Begitu berada di dalam rumahnya, Bu Shanti menurupkan pintu depan, lalu memelukku dari belakang sambil berkata, “Aku mulai jatuh hati padamu Chep.”
“Jatuh hati apa jatuh cinta?” tanyaku tanpa menoleh ke belakang.
“Ya sama aja dong… jatuh hati berarti jatuh cinta.”
Dalam keadaan masih sama – sama berdiri, aku memutar badanku, jadi berhadapan dengan Bu Shanti. Dan tanpa keraguan lagi, kupagut bibir dosenku yang tipis merekah sensual itu.
Bu Shanti pun balas melumat bibirku sambil mendekap pinggangku.
Setelah lumatannya terlepas, ia berkata, “Silakan duduk dulu ya. Aku mau ganti baju dulu.”
“Iya Beib…” sahutku.
“Apa…?”
“Iya Beib…!”
“Oooh bahagianya aku mendengar kamu memanggilku Beib.”
“Kan kita harus saling membahagiakan,” sahutku sambil tersenyum.
Tanpa canggung lagi Bi Shinta memeluk dan mencium bibirku sekali lagi, kemudian masuk ke dalam kamarnya, meninggalkanku di ruang tamu.
Aku pun duduk di sofa putih ruang tamu, sambil mengamati keadaan di sekitarku. Kelihatan sekali bahwa pemilik rumah ini seorang yang berpendidikan tinggi. Selera intelektualnya tampak dari penataan rumahnya, baik indoor mau pun outdoornya.
Agak lama aku menunggu di ruang tamu. Namun akhirnya Bu Shanti muncul juga, mengenakan daster yang aduhai… tipis sekali. Sehingga bentuk tubuh di balik daster itu membayang dengan jelas sekali.
“Mau minum apa?” tanyanya sambil tersenyum.
“Gak usah ngerepotin Beib,” sahutku, “Tapi kalau ada sih minta black coffee aja, tanpa gula.”
“Pahit dong kalau tanpa gula sih.”
“Kata para ahli, kopi itu akan bermanfaat tapi jangan pakai gula.”
“Ogitu. Sebentar… mau bikinin kopinya dulu ya.”
“Iya Beib,” sahutku membuat Bu Shanti mengerling manja. Membuatku semakin gemes.
Bu Shanti masuk ke dalam.
Beberapa saat kemudian Bu Shanti sudah muncul lagi, bersama seorang pembantu yang membawakan secangkir kopi panas dan dua piring snack.
Bu Shanti pun duduk di sebelah kiriku sambil berkata, “Silakan diminum Yang.”
Mendengar kata “Yang” terlontar dari mulut dosen cantik itu, dadaku terasa berdenyut.
Lalu kuteguk kopi yang masih mengepul itu seteguk.
“Nginep aja di sini ya,” kata Bu Shanti sambil memegang tangan kiriku, “Kalau kamu mau nginep di sini, kita kan bisa semakin dekat nanti.”
“Kalau tidurnya sekamar dan seranjang dengan Bu Shanti sih aku mau.”
“Nah lho… sekarang manggil Ibu lagi. Aku kan belum punya suami, apalagi punya anak. Masa manggil Ibu terus?”
“Biar bagaimana Bu Shanti kan dosenku.”
“Di kampus aku memang dosenmu. Tapi di sini… aku ini gadis yang sudah jatuh cinta padamu, Sayang.”
Aku tersenyum. Lalu kuciumi tangan Bu Shanti yang sedang kupegang.
“Mau kan nginep di sini?”
“Mau, asalkan tidur seranjang denganmu Beib.”
“Iya. Tadinya mau nyiapin kamar lain untukmu. Tapi kalau mau tidur bareng sama aku ya udah… sekarang aja kita ke kamar yuk.”
“Oke, “aku mengangguk sambil tersenyum.
Bu Shanti membawa cangkir kopi dan piring kecilnya sambil berkata, “Minuman dan snacknya bawa ke kamarku aja ya.”
“Iya,” sahutku sambil membawa dua piring berisi snack itu, lalu mengikuti langkah Bu Shanti ke dalam kamarnya.
Pada waktu berjalan dari belakang Bu Shanti, tubuh dosenku itu semakin jelas di balik gaun tidurnya yang menurutku terlalu tipis dan transparan.
Setibanya di dalam kamar, Kopi dan snack itu diletakkan di atas meja kecil yang membatasi dua buah sofa putih. Ketika Bu Shanti masih berdiri, aku mendekapnya dari belakang sambil membisikinya, “Gaun tidurnya seksi banget. Sehingga bentuk tubuh Ibu terlihat samar – samar dari luarnya.”
“Gaun ini baru sekarang kupakai. Tadinya malas makainya, ya karena terlalu tipis dan transparan. Tapi untuk kamu, aku sengaja memakainya.”
“Kalau aku terangsang gimana? Ini aja aku sudah mulai tergiur…”
“Lampiaskan aja. Aku memang akan menyerahkan keperawananku padamu malam ini, kalau kamu mau.”
“Haaa?! Beneran nih?”
“Beneran. Aku memang sudah berjanji di dalam hati, akan menyerahkan kesucianku kepada lelaki yang kucintai dan mencintaiku.”
“Aku memang mencintaimu Beib. Tapi untuk menikah masih lama. Mungkin kalau usiaku sudah dekat – dekat tigapuluh, baru aku mau menikah.”
“Menikah masih lama, tapi kalau kawin sih malam ini juga bisa kan?” tanya Bu Shanti sambil mencubit perutku.
“Kawin sih sekarang juga mau. Tapi bagaimana kalau Ibu hamil nanti?”
Bu Shanti malah tersenyum. “Tadi aku beli dulu vitamin di apotek kan? Nah… sebenarnya tadi aku sekalian beli pil kontrasepsi.”
“Ohya?!” seruku girang. Lalu duduk di sofa sambil merangkul pinggang Bu Shanti agar duduk di pangkuanku.
Dan… Bu Shanti benar – benar duduk di atas sepasang pahaku, sambil melingkarkan lengannya di leherku.
“Memangnya masih perawan Beib?”
“Masih. Tapi ada alasan kuat kenapa aku mau menyerahkan keperawananku padamu sekarang.”
“Apa tuh alasannya?”
“Aku mau dijodohkan dengan lelaki yang membiayai kuliah es-duaku di Inggris. Di satu pihak aku merasa berhutang budi padanya, tapi untuk dijadikan istrinya… oi maaak… usianya dua kali usiaku Chep.”
“Limapuluhdua tahun?”
“Ya kira – kira segitulah. Yang sangat menyebalkan, aku hanya akan dijadikan istri ketiga.”
“Wow… jangan mau dong Beib. Kalau merasa berhutang budi sih bayar aja dengan duit yang senilai dengan biaya kuliah di Inggris itu.”
“Tapi sejak aku masih di SMP pun dia sudah banyak memberi uang kepada orang tuaku secara rutin. Kalau semuanya dijumlahkan, pasti jatuh milyaran.”
Aku cuma terlongong mendengar curhatan Bu Shanti itu.
“Karena itu, aku berjanji di dalam hati, akan menyerahkan keperawananku kepada orang yang kucintai dan mencintaiku. Karena itu aku akan menyerahkannya padamu. Tapi kamu tidak usah memikirkan soal pernikahan segala. Aku sendiri pun belum ingin cepat – cepat bersuami.”
Banyak lagi yang Bu Shanti katakan. Tapi intinya sudah kutangkap semua. Bahwa seandainya pun dia harus menikah dengan lelaki tua itu kelak, dia harus berpuas – puas menikmati masa mudanya dulu denganku.
“Oke, apa pun alasannya, yang pasti… kita akan saling bagi rasa sekarang kan?” kataku sambil mempererat dekapanku di pinggang Bu Shanti yang sedang duduk di atas pangkuanku.
“Iya Sayang. Kalau kita memang berjodoh, bisa aja kelak kita menjadi suami istri. Tapi kalau jodohku harus dengan lelaki tua itu, berarti dia hanya akan kebagian sisa – sisamu Sayang.”
“Hmmm… boleh sekarang kulepaskan gaun tidurnya Beib?”
“Lepaskanlah. Kancing – kancingnya ada di bagian punggungku.”
Lalu dengan penuh semangat kubuka kancing gaun tidur itu satu persatu. “Udah gak sabar pengan megang sesuatu,” kataku setelah kancingnya terbuka semua.
“Pengen megang apa?” tanya Bu Shanti sambil melepaskan gaun tidurnya.
“Pengen megang bukit kembarnya. Sejak berangkat dari kampus tadi rasanya nantangin terus.”
“Iya… semuanya buat Chepi tersayang sekarang. Aku akan pasrah, diapain juga silakan. Asal jangan disakiti aja.”
“Duuuh… cewek secantik ini masa tega aku menyakiti? Dosenku pula…” ucapku sambil menciumi tengkuknya yang sudah terbuka. Karena memang tinggal beha dan celana dalam yanhg masih melekat di badannya…”Kancing behanya juga ada di punggung… bukain deh kalau ingin megang bukit kembar sih.”
“Mmm… kalau aku manggil Mamie, mau gak?” tanyaku sambil membuka kancing kait behanya.
“Boleh. Tapi aku juga mau manggil Papie sama kamu. Gimana?”
“Iya… harusnya sih Mamie langsung hamil aja, biar lebih pantes dipanggil Mamie.”
“Jangan dulu ah. Aku pengen ngejar es-tiga dulu.”
“Wadooooh… Mamie haus ilmu ya?”
“Kan biar bisa naik terus jabatanku di kampus, Papie tampan…”
“Iya Mamie Cantik… semoga cita – citanya cepat kesampaian. Tapi kuliah es-tiganya mau di Inggris lagi?”
“Harusnya sih begitu. Makanya sekarang sedang kumpulin duit dulu buat biayanya. Gak mau ngandalin si tua itu lagi.”
“Tapi jarak pendidikan kita semakin jauh nanti.”
“Gak apa – apa. Papie kan bisa nyusul belakangan.”
“Aku sih es-satu mau langsung kerja. Pendidikan selanjutnya kapan – kapan aja,” kataku sambil memegang kedua toket Bu Shanti yang memang gede dan indah itu.
