam pelukannya, lalu merapatkan pipinya ke pipiku. “Kita kok jadi begini ya?”
“Mama kan pasti merasa kesepian setelah berpisah dengan Papa,” sahutku, “Jadi biarlah aku menggantikan Papa untuk mengisi kesepian Mama…”
Aku pun mulai mengayun kontolku di dalam liang memek Mama yang kunilai tidak kalah dengan lezatnya memek Mamie.
Mama pun mulai menggeliat – geliat sambil berdesis, “Mama berdosa besar ini Chep. Tapi ooooooh… kontolmu kok enak banget Cheeeeep…”
“Soal dosa sih di dunia ini gak ada manusia yang steril dari dosa Mam,” sahutku sambil menghentikan entotanku sejenak.
“Iya… kenapa berhenti?”
“Aku mau menyampaikan sesuatu Mam.”
“Mau nyampaikan apa?”
“Memek Mama ini luar biasa enaknya. Hal itu akan mendorongku untuk sering – sering datang menjenguk Mama, sekaligus menikmati enaknya memek Mama.”
Mama tersenyum sambil memijat hidungku. “Ayo lanjutin lagi…” ucapnya sambil menepuk pahaku yang tengah menghimpit pahanya yang gempal tapi sangat mulus. Tidak bergerinjal – gerinjal seperti paha orang kegemukan.
Dan yang jelas kurasakan, liang memek Mama ini luar biasa enaknya. Empuk – empuk kenyal, namun setelah kuentot terasa sangat menjepit.
Selain daripada itu, mungkin aku merasakan daya sugestif, yang membuatku sangat nyaman mengentot ibu kandungku ini. Sehingga tiap gesekan antara kontolku dengan dinding liang kewanitaan Mama ini terasa nikmat dan sangat berarti bagiku.
Mama pun sepertinya mulai menikmati persetubuhan ini. Karena desahan dan rintihan histerisnya mulai terdengar. “Aaaaaaah… aaaaaah… Chepiiiii… sebenarnya kita tidak boleh melakukan ini… tapi… oooooh… kamu membuat mama jauh lebih nyaman daripada papamu Cheeep… kontolmu enak sekali sayaaaang …
Perjalanan seksualku dengan Mama ini ternyata sangat variatif, karena Mama benar – benar ingin mengajariku tentang hubungan seks. Mama memang sangat atraktif. Ini yang tidak kuduga sebelumnya, karena tubuh Mama yang semok begitu. Tadinya kusangka Mama susah bergerak saking semoknya. Tapi ternyata sebaliknya.
Mama mengajakku mengubah posisi, menjadi posisi WOT. Lalu dengan lincahnya pinggul Mama naik turun, sehingga kontolku terasa dibesot – besot dan dipilin – pilin oleh liang memeknya.
Setelah Mama bercucuran keringat, Mama merebahkan diri, dalam keadaan miring membelakangiku. Mama menyuruhku memasukkan kontol ke dalam liang memeknya, tapi dari arah belakang tubuhnya.
Aku menurut saja. Lalu mengentot Mama yang sedang membelakangiku.
Tak cuma itu. Mama pun mengajakku ganti posisi lagi, menjadi posisi doggy. Aku pun setuju saja, karena memang ingin tahu banyak tentang posisi – posisi seks.
Lalu Mama merangkak dan menungging sambil menyuruh memasukkan kembali kontolku ke memek Mama yang tampak nyempil di antara sepasang pangkal pahanya.
Lalu sambil berlutut aku mengentot lagi Mama dalam posisi doggy ini.
Ya… di malam jahanam ini aku menikmati lagi keindahan dan kenikmatan hubungan seks, meski dengan ibu kandungku sendiri.
Sementara aku yang sudah diajari oleh Mamie untuk mengatur pernafasan dan konsentrasiku, cukup lama menyetubuhi Mama ini. Aku tahu bahwa Mama sudah berkali – kali orgasme, sementara aku masih bertahan juga.
Akhirnya Mama mengajakku ganti posisi menjadi posisi missionary lagi. Aku mengiyakan saja. Dan Mama langsung celentang sambil merentangkan sepasang paha putih mulusnya selebar mungkin.
Lalu kubenamkan lagi kontolku ke dalam liang memek Mama yang sudah becek itu dengan mudahnya. Blesssssss… kontolku langsung masuk sepenuhnya. Disambut dengan pelukan Mama dan ucapan, “Mama udah berkali – kali orgasme. Tapi kamu kok belum ngecrot juga sih? Mungkin kamu udah berpengalaman ya?”
“Nggak Mam,” sahutku, “Aku hanya sering nonton bokep dan baca buku tentang masalah seks.”
“Ngocok juga sering ya?”
“Nah… kalau ngocok sih sering. Daripada main sama pelacur kan lebih aman ngocok.”
“Iya sih. Tapi mulai saat ini jangan suka ngocok lagi ya. Kalau lagi kepengen datang aja ke sini. Mama akan selalu siap untuk meladeni anak semata wayang mama ini.”
Percakapan itu terhenti ketika aku sudah mulai mengayun kembali batang kemaluanku di dalam liang surgawi Mama.
Meski pun chubby, Mama sangat atraktif. Ketika aku menggencarkan entotanku, Mama pun mengayun pinggulnya dengan binal sekali. Sehingga meski liang memeknya sudah becek, aku dibuat terpoejam – pejam saking nikmatnya. Ya, dengan goyangan pinggul Mama yang memutar – mutar dan meliuk – liuk, terkadang menghempas – hempas ke kasur, kontolku terasa dibesot – besot dan dipilin – pilin oleh liang memeknya.
Keringat kami pun semakin membanjir.
Sampai pada detik – detik krusialku, “Mam… lepasin di dalam boleh?”
“Boleh,” sahut Mama, “Mama sudah steril Sayang… ooooh… kamu udah mau ngecrot?”
“Iii… iya Mam…”
“”Ayo deh kita lepasin bareng – bareng. Mama juga udah mau lepas lagi sayaaang… aaaaa… aaaaah… mau… mau lepaaaaassssssss… “Mama gedebak – gedebuk berkelojotan. Sampai akhirnya sekujur tubuh Mama mengejang tegang.
