Cerita Sex Kamu yang Kusebut Rumah – Puspa pernah berharap Arya adalah jawaban dari setiap doa yang ia langitkan. Sebuah pemberian terindah dari dunia yang seringnya mengecewakan. Tetapi pada akhirnya, laki-laki itu justru menjadi salah satu cobaan dari sekian ujian yang harus Puspa lapangkan. Setelah perceraian orangtua yang diawali dari ratusan pertengkaran hebat di hadapan Puspa, wanita itu kembali dipatahkan oleh seseorang yang seharusnya ia jadikan tumpuan. Arya Adiputra, kekasihnya.
Puspa jatuh, terbuang dan sekali lagi merasa tersisihkan.
“Aku ingin kita putus.”
Puspa membisu, bingung lebih tepatnya. Hubungan mereka baik-baik saja karena selama ini Puspa cenderung menjadi wanita yang penurut di depan Arya. Selama ini tak pernah sekalipun Puspa menuntut lebih. Bagi Puspa, dengan Arya yang mencintainya itu sudah lebih dari sekedar cukup.
“Tapi … bukankah selama ini kita baik-baik saja, Bii?” tanya Puspa mulai khawatir.
“Aku merasa hubungan kita hambar, monoton. Maaf Puspa, keputusan saya sudah final.”

Ngocoks Wanita bersurai panjang, berkaos oblong dan celana kolor kebesaran terlihat mempercepat langkahnya saat berjalan memasuki rumah. Sesekali ia melihat ke arah ponsel yang ia genggam, sambil tersenyum tipis. Terlihat jelas, kebahagiaan gadis itu di wajahnya.
Namanya Puspaningrum, seorang mahasiswi ilmu psikologi tahun keempat. Gadis cenderung introvert yang sangat menyukai hujan. Bagi seorang Puspa, hujan selalu mampu menciptakan kehangatan, karena dingin pasti datang bersamaan dengan tetes air yang jatuh membasahi bumi.
“Ini gulanya, Buk.” Puspa meletakan setengah kilo gula di meja dapur lalu menunjukan ponselnya yang sedang berdering ke arah ibunya. “Ningrum mau telepon dulu, jangan ganggu.”
“Dasar!” jawab Ibu Puspa kesal.
Wanita itu berjalan ke arah kamar. Rumah Puspa tidak luas, jadi tidak membutuhkan waktu lama gadis itu untuk sampai di kamarnya. Ia mendudukan tubuhnya di ranjang kamar kecil miliknya, lalu sedikit membenahi penampilan meskipun panggilan yang ada hanyalah sebatas panggilan suara. “Ekheem.” Puspa berdehem untuk menetralkan canggung. “Hai, Bii,” sapanya ketika icon warna hijau tergeser.
“Hai,” balas suara bariton di seberang.
“Nunggu lama ya? Sorry, tadi aku lagi disuruh Ibuk beli gula. Ibuk sukanya begitu, tiba-tiba–.”
“It’s okey, aku juga nggak akan lama kok teleponnya.”
Ada secuil rasa sakit yang tak bisa Puspa tutupi. Entah karena laki-laki itu menjanjikan sebuah panggilan yang sebentar atau karena Puspa seakan merasa kehilangan untuk sesuatu yang tak jelas. “Oh, oke,” jawabnya singkat.
Laki-laki yang sedang menghubunginya pagi ini adalah Arya Adiputra, kekasih yang sudah menemani hidupnya selama empat tahun. Laki-laki itu saat ini sedang menempuh pendidikan di Boston. Sudah lebih dari tiga bulan mereka tak pernah berkomunikasi melalui telepon, sesekali pesan Puspa berbalas tapi hanya sebatas sebuah jawaban singkat tak berarti. Puspa selalu berpikir positif, mungkin Arya sedang fokus dengan perkuliahannya di sana.
Tahun ini adalah tahun keempat mereka menjalin kasih dan tahun kedua mereka berjuang dengan jarak. Puspa kuliah di Indonesia sedangkan Arya mengambil kuliah Post Graduate-nya di luar negeri.
Seperti yang sudah bisa ditebak, Arya lahir dari kalangan orang berada dan sangat mampu hanya untuk sekedar menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Tidak seperti Puspa yang lahir dari orangtua dengan tanggungan cicilan setiap bulan ke bulan.
