Close Menu
Cerita SexCerita Sex
  • Warning!
  • Contact Us
  • Privacy Policy
  • Kirim Cerita Sex
  • Join Telegram
  • Video Bokep
  • Foto Bugil
  • Jav Sub Indo
X (Twitter) WhatsApp Telegram
Cerita SexCerita Sex
  • Contact
  • Warning!
  • Privacy
  • Kirim Cerita
  • ThePornDude
  • Bokep
Cerita SexCerita Sex
Home»Novel»Kamu yang Kusebut Rumah

Kamu yang Kusebut Rumah

Share Twitter Telegram WhatsApp Copy Link

Time flies.

Puspa merasa tenang dengan kehidupannya saat ini. Bekerja, tidur, baca novel dan bekerja lagi. Tak ada yang perlu ditakuti, tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Arya tak lagi menemuinya dan Raka sudah tak duduk di samping tempat duduknya. Seperti inilah kehidupan yang diinginkan Puspa. Landai tak ada masalah, kuncinya hanya satu : Puspa hanya perlu menghindari berinteraksi di luar pekerjaan dengan orang lain.

Meskipun, ada setitik rindu yang Puspa rasakan untuk Raka. Biasanya laki-laki itu yang sering memberi warna dalam hidupnya, warna yang sangat dihindari Puspa karena sewaktu-waktu orang yang sama bisa merebutnya kembali.

“Hari ini ikut gue meeting, ya?” titah Mbak Dwi.

“Gue, Mbak?” tanya Puspa ragu sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri.

“Iya, kenapa?”

“Kenapa nggak yang lain? Yang lebih senior gitu, gue baru—.”

“Gue males ribet sama mereka, lo tahu kan banyak yang nggak suka sama gue karena di anggap ribet termasuk Raka.” Mbak Dwi mengucap kalimat itu dengan cepat tanpa berniat memberikan jeda kepada Puspa untuk menjawab. “Nanti jam satu.”

“Ya, Mbak,” jawab Puspa akhirnya. Dia malas mendebat.

Puspa mendengar bunyi notifikasi pesan masuk di ponselnya, lalu senyumnya merekah membaca baitan pesan yang dikirim Raka, meskipun berbanding terbalik dengan pesan yang ia balas untuk laki-laki itu.

Raka :
Selamat bekerja Tuan Putri.

Me :
Basi lo!

Raka :
Gue akan ngulang2 terus kalimat ini sampai lo sadar kalau gue serius. Gue kangen sama Ningrum.

Puspa malas menjawab, ia lebih memilih meletakan ponselnya di meja lalu menyiapkan beberapa berkas yang dibutuhkan Mbak Dwi untuk meeting siang nanti.

Sial sedang menyambut Puspa, ia tidak menanyakan dengan siapa meeting siang ini. Dan saat derap langkah kaki mendekat ke dalam ruangan, Puspa tak lagi bisa keluar melarikan diri. Ia melihat mata Arya yang terkesiap saat bertemu dengan bola matanya, namun dengan cepat laki-laki itu mengalihkan perhatiannya ke tempat lain.

“Saya tidak punya waktu banyak, bisa segera dimulai saja presentasinya.” Arya bertitah yang langsung diikuti seluruh peserta rapat.

Semua orang di ruangan ini memperhatikan presentasi yang dipaparkan bagian HRD. Selama rapat Puspa mencuri pandang ke arah Arya yang menautkan perhatian penuh ke arah depan. Laki-laki itu sama sekali tidak melihat ke arahnya. Lalu Puspa merasa bodoh, kenapa harus ia berharap Arya melihatnya?

Setelah selesai Arya mengomentari sekilas presentasi hari ini dan lalu langsung berniat pergi.

Jika tidak salah menduga, Arya terlihat tidak nyaman. Seperti yang Puspa kira sebelumnya, mungkin Arya menyesal dengan pertemuan terakhir mereka dan merasa tidak enak hati karena harus bertemu dengannya lagi. Seharusnya, Puspa-lah yang merasa tidak enak hati karena tempat ini memang bukan tempatnya. Seharusnya Puspa tidak ada disini.