Pada saat yang sama kubenamkan kontolku sedalam mungkin. Lalu terasa lubang memek Mama berkedut – kedut kencang. Pada detik – detik itu pula kontolku mengejut – ngejut, sambil meletuskan lendir kenikmatanku.
Crooootttt… croootttt… croooottttt… croooootttt… croooottttt… croootttt… crooootttt…!
Lalu aku terkapar di atas perut Mama.
Mama pun terkulai lemas. Tapi Mama masih menyempatkan diri untuk mencium bibirku, disusul dengan ucapan, “Terima kasih Sayang. Ternyata kamu malah jauh lebih memuaskan daripada papamu.”
Esok paginya aku duduk – duduk di pekarangan belakang yang luas dan hijau itu. Mama berasal dari keluarga yang terpandang. Karena ayahnya berdarah biru, sementara ibunya wanita Pakistan yang kaya.
Karena itu setelah kakek dan nenekku meninggal, peninggalannya pun cukup banyak. Antara lain rumah yang ditinggali oleh Mama ini, adalah rumah gedung antik, seperti gedung – gedung peninggalan zaman kolonial Belanda. Tapi rumah ini tampak kokoh sekali.
Rumah peninggalan kakek dan nenek cukup banyak. Tapi karena anaknya pun banyak, maka rumah itu pun dibagi – bagi. Rumah dan tanah yang Mama tempati ini, adalah jatah untuk Mama sendiri. Karena saudara – saudaranya yang 8 orang itu lebih memilih rumah di kota besar. Sementara Mama lebih suka tinggal di kota kecamatan ini, karena mengingat kakek dan nenekku di masa tua sampai meninggalnya tinggal di rumah antik ini.
Mama mencintai rumah antik ini. Karena tanah di belakangnya cukup luas. Hampir dua hektar. Tanahnya pun sangat subur, sehingga bisa ditanami beraneka pohon buah – buahan. Bisa ditanami sayur mayur pula. Mama pun bisa bebas memelihara ayam kampung sampai ratusan jumlahnya. Kalau ada sisa – sisa makanan, bisa ditaburkan ke ayam – ayamnya.
Bukan cuma itu. Di belakang reumah Mama ada kolam ikannya segala. Yang dipelihara adalah ikan yang bisa dikonsumsi. Bukan sekadar ikan hias.
Ketika aku sedang asyik menaburkan makanan ikan ke kolam itu, terdengar Mama memanggilku, “Chepiiii… !”
“Iya Mam,” sahutku sambil benaburkan sisa makanan ikan ke kolam. Lalu bergegas masuk ke dalam rumah antik dan kokoh itu. Ngocoks.com
“Ada apa Mam?” tanyaku.
“Sayang… mama punya nazar,” kata Mama sambil memegang bahuku, “Bahwa kalau kamu datang ke sini, mama akan membelikan sebuah mobil bagus. Sekarang lihatlah ke depan… itu mobil barumu sudah menunggu.”
Aku menengok ke depan rumah. Ternyata benar. Sebuah sedan hitam yang semerk dan setype dengan sedan Mamie, sudah menungguku di depan.
“Mama…! Ooooh… itu kan sedan mahal Mam…”
“Iya Sayang. Mama gak mau ngasih mobil Jepang. Karena itu mama beli mobil buatan Jerman, sahut Mama sambil membimbingku berjalan ke pekarangan depan.
Di samping mobil baru itu kucium sepasang pipi Mama sambil membisikinya, “Terima kasih Mama. Aku tak pernah membayangkan punya mobil sekeren ini.”
“Mama mengumpulkan duit hampir setahun untuk membeli mobil ini. Bahkan tiap bulan mama transfer ke dealer untuk membeli mobil ini. Bulan lalu sudah lunas. Tapi mama minta jangan dikirimkan dulu, karena kamunya belum datang.”
“Berarti Mama sudah punya feeling kalau aku mau datang ya?”
“Iya… feeling seorang ibu tentu tajam Sayang.”
“Mama sendiri gak punya mobil, kenapa mendahulukan aku?”
“Aaah, kalau mama punya mobil, harus gaji sopir dan sebagainya. Mama kan gak bisa nyetir, gak ngerti mesin dan sebagainya. Nanti malah ditipuin aja terus sama sopir. Makanya mama mengutamakan kamu, anak mama satyu – satunya. Supaya kamu tampil lebih bagus nanti. Kamu sudah punya SIM kan?”
“Ada Mam. SIM motor punya, SIM mobil juga punya. Kan kalau di rumah suka pakai mobil Papa. Ayo kita coba mobilnya sekarang Mam.”
“Iya, “Mama mengangguk sambil tersenyum ceria.
Tak lama kemudian aku sudah berada di belakang setir sedan hitam itu. Sementara Mama sudah duduk di sebelah kiriku.
“Bagaimana? Enak gak mobilnya?” tanya Mama setelah aku nyetir lebih dari setengah jam di jalan raya.
“Sangat – sangat enak sekali Mam. Tapi dibandingkan dengan memek Mama sih tetap aja enakan memek Mama. Hahahaaaaa…”
Mama menyahut perlahan, “Mama juga ketagihan sama kontolmu Sayang…”
Begitulah… aku bukan hanya mendapatkan sebuah sedan mahal, tapi juga mendapatkan jatah memek Mama selama liburan di rumahnya. Sehingga hari – liburanku menjadi hari – hari sibuk dengan hubungan seks…!
Mamie terheran – heran melihatku pulang dengan sedan hitam yang sama persis dengan sedan miliknya, hanya warnanya saja yang berbeda. Punya Mamie berwarna merah, sementara mobilku berwarna hitam.
Untungnya garasi kami cukup luas, sehingga meski ada mobil papa dan mobil Mamie, mobilku tetap bisa masuk dengan leluasa. Bahkan mungkin ditambah satu mobil lagi pun masih bisa muat di garasi kami.