Lalu kami terdiam. Sampai pada suatu saat Bu Shanti berdiri. “Lanjutin di sana aja yuk, biar lebih romantis,” ucapnya sambil menunjuk ke bednya yang serba putih bersih.
Aku mengangguk. Lalu berdiri dan mengikuti Bu Shanti menuju bednya.
“Si dede langsung berdiri tegak nih Mam,” ucapku sambil menepuk – nepuk celana panjangku, tepat pada bagian yang menutupi penisku.
“Coba lihatin penisnya. Aku ingin tau seperti apa penis itu.”
“Iya. Kan aku juga harus telanjang seperti Mamie,” sahutku sambil menanggalkan kemeja tangan pendekku. Disusul dengan pelepasan sepatu, kaus kaki dan celana panjangku. Sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di badanku.
Bu Shanti mengusap – usap dadaku sambil berkata, “Bodymu atletis banget. Rajin olah raga ya?”
Sebagai balasan, kupegang toket dosenku yang gede dan indah bentuknya itu, “Payudara Mamie luar biasa indahnya.”
“Iya. Mulai saat ini sekujur tubuhku menjadi milikmu,” sahut Bu Shanti.
“Terima kasih. Aku bangga telah memiliki Mamie yang begitu mulusnya dari ujung kaki sampai ke ujung rambut,” sahutku sambil melepaskan celana dalamku, sehingga zakarku yang sudah ngaceng berat ini tidak tertutup lagi.
Bu Shanti langsung memegang kontol ngacengku dengan tangan yang terasa hangat dan gemetaran.
“Ada yang mau kutanyain… Mamie kok kebule – bulean gitu. Apakah ada turunan bule?”
“Ibuku asli Belanda. Kalau ayah sih asli Indonesia.”
“Oooo… pantesan. Kirain bukan blasteran,” ucapku sambil mendorong dada Bu Shanti agar celentang.
Gairahku menggebu – gebu, dalam rasa percaya diri yang kuat.
Perasaanku pun seolah dihembus angin surga, karena menyaksikan sebentuk tubuh yang begitu mulus dan erotisnya. Tubuh putih mulus dan wajah cantik jelita yang siap untuk kunikmati.
Lebih dari itu semua, dia memang sudah lama kuidam – idamkan. Tapi awalnya aku hanya bisa memendam perasaanku di dalam hati. Dan kini dia seolah dikirim malaikat untuk hadir di dalam kehidupanku.
Maka dengan penuh gairah kujilati memeknya yang berjembut tapi seperti belum lama diguntingi dan dirapikan. Dan aku malah senang, karena hidupku seolah variatif. Memek Mama dan Mamie bersih dari jembut. Bahkan Bi Caca saja rajin mencukur bersih kemaluannya. Sementara kemaluan Bu Shanti berjembut begini.
Ketika kurasakan sudah cukup banyak air liurku yang teralirkan ke dalam celah memek Bu Shanti, kurentangkan sepasang paha mulus dosenku. Lalu kuletakkan moncong kontolku di mulut vaginanya yang sudah ternganga pink itu.
Kemudian kudesakkan batang kejantananku sekuat tenaga… uuuuggghhhh… meleset. Kubetulkan lagi posisi moncong kontolku pada arah yang kuanggap tepat. Lalu kudorong lagi sekuatnya.
Meleset lagi…!
Lebih dari tiga kali meleset. Sehingga akhirnya aku bertanya, “Punya lotion gak?”
“Buat apa?” Bu Shanti balik bertanya.
“Untuk melicinkan… biar gak susah penetrasinya.”
Bu Shanti menunjuk ke meja riasnya sambil berkata, “Ada tuh… yang paling kanan.”
Aku pun turun dari bed. Untuk mengambil botol lotion di atas meja rias dosenku.
Kubuka tutup botol lotion itu dan kudekatkan ke hidungku. Hanya ingin menyelidik apakah harum atau tidak. Kalau harum, biasanya sudah mengandung pewangi. Dan itu bisa terasa panas oleh memek Bu Shanti nanti.
Setelah yakin bahwa lotion itu takkan membuat memek Bu Shanti panas, kubawa botol lotion itu ke atas bed. Kuoles – oleskan dulu isinya sedikit ke permukaan memek Bu Shanti. Dan kutunggu sesaat.
“Panas nggak?” tanyaku.
“Nggak, “Bu Shanti menggeleng, “kan nggak mengandung fragrance.”
“Baguslah. Terkadang ada lotion yang menimbulkan rasa panas kalau dioleskan ke vagina,” ucapku sambil menuangkan isi botol itu ke bagian dalam memek Bu Shanti.
Cukup banyak kutuangkan lotion itu ke celah memek Bu Shanti, sehingga sampai meluap ke luar, membuat jembutnya ikutan mengkilap.
Kuratakan penyebaran lotion itu dengan jemariku. Terutama bagian dalamnya yang kurasa perlu banyak lotionnya, agar meresap ke lubang sanggamanya.
Kemudian kulumuri juga penisku dengan lotion sampai mengkilap.
Setelah menutup lagi botol lotion dan meletakkannya di pinggiran bed, kucolek – colekkan moncong kontolku ke dalam celah mewmek Bu Shanti yang sudah dingangakan olehnya sendiri. Kemudian kuletakkan kembali moncong kontolku di ambang mulut vagina Bu Shanti. Dan kudorong sedikit sampai moncongnya agak nyungsep ke dalam celah memek Bu Shanti.
Setelah kepala penisku terasa sudah “terbidik dan terkunci”, aku pun mendorongnya sekuat tenaga. Uggggh… masuk sedikit… dorong lagi uuuuggghhh… masuk lagi sampai lehernya. Lalu kudorong lagi sekuat tenaga… uuuuuggggghhhh… membenam separohnya…!
“Ooooohhh… udah masuk ya?” tanya Bu Shanti sambil mendekap pinggangku.
“Iya. Sakit?” tanyaku.
“Nggak. Tadi ada sedikit… gak sakit cuma kayak digigit semut.”
“Sekarang akan mulai kuientot yaaaa…”
“Iya…”
Permainan surgawi ini pun dimulai. Dengan maju mundurnya batang kemaluanku di dalam liang yang sangat sempit ini. Awalnya terasa seret sekali. Tapi lama kelamaan mulai lancar, sehingga aku pun bisa mempercepat entotanku sampai kecepatan normal.
Setelah gerakan kontolku lancar, aku mulai memainkan peran mulut dan tanganku, untuk mengiringi ayunan batang kemaluanku. Di satu saat mulutku mulai mengemut dan menjilati pentil toket kiri Bu Shanti, sementara tangan kiriku mulai meremas toket kanannya dengan selembut mungkin. Agar jangan sampai dia complain karena kesakitan.
Dan… ia mulai merintih – rintih perlahan, “Sayaang… oooohhhh… ternyata enak sekali ya em-el ini… oooooh… aku sampai merasa seperti melayang – layang gini Yang… ooooohhhhh… enaaaaak Sayaaaaang… luar biasa enaknyaaaaa… oooohhhh… aaaah… aaaaah… ooooohhhhh… aaaaah …
Meski sedang gencar mengentotnya, aku menyempatkan diri untuk menjawabnya secara jujur, “Sebenarnya… hatiku sudah lama menjadi milikmu Mam…”
Sepasang mata indah itu menatapku dengan sorot cemerlang. Lalu ia merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Dan melumat bibirku dengan lengketnya. Sementara aku tetap stabil mengentotnya dengan gencar.
Bahkan ketika lumatannya terlepas, aku mulai menjilati leher jenjangnya yang sudah keringatan, disertai dengan gigitan – gigitan kecil. Semakin menggeliat – geliat jugalah tubuh indah yang tengah kusetubuhi ini.
Terawanganku pun semakin jauh melayang – layang di langit biru. Dan seolah ada tanya di dalam batin, adakah detik – detik yang lebih indah daripada yang tengah kurasakan ini?
Gejala – gejala ia mau orgasme pun mulai terasa olehku. Maka kugencarkan entotanku lebih cepat lagi. Dan baru kuhentikan ketika sekujur tubuh indahnya mulai mengejang tegang. Batang kemaluanku memang berhenti karena terpaksa. Karena ketika likang memek Bu Shanti sedang mengedut – ngedut kencang di puncak orgasmenya, moncong kontolku pun sedang menembak – nembakkan lendir kenikmatanku.
Mungkin aku terlalu dikuasai perasaanku yang memang sudah lama mengidolakan dosen cantik berdarah campuran indo-belanda itu. Sehingga aku tidak bisa mengulur durasi persetubuhanku. Selain darfipada itu, aku ingin melihat “saksi mati” bahwa dia memang masih perawan.
Dan ketika aku sudah mencabut kontolku dari dalam liang memek dosen cantikku, memang ada genangan darah kira – kira sebanyak 1 sendok kecil di bawah pantatnya. Itulah saksi yang kumaksudkan. Yang membuatku merasa sangat menghormati Bu Shanti yang jelita ini.
Maka ketika aku terlentang di sampingnya, aku memegang tangannya sambil berkata, “Terima kasih Sayang. Aku telah membuktikan bahwa sebelum kusetubuhi tadi, dirimu masih benar – benar virgin. Memang sulit dipercaya bahwa seorang gadis yang sudah berusia duapuluhenam tahun masih bisa mempertahankan keperawanannya.
Dedngan suara lirih Bu Shanti menyahut, “Kalau gak bertemu denganmu tadi, sampai kapan pun aku akan tetap perawan. Karena aku sudah berjanji hanya akan menyerahkannya kepada cowok yang benar – benar kucintai dan mencintaiku.”
Aku sangat menghormati Bu Shanti di dalam hati, karena di usia 26 tahun dia masih mampu mempertahankan keperawanannya, sampai akhirnya diberikan padaku. Padahal dia itu indo-belanda. Dan pernah kuliah di Inggris segala, di mana nilai – nilai moral sudah ditinggalkan jauh – jauh.
Di negaraku sendiri sudah lama juga banyak yang kebablasan. Termasuk apa yang sudah kualami sebelum aku mendapatkan “hadiah” dari Bu Shanti, yakni keperawanannya itu.
