Malam tanpa bintang selepas hujan di tengah indahnya taman kota. Puspa duduk di salah satu bangku yang sedikit basah, dia memutar-mutar es teh yang tadi dia beli dengan tatapan mata kosong.
Setelah pertemuannya pagi tadi dengan istri Arya, Puspa merasa harus segera memutuskan sesuatu agar semuanya tak semakin bertambah rumit.
“Satu cilok pedas tanpa kecap sesuai permintaan Ningrum.”
Raka duduk di sampingnya. Mereka berdua sedang menikmati weekend dengan menghabiskan waktunya di taman dekat rumah Puspa. Raka terkejut saat tiba-tiba Puspa menghubunginya dan meminta untuk ditemani. Biasanya wanita itu sering menolak ajakan Raka, tapi malam ini Puspa yang tiba-tiba memintanya sendiri. “Ciloknya enak?” tanya Raka.
“Ck.”
“Kok nggak dijawab?”
“Semua cilok rasanya sama aja.”
“Dih, ada yang beda. Coba kalau lo mau main ke rumah gue, cilok buatan nyokap gue nggak ada duanya,” ucap Raka menggebu, sekaligus ada maksud lain di balik kalimat itu.
Puspa hanya mendengus sebal. Wanita itu memilih untuk kembali menancapkan lidi ke adonan tepung bulat miliknya dan memakannya langsung dalam satu kali suapan.
“Pelan-pelan, gue nggak minta.”
“Guuwhee lhaapheer —.”
“Telen dulu, Ningruum,” titah Raka.
Puspa menuruti kalimat Raka, ia menelan makanan di mulutnya lalu kembali memusatkan perhatian ke arah laki-laki itu. “Gue laper.”
“Makanya lo mau aja gue per-istri, biar bisa gue kasih makan tiap hari.”
“Lo bilang gitu udah kaya kucing aja gue.”
“Hahaha.” Raka mengacak-acak rambut Puspa yang rapi, sesuatu yang mulai ia sukai akhir-akhir ini.
Lama mereka kembali termenung dalam diam. Puspa dan Raka memilih menikmati cilok sambil melihat beberapa anak muda yang mulai berdatangan. Seperti Raka dan Puspa, kebanyakan mereka hanya ingin melepas lelah, mencari makanan ringan atau hanya ingin sekedar mengurai sepi.
“Rakaa,” panggil Puspa lirih.
“Hmm..”
“Gue mau resign.”
Tubuh Raka menunjukan keterkejutan, tapi laki-laki itu memilih tetap diam untuk mendengarkan penjelasan Puspa. Raka meletakan plastik berisi cilok yang hanya tinggal dua biji di ujung kursi dan menautkan perhatiannya penuh ke arah Puspa.
“Ini tentang masa lalu gue yang harus segera diselesaikan, seperti apa yang lo bilang. Dan keluar dari perusahaan AD Corporate adalah salah satu cara yang gue lakuin buat itu.”
Raka mendengar, duduk sambil meletakan kedua tangan di pangkuannya sendiri.
“Gue yakin ada banyak pertanyaan di otak lo. Tapi sementara ini, hanya itu yang bisa gue share ke lo. Suatu saat gue pasti bisa cerita lebih.”
Bagi Raka, Puspa yang terbuka kepadanya sudah lebih dari sekedar cukup untuk memulai kehidupan barunya bersama wanita itu. Dia tidak akan menuntut lebih. “Okeey, terus apa yang akan lo lakuin selanjutnya?” tanya Raka.
“Gue mau pindah ke Bandung, dekat sama rumah Bapak. Gue mau merintis usaha gue sendiri, kedai kopi.”
Raka cukup terpukau dengan jawaban Puspa. Ternyata di dalam otak serumit itu terbesit pemikiran cemerlang untuk memulai usahanya sendiri.
“Gimana menurut lo?” tanya Puspa meminta pertimbangan.
“Keren.”
“Serius?”
“He’eh, tidak ada pekerjaan yang lebih nikmat dari bekerja sesuai dengan kesukaan lo sendiri. Lo suka kopi, gue yakin pasti lo sukses dengan itu.”
Senyum di wajah Puspa terbit dengan sempurna mendengar jawaban Raka yang mendukungnya.
“Tapi nanti kita akan lebih sulit buat ketemu.” Tetapi Raka akan selalu mengungkapkan apa yang ada di dalam otaknya.
“Dua orang yang ditakdirkan terikat akan tetap dekat meskipun tidak saling melihat.”
“Ruum, kita sudah sama-sama dewasa. Lo pasti sadar kalau apa yang gue inginkan dari kita adalah sebuah pernikahan.”