Sebelum acara ditutup, ada sedikit penyampaian dari tim HRD. Namun tiba-tiba …

Arya jatuh. Laki-laki itu terlihat kesakitan sambil memegangi dadanya yang sesak. Puspa tahu, Arya memiliki riwayat asma. Biasanya ia menyimpan inhaler di tas kecil yang selalu ia bawa kemana-mana. Arya melihatnya dengan tatapan mata meminta pertolongan. Kemana laki-laki yang biasa bersama Arya? Puspa menyapu ruangan tapi tak menemukan laki-laki itu disini.

“Pak Arya!” panggil Mbak Lita. Ia duduk di samping Arya terlihat kebingungan. Mungkin wanita itu juga tidak tahu jika Arya memiliki riwayat asma dan saat ini sedang terkena serangan. “Panggil satpam, panggil Anton atau siapapun itu,” titah Mbak Lita ke semua karyawan yang ada di ruangan sama. Mereka semua berdiri disekitar Arya padahal seharusnya hal itu tidak boleh dilakukan.

“Anton! Anton!” teriak Mbak Lita bingung.

Puspa memang membenci laki-laki itu, tapi membiarkan Arya kesakitan pun juga tak membuatnya merasa lebih baik. Jauh di lubuk hati Puspa yang paling dalam, dia menyayangi Arya dan tidak ingin terjadi sesuatu yang membahayakannya.

Setelah memupuk keberanian, Puspa berlari mendekat lalu mendudukan tubuhnya di samping Arya. Dengan cekatan tangan wanita itu mengambil inhaler yang ada di tas Arya, lalu menyiapkan obat yang biasanya sudah terpasang disana. Puspa mendudukan tubuh Arya, menahannya di pangkuan dan meletakan kepala Arya di bahunya. Ia membantu Arya memasukan inhaler ke mulut lalu menyemprotkan obatnya. “Tahan dulu,” tutur Puspa. Wanita itu menghitung sampai sepuluh detik agar obat masuk ke dalam paru-paru. “Aku semprot lagi ya,” ucap Puspa meminta persetujuan.

Arya mengangguk, tangan kirinya berada di atas tangan Puspa yang sedang menggenggam inhaler sedangkan tangan kanannya memegang kuat tangan Puspa lainnya. Puspa sering membantu Arya dulu, saat laki-laki itu mendapatkan serangan asma. Dan saat ini pun, semuanya masih tersimpan jelas di kepalanya.

“Sekali lagi,” ucap Puspa dan Arya mengangguk setuju. “Tahan dulu.”

Arya mengikuti setiap instruksi yang dititahkan Puspa kepadanya. Semua itu terekam dengan jelas oleh semua karyawan yang hadir termasuk Mbak Dwi dan Mbak Lita. Anton datang setelahnya dan meminta karyawan lain untuk keluar ruangan. “Sudah enakan?” tanya Puspa.

Arya menggeleng.

“Masih mau disemprot lagi?”

“Cukup,” jawab Arya sambil memejamkan mata.

Mereka tidak sadar bahwa posisi mereka saat ini … begitu dekat, intens dan intim. Arya terkapar di lantai dengan tubuh bagian atas bersandar di dada Puspa yang duduk di belakang laki-laki itu. Tangan kiri Puspa saat ini memeluk kepala Arya yang masih terpejam dan terlihat tidak nyaman. Sedangkan tangan lainnya digenggam erat tangan Arya seperti meminta kekuatan.

Puspa mengusap pipi Arya dengan lembut seperti yang ia lakukan dulu saat laki-laki itu terkena serangan asma. Biasanya hal ini bisa mengurangi kecemasan yang bisa memperparah serangan. “Masih sesak?” tanya Puspa sekali lagi.

“Sudah lumayan.”

