Ketika Anna masih melumat bibirku dengan lahapnya, tanganku sudah berada di balik gaunnya. sudah memijat – mijat pahanya yang terasa hangat.
Namun tanganku hanya sampai pahanya, kemudian turun ke lututnya lagi.
Ciuman dan lumatan Anna pun terlepas.
Aku pun menjalankan lagi mobilku pada saat jam di dashboard menunjukkan pukul 03.00 pagi.
“Bakal ada kisah baru nih di antara kita Beib,” ucapku sambil mengemudikan mobilku.
“Iya. Hitung – hitung melanjutkan masa kecil kita aja.”
Aku memang mulai memikirkannya. Karena Anna memang sangat cantik. Padahal pada waktu kecil dia itu tampak tomboy dan gendut. Tapi setelah dewasa, dia kelihatan begitu cantik, tubuhnya pun tampak seksi sekali. Masa aku mau menghindar dari cewek cantik yang terang – terangan nembak aku duluan?
Tapi… apakah dia masih virgin atau sudah blong seperti Yama dan Gita?
Entahlah. Yang jelas dalam tempo secepat mungkin aku harus tahu “sikon”nya.
Setibanya di rumah, kubawa Anna ke lantai atas. Karena di situ ada kamar yang sangat indah viewnya. Namun Anna tampak ragu. “Aku mau ditinggal sendirian di sini Yang? Takut ah. Udah di kamarmu aja.”
“Mau tidur sama aku?” tanyaku.
“Iyalah. Ini rumah kok gede – gede amat. Kamu kok masih sangat muda sudah punya rumah sehebat ini. Apakah kamu sudah pandai nyari duit?”
“Rumah ini hadiah dari adik mama kandungku Beib. Sekaligus perusahaannya juga.”
“Ooo… pantesan. Tapi kamu masih kuliah kan?”
“Pendidikan sih gak boleh ditinggalin.”
“Kirain dilupakan saking asyiknya nyari duit.”
“Ya udah kalau mau tidur di kamarku, ayo. Aku udah ngantuk sekali nih.”
Anna pun mengikuti langkahku turun ke lantai bawah, sambil menjinjing tas pakaiannya dan masuk ke dalam kamarku.
“Kamarmu ini… kayak kamar pejabat tinggi aja Yang. Hmm… di sini suasananya terasa lebih hangat daripada yang di atas tadi,” kata Anna sambil mengeluarkan pakaian dari dalam tasnya.
Aku tidak mau menanggapinya, karena aku sedang mengganti pakaianku dengan baju dan celana piyama.
“Itu kamar mandi kan?” tanya Anna sambil menunjuk ke pintu kamar mandi pribadiku.
“Iya, “aku mengangguk sambil duduk di pinggiran bed, “Mau mandi?”
“Mau ganti baju Sayang.”
“Di sini aja mau ganti baju sih. Ngapain harus di kamar mandi?”
“Sekalian mau pipis,” sahut Anna sambil mengibaskan bajunya ke dekat mukaku.
“Pengen lihat kamu lagi pipis Beib,” ucapku sambil berdiri.
“Hihihiii… katanya ngantuk.”
“Iya. Nanti sehabis lihat kamu pipis, aku mau bobo,” kataku sambil mengikuti langkah Anna ke dalam kamar mandi.
“Ini buat pertama kalinya mau pipis disaksikan sama cowok,” kata Anna sambil menyingkapkan gaun terusannya yang berwarna hijau tosca, lalu menurunkan celana dalamnya sampai lutut dan duduk di atas kloset.
Terdengar bunyi kencingnya yang seperti pancaran air shower. Srrrr…!
“Pinter nyembunyiinnya. Sampai gak bisa lihat apa – apa,” kataku sambil memijat hidung Anna. Lalu aku keluar dari kamar mandi. Dan merebahkan diri di atas bed.
Tak lama kemudian Anna pun keluar dari kamar mandi. Sudah mengenakan kimono putihnya yang terbuat dari bahan goyang.
Setelah Anna berbariong di sampingku, aku memegang tangannya sambil bertanya, “Boleh aku tahu sesuatu yang sangat pribadi sifatnya?”
“Tanyalah… mau nanya apa?”
“Kamu masih virgin nggak Beib?”
“Masih lah.”
“Masa?! Aku kurang percaya.”
“Buktiin aja sendiri.”
“Haaa?! Emangnya aku boleh membuktikannya sendiri?”
“Boleh. Tapi kamu jangan menyia – nyiakan diriku kalau sudah membuktikannya.”
“Ya nggak lah. Kamu kan adik Mamie Beib. Mana mungkin aku tega nyakitin hatimu?”
“Kapan mau dibuktikannya? Sekarang?”
“Besok aja biar fisik kita sama – sama segar. Sekarang aku udah capek dan ngantuk.”
“Ya udah kalau gitu kita tidur aja ya.”
“Iya, tapi kitanya harus tidur telanjang ya Beib.”
“Haa?! Aku kedinginan dong nanti.”
“Kan kita tidur dengan satu selimut. Tapi sama – sama telanjang.”
“Sama amoy mualaf itu suka telanjang di balik selimut?”
“Iya,” sahutku berbohong. Padahal aku belum pernah melihat Nike telanjang.
Akhirnya Anna pun menanggalkan kimono dan celana dalamnya. Dan langsung telanjang, karena ia tidak mengenakan beha tadi.
Sekujur tubuh Anna yang tak tertutup apa – apa lagi itu… aduhai… indah sekali. Meski toketnya kecil, aku suka melihatnya.
Tapi setelah telanjang Anna langsung menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Sementara aku pun sudah menelanjangi diri dan menutupi tubuhku dengan selimut yang sama. Hanya leher dan kepala kami yang tidak ditutupi selimut.
Namun di balik selimut Anna memeluk pinggangku, sambil merapatkan pipinya ke pipiku. “Yakin nih takkan membuktikan virginitasku sekarang?” tanyanya setengah berbisik.
“Kalau dipaksakan sekarang, pasti kurang nikmat. Besok aja ya Beib,” sahutku sambil menggenggam toketnya yang tergenggam dengan satu tangan.
“Aku sih mau ikut kemauan kamu aja.”
Aku pun menguap terus, sehingga akhirnya kupejamkan mataku sambil tetap menggenggam toket kecil Anna.
“Toketku kecil ya,” ucap Anna setengah berbisik.
“Kecil tapi masih sangat kencang.”
“Memang gak pernah disentuh tangan colwok Yang.”
Aku mulai asyik meremas – remas toket kecil itu, yang memang masih kencang sekali.
Tadinya aku ingin memuaskan diri dengan memegang tokewtnya saja. Tapi lama kelamaan ada juga rasa penasaran, ingin memegang kemaluannya. Sehingga pada suatu saat, kujamah kemaluannya yang berambut jarang dan tipis itu.