Puspa mengangguk. “Beri gue waktu, Raka.”
“I will. Gue akan titipkan hati gue disini,” ucap Raka sambil menunjuk ke arah dada Puspa.
“Kalau ternyata gue tidak bisa menjaganya, bagaimana?”
“Mmm, sedih pasti. Tapi apapun itu yang penting bagi gue adalah kebahagiaan Ningrum.”
“Terima kasih,” ucap Puspa tulus. “Bener apa yang lo bilang, mengenal Raka adalah hal yang harus disyukuri dalam hidup gue.”
“Peres lo, Ningrum.”
“Hahahah, seriusaan.”
Puspa mengamati Raka yang tiba-tiba terlihat tidak nyaman. Laki-laki itu tertangkap mata sering melihat ke arah belakang tubuhnya lalu mengedarkan pandangan kemana-mana. “Kenapa?” tanya Puspa.
“Kenapa apa?”
“Lo kaya aneh. Kenapa? Ada mantan lo disini? Apa ada cewek lo?”
“Ck, cewek gue lagi makan malam,” jawab Raka santai.
“Kok nggak ditemenin?” Ada nada sebal di dalam kalimat Puspa. Wanita itu memasang wajah cemberut dengan pandangan yang ia alihkan dari sosok Raka.
“Gue temenin kok,” jawabnya lagi.
“Kan lo ada di sini.”
“Cewek gue lagi makan malam pakai cilok.” Seperti biasa, Raka mengucapkan kalimat itu dengan senyum tengil dan alis mata yang naik turun.
“Najis.”
“Nojas najis, suatu hari kesengsem juga lo sama gue.”
“Eh eh, kok berdiri?” tanya Puspa tidak terima saat melihat Raka yang tiba-tiba berdiri dari duduknya. “Gue masih pengen disini.”
“Kita pulang aja yuk. Gue temenin makan cilok-nya di rumah,” pinta Raka sambil menarik tangan wanita itu untuk mengikutinya.
“Tapi gue masih pengen disini, Raka.”
“Kita pulang,” jawab Raka tegas. Laki-laki itu kembali menyapu pandangannya ke mana-mana.
“Gue ada di hadapan lo, Raka.”
“Gue nggak nyari lo. Sekarang lebih baik kita pulang.”
Raka benar-benar serius. Laki-laki itu memaksa Puspa untuk ikut berjalan di sampingnya. Mereka bergandengan tangan sepanjang jalan, sesuatu yang terasa asing untuk Puspa tapi genggaman Raka terasa begitu menghangatkan.
Raka menyiapkan footstep untuk Puspa sebelum menghidupkan motor. Lalu mulai membawa motornya kembali menuju rumah Puspa. Taman kota ini tak jauh dari rumah Puspa. Mereka sengaja memilih tempat yang tidak terlalu jauh dari rumah karena mengingat esok hari bernama senin.
“Rum,” panggil Raka di tengah perjalanan pulang.
“Yaa?”
“Lo punya musuh?” tanyanya.
“Musuh? Apaan sih, Ka?” tanya Puspa bingung.
“Abaikan,” putus Raka. Laki-laki itu memilih untuk menaikan kecepatan motornya saat merasa ada sebuah mobil yang mengikuti mereka terus menerus.
Sejak berada di taman, Raka selalu menemukan pandangan orang yang mencurigakan ke arah Puspa. Sebagai seseorang yang cukup dekat dengan Puspa, ia tahu ada yang sedang mengamati mereka berdua sejak mereka meninggalkan rumah Puspa sore tadi.
Raka semakin mempercepat motornya untuk menghilangkan jejak dari mobil yang terus menerus membuntutinya.
“Rakaa, hati-hati,” tegur Puspa saat motor Raka mulai melaju kencang.
Raka kembali melihat ke arah belakang, kali ini ada mobil yang berbeda berjalan mendekat dengan cepat ke arahnya. Raka menukik tajam untuk memutar arah tapi tiba-tiba mobil itu justru berhenti tepat di depan motor Raka.
Seseorang dari dalam mobil keluar dengan tergesa. Laki-laki itu berhenti tepat di depan motor Raka.
Terkadang Raka merasa sangat mengenal Puspa dengan baik, tapi beberapa kali Raka merasa dia tidak mengenal Puspa sama sekali. Ada begitu banyak rahasia yang ada di dalam otak wanita itu, termasuk laki-laki yang saat ini berdiri di depannya dengan tatapan khawatir.
“Kita harus pergi,” ucap laki-laki itu.
