Setibanya di rumah Bu Shanti, Mama Aleta tidak lagi membahas masalah suaminya yang mengalami impotensi itu. Mama Aleta ingin mandi dulu untuk membersihkan badannya dari air mineral mengandung mineral tadi. Maka ia masuk ke dalam kamarnya yang berdampingan dengan kamar Bu Shanti. Sementara aku sendiri masuk ke dalam kamar Bu Shanti seperti yang sudah diuatur oleh pemilik kamar itu tadi siang.
Setelah mandi kukenakan baju kaus putih dan celana pendek abu – abu, tanpa mengenakan celana dalam. Karena aku yakin sebentar lagi aku sama sekali tidak membutuhkan celana dalam…!
Lalu aku duduk di ruang keluarga. Tapi baru sebentar aku duduk di sofa ruang keluarga, pintu kamar Mama Aleta terbuka. Mama Aleta langsung menggapaikan tangannya, “Ke sini aja,” ucapnya.
Aku pun masuk ke dalam kamar Mama Aleta.
Kamar yang ditempati oleh Mama Aleta itu fasilitasnya sama persis dengan kamar Bu Shanti (yang untuk sementara dijadikan kamarku). Ada sebuah bed luas, 1 set sofa putih, televisi layar lebar, kulkas, microwave dan banyak lagi. Kamar mandinya pun sama bagusnya dengan kamar mandi Bu Shanti sendiri.
Saat itu Mama Aleta sudah mengenakan kimono berwarna hitam, sehingga kontras sekali dengan kulitnya yang putih bersih.
Mama Aleta pun mengajakku duduk berdampingan di sofa. “Sekarang kamu nilai mama secara jujur ya. Mama ini seperti apa di dalam pandanganmu. Jawab aja sejujur mungkin. “”Luar biasa Mam. Tadinya kupikir Mama ini sudah tua. Tapi ternyata masih muda sekali.”
“Mama memang sudah empatpuluhlima tahun Chep. Waktu melahirkan Shanti, umur mama sembilanbelas tahun. Sekarang Shanti sudah duapuluhenam tahun kan?”
“Tapi Mama kelihatan masih muda. Bahkan bisa disejajarkan dengan wanita yang di bawah tigapuluhan.”
“Masa sih?!” Mama Aleta tampak senang mendengar ucapanku.
“Betul Mam. Sebagai contoh, ibu kandungku baru berumur tigapuluhdelapan tahun. Tapi Mama kelihatan lebih muda daripada ibuku. Kalau didampingkan, mungkin Mama seperti sebaya dengan ibu tiriku yang usianya baru duapuluhdelapan tahun.”
“Begitu ya? Mmm… jadi mama ini masih menarik bagimu?”
“Kalau aku boleh bicara jujur, Mama ini sangat menggiurkan bagiku.”
Mama Aleta tampak semakin tersanjung. Lalu ia menanggalkan kimono hitamnya, sehingga ia langsung telanjang bulat. Karena ia tidak mengenakan beha mau pun celana dalam di balik kimono hitam itu.
“Ayo lepaskan pakaianmu,” kata Mama Aleta, “Yang tadi belum tuntas kan?”
“Iya Mam,” sahutku sambil melepaskan celana pendek dan baju kausku. Sehingga aku jadi telanjang bulat seperti Mama Aleta.
Mama Aleta yang sudah telanjang bulat itu naik ke atas bed sambil berkata, “Di sini aja Chep. Biar lebih leluasa.”
Aku yang juga sudah telanjang bulat, lalu mengikuti Mama Aleta naik ke atas bed. Dan langsung merayap ke atas perutnya. Harum parfum pun semakin tersiar ke penciumanku, sehingga hasrat birahiku semakin menggila.
Mama Aleta pun menyambutku dengan pelukan hangat dan ciuman yang bertubi – tubi di bibirku.
Lalu terdengar suaranya, “Selama belasan tahun mama belum pernah tergoda oleh lelaki lain, meski suami mama sudah impoten begitu. Tapi hari ini mama sangat tergoda olehmu, Chep.”
Aku cuma tersenyum mendengar pengakuan Mama Aleta itu. Karena aku lebih tertarik untuk mengemut pentil toket kirinya sambil meremas toket kanannya… gila… toketnya masih padat, meski kalau sedang berdiri kelihatan menurun.
Lalu terdengar lagi suara Mama Aleta, “Lakukanlah apa yang mau kamu lakukan pada mama. Jangan sungkan – sungkan ya Chepi…”
Mendengar ucapan yang sangat welcome itu, aku pun melakukan apa yang ingin kulakukan. Bahwa ketika aku sedang mengemut pentil toket Mama Aleta, tanganku langsung melorot ke bawah perutnya… langsung mengusap – usap memeknya… lalu menyelinapkan jemariku ke dalam celah memeknya yang hangat dan licin ini.
Awalnya aku hanya menyelinapkan jari tengahku ke dalam liang memeknya. Lalu kumajumundurkan jari tanganku sampai terasa basah dan licin. Dan “kupindahkan” kebasahannya itu ke kelentitnya yang sebesar kacang kedelai itu. Setelah clitorisnya terasa licin, kugesek-gesek dengan jari tanganku.
Mama Aleta pun mulai menggeliat dengan mata terpejam – pejam.
Tapi tampaknya Mama Aleta sudah tidak sabaran lagi. Ia langsung menangkap kontolku, yang lalu moncongnya dicolek – colekkan ke mulut memeknya. Sampai pada suatu saat ia memberi isyarat agar aku mendorong kontolku.
Dan… blessssssss… kontolku melesak amblas ke dalam liang memek Mama Aleta.
“Oooooouuuhhhh… sudah masuk semua Chep… “Mama Aleta merangkul leherku ke dalam pelukannya.
Aku pun langsung mengayun kontolku, bermaju mundur di dalam liang memek Mama Aleta yang “gurih” rasanya.
Mama Aleta pun mulai mendesah – desah sambil menciumi bibirku dengan mesranya, seolah menciumi bibir kekasihnya. “Aaaaaaahhhh… emwuaaaah… aaaaaaahh… emwuaaaah… aaaaaaah… emwuaaaaah… kamu memang tampan sekali Cheeepii… kontolmu juga luar biasa enaknyaaaa… come on… fuck me harder please…
Aku memang mempercepat entotanku. Bahkan kelihatannya Mama Aleta suka kalau aku mendorongnya dengan keras (pada saat kontolku didorong maju). Sehingga menimbulkan bunyi pada memeknya yang tertepuk dasar kontolku. Plak… srtttt… plak… srtttt… plak… srtttt… plakkk… sretttt …
Untungnya kontolku cukup panjang. Sehingga moncong kontolku terus – terusan menyundul dasar liang memek Mama Aleta. Padahal konon liang memek wanita bule itu dalam – dalam. Lebih panjang liangnya. Tapi kontolku bisa mencapai dasar liang memek Mama Aleta ini.
Aku pun tak mau membiarkan mulut dan tanganku nganggur. Ketika aku meremas toket kanannya, mulutku menjilati leher jenjangnya disertai dengan gigitan – gigitan kecil. Maka semakin riuh jugalah rintihan – rintihan histeris wanita bule itu.
Bahkan sebelum aku berkeringat, Mama Aleta sudah duluan dibasahi keringatnya. Aroma keringatnya yang bercampur harum parfum malah membuatku semakin bernafsu untuk mengentotnya habis – habisan.
Terkada kuemut dan kujilati pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku digunakan untuk meremas – remas toket kanannya. Bahkan terkadang aku menjilati ketiaknya yang harum deodorant, disertai dengan sedotan – sedotan kuat. Tanpa peduli keringatnya tertelan olehku.
Akhirnya Mama Aleta berkelojotan sambil merintih seperti minta dikasihani, “Oooooohhh… Cheeepiiii… mama sudah mau datang… mau orgasme… Chepppiiii… aaaaauuuuu… aaaa…”
Lalu ia terpejam sambil menahan nafasnya. Dengan tubuh mengejang tegang. Lalu terasa liang memeknya mengejut – ngejut, diikuti dengan aliran lendir libidonya.
Dan akhirnya terdengar suaranya kembali, “Aaaaaaah… luar biasa indahnya. Terima kasih Chepi… mama akan ikut menyayangimu kelak… ini luar biasa rasanya.”
Tapi aku belum apa – apa. Maka setelah wajah Mama Aleta kelihatan berdarah lagi, aku pun mengayun kontolku kembali. Dalam gerakan cepat, karena liang memeknya sudah becek sekali.
“Kamu memang gagah perkasa Chep,” ucap Mama Aleta sambil menepuk – nepuk pipiku perlahan, “Kalau begini sie, mama bisa multi orgasme nanti.”
“Silakan aja Mam. Aku senang ikut menikmati wanita orgasme.”
Lalu aku mengayun kontolku dalam gerakan hardcore. Cepat dan keras. Sehingga terdengar bunyi unik dari liang memek Mama Aleta, sesuai dengan gerakan kontolku.
Stttt… crekkk… stttt… crekkkk… stttt… crekkkk… srttttt… crekkkk…!
Dan begitu seterusnya.
Keringat pun mulai membanjiri tubuhku, bercampur aduk dengan keringat Mama Aleta. Namun aku tetap tabah dan bernafsu untuk mengentot Mama Aleta habis – habisan. Sehingga Mama Aleta orgasme lagi dan orgasme lagi. Sudah tiga kali dia orgasme.
Namun aku pun sudah tiba di detik – dedtik krusial menjelang puncak kenikmatanku sendiri.
“Nanti… aku ejakulasi di mana Mam?” tanyaku terengah, tanpa menghentikan entotanku.
“Di dalam aja please… aman kok…”
Pada saatr berikutnya, aku menggelepar di atas perut Mama Aleta, sambil menancapkan kontolku sedalam mungkin, kontol yang sedang mengejut – ngejut dan memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crotttt… croooooottttt… crottttcrottt… crooootttttt… crooooooooottttttt… crottttt… crooootttt…!
Aku pun terkapar di atas perut Mama Aleta.