“Sorry, apa aku ganggu?” tanya Arya.
Pertanyaan yang Puspa anggap lucu, karena mereka berdua berada di dalam sebuah hubungan. Seharusnya hal ini bukan gangguan tapi justru keharusan. “Nggak, nggak ganggu kok,” jawab Puspa setelah mampu menguasai diri. “Gimana Bii?”
Bee atau Bii adalah panggilan sayang keduanya. Karena Puspa artinya bunga dan Arya suka memanggilnya dengan panggilan itu.
“Ada satu hal yang ingin aku sampaikan.”
“Apa itu?”
“Aku ingin kita putus.”
Puspa membisu, bingung lebih tepatnya. Hubungan mereka baik-baik saja karena selama ini Puspa cenderung menjadi wanita yang penurut di depan Arya. Arya mengatakan untuk tidak menghubunginya terlebih dulu, ia lakukan. Arya mengatakan untuk tidak memposting atau menunjukan hubungan mereka, Puspa pun menurut.
Selama ini tak pernah sekalipun Puspa menuntut lebih. Bagi Puspa, dengan Arya yang mencintainya itu sudah lebih dari sekedar cukup. “Haha, Mas Arya nge-prank ya?” tawanya lepas. “Ketahuan ih.”
“Aku serius.”
Puspa bisa mendengar dengusan sebal di seberang lalu kembali menajamkan pendengaran ketika tawanya tak mendapat balasan. “Tapi … bukankah selama ini kita baik-baik saja, Bii?” tanya Puspa mulai khawatir.
“Aku merasa hubungan kita hambar, monoton. Maaf Puspa, keputusan saya sudah final.”
Rasa sesak datang bersamaan sakit yang menghantam tepat di relung hati Puspa. Seseorang yang beberapa menit lalu terasa dekat kini benar-benar jauh untuk direngkuh. Arya mengatakan kalimat itu lugas, tak terdengar keraguan di dalamnya.
“Apa aku —ada salah?” tanya Puspa sekali lagi.
“Tidak.”
“Aku kurang apa?”
“Tidak ada.”
“Lalu?”
“Ya itu, aku hanya merasa hubungan ini hambar.”
“Mas Arya bosan sama Puspa?”
Jeda dibiarkan Arya sepi tanpa suara. Helaan nafas terdengar pelan dan berat, Puspa menggigit bibirnya sendiri karena khawatir. Kilasan bayangan masalalu mereka yang indah berebut meminta perhatian lebih. Puspa merindukan Arya-nya. Sangat!
“Iya.”
Tujuh bulan yang lalu Arya sempat kembali ke Indonesia dan laki-laki itu sama sekali tidak berbeda. Arya-nya masih miliknya. Tapi kenapa tiba-tiba dia berubah?
Tahun ini seharusnya menjadi tahun terakhir perjuangan mereka melawan jarak. Tentu Puspa tidak akan serta merta menyerah dengan hubungan keduanya. Puspa tetap akan memperjuangkan hubungan mereka, bukankah begitu seharusnya? “Aku nggak mau,” jawabnya. Dia mencintai Arya, sangat.
“Loh, kalau aku sudah nggak mau sama kamu terus gimana?”
Sakit! Rasanya sakit.
“Mas, Aku cinta sama Mas Arya.”
“Tapi aku enggak, aku udah bosen sama kamu, hubungan kita hambar.”
“Bukankah Mas Arya bisa berjuang lagi? Bukankah itu yang dulu Mas Arya janjikan? Sebuah perjuangan.”
“Sorry aku kalah.”
Kenapa kalimat-kalimat menyakitkan begitu mudah keluar dari bibir yang selama ini selalu mampu menenangkannya? “Aku, —aku sudah memberikan semuanya untuk Mas Arya. Lalu aku harus bagaimana?”
“Kita melakukannya karena mau sama mau, Puspa. Tidak mungkin kamu membelengguku hanya karena sebuah tanggung jawab yang kamu juga melakukan itu tanpa paksaan.”
Kalimat Arya menghentikan isakan tangis Puspa.