“Jembutnya gak pernah dicukur?” tanyaku.
“Nggak lah,” sahutnya, “aku kan gak pernah mengusik memek segala. Kubiarkan aja apa adanya.”
Aku memang sudah mulai nafsu. Tapi kupaksakan tidur sambil menggenggam toket Anna.
Akhirnya kami benar – benar tidur.
Lewat tengah siang aku baru terbangun. Sementara Anna tampak sudah mandi. Bahkan sudah mengenakan celana jeans dan baju kaus putih.
“Sudah lama bangun?” tanyaku setelah menggeliat dan turun dari bed.
“Sejam yang lalu,” sahutnya.
“Udah makan?”
“Makan di mana? Keluar kamar aja belum. Takut ada yang nanya aku siapa dan sebagainya.”
“Ohya… di sini ada Mbak Nindie, kakak seayahku. Udah kenal dia kan?”
“Owh… udah kenal sama Nindie sih. Dia di sini sekarang? Bukankah dia di luar Jawa?”
“Iya. Dia cerai sama suaminya. Makanya kutempatkan aja di sini buat ngurus dapur dan satpam – satpam itu.”
“Owh… iya. Dulu kan Nindie pelatih bela diri ya. Pantesan satpamnya perempuan. Mungkin mantan murid Nindie kali.”
“Iya. Kamu cerdas Beib. Nanti kita ke villa aja ya. Biar romantis suasananya. Tapi jangan ngomong sama Mbak Nindie. Bilang mau nengok Mamie aja.”
“Iya, iyaaa… mandi dulu sana gih.”
“Memang aku mau mandi Beib,” sahutku disusul dengan kecupan di pipinya. Kemudian melangkah ke dalam kamar mandi. Dan mandi sebersih mungkin.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, kulihat Anna sedang duduk di sofa sambil mendengarkan lagu – lagu Dua Lipa dari handphonenya.
“Bagusnya jangan pakai celana jeans gitu, biar kelihatan bahwa kamu itu cewek Beib,” kataku sambil memegang bahunya.
“Emang pakai celana gini aku kelihatan kayak cowok?” tanyanya.
“Bukan gitu. Kita kan mau ke villa. Kalau pakai gaun atau rok kan gampang nyingkapinnya. Hihihihiii…”
“Ogitu ya. Aku bawa gaun tapi mini semua,” sahutnya sambil tersenyum.
“Malah bagus. Biar kemulusan pahamu kelihatan Beib,” kataku sambil mengeluarkan baju kaus dan celana pendek serba hitam dari dalam lemari pakaianku. Lalu kukenakan pakaian casual itu sementara Anna pun sudah mengenakan gaun span mini biru ultramarine yang memamerkan paha putih mulusnya.
“Kamu pakai apa aja kelihatan pantas Yang,” kata Anna sambil mengecup pipiku.
“Dan kamu sangat seksi memakai gaun mini begini,” sahutku sambil merayapi pahanya yang licin dan bisa bikin lalat terpeleset kalau hinggap di situ. Lebay ya.
“Kita mau langsung ke villa sekarang?” tanyanya.
“Iya. Nanti kita makan siang di dekat villa aja. Ada rumah makan langgananku di sana.”
Lalu kubuka pintu yang menghubungkan kamarku dengan garasi.
Setelah berada di dalam mobil, kupijat remote control pintu garasi yang selalu standby di dalam laci dashboard mobilku.
Dua orang satpam perempuan langsung mendekati pintu garasi yang sudah terbuka.
Hanya sebentar aku memanaskan mesin mobilku. Lalu menggerakkannya ke luar.
“Selamat siang Boss, “sapa kedua satpam perempuan itu sambil bersikap tegak.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Lalu mengeluarkan mobilku melewati puntu gerbang depan.
Beberapa saat kemudian mobilku sudah kularikan ke luar kota.
“Jadi ceritanya kita mau berbulan madu di villa nih?” cetus Anna sambil memegang dan meremas tangan kiriku.
“Iya,” sahutku sambil tersenyum, “Anggap aja kita sedang bulan madu.”
“Terus kalau aku hamil gimana?”
“Jangan dulu hamil. Itu di laci dashboard ada pil kontrasepsi. Disetubuhi seratus kali juga kamu gak bakalan hamil Beib.”
“Ogitu ya. Jadi kamu selalu siap dengan pil anti hamil Yang?”
“Iya. Aku kan harus jaga – jaga, jangan sampai hamilin anak orang tanpa tujuan.”
“Ohya Chepi Sayang… kalau aku tinggal di kota ini, ada job buatku gak?”
“Mmm… ada sih. Jadi kepala gudang, mau nggak?”
“Kepala gudang?! Kok serem banget kedengarannya?”
“Lho, kamu tinggal ngawasin aja jumlah barang yang datang dan keluar. Yang bekerja pegawaiku lah.”
“Aku kan cuma lulusan high school, setingkat dengan SMA di sini. Bisa nggak ya ngerjainnya?”
“Pasti bisa lah. Tapi kamu memang takkan balik ke Singapore lagi?”
“Nggak ada yang membiayainya. Kan tanteku yang dulu membiayai sekolahku sudah meninggal.”
“Ya udah kalau gitu untuk sementara ambil aja job itu. Mumpung belum diisi orang.”
“Terus aku tinggal di mana?”
“Di dekat gudang itu ada rumah yang bisa kamu tempati.”
“Aman gak?”
“Sangat aman Beib. Kan baik gudangnya mau pun rumah untuk kepala gudang juga dijaga oleh beberapa orang satpam.”
“Satpamnya cewek apa cowok?”
“Di sana sih satpamnya cowok semua.”
“Mmm… barang – barang di dalam gudang itu apa saja jenisnya?”
“Hanya pakaian untuk diekspor ke timur tengah.”
“Busana muslim semua ya.”
“Iya.”
“Mau deh aku dijadiin kepala gudang.”
“Untuk sementara aja. Nanti kalau kantor baruku sudah selesai dibangun, bisa aja kamu kutempatkan di kantor Beib.”
“Iya. Tapi kalau ditempatkan di kantor, aku harus melanjutkan pendidikanku dulu Yang. Supaya gak bego – bego amat nantinya.”
“Idealnya memang begitu. Tapi kamu kan bisa nyari calon wakilmu nanti. Pada waktu kamu kuliah, wakilmu itu yang mengerjakan tugasmu.”
“Ada sih saudara sepupuku. Tapi aku takut mengajaknya.”
“Kenapa?”
“Karena dia cantik sekali. Seksi pula. Kalau diajak ke sini, bisa – bisa kamu samber dia Yang.”
