Satu pesan yang cukup membuat Puspa harus membacanya berulang kali. Sebuah ajakan makan siang bersama dari orang yang jelas-jelas duduk berdekatan dengan dirinya.
Raka.
Nanti siang kita makan di luar, gue yang traktir.
Me :
Tumben.
Tidak ada lagi jawaban dari manusia di samping Puspa lalu ia kembali berkutat dengan beberapa pekerjaan yang masih menumpuk.
Sudah satu minggu sejak kepergiannya ke Jogja, sejak pertemuan mengejutkannya dengan Arya. Laki-laki itu tak lagi menampakan batang hidungnya, bahkan saat waktu sarapan tiba Arya tak pernah lagi menemani Puspa di balkon. Mungkin Arya benar-benar menyesali perbuatannya.
Ya, tentu saja! Laki-laki itu tidak mungkin menukar kehidupannya yang sempurna hanya demi bersama Puspa.
Jam menunjukan pukul duebelas siang, sudah waktunya makan siang untuk kalangan budak corporate seperti Puspa. Ia melihat Raka yang keluar terlebih dahulu lalu satu pesan ia terima saat laki-laki itu sudah menghilang dari ruangan.
Raka:
Gue tunggu di depan outlet kopi. Gue udah bawain helm lo.
Puspa membaca pesan itu lalu mengambil jaketnya untuk menemui Raka. “Mbak Dwi, gue izin makan siang di luar ya,” ucap Puspa.
Mbak Dwi melihat Puspa yang sudah berdiri dengan menenteng tas dan jaketnya.
“Janji nggak lama kok, jam satu sudah sampai kantor,” tambah Puspa.
“Oke,” jawab Mbak Dwi singkat.
Puspa berjalan ke luar kantor. Ia sedikit berlari karena tak ingin Raka terlalu lama menunggu. Raka kalau ngomel sudah melebihi emak-emak yang sedang berada di fase pra-menopause. Galak!
“Lama,” kesal Raka saat melihat wanita yang ia tunggu datang.
“Izin dulu sama Mbak Dwi.”
“Dia bukan bos, Puspa. Yang penting kita balik tepat waktu.”
“Iya, iya. Daripada ngomel mending kita jalan deh, Ka.”
Raka menyiapkan footstep untuk Puspa naik lalu menjalankan motornya saat wanita itu sudah siap.
Perjalanan keduanya tidak lama, Raka membawa Puspa ke warung nasi padang terdekat dari kantor. Kata Raka ini adalah warung padang terenak yang pernah ia makan. Apalagi, harganya juga tidak terlalu mahal.
Raka menyerahkan satu bungkus kopi ke arah Puspa saat mereka sudah duduk di meja.
“Tadi nunggu tuan putri yang lama gue sempetin beli kopi. Kaya-nya lo tadi belum minum kopi.”
“Cie, perhatian banget sih lo.” Puspa mengambil bungkusan itu dengan wajah ceria.
“Emang! Lo-nya aja yang nggak peka.”
Puspa membuka kopinya lalu menatap Raka dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Kenapa?” tanya Raka.
“Kok latte?”
“Biar ada manis-manisnya. Hidup itu harus banyak rasa. Nggak suka?” tanya Raka.
“Suka kok,” jawab Puspa akhirnya. Meskipun sedikit terpaksa hanya karena demi menghargai Raka yang sudah membelikannya kopi. Karena sebenarnya, Puspa mengharapkan es kopi hitam seperti sebelumnya.
Mereka mengambil makanan masing-masing lalu melanjutkan makan dalam diam. Setelah selesai makan, Raka meminta untuk tinggal sebentar.
“Ada yang mau gue omongin.”
“Apa?” tanya Puspa.
Wanita itu memoleskan lipstik tipis karena setelah makan biasanya lipstik di bibirnya akan memudar. Kata Mbak Dwi, karena mereka bekerja di perusahaan besar dan bisa bertemu dengan banyak orang, semua karyawan harus tetap tampil cantik tapi tidak boleh berlebihan.
Kegiatan itu tak luput dari perhatian Raka.
“Apa, Raka? Kok lo malah ngeliatin gue lipstikan. Mau?” tawarnya sambil mendekatkan lipstik ke arah Raka.
“Najis!”
“Haha.”
Raka masih terdiam hingga Puspa menyelesaikan kegiatannya. “Gue mau pindah ke Cikarang.”
“Pindah? Maksud lo?” tanya Puspa terkejut.
“Minggu depan gue dipindah ke Pabrik di Cikarang dengan tawaran gaji lebih besar dari di sini, dan gue terima.”
Puspa sempat terpaku, merasa ada yang janggal dengan kepindahan Raka yang tiba-tiba. Ia menduga siapa dalang di balik kepindahan Raka ke Cikarang. Meskipun itu atas persetujuan Raka sendiri tapi Puspa bisa menebak semua ini hanyalah keinginan Arya. Laki-laki itu tidak pernah mengancam tapi akan selalu benar-benar menyingkirkan apa yang tidak ia sukai.