“Ini mobil siapa Chep?” tanya Mamie sambil memegang pergelangan tanganku.
“Mobilku Mam. Hadiah dari Mama,” sahutku.
“Mmm… mau dikasih mobil sama mamie, kamu gak mau. Dikasih mobil sama mama kandung tercinta sih mau ya,” ucap Mamie sambil mencubit perutku.
“Ini mobil tau – tau udah ada di depan rumah. Mama gak pernah bilang – bilang sebelumnya, Mamie Sayang,” kataku sambil mendekap pinggang Mamie, “Ehhh… Papa ada ya?”
“Ada… lagi tidur,” sahut Mamie sambil menuntunku ke dalam kamarku, “Ada yang mau mamie bicarakan…”
Begitu berada di dalam kamarku, Mamie menutup dan menguncikan pintu kamarku, lalu mengajak duduk berdampingan di sofa.
“Ada apa Mam? Kok kelihatannya ceria sekali?” tanyaku.
“Tadinya kita takujt ketahuan Papa kan? Tapi sekarang justru Papa yang nyuruh mamie agar minta dihamili sama kamu Sayang.”
“Mamie serius?”
“Sangat serius.”
“Kok bisa begitu?”
“Begini… awalnya Papa yang nanya, apa cita – cita mamie yang belum kesampaian? Mamie jujur aja menjawab, bahwa mamie ingin punya anak.”
“Terus?”
“Awalnya Papa kelihatan bingung. Tapi akhirnya dia bilang, bahwa spermanya sudah lemah. Dokter bilang Papa sulit untuk mendapatkan anak lagi. Karena itu Papa nyuruh mamie merayu kamu supaya bersedia menghamili mamie.”
“Tanpa dirayu pun aku sudah sering menyetubuhi Mamie, “tanggapku.
“Iya. Tapi Papa kan belum tau kalau kita sudah mendahului sarannya itu.”
“Kira – kira saran Papa itu diucapkan dengan hati yang ikhlas gak ya?”
“Sangat bersemangat, bukan ikhlas lagi. Malah dia udah gak sabaran, nyuruh mamie telepon kamu supaya cepat pulang. Tapi mamie kan kasihan karena kamu sedang menjumpai ibu kandungmu yang sudah sembilan tahun tidak berjumpa. Makanya mamie minta Papa bersabar menunggu sampai kamu pulang tanpa diburu – buru.
Aku cuma mengangguk – angguk dengan perasaan masih bingung.
“Nah… kedengarannya Papa udah bangun tuh. Nanti kalau ditanya, bilang aja kita belum pernah ngapa – ngapain ya. Tapi setelah ada restu dari Papa, kita bisa main sesuka hati. Pada waktu Papa ada di rumah pun kita masih bisa main. Gimana? Kamu seneng?”
“Seneng sekali Mam. Baiklah… aku mau mandi dulu ya.”
“Iya. Cepetan mandinya. Karena papa nanti sore akan terbang ke Medan. Jadi kita bebas mau melakukan apa pun.”
“Iya Mam.”
“Nanti Papa pasti manggil kamu Chep.”
“Iya Mam,” sahutku sambil melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
Sambil mandi terawanganku melayang – layang tak menentu. Tentang Mama yang begitu menyayangiku, sehingga apa pun yang kuinginkan selalu dikabulkannya, termasuk pemasrahan memeknya. Juga tentang berita yang barusan kudengar dari Mamie, tentang keinginan Papa yang terasa aneh bagiku.
Setelah mandi, aku keluar dari kamar mandi. Ternyata Papa sudah berada di dalam kamarku. Sedang duduk di sofa.
“Bagaimana keadaan mamamu Chep? Sehat?” tanya Papa.
“Sehat Pap. Malah jadi lebih gemuk daripada dahulu.”
“Syukurlah kalau sehat sih. Sini sebentar Chep. Papa mau ngomong sebentar.”
“Iya Pap, sebentar… ganti baju dulu,” sahutku sambil buru – buru mengenakan baju dan celana piyamaku. Kemudian menyisir sebentar. Dan melangkah ke arah sofa yang sedang diduduki oleh Papa.
Setelah mencium tangan Papa, aku pun duduk di sampingnya.
“Kamu dibeliin mobil mahal sama mamamu?” tanya Papa.
“Iya. Mobil itu tau – tau udah nongkrong aja di depan rumah Mama. Katanya sih Mama punya nazar untuk menghadiahkan mobil kalau aku datang menjumpainya.”
“Ya syukurlah. Kalau bisa membelikan mobil mahal begitu, berarti mamamu tidak kekurangan setelah hidup sendiri.”
Papa terdiam sejenak. Lalu berkata sambil memegang bahuku, “Ohya… papa mau minta tolong sama kamu Chep.”
“Minta tolong apa Pap?”
“Kamu kan sudah delapanbelas tahun. Papa mau bicara secara dewasa aja ya. Mamiemu itu pengen punya keturunan. Sedangkan papa sudah diperiksa ke dokter, hasilnya sangat mengecewakan. Kata dokter, sperma papa sudah lemah. Jadi takkan bisa membuahi lagi. Kalau dipaksakan pun nanti bayinya bisa bermasalah, bahkan bisa cacat dan sebagaInya.
Papa terdiam lagi sesaat. Lalu melanjutkan dengan suara setengah berbisik, “Papa takut kalau keinginan Mamie tidak tercapai, lama – lama bisa minta cerai nanti sama papa.”
“Iya Pap. Seorang wanita yang sudah bersuami, tentu saja punya keinginan menjadi seorang ibu, “tanggapku.
“Nah… kamu kan sudah jadi mahasiswa, tentu kamu bisa menganalisa keadaan ini. Jadi… setelah papa pikirkan matang – matang, papa hanya punya satu tumpuan harapan, yakni dirimu Chep.”
“Apa yang bisa kulakukan untuk membantu Papa?”
“Papa ingin agar kamu mewakili papa untuk menghamili Mamie.”