“Hush… aku bukan tukang samber cewek Beib,” ucapku sambil membelokkan mobilku ke pekarangan rumah makan yang terletak di luar kota, tidak jauh dari villa kepunyaan Tante Aini itu. Lalu kami makan di situ.
Setelah makan, kami lanjutkan lagi perjalanan menuju villa yang tidak jauh dari rumah makan itu.
“Mentalmu sudah benar – benar siap untuk digauli olehku Beib?” tanyaku sambil memegang lutut kanan Anna yang tidak tertutup gaun mininya.
“Fisik dan mentalku udah siap Yang. Soalnya aku juga ingin merasakannya.”
“Merasakan apa?”
“Merasakan disetubuhi oleh cowok. Sesuatu yang belum pernah kualami.”
“Kalau kami benar – benar masih perawan, kamu akan mendapat tempat istimewa di hatiku Beib.”
“Iya, makanya aku ingin mendapat tempat istimewa di hatimu, makanya aku akan menyerahkan sekujur tubuhku padamu dengan ikhlas.”
“Kalau ternyata tidak perawan lagi bagaimana?”
“Kalau aku gak perawan, kamu gak usah kenal lagi sama aku. Anggap aja aku hanya sekadar sampah. Bagaimana mungkin aku tidak perawan lagi. Pacaran serius pun belum pernah. Di Singapore apalagi, dengan teman sekelas aja gak saling sapa. Semua cuek, mengurus dirinya sendiri semua. Jadi aku juga terbawa – bawa begitu.
Aku tidak menanggapi. Karena diam – diam aku sedang membangun rencana. Bahwa aku akan memperistrikan setiap perempuan yang masih perawan sebelum kusetubuhi. Dan aku baru punya satu sosok yang masih perawan sebelum kusetubuhi.
Yakni dosenku sendiri yang bernama Shanti itu. Tentang Nike, aku belum membuktikan masih perawan tidaknya.
Maka kalau Anna benar – benar masih perawan, dia akan menjadi calon istriku. Kalau memeknya sudah bolong alias bekas kontol orang lain, sorry, jadi teman atau saudara saja lah.
Villa punya Tante Aini ini dipakai setahun sekali juga tidak. Mungkin Tante Aini hanya membelinya sekadar menanam investasi. Padahal villanya cantik sekali. terletak di puncak bukit kecil yang dikelilingi oleh hutan pinus.
Menurut Tante Aini, hutan pinus itu pun miliknya. Kelak jika pohon – pohon pinus sudah waktunya ditebang, aku juga yang ditugaskan untuk menjual kayunya kepada pihak yang membutuhkannya sebagai bahan bangunan atau untuk pulp pabrik kertas.
Villanya sendiri memang terbuat dari bahan tembok biasa. Tapi dilapisi dengan parkit kayu pinus yang sudah dioven. Memang kayu pinus bukan bahan kuat seperti jati, suren, kayu besi dan sebagainya. Tapi kalau sudah dioven, lain lagi ceritanya. Jadi kokoh dan cantik urat – uratnya.
Sedangkan lantainya dilapisi parkit kayu rasamala yang juga sudah dioven, sehingga jauh lebih keren daripada sebelumnya.
(Parkit = kayu yang sudah dipotong 20 X 10 centimeter, dengan ketebalan sekiktar 1 centimeter).
Begitu tiba di depan villa itu, Anna tampak asyik memperhatikan keadaan di sekelilingnya. “Terasa seperti di tengah hutan benar, tapi nyaman sekali perasaanku Yang,” ucapnya pada waktu aku memeluknya dari belakang.
“Mungkin nyamannya karena ada aku ya,” ucapku setelah menciumi tengkuknya.
“Iya, “Anna memutar badannya jadi berhadapan denganku. Lalu memagut bibirku ke dalam ciuman lengketnya. Dan berkata, “Tanpa kamu, mungkin villa ini membuatku takut. Takut ada binatang buas atau ada orang jahat.”
“Di sini tidak ada binatang buas. Keamanannya juga terjamin, karena ada beberapa petugas security yang selalu bergantian menjaga di pintu masuk tadi,” ucapku sambil mengangkat tubuh langsing Anna dan membopongnya ke dalam villa.
Lalu kuajak dia duduk di sofa ruang belakang, agarf bisa memandang indahnya view di bagian belakang villa. Di sofa itu Anna merebahkan kepalanya di atas kedua pahaku sambil berkata, “Indah sekali pemandangannya Yang.”
“Lebih indah lagi kalau kamu rebahannya sambil telanjang Beib.”
“Kamu dong yang lepasin pakaianku biar terasa mesranya,” sahut Anna sambil memegangi pergelangan tanganku.
Kuamati sejenak gaun mini biru ultramarine yang dikenakan oleh Anna itu. Ternyata ritsletingnya ada di depan, memanjang dari paling atas sampai ke ujung terbawah. Sehingga aku takkan kesulitan menanggalkan gaun mini itu.
Sekali tarik ritsleting plastik yang sewarna dengan gaunnya, maka terbelahlah gaun mini itu. Tak ubahnya membuka kimono. Ketika tubuh langsing tapi tidak kurus itu tinggal mengenakan beha dan celana dalam, aku spontan mengangkat dan membopong lagi tubuh mulus itu ke atas bed. di situlah Anna melepaskan behanya, sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhnya.
Pada waktu aku melepaskan celana dalamnya itulah, aku dibuat terlongong. Karena memek Anna tidak seperti tadi malam lagi. Memeknya sudah bersih dari rambut…!
Sehingga aku langsung bergairah untuk menjilati memek yang sudah bersih plontos itu.
Tapi tentu saja aku tidak langsung menerjang memeknya. Kulepaskan dulu pakaianku sampai tinggal celana dalam yang masih melekat di badanku. Kemudian kuhempaskan dadaku ke atas dada Anna. Dan mulailah aku mengeksploitir adik Mamie yang jelita itu.
Awalnya, kucium dan kulumat bibir Anna, kemudian mulutku melorot ke arah pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya yang kecil tapi sangat kencang itu. Anna pun bereaksi dengan meremas – remas sepasang bahuku dengan tubuh mulai menghangat.
Setelah agak lama memainkan toketnya yang bisa tergenggam oleh satu tangan, mulutku menurun ke arah perutnya. Kujilati pusarnya sebentar, lalu menurun ke arah memeknya yang sudah bersih dari jembut itu.
“Tadi subuh masih berambut. Sekarang sudah bersih gini. Kapan dicukurnya Beib?” tanyaku sambil menepuk – nepuk permukaan memek Anna perlahan.
“Hihihiii… tadi aku kan duluan bangun. Di kamar mandi kulihat ada pisau cukurmu yang masih baru. Lalu dibersihin deh jembutnya. Ini pertama kalinya aku mencukur memekku Sayang.”