Ya… saat itu aku dan dua orang sahabatku harus berangkat ke Jakarta, untuk mengurus acara kesenian dan kompetisi persahabatan di antara kampusku dengan sebuah universitas di Jakarta. Universitas itu beda namanya dengan universitasku, tapi yayasan yang memilikinya adalah yayasan pemilik kampusku juga.
Kebetulan yang terpilih menjadi ketua panitia adalah aku sendiri. Bendaharanya Yama, sekretarisnya Gita. Dua – duanya sahabatku.
Sejak aku mulai kuliah, kedua orang cewek itu adalah teman terdekatku. Sehingga ke mana – mana kami selalu bertiga. Maka setelah aku terpilih menjadi ketua panitia, aku punya hak untuk menunjuk bendahara dan sekretarisku. Maka kupilihlah Yama sebagai bendahara dan Gita sebagai sekretaris.
Tentu saja panitianya cukup banyak, untuk urusan logistik, akomodasi, konsumsi, humas dan sebagainya. Tapi panitia intinya adalah kami bertiga.
Itulah sebabnya kami bertiga yang akan mengadakan meeting pendahuluan dengan pihak universitas yang di Jakarta.
Gita itu gokil orangnya. Kalau ngomong, terkadang mengejutkanku. Karena tak menduga kalau cewek bisa ngomong tak kalah gokil dari cowok. Sementara Yama perilakunya anggun di mataku.
Tapi biar bagaimana mereka adalah teman – teman baikku, yang selalu kompak denganku dalam beberapa masalah.
Pagi itu aku mendahulukan menjemput Yama, karena rumahnya mudah dijangkau oleh mobilku. Sementara rumah Gita ada di dalam gang kecil yang tidak masuk mobil. Jadi aku bisa menyuruh Yama turun dari mobil dan berjalan kaki ke dalam gang sempit menuju rumah Gita itu.
Agak lama aku menunggu di dalam mobil yang kuparkir di dekat mulut gang kecil itu. Namun akhirnya mereka muncul juga.
Yama mendekati samping kanan mobilku. Lalu berkata, “Chepi… lu jadi boss aja deh, duduk di belakang. Biar gue yang nyetir.”
Aku tahu Yama punya mobil yang selalu dipakai kuliah. Bahkan sebelum aku punya sedan hadiah dari Mama ini, Yama sudah duluan punya mobil.
“Emang bisa lu nyetir ke luar kota?” tanyaku masih di belakang setir.
“Ziaaaah… ke Jakarta sih cetek brow… nyetir ke Surabaya aja sering. Malah sampai Madura segala.”
“Ya udah. Lu sendirian di depan ya. Si Gita di belakang sama gue. Biar bisa dengerin kicauannya.”
Yama mengangguk sambil tersenyum. Lalu aku turun dari mobil dan pindah ke belakang. Sementara Yama masuk ke depan kanan sambil berkata, “Mobil ini sih pasti lebih enak bawanya dibanding mobil gue.”
“Gak usah ngebut Yam,” ucapku sambil menepuk bahu Yama dari belakang.
“Santai aja boss. Bersama gue, kalian aman.”
Aku cuma tersenyum. Sementara Gita yang duduk di sebelah kiriku, malah sedang menggoyang – goyang kepala yang dipasangi earphone hapenya.
“Udah dong jangan dengerin musik mulu,” kataku sambil menepuk lutut Gita.
“Eh iya, “Gita melepaskan earphonenya, “setelin musik Yam. Biar nyaman. Mobil sebagus gini sih pasti punya koleksi lagu yang keren – keren.”
Kemudian terdengar suara musik dari audio mobilku. Belakangan aku lebih suka mendownload lagu – lagu compilation. Sehingga satu judul bisa 2 atau 3 jam durasinya. Bahkan ada yang sampai 24 jam satu judul.
Gita pun langsung bergoyang – goyang centik, mengikuti irama musik yang tengah berkumandang.
Tapi sesaat kemudian Gita mendekatkan mulutnya ke telingaku, lalu berbisik, “Daripada jadi teman baik seperti sekarang, mendingan kita jadi TTM yuk.”
Aku agak kaget mendengar bisikan Gita itu. Lalu membisikinya juga, “Teman tapi ML?”
“Iya, “Gita mengangguk sambil tersenyum. Lalu membisiki telingaku lagi, “Harusnya TTN. Teman tapi ngewe.”
Aku tercengang sambil menahan tawaku. Lalu membikinya, “Lu serius?”
“Serius lah,” sahutnya perlahan, yang hampir tak terdewngar karena musik yang berkumandang agak keras.
“Lu udah gak perawan lagi kan?” bisikku.
“Iya. Makanya mumpung sama – sama belum punya pasangan, kita nikmati aja dulu masa kebebasan ini. Biar pertemanan kita semakin solid,” bisik Gita lagi.
Sebenarnya aku agak shock mendengar ajakan dan pengakuan sahabatku itu. Lalu memperhatikan cara mengemudi Yama, yang ternyata halus sekali rasanya. Malah aku kalah halus kalau dibandingkan dengan cara Yama nyetir itu.
Lalu aku berbisik lagi ke telinga Gita, “Si Yama juga udah gak perawan lagi ya?”
Gita menjawab dengan bisikan juga, “Iya. Justru dia yang usulin acaranya juga.”
“Turunin celanamu, gue pengen tau memekmu kayak apa?” bisikku.
Gita menjawab dengan bisikan juga, “Celana lu juga. Justru gue yang pengen tau kontol lu kayak apa.”
Aku tersenyum sambil mengikuti keinginan Gita. Kuturunkan ritsleting, kemudian kupelorotkan celana jeans sekaligus dengan celana dalamnya.
“Anjriiiitttt…! Kontol lu gede banget…” ucap Gita sambil memegangi kontolku yang sudah rada ngaceng. Dipegang – pegang oleh Gita, tambah ngacenglah kontolku.
“Yama…! “Gita menepuk bahu kiri Yama, “Liat nih kontol si Chepi?”
Yama mengurangi kecepatan mobil yang sudah berada di jalan tol, lalu membelokkannya ke bahu jalan dan menghentikannya. Lalu Yama menolah ke belakang, untuk melihat apa yang sedang Gita lakukan padaku.
“Liat tuh… sepanjang dan segede gini kontol si Chepi… !” seru Gita agak keras, untuk mengatasi bisingnya bunyi musik mobilku.
“Aaaaauuuu…! Itu kontol manusia apa kontol kuda?” seru Yama.
“Gue mau usul nih. Acara meeting di Jakarta kan besok pagi. Gak lama lagi kita kan masuk daerah Purwakarta. Gimana kalau kita nyari hotel di Purwakarta aja? Besok subuh kita lanjut ke Jakarta.”
“Jangan ah. Mumpung jalan gak macet, mendingan cek in di Jakarta aja,” sahut Yama sambil menghadap ke depan lagi. Lalu menjalankan mobilku kembali.
“Gue udah horny nih! “seru Gita, “Gak apa – apa kalau gue wikwik sama Chepi sekarang?”
“Lakuin aja. Asal jangan keliatan dari luar. Eeeeh… ada tirainya ya.”
“Ada tirai, kacanya pun kaca gelap. Lu konsen nyetir aja Yam. Nanti giliran lu nanti di Jakarta, sekenyangnya,” sahutku sambil menepuk bahu kanan Yama.
Sementara itu Gita sudah menanggalkan celana jeans dan celana dalamnya.
Kini aku dan Gita sudah sama – sama tinggal mengenakan t-shirt, karena Gita sudah menanggalkan behanya. Warna t-shirt kami pun sama – sama hitam. Bedanya, t-shirtku ada tulisan putih “Ireland” di bagian dada, sementara t-shirt Gita ada gambar bunga mawar pink di bagian antara sepasang bukit kembarnya.
Gita ternyata bukan hanya gokil waktu ngomong. Kini pun ia gokil dalam tindakan. Ketika mobilku yang dikemudikan oleh Yama dalam kecepatan sedang, Gita pun menduduki kontolku, sambil menghadap padaku. Lalu diarahkannya moncong kontolku ke memeknya. Dicolek – colekkan, kemudian ia menurunkan badannya.
Mungkin inilah pengalaman tergila di dalam hidupku. Bahwa ketika Yama mengemudikan mobilku dengan kecepatan nyaman, Gita duduk di atas pangkuanku, sambil menaik turunkan bokongnya dan merapatkan bibirnya ke bibirku. Dengan sendirinya kontolku dibesot – besot oleh liang mmemeknya yang hangat dan licin ini.
Maka aku pun balas mendekapnya, sambil melumat bibirnya.
Yama yang jarang bicara itu pun berseru di belakang setir mobilku, “Asyiiik… mulai ena – ena nih?”
Inilah pengalaman paling gila dalam kehidupanku selama ini. Bahwa ketika sedan hitamku tengah dilarikan oleh Yama di jalan tol, memek Gita naik turun terus, sementara batang kemaluanku berada di dalam liang memek licin dan hangatnya.
Sebelum ini, aku tak pernah berciuman bibir dengan Gita. Paling banter juga hanya sampai cipika – cipiki. Sedangkan sekarang, bukan cuma saling lumat bibir, tapi bahkan sedang ewean di dalam sedan hitamku yang tirainya sudah ditutup ini (takut kelihatan dari luar, meski kaca mobilku kaca gelap semua).
Tapi hanya belasan menit Gita mampu memainkan perannya sebagai cewek dominan. Akhirnya dia ambruk di puncak orgasmenya.
“Gila… kontol lu terlalu gede Chep… makanya gue gak sanggup lama – lama… lepas deh,” ucap Gita sambil duduk di sampingku. Padahal aku belum apa – apa. Masih jauh dari ngecrot.
Tapi aku masih bisa iseng, memasukkan jari tengahku ke dalam liang memek Gita yang baru mengalami oprgasme. “Pengen tau seperti apa memek yang udah orgasme,” ucapku yang merasa liang memek Gita jadi becek sekali. Maka kutambah dengan telunjuk, sehingga jadi dua jari bisa masuk ke dalam liang memek Gita.
“Masukin aja kepalan tanganmu sekalian… !” seru Gita sambil mencubit perutku.
