Kekagumanku kepada Tante Irenka semakin mendalam setelah melihat dia begitu lincahnya memeriksa ketiga kapal tanker itu satu persatu. Bahkan ruangan demi ruangan diperiksanya dengan teliti.
Yang sangat membesarkan hatiku, Tante Irenka selalu mengacungkan jempolnya setiap kali habis memeriksa bagian demi bagian ketiga kapal tanker itu. Terlebih lagi setelah memeriksa kapal ULCC (Ultra Large Cruder Carrier) yang ukurannya terbesar di antara ketiga kapal tanker itu, ia langsung mengajakku berbicara di cabin.
Di situlah ia berkata, “Kapal ULCC ini bisa kujual dengan harga yang sangat mahal. Jadi… begini aja… aku setuju dengan harga yang telah Chepi ajukan. Tapi di dalam transaksinya nanti, harga ketiga kapal itu akan kunaikkan limapuluh persen dari harga yang sudah ditawarkan itu. So… Chepi harus menandatangani harga yang sudah dimark up limapuluh persen.
“Apakah realistis harga yang sudah dimark up itu?” tanyaku ragu.
“Lho… aku kan decision maker dari pihak buyer. Dalam transaksi nanti, hanya ada dua orang yang jadi decision maker, Chepi decision maker dari pihak owner dan aku decision maker dari pihak buyer. Yang lain – lain hanya sebagai pelengkap saja.”
“Iya Tante,” sahutku dengan hati berbunga – bunga. Karena aku sudah menaikkan harga ketiga kapal tanker itu, untuk membelikan rumah bagi Anna. Namun ternyata mark upku tidak ada apa – apanya jika dibandingkan dengan mark up Tante Irenka.
Akhirnya aku menyatakan hendak mengikuti “prosedur” Tante Irenka saja. Sambil membayangkan betapa banyaknya aku akan memiliki dana dari jatah yang 25% itu.
Memang banyak prosedur yang harus dilewati. Ada juga beberapa orang yang ditugaskan oleh Tante Aini untuk membantuku sampai selesai bertransaksi dengan Tantge Irenka.
Untuk itu aku dan Tante Irenka sampai 8 hari harus tinggal di Surabaya. Sampai pada suatu hari, tanpa sepengetahuan Tante Irenka aku menghubungi Tante Aini by phone :
“Transaksi sudah selesai Tante. Uangnya sudah mengendap di rekening perusahaan semua.”
“Syukurlah, berarti kamu punya faktor keberuntungan dalam banyak hal Chepi. Anggaplah hasil penjualan kapal – kapal tanker itu sebagai investasi untuk mengembangkan perusahaan yang Chepi pegang sekarang.”
“Banyak sekali investasinya Tante. Bisakah kita mengembangkan jenis usahanya?”
“Tentu saja bisa. Asalkan sesuai dengan aktivitas yang tercantum di dalam badan hukum kita. Ekspor – impor dan perdagangan umum kan?”
“Iya Tante. Perdagangan umum kan universal sifatnya Tante. Kalau perlu kita bikin lagi PT baru, yang sesuai dengan rancangan aktivitas kita Tante.”
“Lakukanlah apa pun yang menurutmu baik dan menyehatkan perusahaan kita. Aku kan sudah memasrahkan segalanya padamu. Silakan saja cari aktivitas baru, tapi yang sesuai dengan kemampuanmu. Jangan terlalu memaksakan diri, karena kamu masih kuliah juga kan?”
“Aku sudah mengajukan cuti kuliah selama setahun Tante.”
“Ohya?! Kasihan juga keponakanku tersayang sampai harus cuti kuliah segala.”
“Nggak apa Tante. Nanti aku akan kejar ketertinggalanku di tahun depan. Sekarang mau fokus ke bisnis dulu. Mumpung enerjiku sedang berkobar Tante.”
“Iya, iya… kamu pasti tau mana jalan terbaik bagi kita semua Chep. Aku merestui semua jalan yang kamu pandang positif nanti. Aku bangga punya keponakan sekaligus kekasihku.”
“By the way, kira – kira kapan Tante mau melahirkan?”
“Sekitar dua bulan lagi Sayang. Ohya… anak kita sudah ketahuan jenis kelaminnya. Ternyata anak kita ini laki – laki Sayang. Semoga anak kita setampan kamu.”
“Amiiin…”
“Ohya… coba kuasa buyer kapal tanker itu tawari kapal pesiar bekas, tapi umurnya baru sekitar tiga dan lima tahunan. Semuanya masih jalan dan terawat.”
“Ada berapa kapal pesiar yang mau dijual itu Tante?”
“Semuanya ada lima kapal. Pemiliknya orang Arab semua. Mereka ingin ganti dengan kapal pesiar yang lebih mewah lagi.”
“Iya Tante. Nanti kutanyakan sama orangnya.”
Lalu Tante Aini menceritakan bagaimana senangnya Sang Suami setelah mendengar bahwa bayi yang masih di dalam kandungannya itu laki – laki.
Lalu kami ngobrol ke barat ke timur ke utara ke selatan.
Setelah menghubungi Tante Aini, semangatku semakin berkobar.
Ternyata Tante Irenka pun tampak semakin bersemangat setelah transaksi ketiga kapal tanker itu selesai. Dia juga menceritakan bahwa sang Buyer yang sebenarnya minta agar Tante Irenka mencari lagi kapal tanker sebanyak mungkin.
Aku tidak tahu mau beroperasi di mana kapal – kapal tanker itu. Dan aku tidak menanyakannya kepada Tanter Irenka. Karena hal itu sudah bukan urusanku lagi. Yang penting, ketiga kapal tanker itu sudah terjual lunas. Dan aku mengendapkan dana yang sangat banyak di rekening pribadiku. Dana yang 25% dari Tante Irenka itu.
By the way, hubunganku dengan Tante Irenka dalam waktu 8 hari ini semakin lengket saja rasanya. Khususnya tentang masalah sex, Tante Irenka bukan seorang wanita yang hypersex. Tapi bukan pula wanita yang frigid. Maka selama bersamaku di Surabaya, dia “hanya” minta jatah dua hari sekali. Berarti selama 8 hari itu Tante Irenka kugauli sebanyak 4 kali.
Bahkan pada suatu saat, ketika aku sedang mencumbu Tante Irenka yang sudah telanjang bulat di kamar hotel, Tante Irenka berkata, “Yang penting hubungan sex itu bobotnya atau kualitasnya. Bukan keseringannya. Dan sejauh ini hubungan sex dengan Chepi terasa sangat berkualitas. Makanya dua malam sekali pun lebih dari cukup.
“Kalau ketahuan sama Oom Safiq bagaimana?” tanyaku.
“Gak apa – apa. Aku dan pamanmu sudah punya kesepakatan baru.”
“Kesepakatan mengenai apa?”
“Pamanmu sangat mencintaiku. Dia memohon agar aku jangan sampai meninggalkan dia setelah dia mengalami stroke dan selalu gagal memuaskan gairah biologisku. Dia bahkan sudah mengijinkanku untuk selingkuh dengan lelaki lain, asalkan aku tetap hidup bersama pamanmu.”
“Waktu mau berangkat ke Surabaya ini, Oom Safiq tau kalau Tante pergi bersamaku?”
“Tau. Dia bahkan menganjurkan untuk menjadikan Chepi sebagai kekasihku.”
“Ohya?! Kok Tante baru bilang sekarang?”
“Soalnya hal itu tidak penting Chep. Diijinkan atau tidak oleh pamanmu, aku tetap akan berjuang untuk mendapatkanmu. Dan sekarang aku sudah mendapatkanmu. Kebetulan pula kamu sangat mirip dengan mantan pacarku dahulu. Jadi… aku menyerahkan tubuhku padamu secara total. Karena hatiku pun sudah kamu miliki sekarang Sayang.
Pada saat itu aku sedang merapatkan pipiku ke pipi Tante Irenka, sementara jemariku sedang menggerayangi kemaluannya yang sangat bersih itu.
Ketika kurasakan liang memek istri Oom Safiq itu sudah basah, kuletakkan moncong kontolku di ambang mulut memeknya sambil berkata, “Sebenarnya aku sudah punya calon istri. Tapi Tante sudah mendapat tempat istimewa di dalam hatiku. Maka aku pun berharap agar hubungan kita tetap terjalin, baik dalam bisnis mau pun birahi kita.