Tapi kenapa Arya tidak suka kepada Raka?
“Rum!” tegur Raka.
“Eh, ya? Sorry.”
“Gue mau pindah,” jelasnya lagi padahal Puspa sudah paham dengan kabar itu.
“Iya, terus?”
“Lo nggak sedih gitu? Atau ngerasa kangen, nggak rela mungkin?” tanya Raka benar-benar ingin tahu.
“Ya sedih, nggak ada lagi yang beliin gue kopi. Atau nraktir gue nasi padang.”
“Ningruum..”
“Ya, Rakaa..”
“Gue serius.”
“Ya gue juga serius. Emang gue harus gimana? Kan lo sendiri juga yang mau dipindah kesana.”
“Yaa kalau gue sih pasti kangen sama lo, meskipun sepertinya gue sendiri yang merasakan itu.”
Puspa tak menjawab, hanya tersenyum.
“Kalau lo kangen bilang ya, gue pasti dateng buat jemput lo. Ya meskipun nggak tiap hari juga sih. Lo tahu rumah gue di Bekasi, muter banget kalau harus kesini.”
“Yaa, kalau kangen gue pasti bilang.”
Raka tersenyum lega. “Lo baik-baik aja kan gue tinggal?”
“Baik.”
“Ningrum.”
“Ya Raka?”
“Kenapa gue nggak rela ninggalin lo sendiri di sini? Gue ngerasa butuh ngelindungin lo dari sesuatu yang nggak gue pahami itu apa.”
Puspa menautkan matanya ke arah Raka. Ia tersenyum tipis saat melihat raut wajah Raka yang tidak rela dengan kepindahannya.
“Gue baik, gue bisa jaga diri,” ucap Puspa.
“Kalau ada sesuatu yang bikin lo nggak nyaman, lo bilang gue ya?” pinta Raka. Tangannya hendak menggenggam tangan Puspa yang ada di meja tapi wanita itu menolak dan berakhir dengan Raka yang hanya menggenggam tangannya sendiri.
“Gue pasti cerita.”
“Good, baguslah,” jawab Raka sedikit merasa kecewa. “Tapi … kalau gue kangen, gue boleh maen ke rumah lo kan?”
Puspa mengangguk cepat. “Lo boleh maen ke rumah asal nggak minta gue masakin. Lo tahu sendiri gue kalau pulang kerja capek jadi seringnya langsung tidur. Kalau weekend gue seringnya baca novel.”
Entah kenapa, tanpa Puspa sadari ia mudah sekali berbincang banyak bersama Raka. Ia lupa bahwa Raka termasuk ke dalam spesies manusia yang tentu saja bisa menimbulkan kesakitan lainnya seperti hal-nya orang lain.
“Iyee, iyee. Oh ya, jangan lupa motor lo rajin-rajin di service biar nggak mogok lagi. Kalau sampai mogok atau ada kesulitan lain lo bisa panggil Pak Tejo, doi sudah gue kondisikan.”
“Hahaha, yaa yaa, Mr. Bossy.”
“Gue serius, Ningrum. Jujurly, gue nggak tega banget ninggalin lo.”
“Yaa udah, jangan tinggalin kalau gitu,” jawab Puspa menantang. Wanita itu tersenyum sambil melihat Raka dengan mata genit yang di buat-buat.
“Gue seriusin bener, lari lo!” jawab Raka dengan sedikit gertakan.
Raka tersenyum tipis sambil menimbang apa yang akan ia lakukan kepada wanita di hadapannya. Ingin sekali Raka mencubit pipi Puspa dengan gemas atau menarik Puspa ke toilet lalu menciumnya dengan brutal.
Tapi kedua option itu tidak diambil Raka.
Laki-laki itu hanya bisa melihat Puspa dengan gregetan tanpa bisa melakukan apapun.
Poor Raka!
“Lebih baik kita balik atau nanti dapat omelan dari Mbak Dwi,” putus Puspa. Ia membereskan barang-barang miliknya lalu memasukannya ke dalam tas.
Puspa melenggang meninggalkan Raka terlebih dahulu. Ia jalan di depan lalu tiba-tiba Raka datang dari belakang dan langsung melingkarkan tangannya di leher Puspa.
“Awas lo ya,” ancam Raka.
Raka menarik wajah Puspa lalu menggigit ringan pipi wanita itu.
“Dih, zizik gue. Lepaaassin!” teriak Puspa yang berbanding terbalik dengan tawanya yang terdengar lepas.
“Awas aja lo kalau ngegodain gue lagi! Gue …”
“Gue … apa?”
“Au ah! Balik yuk, gerah!”