Lalu Mama Aleta menciumku disusul dengan bisikan, “Kamu sangat memuaskan Chepi. Jauh lebih memuaskan daripada papanya Shanti. Karena itu, mungkin mama akan tinggal lama di sini. Agar bisa dipuasi olehmu.”
“Asal jangan ketahuan oleh Shanti ya Mam,” sahutku sambil mencabut kontolku dari liang memek Mama Aleta.
“Tentu saja. Tapi mama kan bisa nyari alesan. Misalnya minta diantar belanja olehmu. Padahal kita akan check in ke hotel.”
“Iya bisa juga kalau begitu Mam. Sekarang kan banyak mall yang ada hotelnya. Jadi Mama bisa belanja beneran dulu, kemudian kita check in ke hotel.”
Esok paginya, Mama Aleta latihan kebugaran di fitness room yang terletak di bagian belakang rumah ini. Lagi – lagi aku tergiur olehnya. Karena Mama Aleta latihan kebugaran dalam keadaan… telanjang bulat…!
Waktu tubuhnya mulai bermandikan keringat, Mama Aleta malah semakin sexy di mataku.
Aku pun mendekati Mama Aleta yang sedang istirahat, dengan tubuh telanjang bermandikan keringat. Namun tiba – tiba handphoneku berdering. Cepat kukeluarkan hapeku dari saku celana trainingku. Ternyata dari Bu Shanti…!
“Sttt… dari Shanti… !” ucapku sambil menyimpan telunjuk di depan bibirku. Kemudian kuterima call dario dosen merangkap kekasihku itu.
Lalu :
Aku: “Hallo Sayang udah di Singapore kan?”
Bu Shanti: “Iya. Aku udah di Singapore. Tapi langsung sibuk mempersiapkan seminar. Jadi baru sekarang sempatnya call Papie.”
Aku: “Gak apa – apa. Yang penting dirimu sehat – sehat aja Beib.”
Bu Shanti: “Sehaaat. Lagi di mana nih?”
Aku: “Lagi di rumahmu. Kan tugasku harus standby selama dirimu di Singapore Beib.”
Bu Shanti: “Gimana keadaan Mama sehat dan ceria gak?”
Aku: “Iya. Sehat dan ceria, tak kurang suatu apa pun.”
Bu Shanti: “Sayaaang… Mama itu udah belasan tahun gak pernah disentuh lelaki, sejak papaku impoten.”
Aku (pura – pura belum tahu) : “Ohya?!”
Bu Shanti: “Iya. Kasian kan. Kalau bisa sih coba deketin dia. Sukur – sukur kalau bisa sampai terjadi hubungan sex. Aku ijinkan deh kalau sama Mama sih.”
Aku: “Beib… kamu ini ngomong apa sih? Kok bicara begitu?”
Bu Shanti: “Aku bicara secara fair dan open minded kok. Mama itu butuh sentuhan lelaki. Kalau dirimu tidak keberatan, coba rayu deh sampai dapat. Biar dia kerasan tinggal di rumah kita. Lagian supaya dia mendukungku untuk menikah dengan dirimu Sayang. Bilang aja kamu udah dapat ijin dariku gitu.”
Sebenarnya aku senang sekali mendengar saran dari Bu Shanti itu. Tapi aku masih bersikap seperti belum setuju pada sarannya itu. Padahal yang disarankannya itu sudah terjadi.
Maka kataku: “Nanti aku pikirkan dulu positif dan negatifnya, ya Beib. Ohya… sebentar… aku mau terima telepon dari mamaku dulu ya Beib. Nanti kutelepon balik kalau sudah selesai menerima telepon dari mamaku.”
“Iya… iya… titip salam aja buat mamamu, dari calon menantu gitu. Hihihiiii…”
“Siiip! See you…”
Hubungan seluler dengan Bu Shanti ditutup. Sebenarnya hanya akal – akalanku saja, bilang ada telepon dari mamaku. Padahal sebenarnya aku ingin memberitahu Mama Aleta tentang isi pembicaraanku dengan anaknya barusan. Karena tadi aku tidak mengeluarkan suara Bu Shanti lewat speaker. Jadi pasti Mama Aleta tidak tahu apa yang kubicarakan dengan anaknya tadi.
Lalu kuhampiri Mama Aleta yang tengah menghanduki tubuh telanjangnya.
“Ada berita gembira Mam,” ucapku sambil mencium leher Mama Aleta yang mengkilap karena keringat. Tapi aromanya justru merangsang nafsuku.
“Berita apa?” tanyanya dengan sorot penasaran.
Lalu kuceritakan isi pembicaraanku dengan anak Mama Aleta barusan.
“Masa dia ngomong begitu?” Mama Aleta seperti kurang percaya.
“Kalau Mama gak percaya, aku telepon dia sekarang ya. Suaranya akan dikeluarin ke speaker, biar Mama bisa ikut mendengarkan. Tapi Mama jangan bersuara ya. Aku mau ngomong sedang sendirian dan Mama sedang tiduran di kamarnya. Oke?”
“Oke, “Mama Aleta mengangguk.
Lalu aku memijat nomor hape Bu Shanti lewat sambungan internasional. Suaranya kukeluarkan lewat speaker supaya Mama Aleta bisa ikut mendengarkan.
Kemudian :
Bu Shanti: “Hallo Sayang…”
Aku: “Hallo juga. Pembicaraan tadi belum selesai Beib. Coba sekarang perjelas lagi. Supaya aku ngggak salah langkah.”
Bu Shanti: “Pokoknya aku ingin agar Chepi mendekati Mama yang sudah belasan tahun tidak merasakan sentuhan lelaki. Sedangkan Mama itu masih full of passion. Aku sering memikirkan hal itu. Dan sekarang kebetulan ada Chepi, bisa kujadikan tempat minta tolong.”
Aku: “Terus aku harus ngapain aja?”
Bu Shanti: “Ah… kayak bukan mahasiswa aja. Masa harus ngomong mendetail tentang soal ini? Kesimpulannya aja ya… kamu harus memuasi gairah Mama.”
Aku: “Berarti aku harus berhubungan sex dengan mamamu?”
Bu Shanti: “Ya begitulah. Tapi kalau Mama gak mau, jangan dipaksa.”
Aku: “Memangnya Mamie gak cemburu kalau sampai terjadi hal sejauh itu dengan mamamu?”
Bu Shanti: “Kalau sama orang lain, pasti aku cemburu. Tapi kalau dengan Mama, aku tiakkan cemburu. Karena Mama itu yang mengandung dan melahirkan ke dunia ini. Lalu merawatku dari bayi sampai sedewasa ini, dengan penuh kasih sayang dan pengorbanan. Masa aku tak mau berkorban sedikit pun untuk kebahagiaan Mama?
“Setelah Mamie pulang dari Singapore juga, aku diijinkan untuk melakukannya dengan Mama?”
Bu Shanti: “Kuijinkan. Anggap aja aku dan Mama istri pertama dan kedua. Wanita yang dipolygami saja banyak yang rukun kan?”
Aku: “Enak dong aku… punya memekmu dan memek Mama… hihihihiii…”
Bu Shanti: “Iya. Tapi cukupkan Mama dan diriku aja ya. Jangan nyari cewek lain lagi.”
Setelah hubungan seluler dengan Bu Shanti ditutup, aku menoleh kepada Mama Aleta yang sudah membelit tubuhnya dengan handuk.
“Sudah jelas kan?” tanyaku, “Dia malah menganjurkanku untuk menggauli Mama. Dia minta agar aku menganggap punya istri dua. Mama dan dia.”
Mama Aleta memeluk dan menciumi sepasang pipiku. “Shanti memang anak yang sangat menyayangi mama…”
Tampak mata Mama Aleta berlinang – linang. Mungkin dia bahagia bercampur terharu setelah mendengar suara anaknya lewat hapeku tadi.
Melihat air mata yang menetes dari kelopak mata Mama Aleta, kuseka dengan kertas tissue yang kotaknya tersedia di dinding.
Tapi tahukah Mama Aleta bahwa aku mendadak teringat mama kandungku sendiri?
Apakah aku tidak kangen kepada Mama kandungku dan tak pernah lagi mendatangi rumahnya? Bukankah aku sudah berjanji bahwa setelah punya mobil aku bisa sering sering datang ke rumahnya?
O, tentu saja aku selalu menepati janjiku. Setiap kali hari libur atau kalau sedang tidak ada kuliah aku selalu mendatangi rumah Mama, untuk meredakan perasaan kangenku kepada beliau sebagai seorang anak kepada ibu kandungnya. Sekaligus sebagai seorang lelaki muda kepada wanita yang bisa dijadikan penyaluran nafsu birahiku.
Ya, biar bagaimana pun Mama adalah the best bagiku, dalam segalanya. Baik dalam kelembutan dan kasih sayangnya, dalam hal kecantikannya dan dalam kelezatan… memeknya…!
Bahkan pada suatu malam Sabtu, sepulangnya kuliah malam, aku langsung memacu mobilku menuju kampung Mama. Karena aku ingin menghabiskan weekend di rumah ibu kandung tercintaku.
Aku baru tiba di depan rumah Mama ketika jam tanganku sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tapi Mama sendiri yang membuka pintu depan, dalam kimono putihnya.
“Belum tidur Mam?” tanyaku setelah mencium tangan dan cipika – cipiki di ambang pintu depan.
“Belum. Lagi ingat kamu terus dari siang tadi,” sahut Mama sambil menutup dan menguncikan kembali pintu depan setelah kami berada di dalam.
“Aku juga makanya ke sini lagi ingat terus sama Mama. Makanya pulang kuliah malam langsung ke sini,” kataku sambil duduk di sofa ruang keluarga.
Mama pun duduk di samping kiriku. Yang kusambut dengan melingkarkan lengan kiriku ke pinggang Mama.
“Perasaan Mama jadi agak langsing sekarang,” ucapku sambil menyelinapkan tangan kananku ke balik kimono Mama. Dan mengusap – usap perutnya yang semakin kempes rasanya.