Lalu kudesakkan batang kemaluanku sekuat tenaga. Dan… mulai membenam sediukit demi sedikit… blesssssskkkkkkkk…
“Ooooh… sudah masuk Sweetheart… “rintih Tante Irenka sambil melingkarkan lengannya di leherku. Lalu menciumi bibirku bertubi – tubi.
Aku tidak berdusta waktu mengatakan bahwa Tante Irenka ini punya tempat istimewa di dalam hatiku. Karena selain cantik dan bertubuh putih mulus, liang memeknya pun terasa legit dan menjepit. Lebih dari itu semua, kayaknya aku bakal punya hubungan bisnis terus dengannya kelak. Karena itu aku pun harus membuatnya benar – benar puas setiap kali aku menyetubuhinya.
Kebetulan Tante Irenka hanya menyukai posisi missionary. Padahal kalau nonton di bokep – bokep, orang bule itu di awalnya saja sudah langsung main doggy. Lalu posisi miring, WOT dan sebagainya. Tapi Tante Irenka hanya suka main dalam posisi missionary. Karena ia ingin benar – benar menikmati gesekan dan sentuhanku.
Mungkin Tante Irenka ini pada dasarnya senang diperlakukan secara romantis.
Karena itu aku pun berusaha untuk memberikan kepuasan padanya dengan apa yang bisa kulakukan.
Aku bahkan sudah bhafal di mana saja titik – titik sensitif pada tubuh Tante Irenka. Maka kumulai mengentotnya sambil menjilati daun telinganya. Aksi ini mulai membuat Tante Irenka terpejam – pejam.
Terlebih lagi ketika aku mengentotnya sambil menjilati ketiaknya, disertai dengan sedotan – sedotan kuat, maka Tante Irenka pun semakin menggelinjang – gelinjang sambil berdesah dan merintih histeris, “Chepiiii… aku bisa tergila – gila olehmu Chep. Apa pun yang kamu lakukan padaku… selalu saja membuatku serasa sedang melayang – layang di surga…
Ooooh… Chepppiiii… kamu jangan tinggalkan aku sampai kapan pun yaaaa… aku sudah menganggapmu sebagai pangeran yang diturunkan dari langit untuk mengucurkan keindahan dan kenikmatan padaku… ooo… ooooohhhh… Cheeeepiiii… entot terus Cheeeeep… penismu luar biasa enaknya Sweetheart…
Sementara itu aku menilai bahwa yang paling indah di tubuh Tante Irenka ini adalah sepasang payudaranya. Karena selain gede, bentuknya sangat lonjong yang indah sekali. Kali ini aku ingin meremas sekuatnya. Maka kucoba meremas toket indah itu lebih kuat dari biasanya. “Tidak sakit kuremas sekuat ini Tante?
“Tidak sayang. Pamanmu kularang meremas terlalu kuat. Karena aku ingin agar payudaraku tetap indah bentuknya. Tapi khusus untukmu… silakan remas sekuatnya. Karena dirimu mungkin akan jadi pelabuhan cintaku yang terakhir Chep…”
Maka tangan kiriku mulai meremas toket kanan Tante Irenka, sementara mulutku asyik mengemut pentil toket kirinya yang tegang dan kemerahan ini. Sedangkan kontolku makin masive mengentot liang memek Tante Irenka yang luar biasa legit dan sempit menjepit ini.
Terkadang aku mengentotnya sambil sedikit mengangkat tubuhku, karena ingin memperhatikan maju mundurnya kontolku di dalam mulut memek wanita bule itu.
Lalu kuhempaskan lagi dadaku ke atas sepasang toket yang bentuknya sangat erotis itu. Disambut lagi dengan rengkuhan dan pelukan Tante Irenka.
Keringat pun mulai berjatuhan ke atas dada dan leher serta wajah Tante Irenka. Bercampur baur dengan keringatnya sendiri.
Dan manakala tangan Tante Irenka terangkat ke dekat kepalanya, kujilati lagi ketiaknya yang sudah basah oleh keringat, tanpa menimbulkan perasaan risih sedikit pun.
Namun pada suatu saat Tante Irenka berkelojotan sambil berucap terengah, “Aku sudah mau orgasme Chep… barengin lagi yok kayak kemaren…”
Aku pun berusaha mengikuti keinginan istri Oom Safiq itu, dengan mempercepat entotanku, seperti pelari yang sudah mendekati garis finish.
Kontolku maju mundur dengan cepatnya di dalam jepitan liang sanggama Tante Irenka.
Dan ketika sekujur tubuh Tante Irenka mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat… aku pun membenamkan kontolku sedalam mungkin, sambil meremas sepasang toket wanita bule itu.
Lalu detik – detik yang sangat indah ini pun terjadi. Bahwa ketika liang memek Tante Irenka berkedut – kedut kencang, diikuti dengan gerakan sekujur liang sanggamanya yang seolah belitan ular meremas batang kemaluanku… kontolku pun mengejut – ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.
Croooottttt… croootttt… crottt… croooottttttt… crooootttt… crooootttt…!
Aku meninggalkan Surabaya dengan gejolak batin seolah panglima yang baru menggondol kemenangan di medan perang.
Tante Irenka pun tampak sangat bersemangat. Bahkan pada suatu saat ia bertanya, “Chepi tau siapa buyerku yang telah membeli ketiga kapal tanker itu?”
“Siapa Tante?” aku balik bertanya.
“Ayahku sendiri.”
“Ayah Tante?!”
“Iya. Dan yang sangat menyenangkan ketiga kapal tanker itu sudah dibeli lagi oleh seorang pengusaha minyak dari Afrika Selatan. Sekarang ketiga kapal tanker itu sudah melaut menuju Afrika.”
“Begitu cepatnya proses itu terjadi?!”
“Tidak terlalu cepat juga. Kita kan menghabiskan waktu dua minggu selama ini. Kemaren buyer dari Afrika Selatan itu datang ke Surabaya, beserta nakhoda – nakhoda dan crew kapalnya.”
“Baguslah. Berarti kita sudah mencapai sukses yang gemilang, ya Tante.”
“Iya… itu suatu pertanda bahwa hubungan kita harus berlanjut terus sampai tua.”
“Siap Tante.”
“Duit pembagian keuntungan itu mau dipakai untuk apa Chep?”
“Biar mengendap aja dulu di rekeningku Tante. Itu kan bukan duit sedikit. Harus dipikirkan sematang mungkin mau dipakai apa nanti.”
“Mau dijadikan tambahan modal usahamu?”
“Sebaiknya begitu. Kalau tidak diputar, lama kelamaan bisa habis juga nanti.”
“Kamu masih sangat muda. Tapi pola pikirmu sudah sangat dewasa dan penuh tanggung jawab. Itu salah satu kelebihanmu Sayang,” ucap Tante Irenka sambil mengecup pipi kiriku.
“Terima kasih Irenka Sayang,” ucapku di belakang setir mobil Tante Irenka.
“Mmmm… aku suka sekali kamu panggil aku dengan sebutan Irenka Sayang itu… membuatku makin dalam mencintaimu Honey.”
Tante Irenka sudah berterus terang bahwa yang menjadi buyer ketiga kapal tanker itu adalah ayahnya sendiri. Tapi aku tetap merahasiakan siapa pemilik ketiga kapal tanker itu. Karena takut berbuntut panjang kalau beritanya menyebar ke mana – mana. Selain daripada itu, percuma juga aku menyebut nama Tante Aini.
Yang membuatku agak ragu – ragu, Tante Irenka memintaku mengantarkannya sampai di rumahnya. Berarti aku akan berjumpa dengan Oom Safiq. Dan itu membuatku takut juga sih.
Tapi Tante Irenka berkata, “Nanti kita harus bersikap seperti belum terjadi apa – apa di antara kita berdua. Santai aja Milenec.”
“Milenec?!”
“Milenec itu kekasih di dalam bahasa Czech.”
“Tante dibesarkan di Jerman. Tapi bahasa Czech tetap digunakan juga ya.”
“Iya. Di dalam keluargaku tetap menggunakan bahasa Czech. Tapi kalau di luar rumah kami menggunakan bahasa Jerman.”
Akhirnya aku berhasil menabahkan diri untuk mengantarkan Tante Irenka ke rumahnya. Berarti aku harus menjumpai Oom Safiq tanpa perasaan takut atau pun kuatir. Karena Tante Irenka sudah menjamin takkan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Ternyata sore itu Oom Safiq sedang duduk di teras belakang, di atas kursi rodanya, menghadap ke arah taman yang berada di pekarangan belakang rumahnya.