Aku cuma ketawa sambil mengurangi jumlah jari tanganku, cukup dua jari saja, telunjuk dan jari tengah, yang kumasukkan ke dalam liang memek Gita.
“Sudah berapa macem kontol yang pernah ngentot memek lu ini Git?”
“Baru satu macem! Memangnya gue ayam kampus?!”
“Jadi gue yang kedua ya?”
“Iya. Yama juga sama, senasib sama gue. Baru diewe sama satu cowok waktu masih di SMA dulu.”
“Memek lu enak Git,” kataku sambil menggerak – gerakkan dua jariku di dalam liang memek Gita, “Sayang lu gak tahan lama.”
“Kontol lu juga luar biasa enaknya. Makanya gue gak tahan lama – lama. Nanti aja di hotel kita lanjutkan rame – rame sama si Yama. Udah ah… nanti gue horny lagik kalau diginiin memek gue, “gita menjauhkan tanganku dari memeknya.
Lalu terdengar suara Yama dari belakang setir, “Kok cepat – cepat banget maennya?”
Gita yang menjawab, “Kontol si Chepi luar biasa gedenya. Gesekannya jadi terasa banget. Makanya gue cepat orga.”
“Memek si Gita enak gak Chep?” tanya Yama.
“Enak,” sahutku sambil memegang bahu Yama dari belakang, “Memek lu enak nggak?”
“Gak tau. Kan entar juga lu bakal ngentot gue. Rasain aja sendiri, enak apa nggak,” sahut Yama.
“Hahahaaaaa… kita jadi TTM beneran ya. Gak nyangka…” ucapku sambil memijat – mijat bahu Yama yang sedang nyetir.
“Kan pertemanan kita biar lebih solid Chep,” sahut Yama.
Sementara Gita tampak sedang menyeka memeknya dengan kertas tissue basah. Lalu mengenakan celana dalam dan celana jeansnya kembali. Maka tirai mobil pun kubuka kembali.
Gita pun menjulurkan kakinya, lalu memejamkan matanya. Tak lama kemudian Gita tampak sudah tidur beneran.
Sedan hitamku yang sedang dikemudikan oleh Yama meluncur terus di jalan tol.
Sejam kemudian, kami sudah tiba di sebuah hotel apartment hotel dekat jembatan Semanggi, yang sudah Yama pesan dan Yama bayar lewat aplikasi online. Tentu saja uang untuk pembayaran hotel itu menggunakan uang kas panitia. Karena kami bertiga berada di Jakarta untuk urusan panitia.
Setibanya di hotel, kami langsung makan siang dulu di resto hotel. Selesai makan kami pun naik ke lantai 36 dengan lift yang terasa sudah agak tua.
“Pinter juga lu milih hotel Yam,” ucapku setelah masuk ke dalam kamar, yang terdiri dari 2 kamar tidur dengan kamar mandi masing – masing, dapur lengkap dengan peralatannya dan ruang tamu yang lumayan gede.
“Iya,” sahut Yama, “Kamar apartemen disewakan dengan harga lebih murah daripada hotel bintang lima.”
“Boleh nih kapan – kapan kita bertiga nginep di hotel ini lagi. Tapi gilanya… kita berada di lantai tigapuluhenam ya. Serem juga… terlalu tinggi,” kata Gita.
“Lu keliatan tomboy, tapi ternyata ada takutnya juga ya?” ucapku sambil menepuk bahu Gita.
“Udah lu entot dulu Yama gih. Gue mau tidur di kamar yang agak kecilan itu. Ngantuk berat, tadi malem gak bisa tidur sampai subuh,” kata Gita sambil nyelonong ke kamar yang dipilihnya.
Aku dan Yama menjinjing tas pakaian masing – masing, menuju kamar yang satunya lagi, yang memang lebih besar daripada kamar yang dipakai oleh Gita.
“Sebentar… gue mau pipis dulu ya,” ucap Yama sambil mengeluarkan sehelai kimono putih dari tasnya dan langsung masuk ke kamar mandi.
Aku tersenyum sendiri. Karena sejak tadi aku sudah membayangkan nnikmatnya menyetubuhi Yama yang cantik dan anggun itu.
Memang Yama punya beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan Gita. Karena Gita cuma manis dan gokil. Sementara Yama itu cantik, anggun dan jarang berkelakar. Ngomong pun jarang. Makanya aku tak menyangka kalau Yama itu tidak perawan lagi, seperti yang dibisikkan oleh Gita di dalam mobilku tadi.
Pokoknya Yama itu bening banget. Tapi tidak berarti bahwa Gita itu jelek. Gita memang manis dan ceria terus sikapnya, tapi kalah cantik kalau dibandingkan dengan Yama. Kulitnya pun Yama menang. Jauh lebih putih bersih daripada Gita.
Tapi kalau rasa memeknya, entahlah… karena aku baru mau merasakan memek Yama sebentar lagi
Sebenarnya aku memendam rasa khusus pada Yama. Tapi mengingat bahwa dia itu teman dekatku, ada perasaan takut mengatakannya. Takut kalau dia menjauh, jadi teman dekat pun tak mau.
Namun kini yang kudambakan itu datang sendiri. Muncul dari kamar mandi dalam kimono putihnya, yang membuat Yama semakin cantik dan anggun.
Sikapku jadi berbeda waktu memegang kedua pergelangan tangannya. Jujur, ada perasaan yang berbeda di dalam hatiku, tak sama dengan waktu menghadapi Gita di dalam mobilku tadi.
“Persahabatan kita jangan sampai rusak nanti ya,” ucapku.
“Ya iyalah,” sahut Yama sambil tersenyum. Oooo… betapa manisnya senyum cewek yang satu ini…!
Maka dengan gairah menggelegak, kurangkul leher jenjang dan kupagut bibir sensualnya ke dalam ciuman hangatku.
Yama pun menyambut dengan lumatan hangat.
Aku sadar bahwa acara ini bukan acara pacaran. Karena itu, ketika aku masih saling lumat dengan Yama, kedua tanganku tidak memelujk ledhernya lagi, melainkan meremas bokongnya, sambil menaikkan kimononya sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya aku meremas langsung bokongnya tanpa halangan kimono lagi.
Ternyata Yama tidak mengenakan celana dalam di balik kimononya itu. Mungkin dia sudah mempersiapkan diri untuk disetubuhi olehku. Aku pun bisa memastikan bahwa beha pun tidak ada lagi di balik kimono putih itu, karena dua pentil toket membayang tonjolannya ke luar.
Maka dengan sigap kuangkat dan kubopong tubuh langsing Yama ke atas bed yang sudah siap untuk dijadikan arena persetubuhan kami berdua.
Tanpa canggung – canggung Yama melepaskan kimono putihnya, sehingga sekujur tubuhnya jadi tak tertutup seutas benang pun lagi.
Aduhai… Tubuh Yama memang mulus sekali. Sehingga aku pun ingin memamerkan serkujur tubuhku yang mulus juga. Gak ada bekas luka atau kudis setitik pun. Maka klucuti pakaianku sehelai demi sehelai sampai telanjang bulat. Lalu melompat ke atas bed dan menerkam tubuh mulus yang sudah menungguku itu.
“Sebenarnya udah lama gue ngebayangin beginian sama lu Chep, “sambut Yama sambil mendekap pinggangku, “tapi gue takut merusak persahabatan kita yang sudah solid benar. Makanya keinginan itu gue pendam aja di dalam hati. Ternyata sekarang terjadi juga.”
“Sama gue juga gitu. Suka bayangin paha lu yang putih mulus… malah suka bayangin memek lu segala. Ternyata memek lu ada jembutnya tapi tipis dan halus jembut lu ini ya,” sahutku sambil mengusap – usap memek Yama yang berjembut tipis dan halus itu, “Gue mau jilatin memek lu dulu ya.”
“Pake minta ijin dulu segala. Memang musti dijilatin dulu. Kontol lu gede bingit sie…”
“Harusnya sih bawa pil kontrasepsi. Biar bisa ngecrot di dalem.”
“Gue bawa kok pil kontrasepsi. Dapet nyolong punya nyokap.”
“Berarti nyokap lu masih aktif dong dalam soal seks.”
“Aktif lah. Masih muda kok. Baru tigapuluhenam tahun umurnya.”
“Hampir sama dengan nyokap gue dong. Nyokap gue tigapuluhdelapan.”
“Tapi nyokap lu kayak masih muda banget Chep.”
“Lu gak pernah jumpa sama nyokap gue ah. Yang di rumah itu kan nyokap tiri.”
“Oooo… yang di rumah lu itu nyokap tiri? Masih muda dan cantik sekali. Jangan – jangan lu embat juga tu nyokap tiri lu.”
“Aaah… gila… masa ibu tiri diembat?!” ucapku sedang memboohongi diriku sendiri.
“Nyokap gue sih janda Chep.”
“Sama. Nyokap kandung gue juga janda. Kan bercerai sama bokap.”
“Kalau nyokap gue sih ditinggal mati sama bokap yang kena kanker otak. Meninggalnya juga di Singapura. Loh… katanya mau jilatin memek gue. Koq malah jadi ngobrol?!”
“Hihihihiii… santai Yam…” sahutku sambil menepuk – nepuk memek Yama yang sudah berhadapan dengan mulutku.
Lalu kujilati memek berjembut tipis jarang itu dengan lahap. Bukan cuma menjilatinya, tapi jari tengahku pun “menyelidik” ke dalam celah memek Yama. Ternyata liang memeknya masih sempit, tidak seperti liang memek Gita tadi.
Maka dengan penuh semangat kujilati juga kelentitnya sambil sesekali kusedot -sedot.
Ini membuat Yama terkejang – kejang sambil meremas – remas rambutku. Apa lagi setelah jari tengahku digerak – gerakkan di dalam liang memek Yama… cewek cantim dan anggun itu pun mulai menggeliat – geliat diiringi desahan – desahan nafasnya. “Aaaaa… aaaaaahhhh… aaaaaaa… aaaaaaaahhhhh …
Tentu saja aku sengaja mengalirkan air liurku ke dalam liang memek Yama, yang dibantu oleh gerakan jari tengahku.
Dan setelah terasa liang memek Yama sudah cukup basah, aku pun bergerak sambil memegangi kontolku.