“Wow… itu kan berarti aku harus…”
“Harus menggauli Mamie serajin mungkin. Agar dia bisa hamil.”
Aku tertunduk sejenak. Lalu bertanya, “Memangnya Papa gak cemburu kalau aku melakukan tugas dari Papa itu?”
“Tidak, “Papa menggeleng sambil tersenyum, “Kamu kan anak papa. DNAmu pasti identik dengan DNA papa. Karena kamu adalah darah daging papa.”
Aku tidak langsung setuju, karena ada perasaan kurang nyaman juga di dalam hatiku.
“Bisa kan? “Papa menepuk bahuku, “Bisa kamu membantu papa dalam masalah yang satu itu?”
Aku menatap mata Papa. Lalu mengangguk perlahan, “Demi Papa aku mau mencoba untuk melakukannya. Tapi… Papa udah yakin kalau Mamienya mau begituan sama aku?“
“Sudah mau. Masa dikasih anak muda setampan kamu gak mau?! Hhhh… hhhh… hhhh… “Papa malah ketawa ditahan – tahan.
“Iya deh… hitung – hitung sekalian belajar aja sama Mamie ya Pap.”
“Naaaah… dada papa langsung plong Chep. Lakukanlah dengan tenang ya. Jangan punya perasaan ini – itu. Konsentrasi saja pada Mamie yang ingin hamil. Kamu pasti bisa. Tapi ingat… semua itu rahasia kita dengan Mamie saja. Kedua kakakmu juga jangan sampai tau.”
“Siap Pap.”
Papa tersenyum sambil menepuk – nepuk bahuku. “Ya udah papa mau terbang ke Medan nanti sore, sekarang mau siap – siap dulu.”
“Iya Pap. Pulangnya bawain sirop markisa ya.”
“Iya. Lakukanlah tugas rahasiamu dengan baik, bahagiakan hati Mamie sebisamu.”
“Siap Pap.”
Papa keluar dari kamarku. Aku pun keluar menuju dapur, minta dibikinin kopi pahit sama Bi Caca, pembantu yang sudah bertahun – tahun bekerja di rumah ini.
Jam 13.00 sebuah mobil perusahaan datang untuk menjemput dan akan mengantarkan Papa ke bandara.
Aku dan Mama mengantarkan kepergian Papa sampai pintu pagar besi.
Setelah mobil perusahaan yang akan mengantarkan Papa ke bandara menghilang dari pandangan, Mamie mengajakku ke dalam kamarnya.
Setelah berada di dalam kamar, Mamie memegang pergelangan tanganku sambil berkata, “Mamie ingin nyobain dibawa olehmu dengan mobil baru itu. Tapi nanti malam aja jalannya. Sekarang sih pengen kangen – kangenan dulu sama kamu.”
“Iya Mam. Aku juga udah kangen berat, dua minggu gak lihat Mamie rasanya rindu banget,” sahutku sambil memeluk dan mencium bibir ibu tiriku yang jelita itu.
Mamie pun mendekap pinggangku sambil menciumi sepasang pipiku. “Mamie apa lagi. Kangen sekali padamu.”
“Sekarang kita bisa melakukannya dengan tenang ya Mam. Tanpa rasa takut ketahuan Papa lagi.”
“Iya. Tapi jangan sampai ketahuan sama Caca juga. Nanti dia bisa bocorin rahasia ke luar.”
“Tentu aja Mam. Tadi Papa juga udah mewanti – wanti bahwa kita harus merahasiakan. Teh Susie dan Teh Nindie juga jangan sampai tau.”
Tapi diam – diam aku teringat sesuatu yang pernah terjadi, tanpa sepengetahuan Mamie. Sesuatu yang memalukan, mungkin. Tapi biar bagaimana hal itu sudah tergores di dalam history of my life. Sejarah kehidupanku. Takkan bisa dihapus lagi. Dan aku masih ingat semuanya.
Sebelum aku mendapat libur panjang, Papa dan Mamie sedang berada di kampung Mamie. Katanya sih mau menikahkan adik Mamie di kampungnya.
Pada saat itulah, sepulang kuliah aku memanggil Bi Caca. “Bi bisa mijitin gak?”
“Mijit? Sedikit – sedikit sih bisa Den,” sahut Bi Caca, “Memang Den Chepi mau dipijit?”
“Iya Bi… duuuh pegel – pegel kaki dan pinggangku Bi.”
“Iya. Entar saya pijitin. Mau cuci tangan dulu ya Den.”
“Iya, kutunggu di kamar ya Bi.”
“Iya Den…”
Kemudian aku masuk lagi ke dalam kamarku. Kutanggalkan baju dan celana yang kupakai kuliah tadi. Dan dalam keadaan cuma bercelana dalam, aku menelungkup di atas bedku.
Tak lama kemudian Bi Caca masuk ke dalam kamarku. “Mau pakai minyak gosok Den?” tanyanya.
“Jangan ah,” sahutku, “Nanti badanku berminyak – minyak dan panas. Pakai tangan aja,” kataku sambil tetap menelungkup.
“Mau diurut biasa Den?”
“Iya. Diurut biasa aja, sambil pijit – pijit. Biar pegel – pegelnya berkurang.”
Lalu Bi Caca mulai memijati telapak kaki dan jari -jarinya. Dilanjutkan dengan memijat dan mengurut – urut betisku.
“Nahhh… ini enak Bi… pinter juga Bibi mijit ya…”
“Kalau ada Ibu mah mungkin saya gak disuruh mijit ya Den. Hihihiii…” kata Bi Caca sambil menahan tawanya.
Aku kaget mendengar ucapan Bi Caca itu. Apa maksudnya? Apakah dia menyindirku atau asal nyeplos ngomong aja.
“Aku gak pernah dipijitin sama Mamie Bi.”
“Iii… iya Den. Tapi Ibu memang sangat baik ya sama Den Chepi. Gak seperti ibu tiri.”
“Sangat baik gimana?”
“Ngg… nggak pernah marahin… hihihihiii… “Bi Caca menahan tawanya lagi.
Wah… jangan – jangan dia sudah tahu kalau aku suka menggauli Mamie.