“Mwuaaah… mwuaaaah… kalau bersih gini enak jilatinnya… mwuaaaah…” ucapku sambil menciumi memek Anna yang tampak jadi sangat elok dan erotis di mataku.
Lalu kungangakan bibir memek Anna yang tembem erotis itu. Sehingga bagian dalamnya yang berwarna pink itu mulai terlihat jelas di mataku. Bagian yang berwarna pink itulah sasaran awal lidahku.
Anna pun mulai mendesah – desah perlahan, sambil meremas – remas rambutku yang berada di bawah perutnya. “Aaaaaaaaah… Saayaaaang… aaaaah… Yaaaang… aaaaaaaa… aaaaaahhhh…”
Makin lama lidahku makin lahap menjilati memek Anna. Bahkan sesekali kucelucupi kelentitnya yang nongol sebesar kacang kedelai. Setiap kali mencelucupoi kelentitnya, sengaja kusedot – sedot juga bagian terpeka di kemaluan perempuan itu. Sehingga tubuh langsing berisi itu menggelinjang – gelinjang erotis disertai rintihan yang semakin menjadi – jadi, “Sayaaaaang…
Aku pun mengikuti keinginan Anna. Dengan lahap kujilati dan kusedot – sedot kelentit adik Mamie itu, sambil mengeluarkan air liurku yang sengaja kualirkan ke arah liang memeknya (yang tampak masih rapat sekali).
Cukup lama aku melakukan ini semua. Sampai akhirnya aku merasa bahwa permainan oralku sudah cukup “matang”. Air liurku sudah tergenang di bagian dalam kemaluan Anna. Berarti sudah saatnya untuk melakukan penetrasi.
Anna menurut saja ketika kedua pahanya kudorong agarf merenggang selebar mungkin. Kemudian kulepaskan celana dalamku. Sehingga batang kemlauanku yang sudah ngaceng berat ini tak tertutup apa – apa lagi.
Ketika moncong kontolku sudah kuletakkan di ambang mulut memeknya, Anna cuma menatap langit – langit kamar villa berlapis kayu parkit ini.
Lalu dengan sekuat tenaga kudorong kontol ngacengku. Uuuughhhhh…!
Kepala kontolku berhasil masuk, meski terasa belum sepenuhnya masuk. Kudorong lagi sekuatnya… uuuugggghhhh… kontolku membenam sampai lehernya.
Aku pun menghempaskan dadaku ke dada Anna. Lalu kudesakkan lagi kontolku sekuat mungkin.
“Ooooooohhhhh… su.. sudah masuk?” bisik Anna sambil mendekap pinggangku.
“Sudah, tapi baru sedikit,” sahutku disusul dengan dorongan kontolku dengan sekuat tenaga, agar masuk lebih dalam lagi, “Kalau agak sakit tahan ya. Nanti lama – lama juga kerasa enaknya Beib.”
“Iya. Lakukanlah apa pun yang harus dilakukan Sayang…”
Dengan perjuangan yang cukup ulet, akhirnya batang kemaluanku bisa membenam separuhnya. Maka mulailah aku mengayun kontol ngacengku perlahan – lahan. Mata Anna pun terpejam – pejam dibuatnya. Entah apa yang dirasakannya saat aku mulai mengentotnya. Dan merasakan betapa sempit menjepitnya liang kewanitaan adik ibu tiriku itu.
Namun jelas, lama kelamaan aku bisa mengentot liang sanggama yang masih sangat sempit itu, karena liang memek Anna sudah mulai menyesuaikan diri dengan ukuran kontolku.
“Sakit nggak?” tanyaku yang sedang mengayunm kontolku dalam gerakan masih perlahan.
“Tadi ada perih sedikit,” sahutnya, “tapi sekarang malah jadi enak Yang…”
Aku pun melanjutkan aksiku, mengayun kontolku laksana gerakan pompa manual, bermaju – mundur di dalam liang memek Anna yang luar biasa sempitnya ini.
Anna pun mulai merintih – rintih histeris, “Sayaaang… aaaaa… aaaaah Saaayaaaang… aaaaaah… ini… luar biasa indahnya Yaaaaang… luar biasa enaknyaaaa… oooooh… aku… aku semakin cinta padamu Sayaaaaang…”
Pada waktu aku menyetubuhi Bu Shanti untuk pertama kalinya, aku sangat berhati – hati. Takut menyakiti, takut menimbulkan trauma dan sebagainya. Sehingga aku pun tidak mau terlalu mengulur durasi ejakulasiku.
Tapi pada waktu menyetubuhi Anna ini, aku merasa ingin menikmatinya selama mungkin. Karena liang memek adik Mamie yang luar biasa sempitnya ini, luar biasa pula enaknya.
Aku tahu bahwa Anna sudah orgasme. Lalu ia terkulai lemas. Dan aku pura – pura tidak tahu. Kuentot terus liang memeknya yang sudah basah, tapi masih tetap sempit dan menjepit ini.
Beberapa detik kemudian, Anna pun tampak bergairah lagi. Untuk menikmati entotan kontolku yang baik ukuran mau pun ketangguhannya di atas rata – rata ini.
Rintihan – rintihan histerisnya pun mulai berlontaran lagi dari mulut Anna, “Chepi Sayaaang… ooooohhhh… ternyata bersetubuh ini enak sekali Cheeep… lu… luar biasa enaknya Cheeeep… ayo entot terus Sayaaaang… aku makin gemes dan makin sayang sama kamuuuuu… aaaaah… aaaaah… oooooohhhh…
Tubuh kami pun sudah basah oleh keringat yang bercampur aduk. Sampai pada suatu saat, aku mengajak Anna ganti posisi. Ia menurut saja ketika kusuruh merangkak dan menungging. Sementara aku menoleh ke arah darah di bekas tempat Anna celentang tadi. Darah perawan yang bisa dianggap saksi bisu tapi sangat akurat, bahwa sebelum ditembus oleh kontolku tadi, Anna memang masih perawan.
Keperawanan memang sudah menjadi sesuatu yang langka di zaman sekarang ini. Bahkan menurut survey di tahun 2002 saja, para mahasiswi di sebuah kota besar hanya 4% yang masih perawan. Berarti 96 di antara 100 orang sudah bolong semua, alias bekas dipakai sama kontol. Hanya 4 orang di antara 100 orang yang masih bisa menjaga kesuciannya.
Mungkin pada dasarnbya aku ini seorang cowok yang penyayang dan tidak tegaan. Setelah menyaksikan darah perawan di atas kain seprai putih itu, aku membatalkan niatku untuk menyetubuhi Anna habis – habisan.
Dalam posisi doggy ini Anna cepat ambruk. Berarti itu sudah orgasme yang kedua kalinya.