“Hahaha.” Puspa kembali tertawa lepas, seakan lupa bahwa hal ini adalah hal tersulit yang ia lakukan sebelumnya.
Sebagai anak perempuan satu-satunya pesohor bisnis investasi, Livylia atau biasa dipanggil dengan Ivy selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Kata Mama Runi, Ivy adalah anugrah dari Tuhan untuk kedua orangtuanya. Berbagai macam keluarga Miller lakukan untuk mendapatkan anak, mulai dari inseminasi buatan, bayi tabung bahkan sampi mencari penemuan terbaru dari dunia medis tak kunjung membuat Runi hamil.
Hingga di titik putus asa keduanya, tiba-tiba Ivy kecil tumbuh di dalam rahim Runi.
Kebahagiaan besar datang, Ivy adalah sumbernya. Begitu besarnya perjuangan untuk mendapatkan Ivy membuat kedua orangtuanya lupa, mempunyai anak bukan hanya tentang memberikan segalanya. Tapi juga harus menjadikannya seorang manusia yang memiliki rasa.
Ivy tidak pernah kekurangan satu apapun. Hidupnya serba berkecukupan dan tak mengenal rasa sakit. Ada Daddy-nya yang akan selalu berada di depan Ivy. Ngocoks.com
“Sudah tidur, Bik?”
Ivy berdiri di pinggir pintu kamar Axel. Dia baru saja selesai makan malam, seorang diri karena suaminya belum juga muncul. Katanya, Arya sedang ada perjalanan dinas ke luar kota.
“Sudah, Bu.”
“Bagus, aku mau ke kamar dulu.”
“Nggih, Bu.”
Axel sudah tidur di kamar terpisah dengan penjagaan dari Bik Tini yang tidur di kamar sebelahnya. Ivy sendiri tidur di kamar utama yang berada di lantai dua. Meskipun barang-barang suaminya ada di kamar ini, tapi mereka jarang menghabiskan malam bersama. Hanya sesekali jika Ivy sudah menjatuhkan harga dirinya dan meminta berbagi ranjang terlebih dahulu. Tetapi setelah semuanya terjadi, suaminya akan kembali menghilang.
Kamarnya selalu sepi, dingin dan tak memiliki kenangan apapun diantara dia dan Arya. Ada sesal yang bersirobok di dalam hatinya mendapati keluarganya yang rapuh, berlubang disana-sini. Tapi karena ini sudah menjadi keputusannya, Ivy tetap melangkah teguh. Sering sekali Ivy menertawakan dirinya sendiri, sudah lima tahun tidak ada Puspa dalam hidup Arya tapi nyatanya tetap tidak ada namanya di dalam hati suaminya.
Ya, Ivy sudah memastikan itu. Puspa tidak ada lagi, ia sengaja meminta orangnya untuk menawar rumah ibu Puspa dengan harga yang jauh lebih tinggi dari pasaran hanya agar Arya kehilangan jejak wanita itu.
Setiap Arya mencari pesuruh untuk mencari Puspa, dengan mudah Ivy menggagalkannya.
Tragis memang hidup Ivy!
Malam ini, ia memilih menyindiri di balkon kamar dengan satu bungkus rokok yang terbuka. Ia mengambil satu putung rokok lalu menyelipkan diantara kedua bibirnya.
“Ini tidak baik.” Arya muncul dari balik pintu kamar lalu mengambil rokok itu dan membuangnya asal.
Tak habis akal, Ivy kembali mengambil satu putung rokok dan Arya kembali membuangnya beserta satu bungkus rokok yang berada di meja. “Tumben pulang,” sindirnya.
“Aku kangen Axel.”
Sakit! Axel-lah yang menjadi senjata utamanya untuk mempertahankan Arya di sisinya. Laki-laki itu sangat menyayangi anaknya tapi tidak dengan dirinya.
Arya berjalan masuk lalu membuka jas dan meletakannya di box loundry. “Besok Axel aku bawa ke kantor ya?” ucap Arya meminta izin.
“Nggak sekalian istrinya dibawa ke kantor?”
“Nanti kamu bosan.”
“Aku tidak bosan.”
“Vy …”
“Apa karena ada wanita itu di sana?” tanya Ivy menantang.
Sejak beberapa hari yang lalu Arya mengatakan bahwa ia menemukan Pupsa, Ivy dengan cepat mencari tahu dimana wanita itu berada. Dan begitu indahnya takdir Arya dan Puspa, wanita itu datang ke perusahaan Arya dengan sendirinya. Ivy sempat menduga Puspa sengaja tapi orang kepercayaannya memastikan bahwa itu semua tidak ada unsur kesengajaan. Kenapa takdir tidak pernah mempermudah jalan ceritanya?
“Tidak usah membahas itu lagi.”