Tante Irenka duluan menghampiri Oom Safiq. Lalu mencium sepasang pipi adik Papa itu.
“Bagaimana? Sukses?” tanya Om Safiq dengan suara yang agak pelo. Mungkin salah satu dampak kena stroke itu.
“Sukses Pap. Itu anaknya Bang Adrian ikut,” sahut Tante Irenka sambil menunjuk ke arahku.
“Mana?” Oom Safiq memutar arah kursi rodanya. Mungkin untuk menoleh pun tidak bisa.
Cepat aku berlutut di depan kursi roda adik kandung Papa itu. “Ini Chepi Oom,” ucapku sambil mencium tangan Oom Safiq.
“Waduh… Chepi sudah ja… jadi pemuda gini? Papamu sehat?” tanya Oom Safiq dengan suara yang kurang jelas, sambil mengusap – usap rambutku.
“Sehat Oom. Papa suka ke sini kan?”
“Sering,” sahut Oom Safiq, “Sejak aku kena stroke, papamu suka nengok ke sini. seminggu sekali.”
“Owh… terus adek – adek ke mana Oom?”
“Elke dan Hania pada kuliah di Australia.”
“Jadi di sini Oom cuma berdua dengan Tante Irenka saja?”
“Bertiga dengan adik tantemu itu,” sahut Oom Safiq.
“Owh iya… tunggu sebentar ya Chep. Kamu harus kenal juga dengan adikku,” kata Tante Irenka sambil melangkah ke lorong menuju pintu – pintu yang berderet.
Pada saat itulah Oom Safiq berkata padaku, “Apakah tantemu sudah bilang mengenai sesuatu yang harus dirahasiakan itu?”
“Su… su… sudah Oom,” sahutku tergagap.
“Aku titip tantemu itu ya Chep. Aku sudah tidak berdaya dalam masalah sex. Tapi aku tak mau kehilangan dia.”
“Iya Oom.”
“Nah… daripada dia selingkuh dengan orang luar, mendingan kamu yang mewakili aku untuk memuaskan libidonya yang masih kenceng.”
“Iii… iya Oom.”
“Yang penting dia tetap mendampingiku sampai aku mati nanti. Tapi Chepi yang harus bisa memuasi hasrat birahinya. Aku ingin membahagiakannya dengan caraku sendiri. Tapi jangan ngomong apa – apa sama papamu ya. Jadikan hal ini rahasia kita bertiga, aku, tantemu dan kamu Chep.”
“Iya Oom…”
“Emangnya selama di Surabaya kalian belum pernah melakukan apa – apa?”
“Be… belum Oom. Di Surabaya kami sibuk mengurus bisnis. Lagian aku ingin kejelasan dari Oom dulu,” sahutku berbohong, seperti yang disarankan oleh Tante Irenka dalam perjalanan dari Surabaya tadi.
“Sekarang sudah jelas kan? Tantemu tidak berbohong. Aku sendiri yang menganjurkannya seperti yang sudah diceritakan barusan. Bisa kan kamu membantuku dalam hal yang harus dirahasiakan itu?”
“Si… siap Oom.”
Tak lama kemudian Tante Irenka muncul, bersama seorang cewek bule cantik, mengenakan gaun panjang ditutup oleh jaket tebal. Cantik dan segar kelihatannya. Aku yakin usianya pun masih belasan tahun.
“Nih kenalin adikku,” kata Tante Irenka. “Namanya Anastazie. Kalau di negara lain sih namanya bisa jadi Anastasia atau Anastasya. Tapi bagi orang Czech namanya Anastazie. Chepi bisa menggil Zie aja sama dia, biar gak sulit ngucapinnya.”
Lalu aku berjabatan tangan dengan adik Tante Irenka yang bernama Anastazie itu.
Yang membuatku terlongong adalah… Anastazie itu… cantik sekali…!
Maka diam – diam aku melakukan sesuatu yang nakal. Bahwa ketika aku berjabatan tangan dengannya, ujung telunjukku mengorek – ngorek telapak tangan Anastazie. Dan cewek bule itu menatapku dengan senyum manis di bibirnya…!
Namun tak lama aku melakukan hal itu. Karena tampak Oom Safiq menggerakkan kursi rodanya yang lumayan canggih. Kursi roda yang dilengkapi dengan tenaga listrik, sehingga tangannya tak perlu mengayuh rodanya, cukup dengan memijat tombol saja. “Aku mau istirahat dulu ya Chepi,” kata Oom Safiq, “Kamu mau nginap di sini kan?
“Mmm… iya Oom,” sahutku terlontar begitu saja.
Tante Irenka pun mengikuti kursi roda electric itu, sementara aku dan Anastazie masih berada di teras belakang rumah Oom Safiq yang lumayan besar dan megah itu.
“Can you speak Indonesian?” tanyaku.
“Bisa,” sahut Zie, “Aku kan sudah enam tahun tinggal di Indonesia.”
“Wow, kirain belum lama di sini.”
“Sejak kelas satu SMP aku tinggal di sini.”
Tak lama kemudian, Tante Irenka muncul lagi dan memberi isyarat padaku agar mengikutinya menuju pintu pertama yang berderet di lorong itu.
Aku pun mengikuti langkahnya, masuk ke dalam kamar pertama.
Setelah berada di dalam kamar, Tante Irenka berkata, “Oom Safiq mengijinkanku untuk bercinta denganmu sekarang. Tapi aku akan memberikan jatahku kepada Zie. Kasihan dia itu. Usianya sudah delapanbelas tahun tapi belum pernah merasakan hubungan sex. Kalau di Jerman sih cewek baru berusia empatbelas atau limabelas pun banyak yang sudah merasakannya.
“Iya, aku pernah dengar masalah itu di Eropa, bukan hanya di Jerman.”
“Zie memang cantik. Tapi ada sesuatu yang membuatnya minder, sehingga setelah tinggal di sini gak mau bergaul.”
“Memangnya kenapa dia Tante?”
“Toketnya gede banget. Jauh lebih gede daripada toketku,” sahut Tante Irenka, “Makanya dia selalu memakai jaket, untuk menyembunyikan kegedean toketnya itu. Chepi mau kan menolongnya?”
“Dengan cara apa aku bisa menolongnya?”
Setengah berbisik Tante Irenka menyahut, “Kasih dia pengalaman bersetubuh. Supaya sikapnya ceria lagi seperti di masa kecilnya.”
“Tante serius nih?”
“Sangat serius. Masa aku main – main dalam masalah yang seperti itu. Aku sangat menyayangi adikku itu. Sehingga aku ingin berusaha membahagiakannya, agar jangan murung terus begitu. Chepi mau kan membantuku untuk membahagiakan adik kesayanganku itu?”
“Memangnya Zie pasti mau melakukannya denganku?”
“Pasti mau lah. Masa dikasih cowok setampan kamu gak mau? Aku aja sampai jatuh cinta sama kamu. Bagaimana? Kamu mau kan Sayang?”
“Mmm… atur – atur ajalah. Tapi aku harus mandi dulu. Biar seger badannya.”
“Mandilah. Itu kan ada kamar mandi, “Tante Irenka menunjuk ke pintu kamar mandi yang ada di dalam kamar ini.
“Oke, aku mau ngambil tas pakaianku dulu di mobil.”
Lalu aku keluar menuju garasi. Untuk mengambil tas pakaianku dari bagasi mobil Tante Irenka.
Hari pun mulai malam.
Aku mandi sebersih mungkin di bathroom yang berada di kamar itu.
Selesai mandi, kukenakan celana pendek dan baju kaus serba putih. Lalu keluar dari kamar mandi.
Ternyata Tante Irenka dan Anastazie sudah duduk di sofa yang tak jauh dari bed.
Setelah aku muncul di bedroom, Tante Irenka berkata dalam bahasa Czech kepada adiknya, yang aku belum mengerti artinya. Hanya di ujungnya kudengar Tante Irenka berkata, “Nebuď stydlivý …” yang kalau tidak salah artinya jangan malu – malu.
Lalu Tante Irenka bangkit dari sofa. Memegang bahuku sambil berkata, “Titip adikku ya. Senangkanlah hatinya.”
“Iya, “aku mengangguk, “Tante mau ke mana?”