Bagaimana Puspa bisa mengenal Pak Arya?
“Sorry, gue harus bawa Puspa pergi dari sini,” tambah laki-laki itu lebih ditujukan ke arah Raka.
“Aku nggak bisa pergi sama kamu,” putus Puspa. Wanita itu dengan berani menolak tegas ajakan pemilik perusahaan tempat mereka bekerja.
“Puspa, aku mohon. Ikut aku, kamu ada dalam bahaya.”
Interaksi di hadapan Raka saat ini menciptakan asumsi besar di otaknya bahwa ada sesuatu diantara Puspa dan Pak Arya. Sesuatu yang membuat Puspa memutuskan resign demi benar-benar menyelesaikan masa lalunya.
Apakah Pak Arya adalah seseorang dari masa lalu Puspa?
Raka melihat seorang laki-laki yang sering bersama Arya ikut keluar dari mobil. Laki-laki itu menggenggam sebuah pistol untuk berjaga-jaga.
“B 121 xxx,” ucap Raka.
Anton melihat ke arah Raka bingung.
“Gue terakhir lihat mobil itu di pertigaan kedua sebelum ini. Gue lihat mobil itu pertama kali saat kita keluar dari rumah Puspa.”
Itulah alasan yang membuat Raka memaksa Puspa untuk segera pulang saat mereka berada di taman. Ia merasa ada yang membuntuti keduanya.
“Kita harus segera pergi,” paksa Anton. Mereka harus segera masuk ke dalam mobil sebelum sesuatu yang besar terjadi.
“Gue nggak mau pergi,” ucap Puspa lagi. Ia melihat ke arah Raka dengan sebuah permohonan yang kentara. Akan ada hal yang tidak baik jika Puspa ikut pergi bersama Arya. Ada sesuatu yang tidak bisa ia atur sesuai keinginannya, yaitu perasaannya sendiri. “Gue nggak mau,” ucap Puspa lagi.
“Lo harus pergi, ikut Pak Arya,” perintah Raka. Satu-satunya yang bisa menyelematkan Puspa saat ini hanyalah laki-laki itu. Meskipun ada perasaan tidak rela jika Puspa pergi bersama Arya.
“Puspa, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu padamu.” Arya ikut menyela.
“Tapi —kamu tahu ini bukan sesuatu yang baik untuk kita,” sanggah Puspa lagi.
“Ini demi nyawamu. Aku mohon, ikut sama aku,” ucap Arya.
Puspa kembali menatap ke arah Raka meminta persetujuan. Sesuatu yang membuat hati Arya berdesir ngilu. Ia memilih memejamkan matanya kuat-kuat karena tak ingin melihat pemandangan menyesakan dada di depan matanya langsung.
“Lo lebih baik pergi sama Pak Arya,” ucap Raka. Bersama dirinya, Puspa belum tentu aman.
“Puspa,” panggil Arya lagi. “Kita pergi?” Arya menengadahkan tangannya meminta sambutan tangan Puspa. Dengan penuh doa, wanita itu menerima uluran tangan Arya yang terbuka.
Rasa hangat yang dulu pernah ada kembali memenuhi hati Puspa saat tangan mereka kembali saling menggenggam. Malam ini, tangan mereka kembali tertaut setelah sebuah perpisahan dan jarak yang menyakitkan untuk keduanya.
Yaa … kembali tertaut!
Minggu pagi adalah hari yang sangat Arya tunggu-tunggu, di hari ini ia bisa menghabiskan waktunya bersama Axel setelah sibuk dengan pekerjaannya. Dan malam nanti, mereka akan pergi bersama dengan Ivy untuk makan malam. Seperti yang Arya ucapkan, dia akan berusaha memulai kembali kehidupannya bersama Ivy.
“Lo pulang dulu aja,” titah Arya ke Anton. Mereka sedang duduk di cafe dekat lapangan golf. Arya sedang menyuapi Axel buah-buahan dan Anton sedang sibuk dengan ponselnya. Ngocoks.com
“Tumben?”
“Gue mau jemput Ivy di rumah orangtuanya terus mau makan malam bersama.”
Senyum Anton memiliki banyak makna, dia ikut bahagia melihat Arya yang perlahan sudah mulai melepas masa lalunya. “Cieee,” goda Anton. “Mungkin lo butuh second honeymoon gitu. Haha.”
“Mungkin lain kali, Ivy lagi hamil muda.”
“Good luck buat lo, Bro. Gue yakin lo akan segera mendapatkan kebahagiaan.”
“Thank’s.”