“Mas Arya masih mencintai Puspa?” tanya Ivy. Ia duduk di hadapan Arya yang sedang berdiri melepas pakaiannya.
“Aku mau mandi.”
Ivy menarik tangan Arya yang hendak pergi, ia memaksa laki-laki itu untuk tetap berdiri di depannya.
“Apa lagi?” tanya Arya lemah.
“Mas Arya masih cinta sama wanita itu? Masih berharap sama wanita itu?” Ada kemarahan yang kentara, cemburu dan rasa tidak rela. Sekarang ini, Arya bukan hanya tentang cintanya. Tapi tentang keluarga, ayah dari anaknya, suaminya!
“Aku sudah mengatakan sejak awal, kamu tidak akan pernah mendapatkan cinta dariku, Vy. Kamu sudah mendapatkanku, bukankah ini maumu?”
“Aku mau cinta dari Mas Arya.”
“Aku sudah mengatakan dari awal aku tidak bisa. Perasaan tidak bisa dibentuk sesuai kemauanmu!” Kalimat Arya cukup meninggi di bagian akhir. Lalu ia menyesal setelahnya karena sudah membentak. Semarah-marahnya Arya kepada Ivy, dia tetap menjaga perasaan wanita itu. Ivy istrinya, seorang wanita yang ia jaga seperti adiknya sendiri. Arya menyayangi Ivy sebagai seorang perempuan, seperti ia menjaga ibunya. Dan ia semakin merasa kacau saat menyadari dia tak bisa menjaga Puspa.
“Tapi, Mas Arya sudah berjanji untuk berusaha.” Ada satu tetes air mata yang tak bisa Ivy bendung. Seumur hidupnya, sesuatu yang sangat ia inginkan hanyalah Arya. Dan sesuatu yang benar-benar menyakitinya memiliki nama yang sama.
“Apa menurutmu selama ini aku tidak berusaha? I’m trying, Vy! Aku selalu berusaha, bahkan jika itu harus menghancurkanku, aku tetap mencoba. Demi kamu, demi keluarga kita, demi Axel!” Kemarahan itu semakin tersulut, Arya lelah dengan takdirnya. Ia lelah untuk berpura-pura tidak apa-apa di hadapan semua orang yang seharusnya menjadi tempat pelepas penatnya.
“Jika kamu ingin semuanya baik-baik saja, aku mohon jangan menuntut,” pinta Arya. Ia menarik tubuh istrinya untuk mendekat. “Aku minta maaf sudah membentakmu.”
“Hikz.”
“Vy, jangan menangis. Aku paling tidak suka melihatmu menangis.”
“Aku takut kehilangan Mas Arya, aku takut Axel kehilangan ayahnya.”
Ivy memeluk tubuh Arya ketakutan, sedangkan laki-laki itu hanya bisa membalas pelukan Ivy dengan perasaan berkecamuk di dalam dada. Arya menengadahkan kepalanya mengusir gusar, mencoba sekuat tenaga untuk tetap bernafas normal meskipun rasa di dadanya meletup tak karuan. “Aku mau mandi,” ucap Arya sambil mencoba melepaskan pelukan Ivy.
“Kita mandi bareng, Mas,” tawar Ivy.
“Vy, aku capek.”
“Please, katanya Mas Arya mau mencoba.”
“Ivy.”
Ivy menarik tangan Arya untuk mengikutinya. Tak bisa menolak, Arya mengikuti langkah Ivy masuk ke dalam kamar mandi. Dengan cekatan Ivy menyiapkan air hangat di bath up. “Mandi air hangat bisa melemaskan otot-otot yang tegang,” ucap wanita itu sambil tersenyum. “Biar nggak capek lagi.”
Setelah menyiapkan semuanya, Ivy membantu Arya melepaskan pakaiannya satu persatu. Ia meminta Arya untuk masuk terlebih dahulu lalu ikut melepaskan pakaiannya sendiri sebelum ikut masuk ke dalam bath up yang sama dengan suaminya. “Vy,” tegur Arya saat tangan Ivy bergerak turun.
“Ivy cuma mau mijit, biar Mas Arya nggak capek lagi.”
Arya tahu itu hanya tipu muslihat istrinya. Ia memejamkan mata saat tangan Ivy bergerak memijit tubuhnya. Tapi jelas itu hanya di awal, karena setelahnya tangan Ivy bergerak lincah di bagian tubuh sensitive milik Arya. “Vy,” panggil Arya dengan geraman.
“Ivy mau Mas Arya malam ini,” ucap Ivy menuntut pasti.
Arya memejamkan mata, mempersilahkan apa yangdiinginkan istrinya pada tubuhnya. Tubuh Arya memang milik istrinya, tapi hatinya tidak. Hanya ada satu nama yang memiliki hatinya. Satu nama yang selalu Arya sebut dengan sebuah permohonan maaf tanpa kata.
Bersambung…