Kemudian kami kembali ke posisi missionary lagi. Dalam posisi inilah aku berkonsentrasi agar secepatnya ejakulasi. Dan aku berhasil mempercepat durasi ejakulasiku.
Memang untuk mempercepat ejakulasi, terasa mudah bagiku. Yang agak sulit itu memperlambatnya. Karena aku harus memikirkan yang buruk – buruk, agar ejakulasiku lambat datangnya.
Dalam posisi missionary inilah aku mempercepat entotanku. Lalu membenamkan kontolku sedalam mungkin, sehingga terasa moncongnya mentok di dasar liang memek adik Mamie ini.
Lalu kontolku mengejut – ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.
Croootttt… croooottttt… crootcroottt… crooooooottttt… croooottttt…!
Aku pun terkapar di atas perut Anna. Tapi, kusempatkan mencium bibir adik Mamie ini, disusul dengan bisikan, “Terima kasih Beib. Aku telah membuktikan keperawananmu barusan. Semoga hubungan kita abadi sampai masa tua kelak.”
Anna menatapku dengan sorot cinta. Dan berkata lirih, “Sekujur tubuh dan jiwaku sudah menjadi milikmu Sayang.”
Aku tersenyum sambil mencabut kontolku dari dalam memek Anna.
“Waaah… seprainya kecucuran darahku Yang,” ucap Anna tampak panik melihat darah perawannya yang mengotori kain seprai putih bersih itu, “Di sini ada mesin cuci?”
“Tenang aja, gak usah panik gitu Beib. Tinggal angkat aja kain seprainya. Nanti biar dicuci sama penunggu villa ini.”
“Ada kain seprai lain?” tanyanya.
“Banyak tuh di lemari itu.”
Dengan cekatan Anna menarik dan menggulung kain seprai yang kecipratan darah perawannya itu. Kemudian mengambil kain seprai baru yang dikeluarkannya dari lemari.
Ketika Anna tengah memasangkan kain seprai baru itu, tiba – tiba handphoneku berdering. Ternyata dari Mbak Nindie. Biasanya kalau Mbak Nindie meneleponku, pasti ada sesuatu yang penting. Maka kuterima call dari kakakku itu :
“Iya Mbak…”
“Chep… ada tamu nih. Kelihatannya penting sekali.”
“Laki – laki atau perempuan tamunya?”
“Perempuan. Bule pula. Dia istri Oom Safiq.”
“Oh iya iyaaa… aku ada urusan bisnis dengannya Mbak. Sekarang masih ada tamunya?”
“Masih. Mau bicara dengannya?”
“Nggak Usahlah. Bilang aja dalam dua jam aku sudah tiba di rumah. Memang aku penting sekali berjumpa dengannya.”
“Sekarang Chepi lagi di mana?”
“Di luar kota. Tapi gak jauh. Hanya belasan kilometer dari rumah.”
“Sebentar… aku mau ngomong dulu sama istri Oom Safiq ya.”
“Iya. Oom Safiq paman Mbak Nindie juga kan? Nama istrinya itu Irenka.”
“Owh… kamu udah tau namanya segala.”
“Dari Papa. Kan Papa yang menghubungkan aku dengannya dalam masalah bisnis.”
“Ya udah aku mau ngomong dulu dengannya.”
Hubungan seluler dengan Mbak Nindie terputus. Mungkin dia mau ngomong sama Tante Irenka dulu.
Sementara aku termenung sambil menyaksikan Anna yang sudah merapikan kain seprai baru itu.
Yang kupikirkan adalah, Papa dan saudara – saudaranya terasa kurang kompak begitu. Dengan istri adik Papa saja aku belum kenal.
Berbeda dengan Mama dan saudcara – saudaranya. Terasa kompak sekali dalam lingkungan keluarganya.
“Telepon dari siapa barusan?” tanya Anna yang sudah mengenakan kimononya.
“Dari Mbak Nindie. Di rumah sedang ada tamu penting. Tamu bisnis,” sahutku sambil mengenakan celana pendek putih dan baju kaus putih pula.
“Terus?”
“Aku harus pulang dulu. Bahkan mungkin harus terbang ke Surabaya. Kalau ditinggal dulu di sini mau gak Beib?”
“Iiih… yang bener aja. Masa aku mau ditinggalkan sendirian di tengah hutan begini?”
“Terus maunya ditinggalkan di mana?”
“Di rumah papamu aja. Ada pembantu kan di rumahnya?”
“Ada. Jadi mau diantarkan ke rumah Papa aja sekarang?”
“Iya.”
“Ohya… jangan lupa minum pil kontrasepsinya Beib. Kecuali kalau kamu ingin mengandung anak kita.”
“Jangan dulu hamil lah.”
Handphoneku berdering lagi. Dari Mbak Nindie lagi.
“Dia mau menunggu Chepi katanya,” kata Mbak Nindie di speaker hapeku.
“Iya Mbak. Aku segera pulang. Tapi mau nganterin adik Mamie dulu. Ohya… Mbak udah dengar berita Mamie belum?”
“Soal Mamie sudah melahirkan?”
“Iya.”
“Tadi pagi aku terima beritanya dari Papa by phone. Mungkin besok pagi mau ke rumah sakit. Sekalian anterin Mamie yang sudah akan pulang besok siang.”
“Iya Mbak. Aku mau langsung berangkat nih. Ajak ngobrol dulu istri Oom Safiq itu ya Mbak. Biar gak kesal nunggu aku datang.”
“Iya.”
Beberapa saat kemudian aku sudah mengemudikan mobilku, meninggalkan pekarangan villa.
“Semoga bisnisnya sukses, ya Sayang,” ucap Anna sambil menyandarkan kepalanya di bahu kiriku.
“Amiiin…” sahutku, “Sejak aku bedlajar berbisnis, ini bisnis terbesar. Makanya penting sekali aku menjumpai tamu yang sedang menunggu di rumahku itu. Maaf ya… sebenarnya kita sedang merasakan keindahan dan kenikmatan… tapi terpaksa harus dihentikan dulu.”
“Gak apa – apa. Dahulukan dulu bisnismu, demi masa depanmu kelak.”
“Masa depan kita. Bukan hanya masa depanku. Kalau bisnis ini goal, aku berani menghamilimu Beib.”
“Tapi halalkan dulu Yang. Biar anak kita bukan anak haram.”
“Yah… kalau disetujui oleh Mamie, aku akan menghalalkannya.”
Setibanya di rumah Papa, aku berkata kepada Anna, “Besok juga Mamie pulang. Pasti kamu ada gunanya Beib. Minimal bisa bantuin Mamie mandiin baby.”
“Iya. Kira – kira berapa lama kamu ngurus bisnismu?”
“Sulit ditebak – tebak. Bisa sehari, bisa seminggu. Tapi moga – moga aja cepat selesai dan sukses. Doakan aku ya Beib.”