“Kan kamu yang menganjurkan agar mama mengurangi makan nasi, supaya jangan banyak makan yang mengandung karbohidrat. Mama juga sekarang jadi sering senam. Malu sama anak sekaqligus kekasih mama yang bernama Chepi ini,” sahut Mama sambil menggelitik pinggangku.
Pada saat itulah tanganku sudah meraba – raba memek Mama yang tidak bercelana dalam. Karena Mama terbiasa, kalau mau tidur tak pernah mengenakan beha mau pun celana dalam. Biar gak mengganggu pernafasan, katanya.
Aku pun langsung duduk di karpet, di antara kedua paha putih mulus Mama.
Mama pun mengerti apa yang akan kulakukan. Ia merenggangkan jarak kedua pahanya, sambil memajukan bokongnya jadi di pinggiran sofa. Sehingga memeknya yang senantiasa dicukur bersih berhadapan dengan mulutku yang siap untuk menjilatinya.
Dua – tiga detik kemudian mulutku sudah nyungsep di permukaan memek mama yang senantiasa mengobarkan gairah dalam jiwaku.
Mama mengelus – elus rambutku sambil merintih perlahan, “Ooo… ooooohhh… Chepiiii… mama makin sayang saja sama kamu Naaaak… ooooh… kamu adalah segalanya buat mama sekarang Cheeeep… ooooh… ooooh… Cheeepiiii…”
Setelah terasa memek Mama basah kuyup oleh air liurku bercampur dengan lendir libidonya, mungkin, aku pun spontan berlutut sambil memegang kontolku yang sudah ngaceng berat ini.
Tapi Mama spontan menarik pergelangan tanganku sambil berdiri dan melangkah bergegas ke dalam kamarnya sambil berkata, “Di kamar aja biar leluasa Sayang…”
Mama setengah melompat ke atas bed barunya yang mewah dan sangat mahal harganya. Kemudian ia menelentang sambil merenggangkan kedua belah pahanya dan mengusap – usap memeknya.
Aku pun merayap ke atas perut Mama sambil meletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek Mama yang sudah ternganga.
Dengan sekali dorong, kontolku langsung amblas ke dalam liang memek Mama yang sudah becek oleh air liurku… blessss… sssskkkkk…!
Mama ternganga sambil mendekap pinggangku. “Aaaaaaaah… baru sekali ini bisa langsung masuk semua ya Chep… kontolmu memang jauh lebih gagah daripada kontol papamu…! Ayo entotin…”
Aku memagut bibir Mama. Kemudian melumatnya sambil mengayun kontolku, bermaju – mundur di dalam liang memek Mama yang luar biasa enaknya.
Seperti biasa, Mama pun tak mau berdiam dikri. Bokongnya mulai bergeol – geol menyerupai angka 8. Memutar – mutar dan meliuk – liuk. Membuat kontolku serasa dibesot – besot oleh dinding liang memeknya yang bergerinjal – gerinjal seperti barisan telur ayam yang masih ada di dalam perutnya (belum dikeluarkan).
Inilah yang membuatku selalu merem melek dan berdengus – dengus setiap kali mengentot mama kandung tercintaku ini.
Mama sendiri memang selalu lupa daratan ketika sedang kusetubuhi. Sehingga dia sering merintih terlalu keras, sehingga aku harus menyumpal mulutnya dengan telapak tanganku.
Sementara batang kejantananku maju – mundur terus di dalam liang memek Mama. Tanpa peduli bahwa liang yang sedang kuentot itu adalah liang yang melahirkan aku ke dunia.
O, betapa jahanamnya aku ini. Tapi kenapa aku merasakan keindahan yang luar biasa di balik kejahanaman ini?
Aku tahu bahwa Mama terkadang seperti mengalami kontradiksi dalam jiwanya ketika selesai kusetubuhi. Terkadang juga kulihat ada genangan air mata di kelopak matanya yang kearab – araban. Ya… aku seolah berhasil memuasi hasrat seks beliau. Tapi kenapa ada tetesan air mata? Apakah setelah beliau merasa puas, muncul penyesalan yang mendalam karena baru saja digauli oleh anak kandungnya?
Namun Mama seperti menindas perasaan menyesal itu dengan mengajakku bersetubuh lagi untuk kedua dan ketiga kalinya. Dan Mama seperti berhasil menindas perasaan sesal itu dengan kenikmatan kedua, ketiga dan seterusnya.
Begitulah. Meski aku hanya menginap semalam di kampung Mama, sedikitnya aku menyetubuhi Mama tiga kali.
Namun saat itu ada yang lain dari biasanya. Sebelum tidur, Mama berkata, “Kamu masih ingat Tante Aini, adik bungsu Mama?”
“Wah… ingat – ingat lupa Mam. Setahuku Mama punya adik banyak kan?” tanyaku.
“Iya. Adik mama ada delapan orang. Enam perempuan dan dua laki – laki. Tante Aini itu adik bungsu mama,” jawab Mama.
“Sebentar… adik – adik mama itu siapa saja namanya?” tanyaku, “Aku malah sudah gak ingat lagi.”
“Nama adik – adik mama itu yang perempuan bernama Dahma, Iqrah, Hibba, Rafna, Shaza dan yang bungsu Aini. Yang laki – laki bernama Bahrul dan Salam.”
“Namanya aneh – aneh ya Mam. Nama Mama sendiri Hafza kan?”
“Iya, semuanya kepakistan-pakistanan. Karena nenekmu orang Pakistan.”
“Oh… iya ya. Ibu Mama orang Pakistan ya.”
“Iya.”
“Terus ada apa dengan Tante Aini?”
“Dia itu jadi istri pengusaha minyak Arab yang kaya raya. Tapi dijadikan istri keempat. Walau pun begitu Tante Aini sangat dimanjakan oleh suaminya, karena dia itu istri termuda. Pokoknya di usia yang masih sangat muda, harta Tante Aini sudah berlimpah ruah. Dan dia sering nanyain kamu, ingin bertemu denganmu, karena ada sesuatu yang sangat penting, katanya.
“Yang penting apa ya?”
“Katanya sih ingin ngajak bisnis sama kamu. Mungkin ingin memutar uang yang berlimpah ruah itu. Mungkin dia ingin punya tangan kanan, orang yang bisa dipercaya.”
Mendengar kata “bisnis”, aku langsung tertarik. “Dia tinggal di mana Mam?” tanyaku.
“Dia sekota denganmu.”
“Kalau memang penting, kenapa gak datang ke rumah aja? Apalagi sekota denganku gitu.”
“Mama juga udah nyuruh temui kamu di rumah papamu. Tapi gak enak katanya. Karena mama sudah bukan istri papamu lagi. Tapi besok juga dia akan ke sini. Jangan pulang dulu sebelum Tante Aini datang ya.”
“Memangnya dia sudah janji mau datang besok?”
“Tadi waktu mama lihat lampu mobilmu muncul, sebelum membuka pintu depan mama ngirim WA dulu padanya. Bilang bahwa kamu sudah datang. Lalu dia balas bahwa besok akan datang ke sini katanya.”
“Iya Mam.”
Mama mengecup pipiku, lalu berkata, “Ya udah, kita bobo yuk.”
“Iya Mam,” sahutku sambil meletakkan tanganku di perut Mama. Perut yang pernah mengandung diriku. Lalu merayap ke bawah. Tapi ditepiskan oleh Mama.
“Jangan megang memek mama lagi dong. Nanti ujung – ujungnya mama bisa horny lagi.”
“Kalau horny lagi ya ngentot lagi aja.”
Mama memegang kontolku dan berkata, “Iiiih… kontolmu udah ngaceng lagi Chep?!”
“Iya Mam. Kalau berdekatan dengan Mama, spontan birahiku membara…” sahutku yang masih telanjang bulat, seperti Mama.
“Jujur, mama juga seperti itu Sayang. Ayo masukin lagi aja kontolmu,” kata Mama sambil menyingkirkan selimut yang tadi menyelimuti ketelanjangan kami berdua. Tanpa basa – basi lagi kubenamkan kontolku ke dalam liang memek Mama. Lalu mulai mengentot Mama lagi.
Mama pun meladeniku dengan lincah. Meremas – remas rambut dan bahuku. Pantatnya pun mulai bergoyang karawang lagi. Sehingga kontolku terombang – ambing dan terbesot – besot dengan serunya.
Ini adalah persetubuhan ronde keempat bagiku. Dengan sendirinya durasiku sangat lama. sampai jham dinding beredentang lima kali (pertanda sudah jam lima pagi), kontolku masih bergerak seperti pompa. Maju mundur maju mundur dan maju mundur terus di dalam liang memek Mama yang luar biasa enaknya ini.
Tubuh kami pun sudah bermandikan keringat lagi. Namun kami tak peduli.
Akhirnya kubenamkan kontolku sedalam mungkin, tanpa kugerakkan lagi. Disusul dengan mengejut – ngejutnya kontolku yang tengah memuntahkan lendir kenikmatanku.
Croootttt… croooottttt… crooootttt… croooottttttttt… crotttttt… crooootttt…!
Lalu kami sama – sama terkapar. Dan tertidur dengan nyenyaknya. Tanpa peduli pada ketelanjangan kami lagi.
Jam duabelas siang aku masih tertidur, tapi dibangunkan Mama, “Sayang… bangun Sayaaang… Tante Aini sedang menuju ke sini… ayo mandi dulu… !”
Aku membuka mata. Menggeliat dan melihat ke jam dinding. Kaget juga setelah melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 12.15 siang.
Aku pun turun dari bed dan langsung melangkah ke kamar mandi Mama, dalam keadaan masih telanjang bulat.
Setelah mandi, kukenakan celana pendek putih dengan baju kaus berwarna hitam. Kemudian aku melangkah ke ruang makan. Ada roti bakar isi daging dua tangkep yang masih hangat.
“Ini boleh kumakan Mam?” tanyaku pada Mama yang sudah mengenakan busana muslim berhijab serba hitam.
“Iya, itu kan sengaja mama bikin buatmu sebelum mama bangunkan tadi,” sahut Mama, “Minumnya apa? Kopi pahit seperti biasa?”
“Iya Mam. Yang kental ya Mam. Biar jangan ngantuk.”