Kuletakkan moncong kontolku tepat di ambang mulut memek sahabatku. Lalu kudesakkan sekuatnya… uuuuggghhhh… sempit sekali. Padahal sudah kubuat banjir air liur.
Tapi setelah “berjuang mati – matian”, akhirnya berhasil juga aku membenamkan kontolku ke dalam liang memek Yama. “Liang memekmu sempit sekali Yam…”
“Ya iyalah,” sahut Yama, “sejak putus dari pacar SMA gue, baru sekaranglah gue merasakannya lagi. Ini juga lantaran lu yang siap ngentot gue. Kalau cowok lain gak bakalan gue mau.”
Lalu aku berbisik ke telinga Yama, “Liang memek si Gita koq udah gede?!”
“Dia juga sama seperti gue. Cuma salahnya, dia sering pakai dildo hitam yang gede banget. Sambil bayangin dientot sama negro kale. Gue udah ingetin, jangan pakai dildo yang gede gitu, nanti liang memeknya jadi gede juga. Tapi dia tetep aja pakai dildo hitam yang segede pergelangan tangan itu.”
Aku cuma tersenyum. Lalu mulai mengayun kontolku di dalam liang memek Yama yang sempit menjepit ini.
Terasa… sangat terasa bedanya memek Yama dengan memek Gita. Sehingga aku pun bisa menikmati semuanya dengan penuh gairah.
Bahkan ketika aku mulai gencar mengentotnya, aku pun meremas toket kanan Yama sambil menjilati leher jenjangnya disertai gigitan – gigitan kecil.
Yama pun mulai merintih – rintih histeris, Cheeeepiii… oooohhhhh… Cheppppiii… oooo… ooooooooohhhhhhhh… kontolmu luar biasa enaknya Cheeeep… ooooohhhhh… udah dua tahun gue berpuasa dari kontol. Sekalinya merasakan lagi… dapet belalai gajaaaah…”
Ketika sedang bersama Bu Shanti di ruang fitnessnya, pikiranku masih melayang – layang. Aku memang mengagumi rumah dosenku ini yang serba lengkap. Ada fitness room di bagian belakangnya, ada pula kolam renangnya. Sehingga aku mulai punya cita – cita, kalau aku sudah punya rumah sendiri, aku ingin rumah itu lengkap seperti rumah dosenku ini.
Fitness room ini benar – benar private fitness room. Karena menurut pengakuan Bu Shanti sendiri, pintunya selalu dikunci kalau dia sedang latihan sambil telanjang, seperti sekarang ini. Bahkan kolam renangnya pun tertutup, tak bisa dilihat dari luar. Sehingga Bu Shanti bisa berenang dalam keadaan telanjang bulat, tanpa takut ada orang yang melihatnya.
Menurut pengakuan Bu Shanti sendiri, ia suka melatih kebugaran fisiknya karena ikut – ikutan pada ibunya. Dia bilang, “Mamaku kelihatan bugar terus, meski usianya sudah kepala empat. Tubuhnya tidak gemuk, tidak buncit dan sebagainya. Sehingga kelihatan seperti baru berumur tigapuluhan. Ya karena rajinnya latihan kebugaran seperti yang kulakukan sekarang ini.
Aku cuma mengangguk – angguk sambil tersenyum. Sementara pikiranku masih menerawang kejadian yang kualami di Jakarta itu.
Tentu saja aku masih ingat semuanya itu, karena peristiwanya baru terjadi beberapa hari yanjg lalu. Aku masih ingat betapa menggelepar – geleparnya Yama di dalam amukan kontolku yang seolah pompa manual, gencar bermaju mundur di dalam liang memeknya yang sempit menjepit itu.
Kebetulan fisikku sedang fits. Padahal waktu bersetubuh dengan Gita di dalam mobil tadi, aku belum ngecrot. Tapi pada waktu sedang menyetubuhi Yama ini, aku bisa mengontrol diriku sendiri, agar jangan cepat ejakulasi.
Akibatnya, ketika Yama sudah dua kali orgasme, aku masih saja tabah mengentotnya. Ketika Yama kelihatan mau orgasme lagi untuk ketiga kalinya, barulah aku konsentrasi agar bisa ejakulasi pas Yama sedang orgasme lagi.
Dan aku berhasil. Ketika Yama sedang terkejang – kejang, sementara liang memeknya terasa berkedut – kedut kencang, kontolku pun sedang mengejut – ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku. Croootttttt… crooottttt… crooootttt… crottttcrottt… crooootttt…
Lalu kami sama – sama terkapar dalam keadaan sama – sama telanjang bulat.
Aku ketiduran saking letihnya.
Dan terbangun ketika merasakan sesuatu yang bergerak – gerak, mengelus – elus kontolku. Ketika kubuka mataku, ternyata Gita sedang menyelomoti kontolku…!
Kubiarkan saja Gita mengoralku. Bahkan ada perasaan kasihan juga karena dia belum bisa menikmati persetubuhan yang perfect denganku.
Begitu trampilnya Gita mengoral kontolku. Mungkin karena dia sering menyelomoti dildo hitam segede pergelangan tangan seperti yang diceritakan oleh Yama tadi.
Setelah kontolku benar – benar ngaceng, Gita merebahkan diri, celentang di samping Yama yang masih terkapar, telungkup seperti tak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya.
“Ayo entot lagi. Yang di mobil tadi sih hitung – hitung foreplay aja,” kata Gita sambil mengusap – usap memeknya yang bersih dari jembut itu.
“Foreplay tapi orgasme ya,” sahutku sambil merayap ke atas perut Gita yang sudah telanjang bulat. Sambil memegang leher kontolku yang moncongnya sudah kuletakkan di mulut memek Gita.
Gita tidak menanggapi, karena aku mengakhiri ucapanku dengan mendorong kontolku sekuatnya. Dan… blessss… kontolku membenam lebih dari separohnya. Sehingga aku bisa mulai mengentotnya.
Biar bagaimana Gita adalah sahabat dekatku. Karena itu aku ingin memberikan kepuasan padanya, seperti yang telah kuberikan kepada Yama tadi.
Maka ketika aku mulai mengentotnya, kupagut bibirnya ke dalam lumatanku, yang Gita sambut dengan lumatan pula. Cukup lama kami salin g luimat, sementara kontolku sudah mulai gencar bermaju – mundur di dalam liang memek Gita.
Di saat lain mulutku mulai nyungsep di leher Gita, untuk menjilatinya disertai dengan gigitan – gigitan kecil, sementara tangan kananku mulai meremas – remas toket kirinya yang… jujur aja kalau soal toket sih punya Gita lebih kencang daripada toket Yama.
Gita pun mulai merintih – rintih histeris. “Aaaaaaah… Cheeepiiii… kontolmu memang luar biasa Cheeeep… terasa sekali menggesek – gesek liang memekku…”
“Enak mana sama dildo?” tanyaku sambil melambatkan gerakan kontolku sejenak.
“Lu tau gue suka pake dildo?”
“Tau.”
“Alaa… paling juga tau dari si Yama. Memang gue sudah dua tahun suka mainin dildo. Biar gak mikirin cowok mulu. Ayo cepetin lagi ngentotnya, jangan pelan gini.”
Aku pun mempercepat lagi ayunan kontolku, sambil menjilati leher Gita sekaligus meremas – remas toket kanannya.
“Aaaaakhhhh… aaaaaaa… aaaaah… iyaaaaa… entot terus yang cepet kayak gini Chep… iyaaaa… iyaaaaa… entot teruuuuusssss… entooot… entoooooooottttttttt… iyaaaa… iyaaaa… iyaaaa… enak Cheeeep… entot teruuuussss… entooooottttt… entoooottttt… ooooooh Cheppiiiii enaaaaak…
Suara Gitga cukup bising, sehingga pada suatu saat kulihat Yama terbangun. Memperhatikan kami yang sedang bersetubuh. Lalu Yama duduk sambil tersenyum – senyum. Bahkan mendekatkan memeknya ke pipiku dari samping kiri Gita yang sedang meraung – raung histeris.
Tanpa basa – basi kuciumi memek Yama. Bahkan lalu jari tangan kananku diselinapkan ke dalam liang memeknya. Lalu digerakkan seperti kontol sedang mengentot.
Tiba – tiba Gita berkelojotan sambil berdesis, “Ssssshhhhhh… gue mau orga Cheeeeep…!”
Aku pun mempercepat entotanku. Dan… manakala Gita sedang terkejang – kejang, kutancapkan kontolku sedalam mungkin, tanpa menggerakkannya lagi.
“Anjriiiiiitttttt… nikmat sekaliiiiiiiii… !” pekik Gita dengan mata terpejam. Lalu terasa liang memeknya berkedat – kedut kencang, pertanda sedang mengalami orgasme.
Setelah Gita terkulai lemas, cepat kucabut kontolku dari liang memeknya. Lalu pindah ke atas perut Yama yang tampak sudah bergairah lagi.
Dengan mudah aku menjebloskan kontolku ke dalam liang memek Yama, karena liang memeknya masih basah, bekas orgasme tadi, ditambah lagi dengan permainan jariku ketika sedang bersetubuh dengan Gita tadi.
Yama menyambutku dengan dekapan eratnya di pinggangku. Dengan mata kadang terpejam, kadang terbuka. Di mataku, wajah Yama itu makin cantik saja. Sayang masa lalunya tidak sebaik masa lalu Bu Shanti. Tapi biar bagaimana pun juga memek Yama ini enak sekali. Aku harus menikmatinya sepuas mungkin.
Terawanganku tentang segala yang pernah terjadi dengan kedua sahabatku itu langsung buyar ketika handphone Bu Shanti terdengar berdering – dering.
Dalam keadaan masih telanjang bulat Bu Shanti memburu handphonenya yang tergeletak di meja kecil sudut fitness room.
“Sttt… dari Mama… !” Bu Shanti menyimpan telunjuk di depan bibirnya. Kemudian membuka percakapan dengan mamanya yang aku tidak tahu. Hanya terdengar Bu Shanti berkata saja… iya Mama… iya Mama Sayang… iyaaaa… iyaaaaa… daag…!