“Iya, kudoakan semoga bisnisnya sukses Yang,” sahut Anna sambil mengecup sepasang pipiku.
Lalu aku pulang ke rumahku ketika hari mulai malam.
Kulihat ada sebuah mobil yang lebih mahal daripada mobilku diparkir di depan pintu garasi. Sudah pasti mobil made in England itu punya Tante Irenka.
Ternyata benar. Begitu aku masuk ke ruang tamu, seorang wanita bule yang usianya kutaksir sekitar tigapuluh tahunan, langsung bangkit dari sofa dan berjabatan tangan denganku.
“Irenka…”
“Chepi…”
“Jadi kamu anaknya Bang Adrian?” tanyanya dengan tangan masih menggenggam tanganku.
“Betul Tante Irenka…”
“Buat lidah orang Indonesia, mungkin lebih mudah menyebut namaku Iren aja. Gak pakai Tante juga gak apa – apa. Karena di Eropa, terkadang kepada ibu pun memanggil namanya saja.”
“Iya… iyaaa… tapi karena aku orang Indonesia, aku akan tetap memanggil Tante… mm… Tante Iren.”
“Oke… kita bisa langsung berbicara masalah ketiga kapal tanker itu ya,” ucap Tante Irenka sambil menarik tanganku dan mengajak duduk berdampingan di sofa.
Harum parfum mahal pun tersiar ke penciumanku.
“Kapal – kapal tanker itu milik siapa?” tanyanya dengan sikap yang sangat familiar.
“Punya orang. Tapi surat – suratnya sudah atas namaku semua Tante,” sahutku.
“Owh… berarti kita tidak perlu moderator, arranger dan sebagainya. Karena pihak buyer pun sudah menyerahkan segalanya padaku. Ohya, foto – fotonya sudah kulihat dari papamu. Tapi di situ tidak tercantum ukuran tonasenya.”
“Ketiga kapal tanker itu terdiri dari satu kapal ULCC (Ultra Large Crude Carrier), berkapasitas 500.000 ton. Dan dua kapal VLCC (Very Large Crude Carrier/Malaccamax), berkapasitas 300.000 ton.”
“Kondisinya memang bagus kan?”
“Semuanya barang second Tante. Tapi kondisinya bisa disebut delapanpuluhlima persen lebih. Bahkan bisa disebut sembilanpuluh persen.”
“Oke. Yang jelas ketiga – tiganya masih layak melaut kan?”
“Masih Tante. Soal itu sih kujamin masih bagus, karena baru selesai diservice dan direnovasi semuanya.”
“Kapal – kapalnya ada di mana sekarang?”
“Di Surabaya Tante.”
“Wow. Berarti kita harus ke Surabaya ya.”
“Iya Tante. Pakai pesawat sejam setengah juga tiba di Surabaya.”
“Kalau ke Surabaya, aku justru ingin pakai mobil aja. Satu mobil aja, biar kita bisa gantian nyetir nanti,” sahut Tante Irenka.
Pada saat itu belum ada jalan tol trans Jawa. Jadi paling juga harus lewat pantura. Untuk mencapai Surabaya dibutuhkan waktu lebih dari 12 jam, kalau menggunakan mobil pribadi. Setelah ada tol memang bisa hemat waktu, tapi biayanya lebih besar (untuk bayar jalan tol).
“Mau pakai mobilku apa mau pakai mobil Tante aja?” tanyaku.
“Pakai mobilku aja,” sahutnya, “Tapi gantian nyetir nanti ya.”
“Oke. Lalu mau berangkat kapan?” tanyaku lagi.
“Sekarang aja. Untuk jalan jarak jauh mendingan juga malam.”
“Tante bawa pakaian untuk ganti?”
“Ada. Selalu siap pakaian ganti di dalam bagasi mobilku.”
Lalu kami merundingkan lagi masalah harga ketiga kapal tanker itu. Dengan sedikit di mark up dari harga yang diputuskan oleh Tante Aini. Uang kelebihan itu nantinya kusediakan untuk Anna. Minimal harus jadi rumah untuknya, jika bisnis ini sukses.
Memang kalau dibandingkan dengan harga barunya, harga ketiga kapal tanker itu jauh lebih murah. Tidak sampai 50% dari harga barunya. Tapi tetap saja harga ketiga kapal tanker itu setelkah dijumlahkan, jadi duabelas nolnya.
“Kalau keadaan ketiga kapal itu kondisinya bagus seperti yang Chepi jelaskan, harganya cukup murah tuh. Tapi kepastiannya nanti saja, setelah aku melihat kondisi ketiga kapal tanker itu. Oke?”
“Oke Tante.”
Beberapa saat kemudian, aku sudah duduk di dalam mobil Tanted Irenka, yang ia kemudikan sendiri.
“Waktu pertama kali melihatmu tadi, aku sangat terkejut Chep,” ucap Tante Irenka di belakang setir mobilnya yang terasa nyaman didudukinya ini.
“Kenapa terkejut Tante?” tanyaku heran.
“Wajah dan gerak – gerikmu mirip pacarku waktu masih kuliah di Jakarta dahulu.”
“Lho… kata Papa, Tante ini orang Czech, lalu ketemu dengan Oom Safiq di Prague…”
“Informasi yang salah. Ayah dan ibuku memang berdarah Czech. Tapi aku lahir dan dibesarkan di Jerman. Kemudian aku mendapat beasiswa untuk kuliah di Jakarta. Pada saat itulah aku pacaran sama orang Indonesia yang bentuknya sangat mirip kamu Chep. Tapi sekarang dia tentu sudah berumur. Tidak semuda kamu lagi.
“Terus, ketemu dengan Oom Safiq di mana?”
“Di Jerman. Itu setelah aku selesai kuliah. Tapi kemudian aku sering mengunjungi Prague, kota leluhurku. Maka makin seringlah aku ketemu dengan pamanmu di Prague, karena pamanmu saat itu bertugas di Czech Republic. Dalam pengakuannya, pamanmu seorang duda beranak cewek dua orang. Istrinya meninggal sebelum dia bertugas di Prague.
“Terus dengan pacar yang orang Indonesia itu putus?”
“Iya. Dia berkeras agar aku melebur ke dalam agamanya. Tapi aku tidak bisa. Sementara pamanmu tidak memintaku jadi mualaf. Maka aku pun menerima lamarannya, lalu kami menikah di Prague. Begitu ceritanya.”
“Sekarang usia pacar Tante yang orang Indonesia itu kira – kira berapa tahun?”
“Sudah tua lah. Dia itu lima tahun lebih tua dariku. Sekarang usiaku sudah tigapuluh tahun. Berarti dia sudah tigapuluhlima tahun. Hmm… setelah melihatmu, aku merasa seolah – olah ketemu dengan reinkarnasi pacarku itu Chep.”