“Iya Sayang,” sahut Mama sambil melangkah ke dapur.
Tak lama kemudian Mama sudah muncul lagi dengan secangkir kopi di tangannya. Kopi iktu diletakkan di atas meja makan. Lalu Mama mengecup pipiku sambil berbisik, “Mama nggak disetubuhi sebulan juga gak apa – apa. Tadi malam kenyang sekali. Sampai semalam suntuk.”
“Kalau aku kangen, pengen ngentot Mama gimana?”
“Ya datang aja ke sini. Memang kapan mama pernah nolak? Kecuali kalau Mama sedang haid.”
“Heheheee… santai aja Mam. Aku juga kenyang banget kok,” kataku.
Baru aja aku selesai makan kedua tangkep roti bakar isi daging itu, tiba – tiba terdengar bunyi mobil memasuki pekarangan rumah Mama yang sangat luas.
“Nah itu Tante Aini datang. Jemput ke depan gih,” kata Mama sambil masuk ke dalam kamarnya.
Sementara aku melangkah ke ruang depan dan membukakan piuntu depan. Sebuah sedan sport merah sudah terparkir di bawah pohon kersen.
Anjrit… aku punya sedan mahal pemberian Mama. Tapi sedan sport itu jauh lebih mahal. Aku pernah iseng menanyakan harga sedan sport yang sejenis di showroom yang menjual mobil – mobil second. Harganya 16 milyar! Itu harga second. Apalagi harga barunya…!
Seorang wanita muda berpakaian muslimah serba coklat tua dan coklat muda turun dari sedang sport yang membuatku ngiler itu.
Aku pun spontan menghampirinya dan memuji di dalam hatiku, bahwa wanita muda yang adik bungsu Mama itu sangat cantik…!
“Tante Aini?” tanyaku sopan.
Ia menatapku dengan sepasang mata beningnya. “Iya. Kamu Chepi?!” tanyanya.
“Iya Tante,” sahutku sambil mencium tangan kanannya.
Wanita muda berhijab yang kutaksir baru 22-23 tahunan mengepit sepasang pipiku dengan kedua telapak tangannya yang hyalus dan hangat. “Chepi… setelah gede kamu kok jadi tampan sekali sih?” cetusnya yang disusul dengan ciumannya di sepasang pipiku. Harum parfum mahal pun tersiar ke penciumanku.
“Tante juga cantik sekali, laksana putri raja Arab.”
“Masa?! Jangan bawa – bawa Arab ah. Kita ini punya campuran darah Pakistan. Bukan Arab. Mmm… aku sudah sering nanyain kamu sama mama. Baru sekarang bisa berjumpa ya?”
“Iya Tante. Mari masuk.”
Tante Aini yang jelita itu mengangguk, lalu melangkah di sampingku, masuk ke dalam rumah Mama.
Mama baru keluar dari kamarnya. Kelihatan sudah bermake up sedikit, rambutnya pun tidak acak – acakan seperti tadi.
Mama berpelukan dan cipika – cipiki dengan Tante Aini. Kemudian kami duduk di ruang tamu yang sudah direnovasi oleh Mama, agar tidak terlalu ketinggalan zaman.
Setelah ngobrol singkat tentang masalah keluarga, Tante Aini berkata, “Sekarang kita bicara masalah bisnis ya.”
“Siap Tante.”
Mama langsung berdiri dan berkata, “Silakan aja bahas masalah bisnisnya. Aku mau ke dapur dulu ya.”
“Iya Kak,” sahut Tante Aini sambil tersenyum.
Setelah Mama meninggalkan ruang tamu, Tante Aini berkata padaku. Bahwa pada dasarnya ia membutuhkan orang yang bisa dipercaya untuk mengurus usahanya. Kemudian dia berkata bahwa di kota kami ada rumah yang bisa dijadikan kantor sekalian tempat tinggalku. Tapi urusan yang mendesak adalah, dia ingin agar namaku dipakai untuk perusahaannya yang akan membeli tiga buah kapal tanker dalam keadaan rusak.
“Aku tidak ingin suamiku tau bahwa ketiga kapal tanker itu dibeli olehku. Karena penjualnya teman – teman suamiku sendiri. Sedangkan suamiku takkan mengira aku punya uang sebanyak itu,” kata Tante Aini di tengah penuturannya.
“Lalu kapal – kapal tanker yang sudah pada rusak itu mau dijual sebagai besi tua Tan?”
“Hush bukan! Kalau sekadar mau dijadikan besi tua sih gampang banget. Baik di Jakarta mau pun di Surabaya ada haji Madura yang sudah pada jadi trilyuner sebagai buyer besi tua. Tinggal tawarin ke mereka saja, bisa langsung dibeli.”
“Terus mau diapain nantinya?”
“Begini,” kata Tante Aini, “ketiga kapal tanker itu memang mau dijual murah sekali. Bahkan lebih murah daripada kalau dijadikan besi tua. Maklum orang – orang Arab kan gak mau pusing. Punya mobil rusak di jalan aja bisa mereka tinggalkan begitu saja di pinggir jalan, tanpa diperbaiki. Ketiga kapal tanker itu pun begitu.
“Lalu peranku sebagai apa nanti Tante?”
“Kamu harus berperan sebagai pihak pembeli. Tentu saja duitnya dari aku nanti.”
“Supaya tidak ketahuan oleh suami Tante bahwa sebenarnya ketiga kapal tanker itu dibeli oleh Tante?”
“Betul Sayang. Aku mau percayakan semuanya padamu. Tapi tentu nanti akan kukasihtau ini itunya.”
“Jadi aku hanya sebagai wayang ya Tante.”
“Sebagai tangan kananku. Bukan sebagai wayang. Kan pada waktu negosiasi nanti, aku takkan ikut campur. Kamu bisa jalan sendiri kan?”
“Pemilik kapal – kapal itu orang Arab?”
“Iya. Kapalnya ada tiga, berarti tiga orang Arabnya.”
“Aku gak bisa bahasa Arab Tante.”
“Kan dia selalu membawa orang Indonesia yang bisa berbahasa Arab. Jadi ucapan kita dalam bahasa Indonesia akan diterjemahkan oleh interpreter itu.”
Aku merasa sedang diperhatikan oleh Tante Aini, tapi aku pura – pura tidak menyadarinya saja. Mungkin dia sedang memperhatikan sikapku, apakah aku ini jujur dan cerdas atau tidak.
“Bagaimana?” tanyanya.
“Siap Tante. Aku akan mencobanya semampuku. Tapi mungkin aku butuh teman, agar aku tidak terlalu sendirian.”
“Boleh. Karena nanti urusan kita bukan cuma kapal – kapal tanker itu. Masih banyak yang bisa kita kerjakan nanti. Yang penting Chepi harus jujur, ulet dan sabar.”
“Siap Tante.”
“Sekarang kuliahnya sudah semester berapa?”
“Baru semester tiga Tante.”
“Ntar dulu… waktu kamu lahir, umurku baru lima tahunan. Berarti sekarang baru delapanbelas tahunan ya.”
“Betul Tante,” sahutku sambil berkata dalam hati – Berarti tepat dugaanku, usianya 23 tahun -.
“Delapanbelas tahun sudah semester tiga. Termasuk cepat juga.”
“Aku lulus SMA pada usia menjelang tujuhbelas tahun. Sekarang semester tiga pun baru dijalani sebulan.”
“Begitu ya. Sudah punya cewek?”
“Belum Tante. Mau konsen kuliah dulu.”
“Itu bagus. Cowok setampan kamu, cewek sih gampang dapetinnya nanti, setelah jadi sarjana.”
“Hehehee iya Tante,” sahutku yang merasa malu sendiri. Karena sebenarnya aku sudah punya pengalaman banyak dalam masalah perempuan.
Tante Aini seperti mau ngomong lagi. Tapi keburu datang Mama yang berkata, “Ayo Aini… kita makan dulu seadanya.”
“Aduuuh… Kak Hafza suka repot terus kalau aku datang ke sini ya.”
“Walaaah… repot apa cuma nyediain makan adik kesayanganku… ayo Chepi temenin tantemu makan tuh…”
Aku pun bangkit berdiri dan mengikuti langkah Tante Aini menuju ruang makan.
Aneh memang. Perempuan berhijab selalu mendatangkan pesona tersendiri bagiku. Pesona sekaligus rasa penasaran yang jahanam. Karena aku sering membayangkan seperti apa perempuan berhijab itu kalau sudah telanjang bulat di depan mataku?
Pada waktu kami bertiga makan bersama, Tante Aini curhat kepada Mama. Bahwa sebagai istri keempat ia sangat ketinggalan jika dibandingkan dengan ketiga istri lainnya. Ketinggalan dalam soal harta yang dimilikinya. Karena itu ia sedang mengumpulkan harta agar bisa mengejar ketertinggalannya. Dia sering minta uang dalam jumlah banyak kepada suaminya yang sudah berusia 65 tahun itu.
“Aku gak mau menunggu suamiku wafat Kak,” ucapnya waktu curhat kepada Mama sambil makan siang bersama itu. “Karena itu aku akan berusaha mnengejar ketinggalan itu dengan berusaha sendiri. Maka aku akan minta bantuan Chepi untuk mengurus usaha – usahaku. Dan semuanya itu akan diatur dari sebuah rumah yang sekarang masih kosong.
“Silakan aja manfaat tenaga dan pikiran Chepi, Dek. Sekalian aku titip Chepi ya. Tolong ikut pikirkan masa depannya nanti,” sahut Mama, “Karena dia satu – satunya anakku.”
“Iya, iyaaa… tentu saja Chepi harus banyak kemajuannya setelah aktif bersamaku nanti Kak.”
Setelah makan siang selesai, kami melanjutkan obrolan di ruang tamu lagi. Kemudian aku diajak oleh Tante Aini untuk melihat rumah yang katanya masih kosong itu.
Maka aku pun pamitan kepada Mama untuk langsung pulang.
Lalu aku dan Tante Aini menuju rumah yang terletak di kotaku juga itu, dalam mobil masing – masing.