Arya membuka mata, terpaku melihat wajah Puspa yang begitu dekat di depan matanya. Jeda dibiarkan sejenak, saat Arya melihat tatapan mata Puspa yang tak menyimpan benci. Wanita itu melihat ke arah Arya dengan khawatir, —seperti dulu. Jika boleh sebentar saja Arya ingin moment ini berhenti sesaat. Dia ingin kembali merasakan rasanya jadi Arya yang (sangat) dicintai Puspa-nya.

Namun harapan Arya pupus, ketika tiba-tiba wanita itu menjauhkan tubuhnya. Puspa berdiri dan terlihat canggung menatap ke arah Mbak Lita dan laki-laki bernama Anton.

“Terima kasih, Puspa,” ucap Anton.

Mbak Lita dan Puspa sendiri sedikit terkejut laki-laki itu tahu namanya.

“Yaa, terima kasih kembali. Saya senang bisa membantu Pak Arya. Saya pernah memiliki pengalaman merawat seseorang yang memiliki riwayat asma,” jelasnya tidak mau terlihat khawatir dengan Arya.

“Siapa?” tanya Arya lemah. “Siapa yang memiliki riwayat asma?”

Puspa membeku, otaknya bingung menjawab pertanyaan Arya yang seharusnya mudah.

“Siapa, Puspa?” Arya menuntut.

“Seseorang yang berada di masa lalu saya.”

“Apakah orang itu tak lagi penting buatmu?” tanya Arya.

“Pak Arya,” panggil Anton memperingatkan. Dia tidak mau Arya kehilangan logika. Ada Lita disini yang mengenal Ivy. Tidak baik jika sampai hubungan keduanya yang sebenarnya tidak ada apa-apa, jadi diketahui orang lain.

Arya berdiri merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan.

“Orang itu penting buat saya. Sejak dulu sampai sekarang,” jawab Puspa akhirnya. Ada keinginan kuat di dalam hati Puspa untuk menanyakan alasan Arya menciumnya, alasan Arya kembali mendekat, alasan dulu dia pergi begitu saja. Banyak sekali yang ingin Puspa tanyakan kepada Arya.

“Lalu?”

“Lalu apa?” tanya Puspa.

“Lalu jika dia masih menjadi orang yang penting, kenapa sekarang tak lagi sama?”

“Laki-laki itu yang memilih pergi meninggalkan saya.”

“Berikan salamku kepada orang yang memiliki takdir yang sama denganku itu. Kalau boleh aku menyarankan, beri kesempatan kepadanya untuk menjelaskan,” ucap Arya kemudian berlalu pergi.

Anton mengikuti Arya dibelakangnya, sedangkan Mbak Lita lebih memilih berdiri dengan canggung di samping Puspa. “Kamu baik-baik saja?” tanya Mbak Lita. Ngocoks.com

“Saya baik.”

“Puspa,” panggil Mbak Lita menghentikan langkah Puspa. Ada jeda sebentar yang dibiarkan keduanya hening tanpa suara. “Seharusnya aku tidak ikut campur. Selama aku bekerja dengan Pak Arya, aku tidak pernah melihat laki-laki itu menatap seseorang dengan begitu … dalam. Bukankah lebih baik kalian berbicara?”

Puspa tak menanggapi lalu memilih untuk meninggalkan ruangan meeting dengan perasaan tak menentu. Ia masuk ke dalam toilet yang sepi dan mendudukan tubuhnya disana. Tatapan mata Arya yang sendu, kedekatan mereka yang masih jelas terasa nyata. Puspa berusaha menetralkan perasaanya sendiri dari rasa yang tak ia pahami.

Dia membenci Arya, tetapi kenapa perasaan Arya terasa begitu nyata?

Bapak :
Besok minggu datang ke rumah. Mentari ulang tahun.

Puspa tersenyum ceria saat melihat pesan di ponselnya. Setelah cukup lama menunggu akhirnya ia bisa bertemu dengan ayah. Ayah Puspa bekerja sebagai seorang distributor makanan beku, laki-laki itu sering bekerja di jalan dan jarang berada di rumah. Oleh sebab itu, Puspa hanya akan berkunjung saat ayahnya ada di rumah.

Me :
Ningrum akan datang.