Hanya sebentar Bu Shanti berbicara di dekat handphonenya. Dan setelah hubungan seluler dengan ibunya ditutup, Bu Shanti mengambil kimononya yang tergantung di kapstok, lalu mengenakannya sambil berkata, “Mamaku sedang dalam perjalanan dari Jakarta menuju ke sini.”
“Haaa?! Panjang umur beliau ya,” ucapku dalam kaget, “baru tadi diomongin, sekarang sudah mau ke sini. Terus aku harus gimana? Apakah aku harus standby di sini atau harus pulang aja?”
“Sayang,” sahut memegang sepasang pipiku, “maaf ya, aku bukan ngusir. Tapi sebaiknya kamu pulang dulu, biar jangan banyak pertanyaan dari mamaku nanti.”
“Oke, aku mengerti Mam.”
“Tapi besok sore, sebaiknya ke sini lagi. Biar bisa kenalan sama mamaku. Mudah – mudahan aja suasananya sudah menjadi nyaman. Aku memang mau berterus terang sudah punya calon suami, yaitu kamu Pap. Kamu gak keberatan kalau kusebutkan sebagai calon suami?”
“Iya, silakan aja. Pokoknya Mamie atur aja deh mana yang tebaik bagi Mami.”
“Nanti kita bicara by phone aja ya. Sekarang aku harusa siap – siap dulu menyambut kedatangan Mama yang sudah dekat. Katanya sih sejam lagi juga pasti tiba di sini.”
“Oke. Kalau gitu aku mau pulang aja sekarang ya,” ucapku yang disusul dengan kecupan hangat di bibir Bu Shanti.
“Take care honey,” ucap Bu Shanti sambil menepuk bahuku.
“You too,” sahutku sambil melangkah ke garasi, untuk mengeluarkan mobilku.
Diiringi kissbye dan lambaian tangan Bu Shanti, mobilku kujalankan ke luar pekarangan rumah dosenku. Setelah menginjak jalan aspal, kubunyikan klakson, sebagai tanda pamitan. Bu Shanti pun melambaikan tangannya lagi yang kubalas dengan lambaian tangan dsan kissbye ku.
Tak lama kemudian mobilku sudah berlari di jalan raya menuju pulang ke rumah.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku memikirkan apa yang akan terjadi dengan Bu Shanti kelak? Apakah ibunya datang untuk memaksa Bu Shanti agar mau dinikahkan dengan lelaki tua itu atau bagaimana?
Entahlah. Yang jelas aku siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi kelak. Bahkan seandainya aku disuruh menikah dengan Bu Shanti pun, akan kujalani saja. Meski usiaku baru 18 tahun, kalau memang terpaksa harusa menikah, ya menikah saja. Itu sebagai wujud tanggung jawabku, karena aku sudah merenggut keperawanan Bu Shanti (meski pun hal itu atas keinginan Bu Shanti sendiri sebagai protesnya atas rencana perkawinannya dengan lelaki tua itu).
Tapi kalau Bu Shanti tetap harus menikah juga dengan lelaki tua itu, aku tak bisa merintanginya juga. Yah, apa yang akan terjadi, terjadilah.
Setibanya di rumah, kumasukkan mobilku ke garasi. Tampak mobil Papa pun ada di garasi. Membuatku ingat bahwa hari itu adalah haru Sabtu. Papa tentu tidak masuk kantor di hari Sabtu dan Minggu.
Aku sendiri tadinya mau pulang besok, hari Minggu. Tapi karena mamanya Bu Shanti mendadak mau datang, terpaksa aku “mengungsi”. Supaya tidak banyak pertanyaan, kata Bu Shanti.
Mamie menyambutku di dalam garasi. Dengan ciuman mesranya di bibirku, disusul dengan pertanyaannya, “Tadi malem nginep di mana?”
“Di rumah dosen Mam. Tadinya malah harus dua malam nginepnya, karena banyak tugas. Tapi bisa dipersingkat, sehingga bisa pulang lebih cepat,” sahutku berbaur dengan kebohongan.
“Papa terbang ke Medan lagi tuh nanti malam. Barusan dijemput oleh mobil perusahaan yang akan membawanya ke bandara,” kata Mamie.
“Iya,” sahutku sambil tersenyum, “Pantesan Mamie udah senyum – senyum kayak gitu. Kangen ya sama aku?”
“Memang kangen. Tapi ada sesuatu yang lebih penting Sayang.”
“Apa tuh yang lebih penting?”
“Mamie udah dinyatakan hamil, tapi baru empat minggu.”
“Ohya?! “seruku girang. Laluj memeluk dan mengangkat tubuh Mamie, disusul dengan ciuman bertubi – tubi di sepasang pipinya dan di bibirnya.
“Berarti sekitar sembilan bulan lagi kita akan punya anak Sayang.”
“Iya Mam. Aku bahagia sekali mendengarnya,” ucapku sambil menurunkan Mamie lagi. Dan mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah.
Mama langsung membawaku ke dalam kamarnya.
Mamie duduk sambil menyelonjorkan kakinya di atas bed.
“Biasanya orang yang baru hamil suka ngidam dan punya keinginan yang aneh – aneh. Mamie mau apa?” tanyaku sambil duduk di pinggiran bed, sambil mengelus paha Mamie yang terbuka lewat belahan kimononya.
“Belum kepengen apa – apa. Cuma kangen sama kontolmu aja…” sahut Mamie sambil tersenyum dan memegang pergelangan tanganku.
Lalu kami bergumul dengan mesranya.
Memang terasa sekali Mamie sudah kangen padaku, sehingga ketika kontolku dibenamkan ke dalam liang memeknya, Mamie langsung memeluk leherku. Menciumi bibirku dan berkata, “Mamie memang sudah cinta berat sama kamu sayang.”
Ayunan batang kemaluanku di dalam liang memek Mamie seolah sudah sama – sama hafal. Mamie sudah hafal tentang “rasa” kontolku, sementara aku pun sudah hafal pada rasa memek ibu tiriku cantik dan baik hati padaku itu.
Aku pun sudah hafal pada apa yang selalu Mamie inginkan pada waktu sedang kusetubuhi begini. Dia paling sukla kalau dijilati leher dan telinganya. Itu biasa kulakukan sambil meremas dan memainkan pentil toket kanannya.
Maka berkumandanglah desahan – desahan erotis Mamie yang berbaur dengan rintihan dan rengekan histerisnya.
“Oooo… ooooh Chepi… Chepiiii… kontolmu memang luar biasa Cheeeep… mamie sudah tergila – gila oleh entotanmu… enak sekali Cheeepiii…”
Semuanya terjadi dengan penuh nikmat. Karena biar bagaimana pun Mamie adalah sosok yang penuh surprise bagiku. Sosok yang kugilai sejak aku masih di SMP dan akhirnya kudapatkan setelah aku menjadi mahasiswa.
Diam – diam aku mulai menghitung sosok – sosok yang pernah kugauli selama ini. Sudah ada 6 orang. Mamie, Mama, Bi Caca, Bu Shanti, Gita dan Yama.
Cukup banyak. Tapi kalau dibandingkan dengan pengakuan teman karibku yang bernama Hendra itu, aku masih kalah jauh. Hendra hanya lebih tua 2 tahun dariku. Tapi pengalamannya sudah segudang. Dia mengaku sudah menggauli 23 orang perempuan. Tentu saja semuanya perempuan baik – baik, maksudnya bukan PSK, amatir dan sebangsanya, karena kami sama – sama tak mau menyentuh perempuan nakal.
Setelah aku dan Mamie sama – sama terkapar, aku masih sempat bertanya poadanya, “Bagaimana sikap Papa setelah tau Mamie mulai hamil?”
“Senang sekali,” sahut Mamie, “terutama karena mamie dihamili oleh anak kandungnya sendiri. Darah dagingnya sendiri.”
“Nggak keliatan cemburu sedikit pun?” tanyaku.
“Kalau orang luar yang menghamili mamie, tentu Papa bakal cemburu. Tapi karena yang menghamili mamie anak kesayangannya, Papa malah tampak bahagia.”
Tiba – tiba handphoneku berdenting. Itu adalah WA dari Bu Shanti, karena bunyi notificationnya kubedakan dengan notification dari yang lain. Tapi aku tak mau langsung membukanya, takut Mamie menanyakan WA dari siapa dan aku susah membohonginya.
Setelah bersih – bersih dan berada di dalam kamarku, barulah kubuka WA dari Bu Shanti itu. Isinya :
-Sayang, ternyata mamaku sudah setuju kalau dirimu dijadikan calon suamiku. Tapi dia ingin bertemu dulu denganmu. Besok kan hari Minggu. Bisa kan datang ke rumahku pagi – pagi? Tapi ingat, jangan ngomong kalau kita pernah berhubungan sex ya –
Kujawab singkat : -Siap Mam –
Setelah meletakkan handphoneku di atas meja tulis, aku merebahkan diri sambil menerawang jauh ke depan. Aku memang sudah menyiapkan mentalku, jika pada suatu saat aku harus menikah juga dengan Bu Shanti, aku akan menyetujuinya. Tapi setahuku, Bu Shanti akan mengambil program S3 dulu, baru mau menikah.
Yah… pokoknya aku akan mengikuti arus air saja, mengalir dari hulu ke muara. Gak rugi juga aku menikah dengan perempuan yang 8 tahun lebih tua dariku. Terlebih lagi kalau mengingat bahwa Bu Shanti takkan menyusahkanku, karena dia sudah punya pekerjaan terhormat, sebagai dosen di kampusku. Sudah punya rumah yang mentereng pula.
Esok paginya, setelah sarapan pagi aku pun mengeluarkan mobilku, menuju rumah Bu Shanti yang terletak di luar kota itu.
Ketika mobilku sudah memasuki pekarangan rumah Bu Shanti, dosenku yang cantik itu sudah berdiri di ambang pintu depan, dengan senyum manis menghiasi bibir sensualnya.
“Suasananya sudah benar – benar clear?” tanyaku setengah berbisik.
“Yang jelas Mama sudah menyerahkan kep;utusannya padaku sendiri. Gak maksa harus menikah dengan lelaki tua itu lagi,” sahut Bu Shanti, “Ayo masuk.”