Di belakang setir pikiranku belum fokus ke arah bisnis yang akan ditekuni olehku bersama Tante Aini. Aku malah membayangkan seperti apa tubuh Tante Aini itu kalau sudah ditelanjangi nanti. Dan… diam – diam kontolku ngaceng ketika aku masih mengikuti mobil Tante Aini menuju rumah yang belum pernah kulihat itu.
Tapi… aku harus menepiskan pikiran jahanam itu. Lebih baik aku memusatkan pikiranku kepada bisnis bersama Tante Aini nanti. Soal perempuan sih sudah cukup banyak yang bisa kujadikan pelampiasan nafsuku.
Tertegun aku setelah tiba di depan rumah besar dan megah itu. Begitu megahnya rumah yang kata Tante Aini akan dijadikan kantor sekaligus tempat tinggalku ini. Lalu aku dibawa masuk ke dalam.
Ternyata rumah yang katanya kosong itu sudah lengkap segalanya. Sepintas pun kulihat perlengkapan rumah ini serba mahal.
Di bagian belakangnya ada taman dan kolam renangnya segala. Kolam ikan hias pun ada, tapi masih kering. Kata Tante Aini, kalau aku sudah tinggal di rumah megah ini, silakan kolamnya diisi dengan ikan hias. Mungkin ikan koi cocok untuk dipelihara di kolam yang ditata secara artistik itu.
Ketika aku duduk di bangku kayu jati depan taman, Tante Aini duduk merapat di samping kiriku. “Rumah ini kubangun secara diam – diam tanpa sepengetahuan suamiku. Tadinya akan kupakai untuk istirahat kalau suamiku tidak sedang bersamaku.”
“Kata Tante, istrinya yang tinggal di Indonesia hanya Tante sendiri. Yang lainnya di timur tengah semua. Lalu bagaimana cara menggilirnya?” tanyaku.
“Aku kebagian seminggu dalam sebulan.” sahut Tante Aini.
“Jauh sekali jarak antara negaranya dengan Indonesia ya.”
“Iya. Tapi dia kan punya pesawat jet pribadi. Kapan pun bisa terbang ke mana saja.”
“Owh… iya ya. Sekarang artis Indonesia aja udah ada yang punya pesawat pribadi. Apalagi pengusaha minyak dari Arab.”
“Bagaimana? Kira – kira kamu nyaman tinggal di sini?”
“Nyaman Tante. Sangat nyaman.”
“Mmm… begini Chep… sebenarnya ada dua point yang membutuhkan dirimu. Pertama soal bisnis itu. Dan kedua… hihihi… malu mengatakannya…”
“Masalah apa Tante? Kok pakai malu segala?”
“Ketiga istri suamiku sudah punya anak semua. Tinggal aku yang belum. Jadi… ada tugas rahasia buatmu Chep. Kamu mau menghamiliku?” tanya Tante Aini sambil merapatkan pipinya ke pipiku.
“Serius Tante?” tanyaku ragu.
“Masa aku main – main dalam soal sepenting itu. Kamu mau kan menggauliku secara teratur pada saat suamiku sedang menggilir ketiga istrinya?”
“Sekarang Tante?”
“Sekarang sih jangan.”
“Kenapa? Aku sudah bersemangat nih Tante,” ucapku pede, karena kontolku pasti bisa ngaceng keras jika harus menyetubuhi Tante Aini.
“Sekarang aku sedang haid. Minggu depan aja kita ketemuan di sini ya. Sekarang kan hari Sabtu, jadi kita ketemuan hari Sabtu yang akan datang. Gimana?”
Aku menunduk sambil berkata, “Iya Tante.”
“Kok kelihatannya kayak yang sedih?” tanya Tante Aini sambil mengusap – usap rambutku.
“Nggak Tante. Tadi aku telanjur bersemangat. Tapi kalau Tante sedang ada halangan gak apa – apa. Biar kupendam aja dulu hasrat dan gairah ini.”
“Karena aku sedang menstruasi, kamu boleh menyelusuri tubuhku dari perut ke atas. Tapi dari perut ke bawah, gak boleh disentuh ya,” kata Tante Aini sambil membuka kancing baju jubahnya yang berada di depan, satu persatu.
Aku cuma mengangguk sambil tersenyum.
Lalu, dengan baju jubah yang sudah terbelah dua di bagian depannya, Tante Aini melingkarkan lengannya di leherku, disertai ucapan setengah berbisik, “Kamu memang tampan sekali Chep. Makanya aku mau melupakan bahwa kamu ini keponakanku.”
Sebagai jawaban, aku pun menyelinapkan tanganku dalam belahan baju jubah berwarna coklat tua itu, lalu mendekap pinggangnya yang hangat, tanpa terhalang apa pun lagi. “Tante juga cantik sekali. Sejak turun dari mobil di depan rumah Mama tadi, aku terkagum – kagum menyaksikan tanteku yang cantik rupawan begini…
Ucapanku terputus karena Tante Aini memagut bibirku ke dalam ciuman hangatnya, yang kusambut dengan lumatan penuh nafsu.
Nafsuku laksana api yang tak terpadamkan ketika saling lumat bi8bir dengan tanteku yang muda dan cantik itu. Terlebih setelah tanganku diijinkan merayapi payudaranya, yang ternyata masih sangat kencang… oooh… jelas ini membuat kontolku semakin ngaceng dan sulit mengendalikannya lagi.
Bukan cuma itu, aku pun sampai tidak menyadari bahwa tangan Tante Aini tahu – tahu sudah menggenggam kontolku yang sudah sangat tegang ini.
“Wow… kontolmu international size Chepi…” bisik Tante Aini yang pentil toketnya sedang kumainkan.
“Pasti gedean kontol Arab lah,” sahutku tersipu, karena rahasiaku sudah terbongkar. Bahwa kontolku sudah ngaceng berat.
“Gak ah. Sama punya suamiku masih gedean dan panjangan punya kamu Chep.”
“Masa sih? Kata orang kontol arab gede – gede Tante.”
“Mythos itu sih. Yang luar biasa gede sih kontol negro zaman sekarang mah. Kontol arab sih sama aja sama bangsa kita.”
Aku tidak menyahut, karena sedang asyik mengemut pentil toket kirinya sambil meremas toket kanannya yang ternyata masih sangat kencang.
Perawakan Tante Aini berbeda dengan peraWAKAN Mama. Kalau tubuh Mama Tinggi montgok dengan bokong dan sepasang toket gede, tubuh Tante Aini ini proporsional. Tinggi langsing tapi tidak kurus. Kulitnya pun tidak seputih kulit Mama, agak gelap warnanya. Dan wajah Tante Aini itu bukan hanya cantik, tapi sama sekali tidak mirip wajah wanita Indonesia.
“Mau lihat aku telanjang?” tanya Tante Aini tiba – tiba.
“Mau… tapi Tante kan lagi haid?”
“Lihat aja boleh, asal jangan disentuh.”
Tante Aini melepaskan baju jubahnyha, sehingga tinggal beha dan celana dalam yang masih melekat di tubuhnya. Yang unik adalah bentuk beha dan celana dalamnya itu
(Lihat gambar). Celana dalam dan behanya terbuat dari bahan yang sama, berwarna biru dengan polka dot putih. Behanya berbentuk icon love, dengan ujung lancipnya berada di dekat pusar perutnya. Uniknya lagi, beha dan celana dalamnya itu seperti menyatu lewat tali dari bahan yang sama.
Kemudian Tante Aini menarik kursi yang lalu didudukinya, sambil melepaskan celana dalamnya. Kemudian dia duduk mengangkang sambil memamerkan memeknya yang plontos, tiada jembut sama sekali. Bahkan memeknya sampai mengkilap saking bersihnya. Mungkin dia menggunakan wax untuk membersihkan jembutnya.
“Kamu ingin memasukkan kontolmu ke sini kan?” tanya Tante Aini sambil menepuk – nepuk memeknya dengan senyum menggoda di bibirnya.
“Iya Tante,” Sahutku, “Tapi Tante kan lagi haid?”
“Hihihihiii… aku gak sedang haid. Bahkan sekarang ini sedang dalam masa subur. Aku hanya ingin menguji ketabahanmu aja.”
“Ohya?! Hahahaa… Tante pintar juga mempermainkanku,” ucapku sambil melangkah maju, mendekati kursi yang sedang dipakai duduk mengangkang oleh tanteku itu.
“Aku ingin mengujimu saja. Bukan mempermainkanmu.”
Aku cuma tersenyum, dengan pandangan terpusat ke arah memek Tante Aini. Lalu aku duduk di lantai, menghadap ke memek Tante Aini yang sedang duduk mengangkang itu.
“Kenapa kamu duduk di lantai begitu?” tanya Tante Aini.
“Pengen jilatin memek Tante,” sahutku.
“Owh… ya udah… jilatin deh sepuasmu…” ucap Tante Aini sambil mmengusap – usap pahanya sendiri.
Tanpa basa basi lagi kuciumi memek tanteku yang cantik dan baru berusia 23 tahun itu.
“Memekku belum pernah dijilatin Chep…”
“Memangnya suamik Tante gak pernah menjilatinya?”
“Boro – boro jilatin. megang aja belum pernah.”
“Lalu kalau bersetubuh gimana?”
“Kontolnya harus kupegangi. Kuarahkan sendiri. Setelah arahnya tepat, kusuruh dia mendorong kontolnya. Begitu selalu kebiasaannya.”
Aku tak menyahut lagi, karena mulai asyik menjilati memek Tante Aini yang menyiarkan harum parfum mahal ini. Mungkin parfumnya cuma disemprotkan ke selangkangannya, lalu harumnya semerbak ke sana -p sini.
Tante Aini pun mengusap – usap rambutku sambil merintih dan mendesah, “Aaaaaah… aaaaaahhhhh… aaaaaaaah… ternyata enak dijilatin begini ya Chep… enak sekali…” ucap Tante Aini sambil mengusap – usap rambutku.