Pagi harinya Puspa menyiapkan segalanya dengan sempurna, ia sudah membelikan sebuah tas sekolah berwarna pink untuk Mentari, adik tirinya yang lucu. Sebelum jam enam pagi Puspa hendak berangkat, rencananya ia akan pergi ke Bandung menggunakan kereta.

Pintu di ketuk dari luar. Puspa sempat menajamkan pendengarannya untuk memastikan tamu yang datang. Jarang sekali ada yang bertamu di rumah Puspa. Dia tidak punya teman atau pun sahabat. Paling ada beberapa tetangga yang cukup ia kenal, tapi itu pun tidak lebih dari jumlah jari di tangannya.

Puspa yakin ketukan itu ada di pintu rumahnya. Puspa melangkah untuk membukakan pintu dengan menghela nafas dalam sebelumnya. Saat membuka pintu, Puspa terkejut dengan kehadiran tamu tak diundang yang berdiri di depan rumahnya.

“Gue udah sering bilang kalau gue kangen sama Ningrum.”

“Raka?”

“Nama gue masih sama.”

“Ngapain lo disini?” tanya Puspa. Ia terlalu terkejut melihat tubuh Raka yang berdiri di depan rumahnya di pagi hari.

“Mau ngajakin lo jalan,” jawabnya enteng.

Tanpa dipersilahkan laki-laki itu masuk ke dalam rumah Puspa lalu mendudukan tubuhnya di sofa kecil depan TV. Seperti perumahan minimalis pada umumnya, rumah Puspa hanya terdiri dari ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang tengah dengan dua kamar tidur dan satu dapur yang berada di luar bagian belakang.

Raka melihat satu tas jinjing cukup besar tergeletak di sofa. Lalu matanya menatap Puspa penuh tanda tanya.

“Apa?” tanya Puspa bingung.

“Lo mau pergi?”

“Iyaa.”

“Kemana?”

“Ke rumah bokap gue.”

“Gue anter,” putus Raka. Dia tidak rela hari minggu-nya berakhir tidak dengan Puspa.

“Nggak! Jauh. Bokap gue tinggal di Bandung.”

“Gue bawa mobil kok,” jawabnya menuntut persetujuan. Raka punya mobil, meskipun ia beli second tapi masih berfungsi dengan baik karena rajin di service.

“Raka …”

“Gue jauh-jauh dari Bekasi lho, Rum. Gue udah kangen banget sama lo. Gue anter, ya?” Raka adalah salah satu makhluk ter-santai yang pernah Puspa temui di bumi. Dengan gamblang laki-laki itu menunjukan perasaannya kepada Puspa.

“Nggak.”

“Yes?”

“Nggak.”

“Yes?”

Puspa menghela nafasnya berat, lalu merutuki takdirnya yang selalu dikelilingi manusia-manusia pemaksa seperti laki-laki di hadapannya. “Terserah.”

“Yes!!” Kalimat ini bukan lagi dengan tanda tanya persetujuan, tapi Raka mengucapkannya dengan tangan yang mengepal ke udara seakan sedang berselebrasi saat mendapatkan persetujuan Puspa.

“Silahkan Tuan Putri, lebih baik kita berangkat sekarang.”

Mereka berdua berjalan ke luar bersama dengan Puspa yang terlebih dahulu memastikan satu persatu pintu dan jendela rumahnya sudah terkunci.

“Mobil gue bekas tapi rajin di service jadi gue pastiin aman di perjalanan.”

Puspa duduk di samping Raka dengan beberapa barang ia letakan di kursi belakang. “Motor lo kemana?” tanya Puspa.

“Service dong! Motor lo udah di service?”

“Udah.”

“Di mana?”

“Gue minta tolong Pak Tejo, gue nggak tahu tempat service deket rumah.”

“Waah, dah sohib lo sekarang sama si doi?”

Puspa hanya tersenyum.

“Terus lo besok berangkatnya gimana?” tanya Raka masih berusaha membuka percakapan dengan si irit bicara bernama Puspa.

“Pakai ojek online.”

“Gue anter.”

“Jangan ngaco! Lo dari Bekasi terus kesini terus—.”