“Kalau boleh tau, siapa nama pacar Tante itu?”
“Panji.”
“Ya udah… anggap aja aku ini reinkarnasi Panji. Hehehee…”
Tante Irenka mengurangi kecepatan mobilnya. “Serius?!”
“Tentu aja serius. Cowok mana yang tidak tertarik oleh wanita yang cantik seperti Tante.”
Tiba – tiba Tante Irenka meminggirkan mobilnya sampai menginjak bahu jalan. Lalu menghentikan mobilnya, sekaligus mematikan semua lampu, tapi mesinnya tetap dinyalakan. Tanpa canggung – canggung lagi Tante Irenka merangkul leherku dan… mencium bibirku…!
Ooooh… apakah aku akan mengalami kisah baru di dalam perjalanan hidupku?
Mau giliran nyetir?” tanya Tante Irenka setelah ciumannya terlepas.
“Boleh,” sahutku sambil membuka pintu di sebelah kiriku. Lalu turun dari mobil di kegelapan malam itu. Tante Irenka pun turun dari pintu sebelah kanannya, lalu kami bertukar tempat.
Ternyata sedan buatan UK itu tiptronic juga seperti mobilku. Bisa matic, bisa juga manual.
Setelah menyalakan sign ke kanan dan lampu sorot depan, kuluncurkan mobil Tante Irenka ini dengan dendang baru di dalam batinku. Sangat berbeda dengan dendang Mama Aleta, karena Tante Irenka masih muda. Baru 30 tahun. 11 tahun lebih tua dariku.
“Oom Safiq sudah mengijinkan Tante berlama – lama di Surabaya nanti?” tanyaku sambil menyetir sedan punya Tante Irenka yang ternyata lebih nyaman daripada mobilku.
“Sudah mengijinkan. Apalagi setelah mendengar bahwa aku akan bersama anak Bang Adrian. Aku minta ijin paling lama dua minggu di Surabaya,” sahut Tante Irenka sambil merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku.
“Hitung – hitung sambil bernostalgia, ya Tante,” kataku sambil menjulurkan tangan kiriku, untuk memegang bahu kiri Tante Irenka.
“Chepi… aku ada usul nih. Bagaimana kalau kita beristirahat aja di Cirebon?” tanyanya setengah berbisik, disusul dengan gigitan kecil di daun telingaku.
“Mau check in di hotel maksud Tante?”
“Iya. Cari aja hotel bintang lima atau empat di Cirebon.”
“Tante udah pengen tidur?” tanyaku.
Tante Irenka menyahut dengan bisikan, “Pengen ditiduri… sama Chepi. Bukan sekadar pengen tidur biasa.”
“Siap Tante. Heheheee…”
Tante Irenka menatapku sambil tersenyum, “Siap apa?”
“Siap nidurin Tante…” sahutku lugu.
Tante Irenka tersenyum. Lalu mencium pipi kiriku, “Emwuaaaaah… !”
Tidak sulit mencari hotel berbintang di kota udang ini. Tapi tadi Tante Irenka menyebut bintang 5 atau 4. Berarti minimal harus mendapatkan hotel four star.
Aku sendiri bisa beradaptasi tidur di hotel melati tiga sekali pun. Namun mungkin Tante Irenka tidak biasa menginap di hotel biasa – biasa saja.
Akhirnya kudapatkan kamar di sebuah hotel bintang empat. Karena aku tak menemukan hotel bintang lima di kota ini, entah kalau sekarang sih.
Hotelnya cukup megah dan resik. Sehingga Tante Irenka pun langsung setuju ketika aku mau check-in di hotel ini.
Tapi ketika aku mau membayar di front office, Tante Irenka langsung memberikan kartu kreditnya ke resepsionis. Kubiarkan saja. Mungkin karena dia yang mengajak istirahat di Cirebon, maka dia juga yang merasa harus membayarnya.
Hotel yang cuma tiga lantai ini menyediakan kamar buat kami di lantai tiga, lantai tertinggi di hotel ini. Sementara jam tanganku sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Tapi Tante Irenka tampak begitu bersemangat. Sejak masih di dalam liftg, lengannya melingkari pinggangku terus. Apalagi setelah berada di dalam kamar bernomor 333 itu.
Ia memberi tip kepada bellboy yang mengantarkan kami sekaligus menjinjing tas pakaian kami. Dan setelah bellboy itu berlalu, Tante Irenka meletakkan kedua lengannya di sepasang bahuku.
Lalu bergegas ia menuju ke kamar mandi, meninggalkanku sendirian sambil memandang ke luar lewat jendela kaca yang dipasang permanen (tidak bisa dibuka, karena kamar ini dipasangi AC).
Tak lama kemudian Tante Irenka muncul dari kamar mandi, dalam keadaan yang sudah berubah. Tubuh putih mulusnya hanya dibebat oleh sehelai handuk hotel. Dan aku yakin, di balik handuk hotel itu tiada apa – apa lagi selain tubuh bule Tante Irenka.
Lalu ia merentangkan kedua lengannya sambil berkata, “Pangeran…! Aku siap ditiduri olehmu… !”
Aku tersenyum sambil menghampiri wanita bule yang sedang berdiri di dekat bed itu. Tanpa canggung kulepaskan busanaku sehelai demi sehelai, sampai telanjang bulat.
Tante Irenka terbelalak ketika pandangannya tertuju ke arah tongkat kejantananku yang sudah agak tegang tapi belum ngaceng full ini. Lalu ia melepaskan handuk putih itu, sehingga dugaanku terbukti. Bahwa setelah handuk itu dilemparkan ke bed, aku bisa menyaksikan indahnya sekujur tubuh istri Oom Safiq yang sudah telanjang bulat itu.
Tiada kata – kata yang terlontar dari mulut kami. Karena kami mulai melakukan body language (bahasa tubuh). Saling peluk dan menghempaskan diri ke atas bed.
Hmm… tubuh Tante Irenka terasa hangat ketika kedua tanganku mulai memegang sepasang toketnya yang lumayan gede dan indah sekali bentuknya itu.
Pada saat yang sama, Tante Irenka memegang kontolku sambil berkata, “Penismu jauh lebih gede daripada penis pamanmu.”
“Dalam bahasa Czech penis itu apa”
“Péro… kalau penis gede disebut velký péro… hihihi… sudah kebayang… Chepi pasti akan membuatku puas malam ini.”
Sebagai jawaban kuemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya dengan lembut. Tubuh Tante Irenka pun semakin menghangat.
Tapi aksiku ini hanya awalnya saja. Karena kemudian aku melorot turun, sehingga wajahku berhadapan dengan kemaluan wanita bule 30 tahunan itu. Kemaluan yang sangat bersih, tiada jembutnya sehelai pun. Lalu kuusap – usap memek putih yang bersih ini. “Vaginanya diwaxing Tante?”