“Mau istirahat dulu di kamar yang di ujung sana,” sahut Tante Irenka sambil melangkah ke luar. Meninggalkan Anastazie sendirian di sofa, dalam gaun dan jaket tebal yang sejak tadi dikenakannya.
Dan aku pura – pura tidak tahu apa alasan Anastazie mengenakan jaket tebal itu. “Lagi sakit?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.
“Tidak. Aku sehat – sehat aja,” sahutnya.
“Lalu kenapa pakai jaket?” tanyaku lagi sambil memegang tangannya dan mengusap – usap telapaknya.
“Malu… takut kelihatan payudaraku besar sekali…” sahutnya tersipu.
“Lho… payudara besar itu suatu kelebihan, bukan kekurangan. Harusnya dijadikan kebanggaan. Bukan harus membuatmu malu Zie.”
“Chepi suka sama payudara besar?” tanyanya sambil menatapku.
“Sangat suka. Kalau payudara besar kan bisa dipakai buat jepit ini,” sahutku sambil meletakkan tangan Anastazie di celana pendekku, tepat di bagian penisku.
“Owh… kamu benar – benar mau melakukannya denganku?” tanyanya sambil meremas – remas celana pendekku, sehingga batang kemaluanku yang bersembunyi di baliknya, mulai bangun.
“Iya. Aku akan melakukannya sesuai dengan perintah Tante Irenka.”
“Mau melakukannya cuma karena diperintah oleh Irenka?”
“Perintah itu merupakan kejutan untukku. Karena waktu kita berjabatan tangan tadi, kamu ingat apa yang kulakukan ya?”
“Iya. Kamu menggelitik telapak tanganku.”
“Nah itu terjadi sebelum ada perintah dari Tante Irenka,” kataku, “Berarti aku sudah suka sama kamu sejak berjabatan tangan tadi. Padahal aku belum dianjurkan untuk bersamamu oleh saudaramu. Makanya… lepaskanlah jaketmu. Aku ingin melihat seksinya sekujur tubuhmu.”
“Kamu aja yang lepasin,” sahut Anastazie sambil mengangsurkan dadanya ke dekatku.
“Oke,” ucapku sambil memegang ritsleting jaket tebal berwarna abu – abu itu. Lalu menurunkannya sampai terlepas di bagian bawah jaket itu.
Kemudian kulepaskan jaket itu. Kususul dengan melepaskan gaunnya yang berwarna pink. Ternyata di balik gaun berwarna pink itu pun ada dua macam benda yang berwarna pink juga. Beha dan celana dalamnya.
Dan setelah behanya pun kulepaskan, tampaklah dengan jelas bahwa sepasang toket Anastazie memang benar – benar gede. Jauh lebih gede daripada toket Tante Irenka…!
Sebenarnya aku terkejut menyaksikan payudara segede itu. Kalau Anastazie sudah berumur limapuluhan, mungkin aku takkan begitu kaget melihatnya. Tapi Anastazie baru berumur 18 tahun dan punya toket segede itu. Maka wajarlah dia selalu minder dalam kesehariannya.
Tapi aku tetap bertenggang rasa. Aku menyembunyikan kekagetanku dan bahkan berkata, “Sebenarnya cewek bertoket gede seperti inilah yang kucari dari dulu. Dan sekarang aku menemukannya. Jadi… kamu laksana bidadari yang diturunkan dari langit untuk mewujudkan khayalan lamaku…”
“Memangnya kamu suka sama aku?” tanyanya.
“Sangat suka,” sahutku diikuti dengan kecupan mesra di bibir sensualnya.
Zie tersenyum. Manis sekali senyum itu.
“Kamu benar – benar belum pernah merasakan hubungan sex?” tanyaku sambil memainkan toket gede Zie.
“Belum pernah, “Zie menggeleng.
“Dan sekarang sudah siap untuk merasakannya bersamaku?”
“Siap Chep… teman – temanku di Eropa sih sejak umur tigabelas tahun juga banyak yang sudah merasakannya. Sedangkan aku… sudah delapanbelas tahun.”
“Oke. Kita lakukan di sana aja yuk,” ajakku sambil menunjuk ke arah bed.
Aku ini laksana seekor kucing yang pantang menolak kalau ditawari ikan segar. Apalagi ikan segar itu cantik, bertubuh tinggi langsing dan bule pula. Mengenai toketnya yang over size itu, aku tak peduli. Bahkan aku ingin punya koleksi atau simpanan yang toketnya gede sekali seperti itu.
Aku juga tak peduli dengan jembut yang menghiasi kemaluannya. Karena sepengetahuanku, cewek Eropa pun tidak semuanya senang menggunduli kemaluannya. Banyak juga yang seperti sengaja memelihara jembutnya, tapi dengan digunting dan dirapikan supaya menjadi bentuk segitiga, icon love dan sebagainya.
Anastazie pun tampak senang karena aku sama sekali tidak mempermasalahkan toket super gedenya. Aku bahkan menciumi pentil toketnya yang kemerahan, sebagai tanda bahwa aku suka pada buah dadanya super gede itu.
Aku memang ingin membahagiakan dan membesarkan hatinya dengan apa pun yang bisa kulakukan.
Lalu aku mulai menyasar bibirnya yang sensual itu. Memagut dan melumatnya. Disambut dengan dekapannya di pinggangku.
Kami memang sudah sama – sama telanjang bulat. Tapi aku ingin foreplay dulu, sampai dia benar – benar horny dan memeknya siap untuk diterobos oleh batang kemaluanku.
Setelah puas melumat bibirnya, mulutku turun untuk mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku mulai meremas toket kanannya.
Tubuh cewek bule itu mulai menghangat.
Terlebih lagi setelah jemari tangan kiriku menyosor ke bawah, mulai menembus jembut dan meraba – raba permukaan kemaluannya tanpa berani menyelinapkan jari tanganku ke dalam celahnya, takut mengganggu hymen (selaput dara) nya, kalau ia memang masih perawan.
Tapi Anastazie sangat reaktif. Setelah kemaluannya terjamah, ia pun menggenggam batang kemaluanku sambil menciumi bibirku. Agak lama kami dibuai dengan aksi ini. Saling pegang kemaluan sambil berciuman.
Lalu aku melorot turun sampai wajahku berhadapan dengan kemaluan cewek bule itu. Kemaluan yang berjembut tapi tidak terlalu melebar, karena ada bekas dirapihkan dengan gunting.
Ketika kucoba mengangakan kemaluannya, ternyata mudah saja mataku menyaksikan bagian dalam kemaluannya yang berwarna pink itu. Kuamati sejenak… memang masih menutup, sehingga liang sanggamanya belum kelihatan jelas.
Dan tanpa basa basi lagi kujilati bagian yang berwarna pink itu, sehingga Anastazie tersentak. Tapi lalu terdiam, meski sesekali tubuhnya menggeliat.
Tak cuma bagian dalam yang berwarna pionk itu sasaran lidahku. Setelah menemukan clitorisnya, aku pun mulai menjilati clitoris alias itil itu. Bahkan sesekali kusedot dan kujilati clitorisnya yang sebesar kacang kedelai itru.
Zie pun mulai menggeliat – geliat dan mendesah – desah, “Aaaaa… aaaaaah… aaaa… aaaaaah… aaaaa… aaaaaahhhhh… aaaaaa… aaaaaah…”
Sementara aku diam – diam mengalirkan air lurku ke dalam celah memeknya. Terus – terusan kualirkan air liurku, sampai celah memek cewek bule itu benar – benar basah. Dan siap untuk dipenetrasi.
Aku pun mulai mendorong sepasang paha Zie sampai mengangkang sejauh mungkin. Kemudian kupegang batang kemaluanku dan kucolek – colekkan moncongnya ke celah memek Zie.
Setelah terasa tepat arahnya, aku mengumpulkan tenagaku. Kemudian kudorong kontol ngacengku sekuatnya. Stttttt… meleset…! Kubetulkan lagi letaknya, lalu kodorong lagi kontolku dan… stttt… meleset lagi.
Akhirnya Zie ikut membantuku. Memegangi kontolku sambil menariknya di mulut kemaluannya.
Lalu kudorong lagi kontolku sekuat tenaga… uuuuugggghhhh…
Dan… kontolku mulai melesak masuk ke dalam liang memek Zie. Baru masuk kepalanya saja. Maka kudorong lagi sekuatnya… masuk lagi makin dalam, sampai batas leher kontolku.