“Intinya aku sudah nggak mau sama kamu. Bukankah seharusnya kalimatku sudah jelas?”
“Tapi Puspa nggak mau.”
“Terserah kamu lah! Yang jelas bagiku, kita sudah selesai.”
Beep.
Panggilan itu diputus sepihak. Kisah cinta yang Puspa rajut dalam waktu empat tahun kandas melalui sebuah panggilan telepon mendadak. Secepat itukah dunia memutar takdirnya?
Namun Puspa tak pernah putus asa, ia tetap menghubungi Arya di hari-hari berikutnya. Ia masih ingin berjuang, sesuatu yang selalu digadang-gadangkan Arya selama ini. Setiap hari ia selalu mencoba menghubungi Arya, meskipun dengan itu ia harus merogoh uang yang tidak sedikit.
Setiap hari ia mengirimkan pesan meskipun tak pernah berbalas. Hingga tiga bulan setelahnya, Puspa masih bertahan dengan harapan bahwa Arya hanyalah bosan tapi cinta seharusnya masih dimiliki laki-laki itu.
Sebuah potret yang ia temukan di beranda media sosial Arya menegaskan sesuatu yang ternyata sudah benar-benar hilang. Potret seorang wanita cantik yang berdiri di samping Arya, diantara keluarga yang belum pernah sekalipun Arya kenalkan padanya.
Tubuh itu jelas milik Arya yang biasa memeluknya. Tubuh itu-lah yang dulu selalu bisa melindungi Puspa dari dunia yang seringnya mengecewakan. Dan tubuh itu-lah yang kini justru menciptakan kekecewaan besar dalam hidup Puspa setelahnya.
Laki-laki itu sudah bersama dengan wanita lain. Lalu bagaimana dengan Puspa?
Puspa kehilangan Arya, kehilangan semuanya termasuk dirinya sendiri.
Puspa berlari, mengambil jaket dan helm, mengenakannya sambil lalu. Tidak lupa sepasang kaos tangan dan masker melengkapi penampilannya pagi ini. Ia melihat ke arah jam yang menunjukan pukul setengah delapan pagi, artinya ia memiliki waktu dua puluh sembilan menit untuk sampai di kantornya tepat waktu.
“Brengsek!” umpatnya ketika kakinya menginjak kerikil kecil di depan rumah. Padahal seharusnya kerikil itu tak bersalah, dirinya-lah yang salah karena tak menyapu rumah. “Ya Tuhan, please hari ini baik sama gue doong,” mohonnya lebih ke arah paksaan.
Hari ini adalah hari terakhir masa magang di sebuah perusahaan baru tempatnya bekerja. Dia sudah menghabiskan banyak waktu, tenaga dan pikiran sebagai bentuk perjuangannya selama tiga bulan di perusahaan itu. Setengah jam dari sekarang adalah waktu dimana keputusan akhir nasib hidupnya selama beberapa tahun ke depan. Didepak dan menjadi pengangguran dengan banyak cicilan, atau kontrak satu tahun dengan gaji yang cukup besar.
Jika boleh memilih tentu saja Puspa berharap ia akan mendapatkan opsi kedua. Dia masih punya cicilan rumah yang cukup memusingkan kepala!
Puspa menstater motor bebek butut miliknya yang sudah mulai rewel. Ia sempat menyimpulkan doanya terkabul ketika mesin motornya bisa hidup dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya. Tapi tiba-tiba ia terpaksa menarik kembali kalimat syukur yang baru saja ia ucapkan dalam hati.
Blubub … blubub …
“Ya Tuhaaaaan! Kenapa motor gue harus macet di saat genting seperti sekarang?!” tanyanya marah entah ditujukan untuk siapa. Hampir saja Puspa menangis dan merutuki kesialannya pagi ini, tapi tiba-tiba ia masih teringat dengan beberapa cicilan rumah yang harus ia bayar setiap bulan. Sebuah fakta yang cukup mampu membuat semangatnya kembali membuncah. Dia harus bekerja!
Tangan Puspa mengotak-atik ponsel genggam yang ia rogoh di dalam tas. Masih ada satu-satunya harapan yang bisa Puspa gadang-gadangkan.
“Sesuai aplikasi ya, Teh?”