“Gue bisa tidur di sini, kan?” putus Raka yang hanya mendapatkan tatapan maut dari Puspa. “Bercanda, Ningrum. Hidup lo kaku banget dah.”

Raka tak lagi berbicara, ia memilih menghidupkan mobil dan mulai membawa mobilnya ke arah Bandung. Perjalanan mereka kali ini ramai karena hujan datang dengan deras. Sepanjang perjalanan sesekali mereka berbincang tapi tidak banyak karena Puspa lebih suka menikmati hujan dan entah kenapa Raka menyukai pemandanganan itu. “Pulang dari Bandung kita mampir ke pantai, gimana?” tanya Raka memecah sepi.

“Gue nggak suka pantai.”

“Seriously? Ayolah Puspa, tidak ada yang tidak suka pantai.”

“Ada —gue.”

“Kenapa?”

“Tidak perlu ada alasan untuk tidak menyukai sesuatu,” jawab Puspa.

“Lo pasti punya kenangan buruk di pantai.”

Katanya, senja itu indah karena menyimpan kenangan.

Senja itu selalu cantik karena dia selalu di atas bersama langit, tak bisa digenggam apalagi dimiliki.

“Gue terlalu banyak menyimpan kenangan buruk dimanapun, itulah sebabnya gue cuma suka di rumah.”

“Ningrum,” panggil Raka pelan tapi dengan nada penekanan yang lembut. “Semua orang punya masa lalu yang buruk.”

“Gue tahu.”

“Mungkin lo bisa cerita ke gue, tentang masa lalu lo.”

Puspa menggeleng. Raka hanyalah seorang manusia yang menuntut masuk ke dalam hidupnya. Dia tidak percaya Raka, tidak juga memiliki keinginan lain dengan Raka. Bagi Puspa, Raka hanyalah manusia yang nantinya juga akan pergi meninggalkannya. Seperti kedua orangtuanya, seperti Arya.

“Orangtua gue bercerai, bokap gue selingkuh di depan mata gue sendiri,” ucap Raka tiba-tiba.

Kalimat Raka mampu menarik perhatian Puspa. Wanita itu menelisik ke arah Raka yang mampu menceritakan masa lalu buruknya itu dengan wajah biasa saja tanpa kesedihan.

“Bokap dan nyokap bercerai saat gue masih usia … sepuluh tahun mungkin, waktu gue masih SD. Gue dan adik ikut nyokap, abang ikut bokap. Sekarang dia jadi dokter dengan segala kekayaan dari bokap.”

Puspa mendengarkan.

“Sedangkan kehidupan nyokap jauh dari kata cukup. Kita berjuang dari nol hingga sampai detik ini kita bisa makan tanpa perlu ngutang. Gue benar-benar dididik tanggung jawab dari kecil, sampai saat ini pun gue sudah menjadi kepala keluarga buat adik sama nyokap gue.”

Raka bercerita banyak, tak merasa canggung untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat pribadi yang sangat tidak pantas untuk dibanggakan. “Tapi gue tetap bersyukur, gue bahagia punya mereka.”

“Tapi tidak ada yang bisa disyukuri dari hidup gue, Raka.”

“Lo pernah diucapkan ‘selamat ulang tahun semoga panjang umur’ dari bokap lo?”

Puspa tak tahu kemana arah pertanyaan Raka. Wanita itu terlihat berfikir sebelum kembali membuka suara. “Pe—pernah.”

“Gue nggak pernah mendapatkannya.”

Puspa membisu, menyerap makna di balik kalimat Raka yang menyakitkan.

“See? Terkadang apa yang lo miliki itu adalah hal yang paling diinginkan orang lain. Terkadang apa yang lo anggap simpel itu belum tentu dimiliki orang lain. Lo punya rumah itu adalah hal yang paling diinginkan orang yang ngontrak. Lo punya kedua orangtua lengkap, meskipun bercerai tapi lo masih bisa melihatnya sewaktu-waktu, lo masih bisa denger suaranya. Dan itu adalah hal yang paling diinginkan dari anak yang orangtuanya sudah meninggal.”