Saat itulah aku menghempaskan dadaku ke atas sepasang toket gede Anastazie. Sambil mendesakkan lagi kontolku agar membenam lebih dalam lagi.
Ia menyambutku dengan merengkuh leherku ke dalam pelukannya, sambil bertanya, “Already entered?”
(Sudah masuk?)
“Sudah… baru sedikit,” sahutku, “Sakit?”
“Tidak… lanjutkanlah…” sahutnya sambil menatapku dengan bola mata yang begitu bening dan indahnya. Memang setelah diuperhatikan dari jarak dekat begini, Anastazie ini cantik sekali. Cantik yang alamiah, tiada polesan make up sedikit pun, kecuali bibirnya saja yang dipoles lipstick.
Sedikit demi sedikit batang kemaluanku melesak ke dalam liang memek Zie yang begini sempitnya. Meski belum melihat darah perawannya, aku percaya Zie ini masih perawan.
Setelah batang kemaluanku masuk lebih dari separohnya, mulailah aku mengayunnya perlahan – lahan dan hati – hati agar jangan sampai lepas.
Terasa tubuh Anastazie sampai bergetar – getar ketika kontolku mulai maju – mundur di dalam liang sanggamanya yang sangat sempit tapi sudah licin ini. Terlebih ketika entotanku mulai digencarkan, ia mulai menggeliat – geliat sambil mendesah – desah… mulai merintih – rintih histeris. “Aaaaaaaah…
Aku tersenyum sambil membisikinya, “Entot… bukan endot…”
“Iii… iiiyaaaaa… entoooottt… oooooh… kondolmu enak sekali Cheeeeep…”
“Kontol, bukan kondol…”
“Kontol? Iiii… iyaaaaaa… kontolmu enak sekali Chepiiii…”
“Memekmu juga enak Zie.”
“Mekmek?”
“Meeemeeek… !”
“Owh… memek, iya memek.”
Aku memaklumi kalau Zie salah sebut kata – kata jorok. Karena mungkin jarang sekali mendengar kata – kata vulgar.
Ketika entotanku masih agak pelan, aku sempat juga mengangkat badanku sambil memperhatikan batang kemaluanku yang sedang bermaju – mundur dalam memek berjembut brunette itu. Memang ada garis – garis darah di batang kemaluanku. Berarti benarlah pengakuan Zie, bahwa ia memang belum pernah merasakan hubungan sex sebelum kontolku menerobos virginitasnya ini.
Masuk di akal kalau Zie belum pernah merasakannya. Karena ia minder gara – gara toketnya yang kegedean untuk gadis yang baru berusia 18 tahun ini. Terlebih lagi Zie hidup di perantauan, bukan di negaranya sendiri. Sehingga ia menjadi seorang cewek yang kurang gaul di Nusantara.
Hal itu justru menjadi keberuntunganku. Karena tanpa diduga – duga Tante Irenka ngasih “bonus”, adiknya yang bertoket sangat gede dan masih perawan ini…!
Hanya beberapa menit aku mengayun batang kemaluanku dalam gerakan seret, karena sempitnya liang memek Zie ini. Namun setelah liang sanggama cewek bule ini beradaptasi dengan ukuran zakarku, aku pun bisa mempercepat genjotan kontolku sampai pada kecepatan normal.
Aku tak cuma mengayun kontolku, karena tangan dan mulutku pun mulai beraksi. Kukulum dan kusedot – sedot pentil toge kirinya, sementara tangan kiriku asyik meremas – remas toket super gede itu. Kalau dadaku menghimpit dada Zie secara lurus, kedua pentil toket Zie jadi berada di samping kanan dan kiri dadaku, saking lebarnya buah dada cewek bule itu.
Desahan dan rintihan Anastazie pun semakin menjadi – jadi. “Aaaaah… aaaaah… aaaahhhh… Cheeeeepiiiii… aaaaah… ooooooohhhhh… aaaaah… Chepiiii…”
Makin lama makin riuh juga rintihan – rintihan histeris cewek bule ini. Bahkan pada suatu saat ia berucap terengah, “Chepppiii… ooooh… rasanya vaginaku seperti mau ambrol… tapi… ini luar biasa enaknya… oooooohhhhh…”
“Itu pertanda mau orgasme Zie… ayo nikmati saja orgasmemu sepuasnya…” sahutku sambil menggencarkan entotanku.
Zie pun berkelojotan beberapa detik. Kemudian mengejang tegang sambil menahan nafasnya. Pada saat itulah kubenamkan kontolku sedalam mungkin, tanpa digerakkan lagi, karena ingin ikut merasakan indahnya perempuan yang sedang menikmati orgasme.
Lalu terasa liang sanggama Zie berkedut – kedut kencang, disusul dengan gerakan dinding liang memeknya yang seperti spiral membelit batang kemaluanku.
“Ooooooooh… “Zie melepaskan nafasnya, lalu terkulai lemas.
Pada saat yang sama, tiba – tiba terdengar suara Tante Irenka yang sudah melangkah ke dekat bed, “Wah… wah… waaaah… asyiknya sepasang anak muda yang tengah memadu birahi…”
Aku agak kaget dan langsung tersadar bahwa pintu sudah kututup tadi, tapi memang lupa menguncinya. Sehingga Tante Irenka bisa masuk ke dalam kamar ini. Tapi biarlah, aku malah senang melihat kehadiran Tante Irenka itu. Terlebih setelah ia melepaskan gaun tidur putihnya, sehingga tubuh indahnya langsung telanjang bulat, karena di balik gaun tidur putihnya itu tiada beha mau pun celana dalam.
Kemudian Tante Irenka naik ke atas bed. Mengusap – usap dahi Anastazie yang keringatan, “Kenapa kelihatan lemas gini?”
Aku yang menjawab, “Dia baru orgasme Tante.”
“Ohya?! Berarti giliranku dong sekarang,” ucap Tante Irenka sambil tersenyum menggoda.
Aku pun mencabut kontolku dari liang memek Zie. Dan kulihat di bawah bokong Zie ada genangan darah yang sudah mengering. Darah yang bisa dijadikan saksi, bahwa Zie masih perawan sebelum diterobos batang kemaluanku tadi.
Tante Irenka pun melihat darah yang sudah mengering di kain seprai itu. Lalu bergegas ia membuka lemari dan mengeluarkan seprai lain yang masih bersih. Ia mengajak Zie untuk bersama – sama memasang seprai baru itu.
Setelah merapikan seprai baru itu, Zie menggulung kain seprai yang sudah ternoda darah perawannya itu sambil menundukkan kepala.
“Nggak apa… itu hal biasa Zie,” kata Tante Irenka sambil memegang bahu adiknya, lalu mengecup pipinya.
Zie mengangguk sambil tersenyum.
“Nanti lihat dulu cara bersetubuh yang benar ya,” ucap Tante Irenka yang lalu naik ke atas bed dan menangkap batang kemaluanku. Lalu menjilatinya dengan lahap, sementara Zie pun naik ke atas bed sambil memperhatikan yang sedang dilakukan oleh kakaknya.
Aku memberi isyarat kepada Tante Irenka, sambil menunjuk ke arah Zie.
“Gak apa – apa. Zie sudah tau bahwa aku mendapat anjuran dari suamiku seperti Zie mendapat anjuran dariku.”
Lalu Tante Irenka mengoral kontolku dengan binalnya. Menyelomoti kepala dan leher kontolku, sementara tangannya mulai mengurut – urut badan kontolku. Terkadang kontolku dikulum sampai lebih dari setengahnya, disertai sedotan – sedotan dan gelutan lidah di dalam mulutnya.
Anastazie memperhatikan semua yang dilakukan oleh kakaknya dengan sorot serius sekali. Seolah murid yang sedang menyimak pelajaran dari gurunya.
Tante Irenka memang trampil sekali permainan oralnya. Mungkin Oom Safiq selalu harus dioral dulu agar ereksi. Maklum beliau sudah tua, hanya dua tahun lebih muda daripada Papa.
Tapi karena batang kemaluanku masih ngaceng berat, tak lama kemudian Tante Irenka mulai berusaha memasukkan kontolku ke dalam liang memeknya, sambil berjongkok, dengan kedua kaki berada di kanan – kiri pinggulku. Sambil memegang batang kemaluanku, Tante Irenka pun menurunkan memeknya yang sudah ternganga.