“Dua minggu yang lalu aku ke German. Waxing sudah tidak populer lagi di sana,” sahutnya.
“Lalu diapain sampai bisa bersih begini?”
“Pakai sinar laser.”
“Owh… hasilnya bersih sekali Tante,” ucapku disusul dengan menciumi memek Tante Irenka yang bersih dan harum ini (mungkin dia menggunakan pengharum di kamar mandi tadi).
Lalu kami tidak berbicara lagi, karena aku sudah mengangakan bibir luar vagina Tante Irenka dan menjilati bagian dalamnya yang berwarna pink itu.
Tante Irenka pun terdiam sambil mengusap – usap rambutku yang berada di bawah perutnya. Mungkin dia sedang menikmati jilatan dan isapanku. Ya, karena aku tak cuma menjilati bagian dalamnya yang berwarna pink itu, melainkan juga menjilati clitorisnya disertai dengan isapan – isapan kuat. Sehingga kelentitnya mulai menonjol, sudah keluar dari selubungnya.
Hanya belasan menit aku melakukan semuanya ini. Dan ketika terasa air liurku sudah membasahi bagian dalam memek Tante Irenka, aku pun berlutut sambil meletakkan moncong kontolku yang sudah ngaceng berat ini di ambang mulut vagina Tante Irenka.
Kedua kaki Tante Irenka pun spontan terangkat dan mengangkang.
Tanpa basa – basi lagi kudesakkan kontolku sekuatnya. Dan… blessssss… mulai membenam ke dalam liang memek wanita bule itu.
Tante Irenka menarik kedua tanganku, sehingga dadaku terhempas ke sepasang toket gedenya yang cantik bentuknya itu. Sementara kedua kakinya berada di atas bokongku.
Maka mulailah aku mengayun kontolku, bermaju – mundur di dalam liang memek wanita bule itu.
Ketika entotanku masih perlahan, terdengar bisikan Tante Irenka di dekat telingaku, “Kalau bisnis kita sukses, hubungan ini harus berjalan terus ya.”
“Oke,” sahutku. Lalu aku mulai mempercepat entotanku, sambil menciumi dan menjilati leher Tante Irenka.
Wanita bule itu pun mulai mendekap pinggangku sambil menggoyang pinggulnya secara sederhana tapi terasa hidup sekali. Karena yang terpenting ia bisa menggesek – gesekkan kelentitnya dengan batang kemaluanku.
Sehingga terasa sekali betapa bergairahnya Tante Irenka ini menikmati genjotan kontolku. Terlebih sekali ketika jilatanku di lehernya disertai dengan gigitan – gigitan kecil, desah – desah nafasnya yang berbaur rintihan – rintihan histerisnya pun mulai berkumandang di dalam kamar hotel ini.
“Oooooh… ooooo… ooooohhhh… Chepiiii… your dick is amazingly delicious… come on… fuck me harder Cheeep… fuck me… fuck… fuck… oooooh… fuck me harder please…”
Mendengar rintihan itu, aku jadi semakin bernafsu, untuk mengentotnya sekeras mungkin seperti yang diinginkannya. Maka gerakan batang kemaluanku yang tadinya cenderung softcore pun berubah menjadi hardcore. Ngocoks.com
Kontolku menggenjot liang memek Tante Irenka dengan cepat dan keras. Gedak – geduk maju mundur dengan massive -nya. Tante Irenka menyambut entotan kerasku dengan merengkuh leherku ke dalam pelukannya.
Lalu ia memagut dan melumat bibirku dengan lahapnya, dengan mata merem melek. Kadang menatap mataku, kadang terpejam. Sementara pinggulnya tetap bergoyang – goyang efektif. Bukan goyang karawang yang meliuk – liuk dan menghempas – hempas itu.
“Lubang vagina Tante masih sangat sempit. Uuuugh… uuuugh… seperti belum pernah melahirkan,” ucapku pada suatu saat.
“Aaaaa… aaaaaah… aku memang belum pernah hamil Chepi…” sahutnya sambil merapatkan pipinya ke pipiku, “Oom Safiq kan pernah stroke berat… yang membuat penisnya tidak normal lagi…”
“Impoten?”
“Masih bisa ereksi… tapi selalu ejakulasi prematur… ooooh… ma… makanya aku ingin agar kamu menjadi pangeranku mulai saat ini…”
“Siap Tante… aku tak mau hipokrit… vagina Tante ini luar biasa enaknya… oooghhhh… benar – benar enak Tante… uuuughhhh…”
“Your dick juga luar biasa enaknya Cheeep… ooooh… ooooh…”
Tante Irenka mulai klepek – klepek. Mulai berkelojotan. Dan aku menyadari apa yang bakal terjadi. Karena itu kugenjot kontolku dengan gencarnya. Sampai pada suatu saat, ketika Tante Irenka mengejang tegang “I am coming… “rintihnya yang lalu terhenti karena mulai menahan nafas dalam kejangnya itu.
Lalu kunikmati sesuatu yang luar biasa indahnya. Bahwa ketika batang kemaluanku sedang ditancapkan tanpa digerakkan dulu, kurasakan liang memek wanita bule itu berkedut – kedut kencang, disusul dengan gerakan seperti ular membelit batang kemaluanku… diikuti dengan terbitnya lendir libido Tante Irenka, yang membuat liang memeknya jadi basah dan hangat sekali.
“Aku sangat suka merasakan wanita orgasme seperti ini. Indah sekali…”
Lalu kutawarkan untuk mengubah posisi. Karena setahuku wanita bule senang main dalam posisi doggy atau WOT.
Tapi di luar dugaanku, Tante Irenka menyahut, “Aku hanya menyenangi posisi missionary begini. Karena hanya posisi inilah yang paling nikmat bagiku. Tapi tunggu sebentar ya, jangan digerakkan dulu penismu. Aku ingin menghayati indahnya orgasme yang kualami barusan.”
Kuikuti saja keinginannya. Kumainkan toket gedenya sambil berkata, “Your breasts are so beautiful…”
“Terima kasih,” sahut Tante Irenka sambil mengusap – usap rambutku, “Ayo lanjutkan lagi… sekarang aku sudah siap…”
Aku tersenyum sambil mengayun kontolku kembali. Yang disambut dengan ciuman dan lumatan Tante Irenka. Bahkan lalu lidahku disedot ke dalam mulutnya, lalu digeluti oleh lidahnya. Di saat lain, ketika lidahnya dijulurkan, kusedot lidah itu ke dalam mulutku.
Sementara itu entotanku makin lama makin kencang dan keras. Karena Tante Irenka menghendakinya begitu.
Bersambung…