Raka benar.

“Masalah itu pasti ada, lo mungkin hancur berantakan. Tapi inget, akan selalu ada hal yang bisa disyukuri dalam hidup lo. Termasuk gue! Gue yakin lo pasti bersyukur banget ada Raka di dalam hidup lo.” Raka mengucapkan kalimat itu dengan santai dan penuh percaya diri.

“Najis!”

“Bhahaha, jangan terlalu spaneng Puspa,” ucap Raka sambil mengacak-acak rambut Puspa dengan gemas.

Wanita itu ikut tersenyum lalu memukul bahu Raka dengan sebal. Sedangkan yang dipukul hanya bisa senyum-senyum penuh makna. “Gue punya kenangan buruk karena ditinggalkan. Bapak dan ibu gue sering bertengkar di depan mata gue langsung. Gue bahkan terdaftar menjadi salah satu pasien di klinik psikiatri.”

Puspa melihat ke arah Raka yang tak merubah raut wajahnya.

“Kenapa?” tanya Raka saat melihat Puspa yang melihatnya dengan intens.

“Gue sakit jiwa!”

“Gue pun kalau ke dokter jiwa belum tentu sehat. Lo malah lebih preventif dulu datang ke psikiatri.”

“Raka.”

“Yaa?”

“Gue wanita rusak.”

“Hahaha, sama. Mungkin itu alasan kita bertemu. Kita adalah dua manusia rusak yang dipertemukan untuk saling melengkapi.”

Bersambung…

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
ABG Berlanjut Bersambung Cantik Kenangan Kenikmatan Mesum Novel Pacar Romantis Ternikmat Umum
Share. Twitter Telegram WhatsApp Email Copy Link
Previous ArticleBudak Seks
ceritasex

    Ngocoks adalah situs dewasa yang berisi kumpulan cerita sex tergres yang di update setiap hari. Jangan lupa bookmark situs ini biar tidak ketinggalan cerita dewasa lainnya, -terima kasih.

    Related Post

    9.0

    Budak Seks

    9.5

    Sebuah Jimat (Amulet)

    9.3

    Monster Kraken

    9.0

    Nona Majikan dan Temannya

    9.5

    Malapetaka KKN

    9.0

    Perempuan Polos Berjilbab

    Follow Facebook

    Recent Post

    Kamu yang Kusebut Rumah

    Budak Seks

    Sebuah Jimat (Amulet)

    Monster Kraken

    Nona Majikan dan Temannya

    Malapetaka KKN

    Perempuan Polos Berjilbab

    Pubertas Dini

    Sang Penakluk Akhwat

    Pistol Hipnotis

    Kategori

    Terekspos

    Ngocoks.com adalah situs dewasa berisi kumpulan cerita sex, cerita dewasa, cerita ngentot dengan berbagai kategori seperti perselingkuhan, perkosaan, sedarah, abg, tante, janda dan masih banyak lainnya yang dikemas dengan rapi dan menarik.

     

    ✓ Update Cerita Sex Setiap Hari
    ✓ Cerita Sex Berbagai Kategori
    ✓ 100% Kualitas Cerita Premium
    ✓ Semua Konten Gratis dengan Kualitas Terbaik
    ✓ Semua Konten Yang Diupload Dipilih & Hanya Update Konten Berkualitas

     

    Cara Akses Situs Ngocoks

    Akses menggunakan VPN atau kamu bisa juga akses situs Ngocoks ini tanpa VPN yang beralamat ngocoks.com kalau susah diingat, Silahkan kamu buka saja Google.com.sg Lalu ketikan tulisan ini ngocoks.com, terus klik halaman/link paling atas situs NGOCOKS no 1 di Google. Selamat Membaca!


     

    Indonesian Porn Fetish Sites | Indonesian Porn List | Ulasan Bokep Indonesia

    © 2025 Ngocoks - Support by Google Inc.
    • Warning!
    • Iklan
    • Privacy Policy
    • Kirim Cerita Sex
    • Channel Telegram

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.