Aku pun melangkah masuk ke dalam rumah dosenku, lalu duduk di sofa ruang tamu.
Bu Shanti masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia muncul lagi, lalu duduk di sampingku sambil menyerahkan sepucuk surat dengan amplop berlogo kampusku.
“Apa ini?” tanyaku heran.
“Surat tugas dari rektor,” sahutnya, “Besok aku harus terbang ke Singapore, untuk mengikuti seminar. Coba baca aja sendiri, biar jelas.”
Lalu kukeluarkan surat dari dalam amplop berlogo kampus itu. Dan kubaca isinya.
“Cuma berdua dengan Bu Nia?”
“Iya. Seperti yang tertera di surfat itu, aku akan berada di Singapore selama seminggu. Mau ngawal aku ke sana?”
“Aku belum punya paspor. Lagian kalau kuliahku ditinggalkan gimana?”
“Ohya… begini aja. Supaya hati Mama benar – benar tenang dan nyhaman, selama aku di Singapore, Papie tidur di sini aja ya.”
“Tidur di sini?”
“Iya. Yang penting malam aja. Supaya ada cowok yang memberikan rasa aman kepada mamaku. Siang dan sorenya sih mau seharian di luar juga gak apa – apa. Jadik kuliahnya berangkat dari rumah ini. Bisa kan Sayang?”
“Bisa,” sahutku, “tapi aku harus ngomong dulu sama orang tua.”
“Tentu aja. Semingguan di sini tentu bikin cemas ortu kalau gak minta ijin dulu. Besok pagi saja datangnya ke sini. Aku mau berangkat siang kok. Terbangnya dari Jakarta jam enam sore.”
“Mau dianterin ke Jakarta?”
“Gak usah. Kan pakai mobil kampus. Yang penting jagain Mama dan bikin dia kerasan di sini. Kalau gak kerasan entar pergi begitu saja. Lalu laporan sama Papa yang nggak enak.”
Belum sempat aku menanggapi ucapan Bu Shanti, muncul seorang wanita bule berperawakan tinggi tegap. Hmm… itu pasti mamanya Bu Shanti. Benar p- benar bule ibunya itu. Dan seperti kata Bu Shanti kemaren, ibunya itu tampak seperti wanita tigapuluh tahunan, padahal usianya sudah kepala empat.
“Mama… ini kenalin sama pacarku yang kuceritakan itu,” kata Bu Shanti sambil berdiri. Aku pun ikut berdiri. Membungkuk dan menjabat tangan wanita yang tak kalah cantik dari anaknya itu, dengan sikap sopan: “Chepi…” ucapku mengenalkan namaku.
“Aleta, “mamanya Bu Shanti mengenalkan namanya juga dengan senyum di bibir, tapi dengan mata seperti sedang menyelidik, “Pacarmu masih sangat muda Shanti, “ia menoleh ke arah Bu Shanti.
“Yang penting jiwanya sudah dewasa Mam,” sahut Bu Shanti.
“Tapi dia kan masih kuliah.”
“Gak masalah Mam. Orang sudah punya cucu juga ada yang baru masuk kuliah.”
“Terus rencana kalian mau menikah kapan?”
“Kalau Chepi sih siap menikah kapan aja. Masalahnya justru ada di aku,” kata Bu Shanti, “aku mau mengambil es-tiga dulu. Setelah dapet es-tiga, aku siap kawin Mam.”
“Iya, iya, iyaaa… mama sih setuju saja. Mudah – mudahan papamu juga bisa menyetujuinya. Terus rencanamu besok mau berangkat jam berapa?” tanya mamanya Bu Shanti yang aku belum tau harus menyebut apa. Nyebut tante atau ibu atau apa?
“Dari sini berangkatnya siang. Terbangnya dari Jakarta jam setengah tujuh malam.”
“Lalu mama di sini sama siapa selama kamu di Singapore? Masa cuma sama bediende? “(bediende = pembokat/pelayan)
“Ohya… selama aku berada di Singapore, Chepi mau tidur di sini Mam.”
“Betul begitu Chep?” mamanya Bu Shanti menoleh padaku.
“Betul Tante,” sahutku.
“Panggil mama aja deh. Kamu kan calon menantuku,” kata mamanya Bu Shanti. Maka untuk selanjutnya aku akan memanggilnya Mama atau lengkapnya Mama Aleta (supaya tidak tertukar dengan mama kandungku).
Lalu kami ngobrol ke barat ke timur. Tapi pembicaraan diborong oleh Bu Shanti dan mamanya, sementara aku leb ih banyak jadi pendengar yang baik saja.
Esok paginya aku membekal pakaian agak banyak di dalam tasku. Dan pamitan pada Mamie. Bahwa aku disuruh nungguin rumah dosen yang mau seminar di Singapore. Aku juga bilang bahwa dosen yang satu itu sangat menentukan bagiku di kampus. Karena itu aku ingin berbaik – baik dengannya.
Mamie cuma mengangguk – angguk dan mengiyakan. Tanpa bertanya apakah dosen itu lelaki atau perempuan.
Lalu aku berangkat ke rumah Bu Shanti.
Setibanya di rumah Bu Shanti, aku ikut membantunya untuk packing barang – barang yang mau dibawa ke Singapore. Dan secara bisik – bisik Bu Shanti bilang harus begini harus begitu dalam menghadapi wanita bule yang ibu kandungnya itu.
“Kalau dia minta diantar ke mall, antarin aja ya, please,” kata Bu Shanti.
“Iya, santai aja Mam. Kalau minta diantar ke daerah wisata gimana?”
“Ya kalau Papie gak keberatan, silakan anterin aja. Yang penting hatinya merasa nyaman dan kerasan tinggal di sini. Tapi ini tidak berarti kalau aku mendikte dan main perintah sama kamu Sayang.”
“Ya nggaklah. Beliau kan calon mertuaku Beib.”
Bu Shanti tersenyum. Mengecup bibirku lalu berkata, “Sebenarnya aku ingin bercinta lagi denganmu. Tapi suasana belum mengijinkan. Nanti aja sepulang dari Singapore kita habis – habisan ya.”
“Siap Bu Dosen cantik rupawan…”
Bu Shanti tersenyum manis lagi.
Siangnya, sebuah minibus datang menjemput Bu Shanti. Aku hanya bisa mengantarkannya ke pintu pagar bersama Mama Aleta, sambil melambaikan tangan.
Kebetulan hari itu tidak ada kuliah. Sehingga aku bisa berkata kepada Mama Aleta, “Kalau Mama mau ke mall atau ke mana aja, aku siap mengantarkan Mama.”
Mama Aleta malah mengusap – usap rambutku di ruang tamu sambil berkata, “Kamu baik dan sopan. Tampan pula. Pantaslah Shanti jatuh cinta padamu. Ohya, kamuj kuliah jam berapa? Ini sudah jam satu siang Chep.”
“Kebetulan hari ini gak ada kuliah Mam. Besok juga kuliahnya sore,” sahutku.
“Mama sih udah kangen sama pemandian air panas mineral,” kata Mama Aleta sambil menyhebutkan nama pemandian air panas itu.
“Mama mau ke sana? Ayo kuantarkan sekarang. Mumpung aku gak ada kuliah.”
“Beneran nih? Nggak ngerepotin?”
“Nggak Mam. Jangankan ke pemandian air panas. Mama minta diantarkan ke Jakarta juga akan kuantarkan. Asalkan besok sore aku masih bisa kuliah.”
“Ya udah… kita ke pemandian air panas aja sekarang. Tapi harus bawa handuk dan sabun ya?”
“Iya, sebaiknya begitu Mam.”
Beberapa saat kemudian Mama Aleta sudah duduk di samping kiriku, dalam sedan hitam yang kukemudikan menuju ke luar kota.
“Enaknya sih ke pemandian air panas itu malam – malam,” kata Mama Aleta ketika mobilku sudah meluncur menuju ke daerah pemandian air panas itu.
“Iya Mam. Kan pemandian air panas itu buka duapuluhempat jam.”
“Betul. Lain kali kalau mau ke sana lagi, harusnya malem – malem. Ohya, Chep… hubunganmu sudah sejauh mana dengan Shanti?”
“Sangat dekat Mam.”
“Siapa yang duluan jatuh cinta? Kamu apa Shanti?”
“Aku Mam. Sudah berbulan – bulan kupendam perasaan ini. Tapi akhirnya diucapkan juga. Kebetulan dia juga jatuh hati padaku. Jadi begitulah.”
“Kamu sudah pernah berhubungan seks sama dia?”
“Belum Mam,” sahutku berbohong, seperti yang dianjurkan oleh Bu Shanti.
“Masa?!”
“Betul Mam.”
“Perlu mama ajarin supaya bisa memuaskan Shanti kelak? Hihihiii…”
“Haaa?! Diajarin gimana Mam?”
“Ah masa kamu gak ngerti?! Mmm… di matamu, mama sama Shanti cantikan mana?”
Aku bingung menjawabnya. Kok ada ya seorang ibu ingin dibandingkan kecantikan dengan anaknya. Tapi aku berusaha menjawab sejujur mungkin, “Mama sama Shanti sama cantiknya. Cuma Mama punya nilai plus di mataku.”
“Apa itu nilai plusnya?”
“Mama lebih itu… mmm… berat ngomonginnya.”
“Ah cuma ditanya segitu aja pakai berat segala. Mama jadi penasaran nih. Apa nilai plus mama Chep?”
“Mama… mmm… Mama lebih seksi.”
“Ohya?! Terima kasih ya,” ucap Mama Aleta yang dilanjutkan dengan kecupan hangatnya di pipi kiriku, membuatku terkejut. Lalu pikiranku jadi ngelantur ke mana – mana.
Lebih dari itu, Mama pun menggenggam tangan kiriku sambil berkata, “Nanti sepulangnya dari pemandian air panas, mama ajarin kamu ya…”
“Mau ngajarin aku dalam soal apa Mam?” tanyaku ingin mendapat kejelasan.
“Dalam soal seks. Kamu mau kan diajarin masalah seks?”
“Teorinya atau mmm… atau prakteknya Mam?”
“Dua – duanya.”
“Wah… mungkin Mama mau menjebakku. Ingin menguji kesetiaanku pada Shanti ya Mam?”