Abang ojek onlen!
“Ya ya, hayuk Aa. Saya sudah telat,” jawabnya gesit.
Puspa kembali berfikir bahwa Tuhan masih sayang pada dirinya. Abang gojek kali ini sangat mumpuni di dalam bidang salip menyalip. Bahkan helm Puspa sempat tertarik sedikit ke belakang karena terbawa angin saking ngebutnya si Abang gojek. Gila memang! Pembalap Rossi saja lewaaat.
Ciiittzzz.
“Makasih A’,” ucap Puspa. “Saya kasih tips-nya lewat aplikasi ya?”
“Beres bossque, nuhun.”
Puspa berlari memasuki kantor. Ia langsung menuju ke arah ruang SDM yang semalam diinformasikan kepadanya melalui email.
“Hampir telat lo,” bisik Ayuk. Teman Puspa yang sudah lama bekerja di perusahaan AD corporate. Salah satu teman satu fakultas yang memiliki gelar sama, yaitu sarjana psikologi. Teman yang membawanya masuk ke dalam perusahaan ini. Jika tidak ada Ayuk, entah Puspa mengemis pekerjaan kepada siapa.
“Motor gue mogok, setan bener!”
“Ssttt, gue ke depan dulu.”
Mereka berkumpul di sebuah ruangan dengan karyawan magang sebanyak sepuluh orang dari berbagai macam divisi dan penempatan. Informasi yang baru saja Puspa terima, karyawan magang yang dipanggil pagi ini adalah karyawan yang diterima sebagai karyawan kontrak. Puspa bersyukur, ia masuk ke dalam karyawan yang terpanggil.
“Mulai detik ini, setelah kalian menandatangi kontrak dengan AD Corporate maka kalian sudah resmi menjadi salah satu anggota keluarga di perusahaan ini.” Manager SDM kami yang jika tidak salah bernama Pak Dimas. Laki-laki itu menjelaskan beberapa peraturan dan kewajiban yang harus dipatuhi sebagai karyawan. “Kalian siap?”
“Siap Pak,” jawabku pasti.
Sebagai seorang budak corporate yang sudah malang melintang di dunia ketenagakerjaan, semua orang pasti cukup mengenal perusahaan AD Corporate. Perusahaan adidaya yang bergerak di bidang konstruksi dan mesin yang akhir-akhir ini sedang mengembangkan bisnis keuangan dalam investasi. Darimana Puspa tahu? Tentu saja dari Ayuk yang sering sekali mengagung-agungkan tempat kerjanya.
Intinya, Puspa bersyukur diterima di perusahaan ini.
Saat jam makan siang, Puspa dan Ayuk memilih untuk makan siang di kantor. Perusahaannya menyediakan makan siang untuk setiap karyawan tapi juga tidak memaksa karyawan untuk makan makanan yang disediakan. Dengan alasan demi menghemat pengeluaran bulanan, tentu saja Ayuk dan Puspa memilih makan di kantin yang disediakan.
“Pilihan lo tepat buat masuk kesini,” ucap Ayuk disela-sela makan siangnya.
“Gue juga berfikir seperti itu.”
“Gaji gede meskipun baru pegawai kontrak, bonus gede,” tambah Ayuk. “Lo nggak akan pernah menyesal ninggalin kantor lo yang dulu. Gue pastiin itu!”
Entah kenapa kalimat Ayuk membawa beberapa memori buruk Puspa di perusahaan tempat kerjanya sebelumnya. Hampir lima tahun Puspa bekerja di tempat itu, meskipun gajinya tidak terlalu besar tapi dekat dengan rumahnya.
Sebagai seorang wanita yang tinggal sendiri di kota besar, tentu jarak yang dekat cukup bisa dijadikan salah satu alasan memilih tempat kerja. Mungkin karena lebih aman pun juga tidak akan terlalu capek di perjalanan. Setelah ibunya memutuskan untuk menjual rumah mereka yang ada di Jakarta dan memilih tinggal di desa, Puspa membeli sebuah rumah dengan KPR dibantu ibunya dari uang hasil penjualan rumah.
Ayah dan Ibu Puspa bercerai saat Puspa masih SMA. Sekarang ini ayah sudah menikah dan memiliki keluarga barunya sendiri begitupun ibunya.