Lalu aku harus bilang apa? Aku malah tak berani menanggapinya, karena takut masalahnya jadi melebar ke mana – mana.
Tapi bagaimana kalau dia menyebar gossip ke pembantu tetangga yang suka pada ngerumpi di pinggir jalan?
Aku harus berusaha meredam nsegala kemungkinan buruk di kemudian hari…!
Lalu aku langsung memindahkan topik pembicaraan. “Bi Caca ini statusnya janda apa punya suami?” tanyaku.
“Punya suami Den. Tapi ketemunya juga cuma dua tahun sekali.”
“Lho kok bisa?!”
“Suami saya bekerja di Arab Den. Pulang setahun sekali aja gak bisa, karena gajinya sedikit. Tapi belakangan ini saya dengar kabar bahwa dia sudah nikah lagi, dengan TKW yang kerja di Arab juga. Gak taulah… saya pusing kalau mikirin suami. Makanya saya bekerja di sini juga, karena butuh duit untuk anak saya.
“Punya anak berapa?” tanyaku sambil membalikkan badan jadi celentang, “Bagian depannya juga pijitin Bi.”
“Iya Den.”
“Eeeh, tadi aku nanya punya anak berapa?”
“Cuma seorang Den baru usia empat tahun.”
“Terus sama siapa anak itu sekarang?” tanyaku samb il mengamati Bi Caca yang sedang mwembungkuk memijati betis dan pahaku, sementara aku melihat sesuatu yang luar biasa lewat belahan daster bagian dadanya. Tampak pertemuan sepasang bukit kembar itu dengan jelas. Dan aku yakin toket Bi Caca itu gede…
Dan… diam – diam batang kemaluanku mulai menegang di balik celana dalamku yang terbuat dari bahan kaus putih ini. Sambil membayangkan seperti apa bentuknya kalau Bi Caca telanjang di depan mataku? Dan seperti apa bentuk memeknya? Seperti apa pula rasanya kalau aku ewean sama dia?
Ini jelas. Bahwa nafsuku sudah mulai menggoda. Dan dengan pesatnya menjadi hasrat yang tak terkendalikan lagi. Sehingga akhirnya kusembulkan batang kemaluanku dari sela celana dalamku. Sambil memegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini, aku berkata, “Ini kalau sudah bangun begini harus diapain Bi?
Bi Caca menoleh ke arah kontol ngacengku yang seolah menunjuk ke langit – langit kamarku. “Waaaauuuu… Deeeen… itunya kok panjang gede gitu Deeen…”
“Iyaaa… terus sekarang ngaceng begini musti diapain biar lemas lagi? Harus diemut kali ya sama Bibi?!”
“Waaah… saya belum pandai emut – emutan. Punya suami saya juga belum pernah saya emut Den.”
“Terus harus diapain? Harus dientotin ke memek Bibi kali ya?”
Bi Caca mendadak tampak bersemangat. Dia memegang batang kontolku dengan tangan gemetaran. “Memangnya Den Chepi berkenan ngentot saya gitu?”
“Mau Bi. Mau banget. Yang penting kontolku bisa lemas lagi. Kalau ngaceng begini suka pegel.”
“Sekarang Den?” tanyanya seperti belum yhakin pada ucapanku.
“Tahun depan!” sahutku, “Ya sekarang lah. Kan ngacengnya juga sekarang.”
“Berarti saya harus telanjang ya Den?”
“Ya iyalah. Biar jelas semuanya. Bi Caca seksi kok malam ini.”
Bi Caca memang pembersih dan pesolek. Pembantu zaman sekarang beda dengan babu di zaman dahulu. Pembokat zaman sekarang seperti Bi Caca itu, rambut pun dicat dengan warna kecoklatan. Bibirnya yang lebar tak pernah lolos dari lipstick.
Bi Caca memang tidak cantik, tapi manis. Sesuai dengan warna kulitnya yang hitam manis. Tubuhnya tinggi montok, terutama montok di toket dan bokongnya itu. Tapi jujur, baru sekali ini aku memperhatikan beberapa kelebihannya itu.
“Ayo telanjang. Aku juga udah telanjang nih,” kataku sambil melemparkan celana dalamku ke lantai, karena nanti akan diganti oleh celana dalam yang sudah dicuci dan disetrika.
Bi Caca tak kelihatan ragu menanggalkan dasternya. Sehingga tubuhnya tinggal mengenakan beha dan celana dalam yang sama – sama berwarna merah. Lalu kulihat ia sudah menanggalken behanya, sehingga sepasang toketnya yang memang gede itu tak tertutup apa – apa lagi.
Sambilk membungkuk, Bi Caca melepaskan celana dalam merahnya. Sehingga memekjnya yang berwarna coklat muda itu tak terhalang seutas benang pun lagi. Setelah melihat bentuk memeknya yang tercukur bersih itu, hatiku berkata, “Dia benar – benar mengikuti trend masa kini. Memeknya pun dibersihkan dari jembut, sehingga seolah menantangku untuk menjilatinya.
Bi Caca cuma manis, tidak cantik. Tapi setelah telanjang bulat sambil celentang di atas bedku… aduhai… betapa menggiurkannya tubuh pembokat setia itu…!
Lalu apakah aku berniat untuk jaim dan mau langsung menjebloskan kontolku ke dalam liang memeknya?
Tidak. Aku sejak awal mengalami hubungan seks dengan Mamie, prinsipku tetap kokoh di dalam batinku. Bahwa perempuan mana pun yang kusetubuhi, harus meninggalkan kesan positif di dalam hati perempuan itu. Kalau secara lebay, aku ingin dianggap sebagai lelaki yang paling memuaskan di dunia ini.
Karena itu aku menyerudukkan mulutku ke memek Bi Caca yang berwarna gelap itu, lalu mengangakannya dengan kedua tanganku, lalu menjilati bagian dalamnya yang berwarna merah membara itu. “Deeeen… “seru Bi Caca tertahan. Mungkin dia kaget karena aku menjilati memeknya, sebagai tanda bahwa aku menganggapnya bukan sekadar pembokat di rumah ini.