“Mama tidak selicik itu Chep. Bahkan kalau kamu diajarin prakteknya nanti, jangan sampai Shanti tau nanti.”
Pikiranku semakin tak menentu. Seandainya Mama Aleta punya niat yang sebenarnya padaku, tentu saja aku takkan menolaknya.
“Apa motivasi Mama sehingga mau mengajariku dalam masalah seks?” tanyaku.
“Supaya kamu trampil nantinya. Dan jujur saja… mama juga membutuhkan laki – laki yang masih segar seperti kamu.”
“Jadi nanti kita harus take and give ya mam.”
“Ya… take and give di dalam bahasa Belandanya… genomen en gegeven.”
Tak lama kemudian mobilku sudah kuhentikan di areal parkir pemandian air panas mineral yang terkenal ini. Peralatan mandi Mama Aleta dan peralatan mandiku dikeluarkan dan kujinjing menuju loket penjualan tiket. Aku mendahului Mama Aleta membayar tiket masuk, karena jangan sampai beliau yang membayar.
Setelah berada di dekat kolam renang air panas, aku bertanya pada Mama Aleta, “Mau mandi di kolam itu atau mau di kamar mandi?”
Mama Aleta menjawabnya dengan bisikan, “Kalau di kolam kan harus poakai bajku renang. Mama gak bawa baju renang. Di kamar mandi aja.”
“Mau pakai dua kamar apa satu kamar Mam?”
“Satu aja. Ngapain dua – dua?”
Lalu kupesan dan kubayar satu kamar mandi.
Beberapa saat kemudian aku dan Mama Aleta sudah berada di dalam kamar mandi yang tertutup dan terkunci. Ada bak mandinya yang hampir menghabiskan lantai kamar mandi ini saking besarnya.
Air panas mineralnya sedang dikucurkan dengan derasnya, sehingga uap pun mengepul dari permukaan air panas yang berasal dari gunung berapi itu.
Mama Aleta seperti tak sabar lagi. Beliau melepaskan blouse putih dan celana panjang corduroy biru tuanya. Disusul dengan pelepasan beha dan celana dalam serba putihnya. Lalu Mama Aleta turun ke bak mandi yan g lebih tepat disebut kolam kecil itu. Padahal airnya baru sebatas lutut.
Sementara aku cuma terlongong menyaksikan betapa indahnya tubuh wanita Belanda itu. Biasanya perempuan yang sudah berumur kepala empat, perutnya suka buncit. Tapi perut Mama Aleta kecil, tidak kelihatan buncit sedikit pun.
Maulidya Rina
Tak dapat kupungkiri bahwa sejak dalam perjalanan menuju pemandian air panas ini kontolku ngaceng terus. Terlebih lagi setelah menyaksikan Mama Aleta telanjang bulat dengan menyiarkan aura seksual yang begitu dahsyatnya. Semakin ngaceng jugalah batang kejantananku ini. Sehingga aku jadi malu melepaskan pakaianku.
Tapi Mama Aleta menegurku. “Ayo lepasin pakaianmu dan turun ke sini. Mau nonton mama telanjang doang?”
Akhirnya kulepaskan busanaku sehelai demi sehelai, sampai telanjang bulat seperti Mama Aleta. Lalu turun ke bak air panas yang airnya sudah setinggi paha Mama Aleta.
Mama Aleta menyambutku dengan memegang kontolku yang sudah ngaceng berat ini. “O my God…! Penismu panjang gede gini Chep…! Sudah ngaceng pula. Udah kepengen dientotin ke sini ya?” ucap Mama sambil menepuk – nepuk memeknya yang bersih dari bulu.
“Hehehe… kalau dikasih sie aku takkan menolak Mam.”
“Nanti aja di rumah ya. Jangan di sini. Kan kita hanya boleh seperempat jam berada di dalam kamar mandi ini. Kalau kelamaan bisa pada pingsan nanti. Sekarang sabunin mama dong. Mau?”
“Siap Mam,” sahutku sambil menyambar botol sabun cair Mama Aleta dari bibir bak mandi.
Mama Aleta pun membelakangiku sambil berkata, “Punggungnya dulu Chep.”
Permintaannya. Dan mulai menyabuni punggungnya yang terasa padat kencang. Bokongnya pun terasa padat kencang sekali.
Aku pun teringat ucapan Bu Shanti, bahwa mamanya rajin melakukan kebugaran di tempat fitness. Dan Bu Shanti jadi ikut – ikutan menyukai latihan kebugaran.
Sekarang aku sudah membuktikannya. Betapa padat dan kencangnya tubuh mamanya Bu Shanti yang bule asli ini.
Ketika aku menyabuni bagian depannya, kontolku semakin ngaceng. Karena aku mulai dengan menyabuni sepasang payudaranya yang juga hanya sedikit turun tapi belum kendor.
Yang mengagumkan adalah bahwa memek Mama Aleta tidak berbulu setitik pun. Mungkin dia melakukan waxing atau mungkin juga mengikuti mode zaman sekarang, membersihkan jembut dan bulu halus dengan sinar laser. Padahal anaknya (Bu Shanti) ada jembutnya, meski digunting pendek – pendek.
Dan ketika tiba giliran memek Mama Aleta yang mulai kusabuni, tanganku malah kerasan di bagian yang paling indah itu. Bahkan sesekali kuselinapkan jemariku yang bersabun ini ke dalam celah memek Mama Aleta, sehingga Mama Aleta merengkuh leherku, kemudian menciumi bibirku tanpa berkata – kata sepatah kata pun.
Terlebih setelah Mama Aleta menangkap kontolku, lalu mencolek – colekkan ke celah memeknya yang sudah licin oleh sabun cair. Ngocoks.com
Tentu saja aku mulai edan eling dibuatnya. Maka tanpa dapat kontrol diri lagi, ketikka terasa kepala penisku sudah agak masuk ke belahan memek Mama Aleta, kudesakka kontolku… blessssssss… melesak masuk ke dalam liang memek Mama Aleta.
“Kok dimasukin? Gak kuat nahan nafsu lagi ya?” ucap Mama Aleta sambil menyandar ke dinding dan mendekap pinggangku.
“Iya Mam… maafkan aku ya… semua ini terlalu erotis buatku…”
Lalu Mama Aleta menepuk – nepuk pantatku sambil berkata, “Ya udah entotin aja. Tapi jangan terlalu lama ya. Kalau kurang kenyang, nanti kita lanjutkan di rumah.”
“Iii… iya Mam… “kuayun kontol ngacengku sambil memeluk leher Mama Aleta disusul dengan pagutannya di bibirku, yang kusambut dengan lumatan penuh gairah.
Mama Aleta terasa sangat bergairah menyambut entotanku. Sementara aku sendiri merasakan sesuatu yang luar biasa. Bahwa liang memek Mama Aleta begini enaknya, empuk tapi legit. Seperti mengisap – isap moncong kontolku.
Meski sambil berdiri, ternyata ngentot Mama Aleta sangat enak. Karena tinggi badannya nyaris sama dengan tinggi badanku. Padahal tinggi badanku di atas rata – rata bangsaku.
Karena itu aku tak perlu membungkuk waktu mengentot Mama Aleta ini. Bahkan aku bisa menciumi dan menjilati leher mamanya Bu Shanti ini.
Mama Aleta pun berbisik, “Penismu luar biasa enaknya Chep… ooooohhhh… ini benar – benar fantastis… ooooh… bisa cepat ejakulasi nggak?”
“Masih lama Mam…”
“Kalau gitu cabut dulu deh penismu. Nanti kita lanjutkan di rumah aja yaaa…”
Aku sependapat dengan keinginan Mama Aleta. Karena aku juga merasa takut – takut melakukan semua ini, mengingat kami berada di dalam kamar mandi ini sudah lebih dari seperempat jam. Kalau terlalu lama bisa pingsan karena menghirup uap belerang. Karena itu kucabut kontolku dari liang memek Mama Aleta.
“Mau dibilas pakai air dingin juga bisa Mam. Ada tempatnya di sini,” kataku.
“Nanti aja deh di rumah. Abis berendam dengan air panas lalu dibilas dengan air dingin kan gak enak,” sahut Mama Aleta sambil menghanduki tubuhnya di luar bak mandi.
Setelah kami sama – sama berpakaian, Mama Aleta mengusap – usap rambutku yang masih basah, sambil berkata, “Sabar ya Chep. Nanti di rumah akan mama kasih sepuasnya. Mau sampai lima enam kali juga mama kasih nanti.”
“Iya Mam,” sahutku sambil tersenyum.
Beberapa saat kemudian aku sudah melarikan mobilku menuju daerah rumah Bu Shanti kembali.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Mama Aleta sambil memegang tangan kiriku dan meremasnya, “Kan walau pun cuma sebentar sudah merasakan vagina mama.”
“Rasanya seperti bermimpi Mam. Karena tak menduga bakal merasakan fantastisnya memek Mama,” sahutku.
“Sama, mama juga seperti bermimpi, setelah belasan tahun puasa dari seks, tiba – tiba mendapatkan anak muda yang tampan dan menggemaskan ini,” kata Mama Aleta sambil menggerayangi celana jeansku dan berhasil menggenggam kontol di balik celana dalamku.
“Belasan tahun puasa dari seks?”
“Iya,” sahut Mama Aleta sambil mengelus – eslus moncong kontolku yang masih ngaceng karena belum ejakulasi ini, “Papanya Shanti kan sudah belasan tahun impoten.”
“Ohya?!”
“Memang begitulah keadaannya. Gara – gara terjatuh dari motor, bisa jadi begitu. Tulang ekornya retak dan ada tulang punggungnya yang patah. Lalu dirawat di rumah sakit, karena mendadak lumpuh. Setelah dirawat sebulan di rumah sakit, dia bisa jalan lagi. Tapi kejantanannya mengalami disfungsi. Sejak saat itulah dia impoten, sampai sekarang.
“Sudah berusaha ditolong oleh dokter, khusus untuk menyembuhkan impotensinya itu Mam?”
“Sudah ke Filipina segala untuk berusaha menyembuhkannya. Tapi para dokter di sana pun tidak bisa memulihkannya lagi.”
Bersambung…