Terlebih lagi ketika aku mulai lahap menjilati kelentitnya, Tante Aini menggeliat – geliat sambil merintih – rintih… “Ooooh… Chepppiii… apa itu yang kamu jilatin? Itil ya? Ooooh… ini lebih enak lagik Cheeep… jilatin terus itilku Cheeepppiiii… ooooh… jilatin terusssss…”
Bahkan pada suatu saat Tante Ainik berdesis, “Ssssssshhhh… ssssshhhhh… masukin aja kontolmu Cheeep… memekku sudah basah sekali nih…”
Aku pun berdiri sambil melepaskan celana jeans dan celana dalamku. Bahkan baju kausku pun ditanggalkan. Kemudian dengan agak membungkuk kuletakkan molncong kontolku di ambang mulut memek Tante Aini.
Dan… bleeessssss… kontolku mulai melesak ke dalam liang memek tanteku.
“Dudududuuuuuh… terasa benar gedenya kontolmu Cheeep… gak nyangka keponakanku yang tampan ini kontolnya luar biasa…” ucap Tante Aini sambil menarik kedua lipatan lututnya sehingtga kedua lututnya berada di samping sepasang toketnya. Sehingga aku bisa mendorong lagi kontolku sampai mentok di dasar liang memek Tante Aini.
Sedetik kemudian aku pun sudah mulai mengentot liang memek tanteku yang jelita dan masih sangat muda itu. Ternyata liang memek Tante Aini luar biasa legitnya. Kontolku serasa disedot – sedot oleh liang memeknya, saking legitnya.
Tante Aini pun mulai merintih – rintih histeris.
Namun pada suatu saat ia berkata terengah, “Pindah aja ke dalam kamar Chep. Biar lebih sempurna eweannya.”
Kuikuti saja keinginan Tante Aini itu. Tapi aku enggan melepaskan kontolku dari dalam liang memeknya. Karena itu kuangkat tubuhnya sedemikian rupa, sehingga kontolku tetap berada di dalam liang memek tanteku.
Tante Aini memeluk leherku, sementara sepasang toketnya menempel di dadaku. Dan aku menahannya dengan memegang bokong tanteku, sementara kontolku tetap berada di dalam liang memek Tante Aini.
Kubawa Tante Aini menuju kamar yang pintunya terbuka dan ditunjuk oleh Tante Aini.
Setelah berada di dalam kamar itu, aku masih bisa menggunakan kakiku untguk menutupkan pintu itu, kemudian membawa Tante Aini ke atas bed dengan hati – hati, agar kontolku jangan sampai tercabut dari liang memek super legitnya.
Sesaat kemudian aku telah mengayun kembali batang kemaluanku, sambil mencium dan melumat bibir Tante Aini.
DI saat lain aku pun bisa meremas toketnya sambil menjilati lehernya yang mulai keringatan, disertai denbgan gigitan – gigitan kecil.
Semakin merintih – rintih juga Tante Aini dibuatnya. “Entot terus Cheeeep… kontolmu luar biasa enaknya Cheeeep… entoooot teruuuuusssssssss… iyaaaaa… iyaaaaa… enak sekali Cheeep… enaaaaaaak…”
Aku pun menanggapinya dengan bisikan, “Memek Tante juga luar biasa legitnya… uuuuughhhh… uuuughhhh…”
Tante Aini memang sangat berbeda dengan Mama. Tubuhnya proporsional segalanya. Toketnya berukuran sedang – sedang saja, gede tidak kecil pun tidak. Bokongnya pun tidak gede – gede amat, tapi indah sekali bentuknya.
Dan yang paling menonjol pada dirinya, adalah rasa liang memeknya itu. Legit sekali, lebih legit daripada dodol Garut.
Pada waktu kontolku menggedor – gedor liang vagina legitnya, Tante Aini tiada hentinya merintih dan berdesah, dengan mata merem melek pula. “Cheeepiiii… aaaaaaah… Cheeeepiiii… ini luar biasa rasanya… baru sekali ini aku merasakan digauli yang senikmat ini Cheeeep… aku semakin sayang padamu Cheeeepppiii…
Tadi sebelum meninggalkan rumah Mama, aku yakin bahwa semuanya ini takkan terjadi. Mengingat tadi malam aku sudah habis – habisan menggauli Mama. Sampai empat ronde! Karena itu aku kurang pede pada awalnya. Tapi setelah berdekatan dengan Tante Aini, senjata pusakaku ngaceng terus, karena mnenemukan “pemandangan” baru.
Bahkan kini, ketika aku sedang asyik mengentot Tante Aini ini, aku laksana kebalikan plesetan lagu Jawa… suwe ora ngono, ngono ora suwe… lama tidak begituan, begituan tidak lama. Sementara aku baru saja tadi malam bertarung dengan Mama sampai empat ronde. Maka kini durasi ngentotku jadi lama…
Tante Aini klepek – klepek terus. Orgasme dan orgasme lagi entah sudah berapa kali.
Steleh lebih dari sejam aku menyetubuhi tanteku, akhirnya aku pun tiba di detik – detik krusialku, dengan keringat yang sudah membanjir, bercampur aduk dengan keringat Tante Aini.
“Lepasin di dalam Tante?”
“Iyalah. Aku kan pengen hamil olehmu,” sahut Tante Aini sambil mendekap pinggangku dengan eratnya.
Maka kupacu ayunan kontolku secepat mungkin, agar jangan mundur lagi ejakulasinya. Karena aku sudah merasa letih sekali…
Akhirnya kutancapokan batang kemaluanku sedalam mungkin, sampai menabrak dasar liang memek Tante Aini. Tidak kugerakkan lagi. Dan… kontolku mengejut – ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crooootttt… croottt… croooottttt… crooottt… croooooooottttttt… crotttt… crooootttttttt…!
Tante Aini menciumi bibirku disusul dengan bisikan, “Terimakasih ya Chepi sayaaang… gak nyangka kamu akan segagah ini menggauliku.”
“Memek Tante luar biasa legitnya,” sahutku setelah mencabut kontolku dari memek Tante Aini, “Aku bakal ketagihan nanti.”
“Sama, aku juga bakal ketagihan. Tapi kamu kelihatannya udah banyak pengalaman dengan perempuan ya?”
Pengalaman sih ada, tapi hanya dengan satu orang wanita yang usianya jauh lebih tua daripada Tante,” jawabku berbohong. Kalau dia mendesakku, akan kusebut saja seorang pembantu sambil membayangkan Bi Caca.
“Seneng sama tante – tante ya, “Tante Aini mencubit perutku.
“Hehehee… sekarang kan sedang bersama seorang tante.”
“Itu kan sebutan menurut sirsilah keluarga kita. Padahal aku belum pantes disebut tante kan?”
“Memang belum. Tante masih sangat muda, cantik dan… heheheee…”
“Dan apa?”
“Enak sekali itunya,” sahutku sambil menunjuk memek Tante Aini yang sedang diseka dengan kertas tissue basah.
“Syukurlah kalau kamu merasa enak sih. Dan yang penting, aku ingin dihamili oleh ini,” ucap Tante Aini sambil menggenggam kontolku yang sudah lemah lunglai, “Kalau aku sampai hamil… aku akan sangat memanjakanku nanti.”
“Siap Tante.”
Kemudian Tante Aini bersih – bersih di dalam kamar mandi dan mengenakan pakaian lengkap kembali. Aku pun mencuci batang kemaluanku di kamar mandi dan mengenakan pakaian lengkap lagi.
Lalu kami keluar dari kamar. Dan duduk di pinggir taman lagi.
Di situlah Tante Aini membahas masalah bisnis secara keseluruhan. Antara lain juga membahas masalah pavilyun rumah itu yang akan dijadikan kantor dan memang sudah ditata secara layak untuk dijadikan kantor.
Sebelum berpisah, Tante Aini mengeluarkan sebuah amplop besar berwarna coklat. Diserahkannya amplop sebesar map itu padaku sambil berkata, “Ini uang untuk biaya operasionalmu setelah aktif nanti. Carilah sekretaris dan tangan kananmu. Pilihlah orang – orang yang kamu anggap tepat dan bisa dipercaya.
“Siap Tante,” ucapku sambil membuka amplop sebesar map itu.
Wow… ternyata isinya 10 ikat uang dollar pecahan US $100. Berarti jumlah uang itu US $ 100.000. Dan kalau dirupiahkan lebih dari 1 milyar…!
Tapi aku tak mau kelihatan kaget. Takut dianggap katro oleh Tante Aini.
“Cari juga pembokat untuk bersih – bersih rumah dan masak untukmu. Kalau bisa nyari pembantu harus nyari sendiri ke pedesaan. Kalau asal – asalan ngambil dari yayasan, sering mengecewakan, karena baru dua – tiga hariu ada yang minta pulang dan sebagainya. Rekrut juga empat atau lima orang satgpam untuk bergiliran menjaga rumah ini.
“Siap Tante.”
“Ohya, kalau ada kekurangan uang, WA aja ke nomor hapeku. Nanti langsung kutransfer ke rekening tabunganmu.”
“Iya Tante.”
Sebelum berpisah Tante Aini mencium bibirku dengan mesranya. Lalu mengusap – usap rambutku sambil berkata, “Aku sayang sekali padamu Chep.”
“Sama Tante. Aku juga begitu.”
“Ohya… sebelum ada pembantu, kalau mau ninggalkan rumah ini kunci – kunci dulu semua pintunya ya Sayang.”
“Siap Tante,” sahutku dengan sikap hormat. Karena Tante Aini bukan sekadar tanteku, melainkan juga sudah terasa sebagai bossku.
Sebelum masuk ke dalam sedan sportnya, Tante Aini sempat berkata, “Nanti kalau aku sudah hamil dan melahirkan anak kita, aku akan memberikan sesuatu untukmu.”
Terawanganku buyar ketika lututku ditepuk oleh Mama Aleta, “Hai… kok malah ngelamun? Ingat sama Shanti ya?”
“Nggak Mam. Aku cuma agak kaget setelah ingat bahwa siang ini aku ada janji dengan temanku.”
“Lho… janji itu harus ditepati. Kalau tidak bisa memenuhi janji itu, sedikitnya harus memberi kabar,” kata Mama Aleta.