Lebih dari itu, tampaknya Bi Caca baru sekali ini merasakan memeknya dijilati. Sehingga kertika lidahku mulai gencar menjilati memek dan kelentitnya juga, dsia mulai menggeliat – geliat dan mendesah – desah, “Aaaaaaah… aaaaaaa… aaaaaah Deeeen Cheeepiiiii… sa… saya baru sekali ini merasakan eeee…
Eeenaknya memek dijilatin begini… oooooh Deeeen… ini sangat – sangat enak sekali Deeen… adududuuuuuh… iya Deeeen… apalagi kalau itil saya dijilatin begini… enak Den.. enaaaaak… ooooh Deeen Chepiiii… saya merasa seolah bermimpi karena mengalami hal yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya ini…
Aku tak merasa derajatku direndahkan. Aku bahkan senang mendengar pengakuan Bi Caca itu. Bahwa ia baru sekali ini merasakan memeknya dijilati. Sehingga ia merasakan nikmatnya perlakuanku padanya. Maka semakin gencarlah aku menjilati kelentitnya yang cuma sebesar kacang kedelai itu. Bahkan sesekali aku menyedot kelentit yang sudah tegang itu, sehingga perut Bi Caca seriung terangkat – angkat dalam kejangnya.
Dan setelah memek Bi Caca terasa basah sekali oleh air liurku, dengan sigap aku mendorong sepasang pahanya agar terentang lebar, sementara moncong kontolku sudah kuletakkan di mulut heunceut Bi Caca yang berwarna gelap dan agak tembem itu.
Lalu kudorong kontol ngacengku sekuatnya. Blesssss… melesak masuk ke dalam liang memek Bi Caca yang disambut dengan pelukan perempuan yang kira – kira sebaya dengan Mamie itu (28 tahunan) disertai dengan rengekan erotisnya, “Adududuuuuuh… masuk Deeeeen… oooooooh Den Cheeepiiiii…”
Kemudian kuhempaskan dadaku ke atas sepasang toket gede itu, sambil merapatkan pipiku ke pipinya. “Gak nyangka… memek Bibi masih sempit gini ya…” ucapku sambil mengayun kontol ngacengku perlahan – lahan.
Sebagai jawaban, Bi Caca malah memagut bibirku ke dalam lumatan hangatnya, sambil melingkarkan lengannya di leherku. Sementara aku mulai mempercepat entotanku.
Bi Caca pun mulai menggoyang pinggulnya dengan gerakan yang sangat erotis. Memutar – mutar dan meliuk – liuk, sehingga kontolku terasa dibesot – besot dan diremas – remas oleh liang memeknya yang sangat legit ini.
Sementara Bi Caca semakin binal menggeolkan pinggulnya diiringi rintihan – rintihan histerisnya, “Deeen… oooo… oooooh… Deeeen… punya Aden ini… ooooooh… luar biasa rasanya… ooooh… belum pernah saya merasakan disetubuhi seenak ini Deeeeen… ooooh… kita ini… lagi ngapain Deeen?
“Lagi ewean… !”
“Hihihiiii… saya pasti ketagihan nanti Den… pengen diewe terus sama Aden… ““Santai aja Bi. Aku juga bakal ketagihan, pengen ngewe Bibi terus nanti. Heunceut Bibi juga luar biasa legitnya sih… nanti kalau aku mau ngecrot, lepasin di mana Bi?”
“Di dalem heunceut saya aja Den. Saya masih ikutan kabe kok. Ta… tapi… adududuuuuh Deeeen… saya udah mau lepas nih Deeen… “Bi Caca gedebak – gedebuk berkelojotan.
“Ayo lepasin aja Bi. Aku seneng kalau merasakan perempuan sedang orgasme,” sahutku sambil mempercepat entotanku. Pook… pok… pok… pokkkkkk… pokkk…
Akhirnya Bi Caca mengejang tegang. Sementara liang memeknya terasa seperti gerakan ular yang sedang membelit mangsanya. Disusul dengan kedutan – kedutan kencang yang luar biasa erotisnya.
Sesaat kemudian Bi Caca memeluk dan mencium bibirku sambil berkata lirih, “Terima kasih Den. Duh… belum pernah saya merasakan ditiduri yang snikmat barusan. Soalnya disetubuhi oleh cowok setampan Den Chepi, yang punya titit luar biasa pula.”
Aku cuma tersenyum. Lalu mulai mengayun kembali kontolku yang masih jauh dari ejakulasi ini.
“Mau nyobain anjing – anjingan Den?” tanya Bi Caca ketika entotanku masih perlahan.
“Boleh,” sahutku sambil menarik kontolku dari liang memek Bi Caca.
Spontan Bi Caca merangkak dan menunggingkan pantatnya ke atas, sehingga memek Bi Caca kelihatan semua dari belakangnya.
Aku pun berlutut sambil memegang bokong semok Bi Caca. Sambil berlutut pula kubenamkan kembali batang kemaluanku ke dalam liang memek Bi Caca yang legit licin itu. Blessss…
Tak sulit membenamkan batang kontolku kali ini. Karena liang memek Bi Caca sudah becek setelah orgasme tadi.
Sambil berlutut aku pun mulai mengentot lagi, sambil menepuk – nepuk sepasanjg buah pantat Bi Caca.
“Iiii… iya Den… tepok – tepok terus pantat saya Den… enak… lebih keras lagi juga gak apa – apa Den.”
Kuikuti saja keinginan Bi Caca itu. Kukemplangin pantatnya sekeras mungkin, yang disambut dengan rintihan eroitis pembokatku, “Oooohhhh… enak Den… tempelengin terus pantat saya Den… enak sekali… lebih kuat lagi Deeeen… iyaaaa… iyaaaa… ini semakin enak Den… oooohhhh… kontol Den Chepi memang luar biasa enaknya Deeen…
Sekitar setengah jam aku memngentot Bi Caca dalam posisi doggy ini.