Lalu Puspa bersama siapa? Hehe, dia sendiri.
“Pulang naik ojek lagi lo?”
“Ya iyalaah, memang mau naik apa?”
“Yaa siapa tahu ada yang jemput.”
“Yaa ada emang, Babang Ojek kan?” tanya Puspa dengan kedipan mata yang dibuat-buat.
“Sialan lo!”
“Hahaha.” Mereka berdua tertawa lepas di tengah kerumunan umat manusia AD Corporate.
Sore harinya Puspa pulang tepat di jam lima sore. Karena jarak kantor yang cukup jauh dengan rumahnya, serta kemacetan yang aduhai dahsyatnya, membuat Puspa baru tiba di rumah ketika adzan Isya’ berkumandang. Ngocoks.com
Wanita itu turun dari motor lalu membeku ketika menemukan sosok yang sangat ia hindari. Sosok yang menjadi alasan utamanya terpaksa hengkang dari perusahaan sebelumnya. “Mas Galih kenapa ke sini?” tanya Puspa tanpa ada nada ramah dalam kalimatnya.
“Puspa, aku minta maaf,” jawab laki-laki itu sambil mencoba meraih tangan Puspa.
“Aku nggak bisa!” Puspa menepis tangan Galih dengan kasar.
“Aku nggak nyangka bisa jadi serumit ini sampai kamu harus resign dan cari tempat kerja baru.”
“Seharusnya Mas Galih sudah bisa memprediksi kalau mulut manusia itu tidak semuanya bisa dijaga.”
“Aku tahu —.”
“Lebih baik Mas Galih pergi,” usir Puspa sekali lagi sebelum kesedihan kembali menguasai.
Sekuat tenaga Puspa mencoba mengais sisa-sisa harapan untuk kembali menjalin sebuah hubungan. Dan Galih adalah pilihannya karena laki-laki itu dianggap baik. Galih laki-laki sabar dan terlihat jarang memiliki teman perempuan.
Sesuatu yang menjadi poin utama Puspa untuk kembali mencoba dekat dengan laki-laki. Terlebih karena desakan umur yang selalu dianggap terlalu tua oleh keluarganya, memaksa Puspa untuk mencoba pelan-pelan kembali membuka hati. Dan ketika ia mencoba kembali membuka hati untuk Galih, Puspa memberanikan diri untuk jujur kepada laki-laki itu tentang kondisinya yang —sudah tidak suci. Sebuah hubungan harus dimulai dari saling terbuka bukan?
Tapi justru desas desus tentang hubungan Galih dan Puspa menjadi perbincangan di tempat kerja mereka berdua.
“Jujur saja waktu itu aku sedikit kecewa. Aku hanya —hanya curhat ke Rio tapi nggak tahu bagaimana bisa tersebar begini,” jelas Galih frustasi. “Aku minta maaf, aku benar-benar menyesal.”
Puspa yang sudah kehilangan kepercayaan sejak dulu semakin tak terselamatkan. Sekuat tenaga ia mencoba kembali membuka hatinya tetapi sekali lagi ia tersakiti. Mungkin takdir sedang tidak mau berbaik hati kepada seorang manusia bernama Puspaningrum. “Apapun alasan Mas Galih, tidak bisa Puspa terima. Lebih baik sekarang Mas Galih pulang karena Puspa mau istirahat.”
“Aku cinta sama kamu, Puspa,” ucap Galih tiba-tiba.
“Mulai detik ini, Puspa tak lagi percaya dengan perasaan itu. Puspa sudah menutupnya erat-erat.”
“Puspa —.”
“Assalamualaikum, hati-hati di jalan, Mas.”
Puspa menutup pintunya dari dalam, membiarkantubuhnya berdiri di balik pintu sejenak untuk menikmati rasa sakit yang sudahterbiasa menghiasi hatinya. Semakin kita dewasa, kita akan semakin mudahmengatakan ‘tidak apa-apa’ untuk sesuatu yang menyakiti. Puspa sudah terbiasa,ia hanya akan membutuhkan waktu sebentar lalu semuanya akan kembali sepertibiasa. Bukan begitu?
Bersambung…