Kontolku mulai “ditelan” oleh liang memek Tante Irenka sedikit demi sedikit.
“Katanya cuma suka posisi missionary,” ucapku ketika batang kemaluanku sudah sepenuhnya berada di dalam jepitan liang memek istri Oom Safiq itu.
“Ini kan sedang ngajarin Zie,” sahut Tante Irenka yang lalu mengayun bokongnya seperti wanita sedang menunggang kuda. Sehingga batang kemaluanku terasa dibesot – besot oleh liang memek wanita bule itu.
Aku pun tidak tinggal diam. Meski sedang celentang, aku bisa mengentotkan kontolku di dalam cengkraman liang memek Tante Irenka. Sehingga kontolku bergerak secara berlawanan dengan memek Tante Irenka. Ketika liang memeknya turun, kontolku maju. Dan ketika dia menarik memeknya ke atas, aku pun menarik kontolku ke bawah.
Sementara Zie memperhatikan aksi kakaknya dengan sorot serius sekali. Sambil mengusap – usap memeknya sendiri.
Tapi hanya belasan menit Tante Irenka beraksi di atas tubuhku. Lalu ia mengelojot dan ambruk di atas dadaku sambil mengeluh, “Inilah yang aku tidak suka. Kalau main dalam posisi WOT, jadi cepat orgasme.”
“Aku kan gak minta Tante main di atas,” sahutku yang kuikuti dengan kecupan hangat di bibir sensualnya.
“Kan ngajarin Zie, biar dia tau banyak mengenai sex,” sahut Tante Irenka, “Lanjutin sama dia lagi gih. Dia udah horny lagi tuh.”
Aku memang sudah tahu, bahwa Zie sudah horny lagi. Karena itu setelah Tante Irenka mengangkat memeknya tinggi – tinggi, sehingga kontolku terlepas dari liang memeknya, aku pun spontan mendekati Zie yang masih mengusap – usap selangkangan dan memeknya.
Kudorong dada Zie sambil berkata, “Kita sih pakai posisi yang tadi aja ya. Kamu kan masih pemula. Biar hafal pelajaran pertama aja dulu.”
“Iya,” sahut Zie sambil tersenyum.
Terdengar suara Tante Irenka, “Kalau Chepi punya minat menikahi Zie, aku ijinkan. Asalkan hubunganku dengan Chepi tetap berjalan.”
Kusahut, “Tapi Zie harus jadi mualaf dulu. Karena di sini perkawinan antar dua agama tidak diijinkan. Harus ada salah seorang yang melebur.”
Tiba – tiba Zie berkata perlahan, “Aku sudah jadi mualaf sejak tiga tahun yang lalu.”
“Haaa?! Betul Zie sudah jadi mualaf Tante?” tanyaku sambil menoleh ke arah Tante Irenka.
“Betul, “Tante Irenka mengangguk, “Sejak kelas satu SMA dia sudah menjadi mualaf. Atas anjuran Oom Safiq. Karena Zie ingin punya suami orang Indonesia. Kalau aku dengan Oom Safiq kan nikahnya di catatan sipil Jerman. Makanya aku sampai sekarang belum jadi mualaf.”
Aku tidak menanggapi ucapan Tante Irenka itu, Karena sedang mengarahkan moncong kontolku di ambang mulut memek Zie.
Kali ini membenamkan batang kemaluanku ke dalam liang memek Zie, tidaklah sesulit yang pertama tadi. Karena liang memeknya masih melar dan cepat beradaptasi dengan ukuran batang kelelakianku.
Maka tak lama kemudian kontolku sudah bisa “memompa” liang memek cewek bule itu. Aku pun bisa merasakan kembali nikmatnya mengentot liang memek yang masih sangat sempit ini. Sementara Zie pun mulai mendesah dan merintih histeris lagi.
“Chepiii… ooooohhhh… Chepiiii… oooooohhhhh… ini luar biasa enaknya Cheeeep… aaaaaaah… aaaaah… Cheeepiiii… aaaaa… aaaaah… aaaah… Chepiiii… aaaaah… aaahhhhh… aaaaahhhhh…”
Tante Irenka tampak sayang sekali kepada adiknya. Ia duduk di dekat kepala Zie dan membelai rambut adiknya. Terkadang diciuminya dahi Zie. Di saat lain ia mencium bibirku dengan mesranya.
Sedangkan Zie tetap merintih – rintih histeris dengan mata terpejam – pejam.
Kali ini cukup lama aku menyetubuhi Zie. Sehingga keringat pun mulai membanjiri tubuhku, bercampur aduk dengan keringat cewek bule itu.
Kali ini aku tak bisa mempertahankan diri lagi. Ketika Zie mulai berkelojotan, aku pun sudah tiba di detik – detik krusialku. Maka kugencarkan entotanku. Dan ketika Zie mengejang tegang, kupertahankan agar jangan ejakulasi dulu. Karena aku meletuskan lendir kenikmatanku dalam jepitan sepasang toket super gede itu.
Setelah terasa liang memek Zie berkedut – kedut kencang, cepat kucabut kontolku dari liang memek Zie. Lalu aku bergerak sedemikian rupa, sehingga batang kemaluanku berada di antara sepasang toket Zie.
Tante Irenka pun ikut campur, karena Zie belum tahu apa yang harus dia lakukan. Ditekannya sepasang toket gede Zie dari kanan – kirinya, sehingga terasa menjepit kontolku yang hampir muncrat ini.
Lalu… kontolku mengejut – ngejut di dalam jepitan sepasang toket Zie.
Croootttt… crooottt… crotttcrottt… croooottttttt… crooottttt… croootttt…!
Air maniku bermuncratan ke leher dan ke wajah Zie… Tante Irenka pun dengan lahapnya menjilati air maniku. Sementara Zie pun menggunakan tangannya untuk memasukkan air maniku ke dalam mulutnya. Kemudian menelannya, seperti juga Tante Irenka yang menjilati air maniku di setiap bagian yang menciprati wajah dan leher Zie.
Lalu aku terkapar lemas, diapit oleh Tante Irenka dan adiknya.
Kami pun tertidur dnegan nyenyaknya, dalam keadaan telanjang semua.
Ketika aku terbangun keesokan paginya, Tante Irenka dan Zie sudah tidak ada di atas bed. Mungkin mereka sudah masuk ke kamarnya masing – masing. Aku pun turun dari bed dan masuk ke kamar mandi. Lalu mandi sebersih mungkin dan mengenakan pakaian lengkap. Karena aku teringat banyak yang harus kuselesaikan hari ini.
Begitu aku selesai berpakaian, Zie muncul dalam daster putih bersihnya. Dengan senyum manis di bibir sensualnya dan ucapan, “Selamat pagi Chepi Tercinta…”
“Selamat pagi Zie Cantik,” sahutku sambil memeluknya, disusul dengan ciuman mesra di bibirnya.
“Udah lama bangun?” tanyaku.
“Sejam yang lalu. Mmm… ada sesuatu yang berubah padaku pagi ini,” sahut Zie.
“Apa tuh? Ohya… kamu jadi semakin cantik pagi ini Zie.”
“Bukan masalah wajah. Ini nih yang berubah,” ucap Zie sambil menyingkapkan daster putihnya.
Ternyata Zie memamerkan memeknya yang tidak bercelana dalam. Memek yang sudah dibersihkan jembutnya. Membuatku terlongong dan mendorong dada Zie agar celentang di atas bed.
Lalu kuamati memek Zie dari jarak dekat sekali. “Dicukur?”
“Pakai wax,” sahutrnya, “Irenka yang ngewaxing tadi. Dia bilang sekarang sudah gak zamannya lagi membiarkan jembut tumbuh.”
“Pantesan bersih sekali. Mmm… memekmu cantik sekali Zie,” ucapku disusul dengan ciuman – ciuman lahap di memeknya yang sudah berubah drastis itu.
“Terima kasih.”
“Tapi sekarang aku banyak kerjaan yang harus diselesaikan Sayang. Sedangkan luka di dalam vaginamu juga harus kering dulu. Nanti kalau sudah benar – benar sembuh lukanya, call aku ya.”
“Iya. Tapi aku ingin menyampaikan sesuatu Chep.”
“Apaan tuh?”
Zie menciumi pipiku, lalu berbisik di dekat telingaku, “Aku cinta kamu Chep.”