“Mama gak apa – apa kan kalau kutinggalkan sekarang ini?”
“Gak apa – apa. Asalkan pulangnya jangan terlalu malam,” sahut Mama Aleta.
Sebenarnya ada sesuatu yang memaksaku untuk meninggalkan rumah Bu Shanti siang ini. Tadi pagi ada telepon dari Papa, menyuruhku menyelidiki Mbak Nindie, kakak seayah beda ibu itu. Kata Papa, “Dia pulang sendiri ke rumah peninggalan ibunya, tanpa suaminya. Tadi dia nelepon papa, dengan suara seperti sedang menangis.
Itulah sebabnya aku meninggalkan rumah Bu Shanti, menuju rumah peninggalan ibunya Mbak Nindie.. Di antara ketiga anak Papa, hanya aku yang masih punya ibu kandung. Ibu kandung Mbak Susie dan Mbak Nindie sudah meninggal.
Ya, Mbak Susie dan Mbak Nindie itu lahir dari satu ibu. Hanya aku yang lahir dari ibu lain. Dengan kata lain, Mbak Susie dan Mbak Nindie itu dahulunya anak tiri Mama.
Berbeda dengan darah yang mengalir di tubuhku, ibunya Mbak Susie dan Mbak Nindie itu asli Jawa. Sehingga aku memanggil mereka dengan sebutan “mbak”. Sementara dari keluarga Mama sama sekali tidak ada yang menggunakan sebutan mbak.
Rumah peninggalan ibunya Mbak Nindie kecil, tapi tanahnya lumayan luas. Terletak di pinggir jalan besar pula. Sehingga aku bisa memasukkan mobilku ke pekarangan rumahnya. Ketika aku turun dari mobil, kulihat Mbak Nindie muncul dan menghampiriku. Kakakku yang berperawakan chubby itu tampak kelopak matanya bengkak.
“Chepi?! Kirain Papa…” ucap Mbak Nindie sambil memelukku. Lalu kami cipika – cipiki.
“Papa kan lagi di Medan Mbak. Nanti kalau sudah pulang pasti ke sini.”
“Kata Papa, Mamie lagi hamil ya?”
“Iya,” jawabku agak kaget. Karena menanyakan sesuatu yang merupakan buah dari perbuatanku dengan Mamie.
“Kita bakal punya adek dong ya,” ucap Mbak Nindie sambil menuntunku ke dalam rumahnya.
“Iya,” sahutku mengambang. Masalahnya, batinku berkata bahwa yang di dalam perut Mamie itu calon anakku. Bukan calon adikku.
Di dalam rumah peninggalan ibunya Mbak Nindie itu kelihatan serba sederhana. Di ruang tamu hanya ada sebuah dipan jati ditutup dengan sehelai tikar. Tidak ada sofa, tidak ada apa – apa. Di atas dipan bertilamkan tikar itulah kami duduk.
“Mas Purwo gak ikut pulang Mbak?” tanyaku menanyakan suami Mbak Nindie.
“Aku sudah cerai dengan dia Chep,” sahut Mbak Nindie sambil memegang pergelangan tanganku.
“Cerai? Kenapa? Apa dia main gila dengan perempuan di Ternate?”
“Selentingan yang kudengar sih memang begitu. Tapi yang bikin aku gak tahan, dia sering KDRT. Sedikit – sedikit nempeleng, nonjok dan sebagainya. Makanya aku minta cerai aja.”
“O, begitu ya. Terus anak Mbak dikemanain?”
“Tinggalin aja sama dia. Biar dia urus. Aku kan gak punya penghasilan.”
“Anak Mbak kan baru satu yang namanya Pipit itu kan?”
“Iya. Aku gak mau nambah lagi. Soalnya Mas Purwo itu, aku sedang hamil aja bisa nempeleng dan nendang segala.”
“Wah, lelaki semacam itu sih memang harus ditinggalin Mbak.”
“Iya… hiks… cuma aku inget sama Pipit terus… hiks… “Mbak Nindie memelukku sambil menangis terisak – isak.
Dan… inilah watakku. Ketika Mbak Nindie memelukku ini, pikiranku malah melayang ke satu arah… arah jahanam.
Bahkan aku masih ingat benar, dahulu waktu aku m asih kecil, aku sering ngintip Mbak Nindie mandi…! Dan aku selalu saja merasa terangsang melihat toket gedenya… juga bokong gedenya…!
Tapi aku berusaha menahan diri. Dan bertanya, “Terus, untuk kebutuhan hidup sehari – hari Mbak dari mana?”
“Belum tau. Mungkin mau nyari kerja aja.”
“Kerja jadi sekretarisku mau?”
“Sekretarismu? Memangnya kedudukanmu sebagai apa sekarang ini?”
“Begini aja. Supaya Mbak jangan nganggap maen – maen, sekarang ganti baju deh. Ikut sama aku ke tempat Mbak akan kukerjakan dengan gaji pantas nanti.”
“Serius Chep?”
“Seriuslah. Masa aku mempermainkan Mbak yang sedang dalam suasana murung gitu.”
“Sekarang perginya?”
“Tahun depan!” sahutku, “Ya sekaranglah. Mumpung aku gak lagi sibuk.”
Mbak Nindie ketawa cekikikan. Lalu masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkanku sendirian di atas dipan keras ini.
Dan… aku mengikuti langkah Mbak Nindie dengan mengendap – endap.
Kebetulan pintu kamar Mbak Nindie hanya ditarik sedikit, tidak sampai tertutup rapat.
Pasti aku akan menyaksikan kakakku yang akan ganti pakaian.
Di dekat pintu kamar Mbak Nindie, kucopot sepatuku, supaya bisa melangkah tanpa bunyi. Lalu aku melongok ke dalam kamar yang pintunya terbuka setengahnya. Maaak… Mbak Nindie sudah melepaskan dasternya dan tinggal mengenakan celana dalam, sementara toket gedenya (yang sejak dahulu mengalirkan air liurku) terbuka penuh.
Kebetulan Mbak Nindie sedang membelakangi pintu, sehingga aku bisa mnelangkah masuk tanpa menimbulkan bunyi.
Aku melangkah mengendap – endap ketika Mbak Nindie sedang memilih pakaian dari dalam lemarinya. Dan setelah aku berada tepat di belakangnya, langsung kujulurkan tanganku untuk menangkap sepasang toketrnya, “Ini dia yang kukhayalkan sejak kecil dahulu …” ucapku sambil mengcakup sepasang toket gewdenya dengan kedua tanganku.
“Chepi…! “seru Mbak Nindie, “Kamu bikin kaget aja iiih…”
Tapi Mbak Nindie tidak meronta sedikit pun. “Mas Purwo memang bodoh. Masa wanita seseksi Mbak ini disia – siakan…”
Mbak Nindie menyahut, “Kamu kan adikku. Jelas aja harus ngebelain kakak. Tapi Mas Purwo yang sedang gila cewek lain, malah semakin garang sikapnya padaku.”
Aku mulai memainkan kedua pentil toket Mbak Nindie meski masih berdiri di belakangnya. Sehingga Mbak Nindie menepiskan kedua tanganku, “Udah ah… nanti kebablasan… kalau aku jadi horny gimana?”
“Sejak kecil aku suka sama toket Mbak. Tapi baru sekarang aku bisa memegangnya,” kataku.
“Tapi kalau kelamaan megangnya, lama – lama kamu bisa nafsu lho.”
“Sekarang juga aku sudah nafsu Mbak.”
“Nah tuh kan? Gak boleh begitu. Aku kan kakakmu.”
Aku malah mendekap pinggang kakakku dari belakang, “Mbak kan sedang kesepian. Apa salahnya kalau kita saling berbagi rasa, mumpung Mbak belum kawin lagi.”
“Tuh kan makin ngaco kamu. Udah tungguin di depan gih. Biar aku bisa dandan dengan tenang,” kata Mbak Nindie.
Kutepuk dulu pantat Mbak Nindie yang gede, lalu poergi ke depan. Duduk di atas dipan lagi sambil mengenakan kembali sepatuku.
Agak lama aku menunggu di atas dipan ruang depan itu.
Namun akhirnya Mbak Nindie muncul juga sambil bertanya, “Mau langsung berangkat sekarang?”
“Iya…” sahutku sambil memandang kakak berbeda ibu yang sudah mengenakan celana jeans dan jaket hitam itu. Entah apa yang dikenakannya di balik jaket itu. Namun yang jelas, dalam pakaian sesimple itu pun Mbak Nindie tetap kelihatan sexy di mataku. Terlebih lagi melihat bibirnya yang sudah dipolesi lipstick tipis itu…
“Kok malah bengong gitu?” tanya Mbak Nindie sambil menepuk bahuku.
“Mbak memang sangat menarik di mataku…” sahutku yang kususul dengan kecupan hangat di pipinya, “emwuaaaah… !”
Mbak Nindie menatapku sambil tersenyum manis dan berkata setengah berbisik, “Kita ini bersaudara Sayang…”
Sesaat kemudian Mbak Nindie sudah duduk di samping kiriku, dalam sedan hitam yang sudah kuluncurkan di atas jalan aspal.
“Mobil ini sebenarnya punya siapa Chep?” tanyanya.
“Punyaku.”
“Haaa?! Kirain punya Mamie… kan Mamie yang punya mobil seperti ini… tapi warnanya berbeda ya?”
“Kebetulan aja typenya sama cuma beda warna dan tahun dikeluarkannya. Mobil ini lebih muda setahun daripada mobil Mamie.”
“Owh… dikasih sama Papa?”
“Hadiah dari Mama. Kan aku sudah diijinkan mengunjungi rumah Mama.”
“Wah… kamu sih enak, punya mama kaya. Nggak seperti aku… serba kekurangan.”
“Kalau rumahnya dijual kan bisa dibelikan mobil.”
“Terus aku tidur di kolong jembatan?”
“Hahahaaa… kalau Mbak mengikuti semua jalan yang kuberikan, aku akan menggantikan peran Mas Purwo untuk membiayai kebutuhan Mbak… bahkan mungkin kehidupan Mbak akan jauh lebih baik daripada waktu menjadi istri Mas Purwo.”