Sampai akhirnya Bi Caca ambruk dalam orgasme keduanya.
Kemudian kami lanjutkan dalam posisi missionary. Bi Caca di bawah lagi, sementara aku di atas lagi.
Dalam posisi missionary ini Bi Caca menggeolkan bokongnya lagi. Memutar – mutar dan meliuk – liuk lagi.
Dalam posisi inilah akhirnya akui menggelepar di atas perut Bi Caca, sambil membenamkan kontolku sedalam mungkin.
Dan moncong kontolku pun mengejut – ngejut sambil melepaskan lendir kenikmatanku.
Crooootttt… croootttttttt… crooootttt… crettt… crooooooootttt .;.. croooottt… crooootttt…!
Bi Caca memelukku erat – erat sambil berbisik di dekat telingaku, “Aduuuh nikmatnya merasakan liang memek saya disemprot – semprot oleh air mani Den Chepi… mmmm… indah sekali rasanya Den…”
Aku cuma mendengus, lalu terkulai lunglai di atas perut Bi Caca.
Tapi sejam kemudian aku menyetubuhi Bi Caca lagi. Dalam segala jenis posisi. Dan tengah malam pun aku mengentotnya lagi untuk ketiga kalinya.
Tak cuma itu, keesokan paginya, sebelum turun dari bed masih sempat aku menyetubuhinya lagi.
Mungkin inilah petualanganku yang paling jahanam, tapi sangat indah buat kukenang pada hari – hari berikutnya.
Ayo lepasin dong pakaianmu. Kok malah melamun?”” tegur Mamie membuyarkan terawangan tentang segala yang telah terjadi antara Bi Caca dengan diriku itu. Bahwa beberapa hari sebelum aku berangkat ke rumah Mama, aku sempat melakukan petualangan dengan Bi Caca.
Dan kini di depan mataku, Mamie sudah melepaskan segala yang melekat di tubuhnya sambil berkata, “Sekarang mamie takkan minum pil kontrasepsi lagi. Karena sekarang tujuannya kan ingin agar mamie hamil.”
Aku pun menelanjangi diriku sendiri kemudian melompat ke atas bed. Menerkam Mamie dengan segenap gairahku.
Dan beberapa saat kemudian aku sudah bersetubuh dengan Mamie. Dengan segenap perasaanku tentunya. Karena kali ini ada tujuan penting. Agar aku bisa menghamili Mamie.
Sejak aku kuliah pakai sedan hitam ini, mahasiswi yang sekampus denganku jadi banyak yang suka melayangkan tatapan dan senyum yang menggoda. Tapi aku pakai sedan hitam ini bukan mau nyari cewek. Katro banget rasanya nyari cewek dengan modal mobil doang.
Aku malah suka enek kalau cewek yang tadinya jutek mendadak bermanis – manis setelah tahu aku punya sedan mahal ini. Entah seperti apa sikapnya kalau aku kuliah pakai motor bebek lagi.
Yama dan Gita memang kuajak pakai mobil ini. Tapi mereka sahabatku. Tak lebih dari itu.
Walau pun begitu, pada suatu saat aku mengalami kisah yang terduga.
Ya… sore itu aku sudah selesai kuliah dan sedang menggerakkan mobilku yang diparkir di pinggir jalan (karena mobil mahasiswa tidak boleh parkir di dalam areal kampus). Tiba – tiba pandanganku tertumbuk ke seorang wanita muda cantik, yang tak lain dari Bu Shanti, dosenku yang sudah lama menumbuhkan rasa simpatiku.
Mungkin dia sedang menunggu jemputan, atau mungkin juga sedang menunggu angkot.
Kuhentikan mobilku di depan Bu Shanti sambil membuka jendela kiri. “Mau pulang Bu?”
Bu Shanti membungkukkan kepalanya, “Chepi?! Iya mau pulang.”
“Ayo saya anterin aja Bu,” ajakku.
“Rumahku jauh di luar kota Chep.”
“Biarin aja,” sahutku sambil membuka pintu depan kiri, “Di luar propinsi juga saya anterin sampai rumah Ibu.”
“Beneran nih mau nganterin sampai rumah?” tanya dosen cantik itu setelah duduk di samping kiriku, sambil mengenakan seatbelt. Harum parfum pun tersiar ke penciumanku.
“Khusus untuk Ibu, saya siap mengantarkan kapan pun dan ke mana pun,” sahutku sambil memindahkan tongkat matic ke D.
“Ohya?! Enak dong, kapan – kapan bisa minta diantar sama mahasiswa yang baik hati begini.”
“Siap Bu. Asalkan gak ada yang marah aja. Hehehee…”
“Siapa yang marah? Suami belum punya, pacar pun gak punya.”
“Kirain Ibu sudah punya suami.”
“Belum laku – laku Chep.”
“Tapi pacar aja sih mungkin sudah punya.”
“Aku jomblo Chep. Dulu waktu masih SMA pernah punya pacar. Tapi begitulah, gak enak punya pacar yang selalu mengatur segalanya. Apalagi kalau sudah jadi suami.”
“Wah… bisa nyelip dong aku Bu.”
“Nyelip ke mana?”
“Ke hati Bu Shanti.”
“Hihihiiii… kamu bisa gombal juga yaaa, “Bu Shanti mencubit pangkal lenganku.
“Aku serius Bu. Soalnya di antara dosen – dosen, Bu Shanti yang paling kusukai. Makanya sekarang serasa ketiban rejeki nomplok, karena Ibu mau dianterin olehku.”
“Masa sih? Udah segitunya perasaanmu padaku?”
“Kalau iya, Ibu keberatan nggak?”
“Keberatan sih nggak. Tapi kamu kan masih sangat muda. Umurmu berapa?”
“Delapanbelas Bu.”
“Tuh… berarti delapan tahun lebih muda dariku.”
“Ibu baru duapuluhenam tahun? Sudah es-dua… hebat sekali.”
“Es-duaku dapet setahun yang lalu.”
“Waduh, berarti es-duanya diraih waktu usia Ibu baru duapuluhlima tahun?”