“Sama. Aku juga mencintaimu. Tapi bisakah kamu menerima Irenka yang sudah duluan punya hubungan denganku?”
“Nggak apa – apa. Aku dan Irenka saling menyayangi kok.”
“Sukurlah kalau begitu. Pokoknya kita bertiga nanti harus selalu kompak ya.”
Zie mengangguk sambil tersenyum manis.
Setelah tukaran nomor hape dengan Zie, aku pun menghampiri Tante Irenka dan Oom Safiq di kursi rodanya, dalam ruang keluarga. Untuk pamitan pulang.
“Lho… masa gak makan sarapan pagi dulu Chep?” tanya Tante Irenka.
“Gak usah Tante. Aku harus ke kantor dulu, banyak yang harus dikerjain hari ini.”
Ketika aku berjongkok di depan kursi roda Oom Safiq dan mencium tangan adik Papa itu, Oom Safiq mengusap – usap rambutku, “Terima kasih atas bantuanmu Chep. Aku minta agar Chepi datang ke sini secara rutin ya. Minimal seminggu dua kali.”
“Iya Oom. Kalau tidak sibuk, pasti aku akan datang ke sini.”
Tante Irenka mau mengantarkanku ke rumah. Tapi aku menolaknya, karena takut merepotkan. Maka pagi itu aku pulang ke rumah dengan memakai taksi.
Setibanya di rumah, aku langsung menjumpai Nike di ruang kerjaku.
Setelah mencium bibirnya, aku berkata, “Ayo ikut aku sekarang Beib.”
“Siap, “Nike langsung berdiri dan mengikuti langkahku menuju garasi.
Beberapa saat kemudian aku sudah berada di belakang setir mobil kesayanganku. Nike pun sudah duduk di samping kiriku.
Yang kutuju adalah restoran langgananku. Untuk menyantap sarapan pagi bersama kekasih utamaku.
“Seandainya pernikahan kita dipercepat, gimana Beib?” tanyaku pada waktu menyantap mie goreng seafood, sementara Nike menyantap lasagna.
“Kalau Abang menganggap hal itu jalan yang terbaik, aku setuju aja,” sahut Nike dengan senyum manisnya yang senantiasa membuat hatiku sejuk.
“Dua bulan lagi kantor baru kita selesai pembangunannya. Aku ingin agar pernikahan kita dilaksanakan sebelum pembukaan kantor baru itu. Karena kamu akan kuangkat sebagai dirut, sementara aku akan menjadi komisaris utamanya.”
“Wow… aku mau dijadikan dirut?” ucap Nike dengan sorot ceria.
“Iya. Kalau sudah jadi istriku, masa mau jadi sekretaris terus. Lagian belakangan ini kamu sudah sering mempelajari buku – buku managemen kan?”
“Sering. Malah isinya sudah ngelotok di dalam otakku.”
“Aku percaya dalam soal itu sih. Lagian tau bahwa mayoritas orang Tionghoa bisa bekerja secara profesional dalam bidangnya masing – masing.”
Selesai sarapan, kutujukan mobilku ke arah kompleks perumahan yang paling elit di kotaku. Tepatnya sekitar 25 kilometer di luar kotaku.
“Mau mengunjungi relasi bisnis?” tanya Nike setelah mobilku memasuki gerbang perumahan elit itu.
“Nggak,” sahutku “Aku mau membelikanmu rumah baru yang layak untuk ditempati oleh seorang dirut sekaligus istri tercintaku.”
“Wow! Rumah – rumah di sini milyaran harganya Honey.”
“Nggak apa – apa. Kebetulan bisnisku di Surabaya sukses. Karena itu kamu harus punya rumah sendiri. Bahkan sebagai seorang dirut, kamu juga harus punya mobil.”
“Apakah itu tidak berlebihan Honey?”
“Tidak berlebihan. Karena aku menyesuaikan dengan statusmu kelak, lagian kebetulan rejekinya ada.”
Kemudian kami mendatangi kantor managemen perumahan itu. Kebetulan banyak rumah baru yang siap huni. Kusuruh Nike memilih sendiri rumah mana yang disukainya.
Setelah memilih – milih, akhirnya pilihan Nike jatuh pada sebuah rumah yang punya dua kamar di lantai satu dan sebuah kamar di lantai dua.
Kemudian kami langsung diantar oleh pihak managemen untuk melihat – lihat rumah baru itu. Tentu saja rumahnya masih kosong, belum ada perlengkapannya. Tapi tampaknya Nike langsung jatuh cinta kepada rumah itu, karena di samping rumah itu ada sebuah taman untuk bermain anak – anak.
“Kalau sudah punya anak nanti, tak usah main jauh – jauh. Diasuh di taman itu aja,” kata Nike.
“Iya, “aku mengangguk sambil tersenyum, “Besok furniture dan perabotan lainnya kita beli.”
“Ohya… kantor baru itu kan gak jauh dari sini kan?”
“Iya. Dari gerbang perumahan ini hanya duaratus meteran jaraknya. Jadi letak rumah ini sangat strategis kan?”
“Iya. Tapi Mama pasti sedih ditinggal sendirian di rumah kelak.”
“Ajak aja mamamu pindah ke sini. Kan kamarnya ada tiga tuh. Kalau kurang, bangun lagi kamar baru di tanah yang masih kosong di belakang itu. Jadi mamamu bisa tinggal di sini. Niko juga kalau pas lagi datang, bisa nginap di sini.”
“Mama boleh diajak pindah ke sini?” tanya Nike.
“Tentu aja boleh. Kan kamu juga harus punya teman di sini. Karena aku takkan bisa setiap malam tidur di sini.”
“Iya iya… aku mengerti soal itu sih. Abang kan pasti sibuk sekali.”
Aku tidak menanggapinya. Karena aku teringat Tante Esther, mamanya Nike itu.
Sejauh ini aku dan Tante Esther masih bisa menutupi hubungan rahasiaku dengan Tante Esther. Padahal paling telat seminggu sekali aku suka mendatangi rumahnya, sementara Nike sedang berada di kantor. Bukan cuma menyetubuhi mamanya Nike itu, tapi juga diam – diam aku sering memberinya uang untuk kebutuhan sehari – harinya.
Setelah membayar DP rumah itu di kantor managemen dan berjanji untuk melunasinya besok di depan notaris yang biasa dipakai oleh managemen perumahan itu, aku mengantarkan Nike ke kantor lagi. Kemudian aku mengarahkan mobilku menuju rumah Papa.
Selama aku di Surabaya, aku teringat terus pada Mamie dan anakku yang sudah diberi nama oleh Papa itu. Adelanie namanya. Gabungan antara nama Papa dengan Mamie. Adrian dan Melanie.
Papa sempat nelepon aku, apakah aku setuju dengan nama yang akan diberikan kepada “adikku” yang sebenarnya anakku itu? Aku pun spontan menyetujuinya. Karena secara hitam di atas putih, bayi itu anak Papa dan Mamie. Tapi secara biologis, Adelanie itu anak pertamaku.
Setibanya di rumah Papa, kukeluarkan sebotol parfum impor dan setangkai bunga mawar merah dari laci dashboard mobilku. Kulihat tidak ada mobil Papa di garasi, karena saat itu jam kerja. Kemudian aku berjalan mengendap – endap menuju kamar Mamie.
Kebetulan pintunya sedikit terbuka, sehingga aku bisa masuk ke dalam kamar Mamie. Ternyata Mamie sedang meneteki anakku. Dan Mamie terbelalak melihatku sudah berdiri di dalam kamarnya, sambil menyembunyikan parfum dan bunga mawar merah di punggungku.
“Chepi Sayang… ke mana aja selama ini?” tanya Mamie sambil membiarkan Adelanie tetap
“Kan di Surabaya Mam.”
“Oh iya, Papa bilang kamu sedang ngurus penjualan kapal – kapal tanker itu ya?”
“Betul. Baru tadi malam pulang,” sahutku sambil menyerahkan parfum dan setangkai bunga mawar itu kepada Mamie, sambil berlutut di dekat kakinya.
“Mmmm… you are so sweet and romantic… “Mamie menerima pemberianku dengan sebelah tangan, karena tangan satunya lagi sedang menahan aisan Ade.
Ketika Mamie mencium bunga mawar itu, kulingkarkan lenganku di pinggangnya. Dan bertanya setengah berbisik, “Sekarang sudah boleh ditengok memeknya?”