“Asalkan jangan jalan sesat, pasti kuikuti.”
“Jalan sesat gimana maksudnya?”
“Jalan yang tidak melanggar hukum. Seperti perdagangan narkoba, misalnya.”
“Amit – amit. Aku sih gak pernah menyentuh narkoba Mbak. Merokok juga hanya sekali – sekali. Mana mungkin aku menempuh jalan itu. Semua yang kutempuh, jalan legal Mbak.”
“Syukurlah kalau gitu. Soalnya di zaman sekarang ini banyak yang kaya mendadak. Gak taunya jalan sesat yang ditempuh.”
“Aku lapar. Kita makan dulu ya,” kataku sambil membelokkan mobilku ke pekarangan sebuah rumah makan.
Setelah makan, barulah kulanjutkan lagi perjalanan menuju rumah yang Tante Aini hadiahkan padaku itu.
Tak lama kemudian mobilku sudah memasuki garasi rumah megah itu.
Setelah turun dari mobil, Mbak Nindie tercengang dan bertanya, “Ini rumah siapa Chep?”
“Rumahku. Pemberian adik Mama. Pavilyun itu akan dijadikan kantor yang baru akan dibuka tanggal satu bulan depan. Nanti Mbak bekerja di sana.”
“Pasti adik mamamu itu orang tajir ya. Rumah semegah ini diberikan begitu saja padamu.”
“Dia punya suami pengusaha minyak dari salah satu negara Arab di timur tengah.”
“Oooo… pantesan. Terus aku mau dijadikan apa di kantormu nanti?”
“Mbak akan kujadikan sekretarisku.”
Kemudian kami masuk ke dalam rumah. Mbak Nindie memeluk pinggangku terus pada waktu melihat – lihat keadaan di dalam rumah yang kamarnya banyak ini.
Ketika berada di dalam kitchen yang ditata secara modern dan peralatannya serba mahal ini, Mbak Nindie mendadak berkata, “Aku tugaskan ngurus kitchen aja Chep. Jangan dijadikan sekretaris.”
“Maksud Mbak, ingin jadi juru masak gitu?”
“Iya. Aku kan punya hobby masak. Waktu di Ternate juga pernah jadi asisten chef di sebuah restoran.”
“Kalau mau jadi juru masak, kamar Mbak di situ tuh,” kataku sambil menunjuk ke pintu kamar yang berdampingan dengan kitchen.
Lalu kubuka pintu itu. Keadaan di dalamnya memang sama saja dengan kamar – kamar lainnya. Ada kamar mandi tersendiri, yang fasilitasnya serba trend masa kini.
“Waaaah… kamarnya bagus sekali. Aku mau deh pindah ke sini…” ucap Mbak Nindie sambil melepaskan sepatunya, lalu melompat ke atas bed bertilamkan seprai biru muda itu.
“Boleh, sahutku sambil duduk di pinggiran bed. Tapi selama seminggu Mbak harus tinggal sendirian di sini. Karena aku masih banyak urusan yang belum selesai. Berani tinggal sendirian di sini?”
“Berani. Suasananya romantis begini. Pasti kerasan aku tinggal di sini, “Mbak Nindie duduk bersila sambil melepaskan jaket hitamnya.
Oi maaak…! Ternyata di balik jaket hitam itu tidak ada blouse. Tidak ada beha pula. Yang ada cuma penutup dada yang terbuat dari bahan seperti jaring. Sehingga toket Mbak Nindie tampak jelas di mataku.
“Mbak… ooooh… Mbak ini seksi sekali di mataku.”
“Kamu seneng toketku kan?”
“Semuanya seneng. Tadi waktu Mbak sedang ganti pakaian, aku sampai sulit bernafas.”
Mbak Nindie tersenyum. Lalu penutup dada yang terbuat dari kain jaring itu ditanggalkan. Celana jeansnya pun ditanggalkan. Sehingga tubuh gempalnya tinggal dilekati celana dalam hitam.
“Ayo deh… sekarang apa yang kamu inginkan akan kuikuti, “Mbak Nindie turun dari bed, lalu berbaring miring di atas sofa kulit berwarna coklat tua. Di situlah ia melepaskan celana dalamnya. Sehingga tubuh chubby-nya tak tertutup sehelai benang pun lagi.
Tanpa banyak basa – basi lagi kutanggalkan seluruh benda yang melekat di tubuhku, sehingga tubuhku jadi telanjang bulat seperti kakakku.
Mbak Nindie terperanjat dan melotot ke arah kontolku yang memang sudah ngaceng sejak di rumahnya tadi. “Edaaaan…! Ternyata kontolmu jadi segede dan sepanjang ini Chep?!” cetusnya sambil menggenggam kontolku.
“Makanya kubilang tadi, mumpung Mbak gak punya suami, apa salahnya kalau kita saling berbagi rasa… saling berbagi keindahan… toh di rumah ini hanya ada kita berdua…”
Mbak Nindie berjongkok di depan kakiku. Sambil memegang dan menciumi kontolku. Dan berdesis, “Gak nyangka kontolmu segede dan sepanjang ini. Padahal waktu masih kecil aku sering mandiin kamu. Pada waktu itu kontolmu masih kecil. Gak taunya sekarang jadi kontol raksasa…”
“Kayak pernah lihat raksasa aja Mbak. Lagian masa dibandingin dengan waktu aku masih kecil. Saat itu tetek Mbak juga belum tumbuh kan?”
“Iya… waktu kamu lahir, umurku baru delapan tahun,” sahut Mbak Nindie.
Ucapannya itu mengingatkanku bahwa Mbak Nindie sekarang sudah berumur 26 tahun. Sedangkan Mbak Susie, setahku 2 tahun lebih tua daripada Mbak Nindie. Berarti Mbak Susie sekarang sudah 28 tahun. Sebaya dengan usia Mamie.
Dalam hal itu aku salut juga kepada Papa, karena berhasil menggaet Mamie yang usianya sebaya dengan Mbak Susie.
Ketika Mbak Nindie bangkit berdiri di depanku, tiada keraguan lagi bagiku untuk mencium bibirnya yang sensual itu. Mbak Nindie pun mendekap piunggangku erat – erat, sehingga terasa kontolku bertempelan ketat dengan memeknya.
“Kamu hanya ingin mainin toketku atau sekujur tubuhku?” tanya Mbak Nindie setelah ciuman kami terlepas.
“Semuanya dong Mbak. Terutama ini nih,” sahutku sambil mengusap dan mencolek – colek memek Mbak Nindie yang bersih dari jembut.
“Padahal kita kakak beradik ya,” ucap Mbak Nindie sambil menggelitik pinggangku.
“Tapi kita terlahir dari rahim yang berbeda Mbak.”
“Iya sih,” sahut Mbak Nindie sambil menuntunku ke arah bed, “tapi aku gak mau munafik. Sejak masih di rumahku tadi, aku sudah mulai horny Chep.”
Lalu aku membuka jalan untuk mencairkan suasana. Dengan mendorong Mbak Nindie sampai celentang di atas bed. Lalu aku merayap ke atas perutnya. Untuk mengemut pentil toket kirinya, sedangkan tangan kiriku digunakan untuk meremas toket kanannya.
Kedua lengan Mbak Nindie berada di bokongku, sambil meremas – remas sepasang buah pantatku.
Pada saat kemudian aku mulai melumat bibir Mbak Nindie, sementara tanganku merayap ke bawah perutnya… menjelajahi memeknya yang bersih dari jembut.
Jari tanganku mulai menyelusup ke dalam liang memek Mbak Nindie. Membuatnya semakin lahap melumat bibirku. Ngocoks.com
Bahkan pada suatu saat Mbak Nindie membisikiku, “Chep… aku sudah horny berat nih. Langsung masukin aja kontolmu.”
“Tadinya pengen jilatin memek Mbak dulu.”
“Jangan. Nanti hornyku keburu ngedrop. Lain kali kan bisa jilatin memekku sepuasmu.”
Aku pun bergerak sambil memegang kontolku yang sudah ngaceng berat ini. Sementara Mbak Nindie sudah merentangkan sepasang paha gempalnya selebar mungkin.
Setelah merasa arahnya sudah pas, kudorong sang kontol sekuatnya… uuuugh… masuk sedikit demi sedikit, sampai hampir setengahnya.
Ternyata liang memek kakakku yang sudah punya anjak satu ini tidak bisa dianggap remeh. Masih sempit dan menjepit. Tak kalah dengan memek Tante Aini yang sama sekali belum pernah melahirkan.
Mbak Nindie pun langsung memeluk dan mencium bibirku, disusul oleh suaranya setengah berbisik, “Edane kontolmu iki Chep… guede ra ketulungan… !”
Dan ketika aku mulai mengayun batang kemaluanku, terasa benar mantapnya liang memek kakakku ini. Empuk dan licin tapi luar biasa legitnya.
Maka aku pun berbisik terengah, “Hhh… memek Mbak luar biasa legitnya… lebih legit daripada jenang…”
“Aku kan rajin minum jamu Chep… oooohhhh… kontolmu juga… enak sekali… lebih enak daripada kontol Mas Purwo… aku jadi takut… takut ketagihan…”
“Bulan depan kita kan bakal tinggal serumah di sini Mbak… kalau perlu bisa tiap malam kita ewean di sini.”
“Hihihihiii… ewean… hihiiihiii… ayo cepetin ngentotnya… iyaaaaa… iyaaaaa… entot terus Cheppphhh… entooootttt teruuuuussss… enaaaaak Chepiiii… kontolmu ini… luar biasa enaknyaaaaa… sampai merinding – rinding gini niiiih… entooot terusssss… iyaaaa… iyaaaaa…
Mbak Nindie merintih terus sambil menggoyangkan pinggulnya secara gila – gilaan. Memutar – mutar dan membentuk angka 8. Sehingga kontolku terombang – ambing seperti perahu oleng di tengah samudra. Namun semua ini luar biasa nikmatnya. Karena dinding liang memek Mbak Nindie yang empuk – empuk hangat itu membesot – besot kontolku dengan binalnya.
Bersambung…