“Iya. Es-satunya diraih di usia duapuluhdua. Es-dua diraih di usia duapuluhlima. Gak muda – muda amat kan? Di Amerika ada anak umur tujuhbelas tahun sudah es-tiga.”
“Wah, itu sihg jenius banget Bu. Tapi program percepatan pendidikan hanya ada di Amerika kan?”
“Iya. Di Inggris belum ada.”
“Ibu jadi dosen belum ada setahun kan?”
“Iya, baru sembilan bulan.”
“Berarti aku harus dekat terus sama Ibu.”
“Kenapa.”
“Supaya lulus es-satu secepatnya. Tapi ada yang lebih penting lagi…”
“Apaan tuh?”
“Untuk mewujudkan khayalanku.”
“Khayalan apa? Nanti aku jadi serius lho.”
“Aku juga serius Bu. Serius mikirin Ibu sejak lama.”
“Masa sih? Kamu terlalu muda bagiku Chep.”
“Aku pengagum wanita yang lebih tua dariku Bu. Lagian Ibu kan masih muda. Baru duapuluhenam tahun. Tigapuluh juga belum.”
Bu Shanti memegang tangan kiriku yang nganggur, karena mobilku matic. Terasa hangat tangannya. Sehingga aku sengaja memegangnya dan mendekatkan ke mulutku. Lalu kuciumi tangan halus yang putih bersih itu.
Bu Shanti membiarkanku menciumi tangannya. Lalu ia melepaskan jaket putihnya. Sehingga blouse hitamnya tampak di mataku. Dan… ooo maaaak… blouse hitam itu ada bagian berbentuk hati atau icon love di bagian dadanya. Sehingga belahan buah dadanya tampak menonjol… terbuka jelas… putih dan mulus sekali.
Aku tidak berani berkomentar. Tapi diam – diam ada yang bangun di dalam celanaku!
Mobilku sudah menginjak batas kota. Kularikan terus ke luar kota.
“Jadi merasa tersanjung sama kamu,” ucap Bu Shanti sambil menyandarkan kepalanya di bahu kiriku, “Tapi tetap aja aku merasa malu, karena tersanjung oleh ucapan cowok yang masih belasan tahun…”
Kusahut dengan perasaan pede, “Mendingan juga cowok belasan tahun dibandingkan dengan empatpuluh tahunan sih Bu. Heeheehee…”
“Iya sih. Tentu aja kamu lebih fresh daripada bapak – bapak sesama dosen sih. Tapi kalau kelihatan orang lain, pasti aku diketawain. Dianggap seneng brondong.”
“Gak usah dilihat – lihatkan sama orang lain dong Bu.”
“Kamu bisa merahasiakannya?”
“Bisa.”
“Di kampus harus bersikap seperti biasa aja. Bisa?”
“Bisa. Di kampus aku tetap akan bersikap sebagai mahasiswa kepada dosennya seperti mahasiswa lain.”
Tiba – tiba Bu Shanti mengecup pipi kiriku. Membuatku kaget bercampur senang. Dan ketika pandanganku tertuju ke arah belahan buah dada yang terbuka lewat blouse hitamnya, o… ingin rasanya kuselundupkan tanganku ke balik blouse di bagian dadanya itu. Untuk memegang toket dosenku itu.
Mendadak Bu Shanti berkata, “Itu ada apotek! Berhenti dulu sebentar ya. Mau beli vitamin.”
“Iya Bu,” sahutku sambil mengurangi kecep[atan mobilku. Lalu menghentikannya tepat di depan apotek itu.
“Tunggu sebentar ya. Cuma mau beli vitamin,” kata Bu Shanti sambil membuka pintu mobilku di samping kirinya. Lalu kubiarkan ia turun dan melangkah ke dalam apotek itu.
Tak sampai sepuluh menit Bu Shanti sudah masuk lagi ke dalam mobilku. “Cepat sekali?! Udah dapet vitaminnya?” tanyaku.
“Sudah,” sahutnya sambil memasangkan kembali seatbelt, “Ohya… tadi ada yang belum kutanyain sama Chepi…”
“Soal apa?”
“Chepi belum punya pacar?”
“Udah dapet.”
“Orang mana?”
“Ini yang duduk di sampingku.”
Bu Shanti ketawa cekikikan. Tampak senang sekali kelihatannya.
“Tapi aku merasa berat Chep.”
“Berat apanya?”
“Berat menolakmu.”
“Hahahaaa… satu – satu ya. Tinggal satu lagi.”
“Apa?”
“Gak apa – apa Sayaaang…”
Bu Shinta ketawa cekikikan lagi. Lalu mengecup pipi kiriku lagi.
“Gak nyangka hatiku bakal sesenang ini.”
Lengan kiriku pun merengkuh bahu kirinya sambil berkata, “Gak nyangka hatiku bakal sebahagia ini Bu.”
Bu Shanti menanggapinya dengan menciumi tangan kiriku.
Lalu kuhidupkan musik chillout ambient, membuat suasana semakin romantis.
Setengah jam kemudian mobilku sudah kubelokkan ke sebuah rumah minimalis yang begitu artistik penataannya, termasuk pekarangannya yang berbentuk taman kecil dengan tanaman hiasnya yang ditata secara artistik pula.
“Ayo mampir dulu, sekalian melanjutkan obrolan di jalan tadi, “ajak Bu Shanti sebelum turun dari mobilku.
“Gak apa – apa nih aku mampir ke rumah Ibu?” tanyaku dengan nada ragu (padahal nggak ragu).
“Nggak apa – apa. Mau nginep juga boleh.”
“Ah, serius nih?”
“Sangat serius. Di rumah ini kan penghuninya cuma dua orang. Aku dan pembantuku.”
“Owh… kirain tinggal sama orang tua.”
“Orang tuaku jauh di seberang lautan sana. Kapan – kapan kita main ke sana ya.”
“Boleh, asalkan pas pada saat liburan panjang.”
Lalu kami masuk ke dalam rumah yang tertata rapi luar dalamnya ini.
Bersambung…