“Belum Sayang. Secara tradisional harus empatpuluh hari setelah melahirkan baru boleh digituin. Sekarang sebulan juga masih kurang empat hari. Jadi… dua minggu lagi deh mamie kasih gumurihnya sama kamu.”
“Gumurih? Apa itu gumurih?”
“Kan setelah empatpuluh hari sehabis melahirkan, rasanya enak sekali katanya. Bahkan ada yang bilang lebih enak dari perawan. Itulah yang disebut gumurih.”
“Ohya? Kalau gitu biarin deh aku mau bersabar selama dua minggu. Aku juga ingin merasakan seperti apa enaknya memek yang sedang gumurih itu.”
“Iya. Nanti kamu akan mendapat prioritas pertama. Sebelum dikasihkan sama Papa, kamu dulu yang akan merasakannya.”
Sebenarnya aku merasa kecewa juga, karena tidak bisa menyetubuhi Mamie. Hal itu membuatku jadi gragasan. Maka ketika Mamie sedang menidurkan Ade, aku keluar dari kamarnya dan menghampiri adik Mamie yang bernama Anna itu. Lalu kubisikkan sesuatu di dekat telinganya. Tapi apa jawabannya? “Aku lagi datang bulan Sayang.
Akhirnya aku pulang lagi ke kantorku, karena saat itu baru jam duabelas siang. Masih jam kerja.
Tapi di kantor sedang sepi. Karena jam makan siang. Karyawan dan karyawatiku memang diijinkan untuk makan di luar selama sejam. Tadinya Mbak Nindie yang mengurus makanan mereka. Tapi belakangan Mbak Nindie lebih sering tinggal di rumahnya dan tidak mengurusi makan karyawanku lagi. Sehingga karyawanku diijinkan untuk makan di luar sambil istirahat selama sejam.
Tiba – tiba satpam memberitahuku bahwa di luar ada seorang wanita yang ingin menghadap padaku. Meski kantor sedang istirahat, kuijinkan tamu itu masuk ke ruang kerjaku.
Alangkah kagetnya aku ketika kulihat tamu itu, seorang wanita bule yang sudah sangat kukenal, karena beliau dosenku yang blasteran Indo-Spanyol bernama Claudia…!
“Chepi?!” ucapnya setelah berhadapan denganku.
“Bu Claudia?!” sahutku dengan perasaan resah. Takut mempertanyakan kenapa aku cuti kuliah selama setahun.
“Jadi yang pasang iklan itu Chepi?”
“Iya Bu. Silakan duduk.”
“Kantornya sepi begini Chep?” Bu Claudia duduk di sofa ruang tamu kantor.
“Sedang pada makan siang Bu.”
“Owh. Jadi kesibukan dalam bisnismu yang membuat cuti kuliah dua semester Chep?”
“Betul Bu. Terus Ibu mau menitipkan siapa?”
“Aku datang untuk diriku sendiri Chep. Karena membaca iklanmu itu.”
“Ibu kan dosen. Masa mau nyari kerja pula.”
“Why not? Kalau ada pekerjaan yang punya prospek lebih bagus, apa salahnya aku beralih profesi?”
“Ibu pakai apa ke sini?”
“Pakai taksi.”
“Kalau begitu bisa Ibu ikut aku ke kantor yang baru akan dibuka dua bulan lagi?”
“Boleh.”
“Nanti kita ngobrolnya di sana saja ya Bu.”
“Iya Boss.”
“Aaah, jangan manggil boss dulu lah. Ibu kan belum jadi karyawati saya.”
Aku memang memasang iklan di media cetak dan elektronik. Isinya, mencari tenaga profesional untuk beberapa posisi manager. Tapi gak nyangka kalau dosen yang terkenal jutek di kampus itu akan melamar kerja pula.
Tak lama kemudian Bu Claudia sudah berada di dalam mobilku, menuju kantor yang masih dibangun dan mendekati tahap finishing itu.
Kantor yang sedang dibangun itu terletak di luar kota, dekat perumahan di mana aku sudah membelikan rumah untuk Nike itu.
Dosen – dosen di kampusku memang banyak blasterannya. Bahkan yang asli bule juga ada. Tapi tentu saja mereka sudah bisa berbahasa Indonesia semua.
Menurut berita dari mulut ke mulut, Bu Claudia itu blasteran Indo Spanyol. Ayahnya orang Indonesia, ibunya orang Spanyol. Tapi melihat dari bentuknya yang tinggi langsing itu, Bu Claudia itu seperti bule asli. Tidak kelihatan darah Indonesianya sedikit pun.
Bu Claudia memang cantik. Tapi sayang, sikapnya di kampus selalu jutek. Sehingga aku kurang menyukainya. Tapi kalau dia menjadi anak buahku kelak, pasti lain lagi masalahnya.
“Ibu ingin mengisi posisi yang mana?” tanyaku ketika mobilku sudah meluncur di jalan raya.
“Maunya sih manager marketing. Biar sesuai dengan pendidikanku Chep.”
Meski Bu Claudia itu dosenku, tetap kupertimbangkan keinginannya secara profesional. Terutama setelah aku tahu sikap sehari – harinya yang jutek itu. Mungkin lebih tepat beliau kutempatkan sebagai manager produksi.
Maka tanyaku, “Kalau manager produksi bagaimana?”
“Yang diproduksi apa saja Chep?” Bu Claudia balik bertanya.
Lalu kujelaskan apa saja yang akan diproduksi setelah perusahaan baru itu aktif.
“Kalau jadi manager produksi, aku harus belajar dulu dong. Aku kan harus menguasai ilmu mengenal barang – barang yang diproduksi itu,” kata Bu Claudia.
“Jadi Ibu berkeras ingin mendapatkan jabatan manager marketing?” tanyaku.
“Bukan berkeras… aku cuma memohon padamu agar ditempatkan sebagai manager marketing,” sahut Bu Claudia dengan suara memohon.
“Maaf Bu… boleh aku bicara terus – terang?”
“Tentu aja. Sebaiknya kita sama – sama berterus terang Chep,” sahut Bu Claudia sambil memegang lutut kiriku. Nah… ini pertama kalinya dosen jutek itu menyentuh fisikku. Ngocoks.com
Tapi aku berusaha untuk tetap bersikap profesional. Maka kataku, “Di samping pendidikannya harus sesuai dengan jabatannya, manager marketing itu harus ramah dan murah senyum Bu.”
“Hihihi…! Kamu nyindir ya? Karena aku jarang tersenyum di kampus?”
“Tidak pernah tersenyum. Bukan jarang lagi.”
“Di kampus kan beda dengan di perusahaan Chep. Nih lihat… sekarang aku tersenyum buat Chepi…”
Aku menoleh. Gila… dia tersenyum padaku dalam jarak yang sangat dekat dengan wajahku.
“Nah… kalau tersenyum begitu… kelihatan jelas bahwa Ibu ini sangat cantik.”
“Masa sih?! Mmm… sebenarnya ada latar belakang yang membuatku sering kelihatan murung di kampus. Murung ya, bukan jutek.”
Aku tidak menanggapi.
Bu Claudia melanjutkan, “Suamiku menderita kanker hati. Hal itu sangat menyita waktuku. Membuatku murung juga. Dan akhirnya, enam bulan yang lalu suamiku meninggal.”
“Owh… maaf… aku ikut belasungkawa Bu.”
“Terima kasih.”
“Tapi sekarang Ibu sudah bisa move on kan?”
“Dari mana Chepi tau kalau aku sudah mulai move on?”
“Sekarang Ibu kan sudah bisa tersenyum dan tertawa.”
“Iyalah. Suamiku sudah beristirahat untuk selama – lamanya. Sementara aku harus berjuang terus untuk menghidupi diriku sendiri.”
“Bu Claudia belum punya anak?”
“Belum.”
“Kalau masalahnya seperti itu, mungkin aku bisa mempertimbangkan Ibu untuk menduduki jabatan manager marketing.”
“Naaah… aku bahagia sekali mendengarnya.”
Kemudian aku menjelaskan gaji dan profit yang akan dia terima setelah menjadi manager marketing nanti. Tentu saja Bu Claudia kaget, karena nominal gaji dan profitnya pasti jauh di atas gajinya sebagai dosen.
Tiba – tiba Bu Claudia mencium pipi kiriku, disusul dengan ucapan, “Jadikan aku manager marketing ya. Aku mohon Chep…”
Bersambung…