Bunyi dering ponsel Arya mengalihkan perhatian laki-laki itu dari Axel. Ada nama Ivy di sana, laki-laki itu membersihkan tangannya sebelum mengambil ponsel di meja.
“Mas … Daddy, Daddy marah, aku —.”
“Pelan-pelan, Ivy. Ngomongnya pelan-pelan. Daddy kenapa?”
“Aku di rumah, nangis … lalu tiba-tiba Daddy datang terus marah. Puspa gimana Mas?”
Puspa? Arya benar-benar tidak memahami kalimat istrinya. Ia mulai menegakkan tubuhnya waspada saat nama itu disebut bersama dengan Mr. Miller dari bibir istrinya.
“Daddy kenapa?”
“Puspa dalam bahaya.”
Seketika itu juga Arya berdiri hingga kursi yang ia duduki terjatuh kasar di lantai. Anton yang sedang asik dengan game-nya kaget, ia ikut berdiri saat melihat bos-nya terlihat menyeramkan.
Ada apa? tanya Anton dengan isyarat mata.
“Ivy,” panggil Arya dengan desah frustasi. Dia baru saja hendak melangkah tapi istrinya kembali berulah. “Kenapa lagi?”
“Aku tidak bisa menjelaskan sekarang, Mas. Tapi aku benar-benar memohon untuk melindungi, Puspa. Bawa wanita itu pergi dari sini dan aku akan coba berbicara dengan Daddy.”
Ini tidak lucu! Bagaimana bisa Arya harus membawa Puspa pergi? Sedangkan efek Puspa masih begitu besar untuknya. Arya merasa usahanya akan menjadi percuma jika dia harus kembali dipertemukan dengan Puspa.
Tuhan? Kenapa lagi ini? teriak Arya dalam hati.
“Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu yang membahayakan Puspa,” ucap Ivy lagi dengan isakan yang jelas.
Arya juga tidak mungkin bisa memaafkan dirinya sendiri jika itu terjadi. “Aku akan mencari Puspa, bersama Anton,” putus Arya akhirnya.
Dan di sinilah sekarang dia berada, di dalam mobil yang sama dengan wanita yang masih menjadi pemilik hatinya. Bagaimana bisa takdir sehebat itu menulis cerita? Di saat Arya sudah belajar mengikhlaskan, mereka kembali harus berhadapan.
Arya melihat ke arah Puspa yang memojokan tubuhnya di ujung kursi dengan tatapan kosong. “Aku minta maaf karena harus melibatkanmu di dalam masalah keluargaku,” ucap Arya memecah sepi. Anton yang sedang mengemudi pun bisa ikut mendengarkan percakapan ini.
“Ada apa lagi ini?” tanya Puspa lemah.
“Aku juga tidak tahu, Ivy menghubungiku dan mengatakan kamu dalam bahaya. Dia memintaku untuk menyelamatkanmu.”
Puspa tersenyum tipis meragukan, pagi tadi wanita itu mendatanginya dan memintanya untuk pergi. Lalu malam ini tiba-tiba wanita itu berubah mengkhawatirkannya? “Istrimu mendatangiku pagi tadi,” ucap Puspa.
Arya bahkan Anton terkejut mendengar kalimat Puspa. Mereka berdua melihat ke arah Puspa, untuk Anton itu hanya terjadi sebentar karena laki-laki itu harus kembali fokus dengan kemudinya.
“Dia memintaku untuk pergi.”
“Aku —maaf, Puspa. Aku selalu —.”
“Nggak apa-apa,” jawab Puspa dengan senyum tipis, tapi semua orang tahu senyum itu tak sampai ke hatinya. “Wajar jika seorang istri meminta perempuan lain untuk menjauh dari suaminya.”
Arya menelan ludahnya kelu, dia ingin tahu apa saja yang diucapkan Ivy kepada Puspa. Apakah Ivy menyakiti wanita itu? Apakah Puspa semakin membencinya? Dan semua itu hanya berada di otak Arya karena dia tidak memiliki keberanian untuk bertanya.
“Kita mau kemana?” tanya Puspa. Dia tak ingin lagi membahas istri Arya. Dia hanya ingin nyawanya aman dan semua kembali baik-baik saja.
“Ton, kita kemana?” tanya Arya, sebenarnya dia juga bingung dengan rencananya sendiri.
“Gue juga lagi mikir,” jawab laki-laki itu singkat.
Mobil kembali berjalan membelah jalanan kota Jakarta yang ramai. Beberapa menit kemudian Anton menepikan jalan di sebuah stasiun yang terletak di tengah kota.
“Kenapa disini?” tanya Puspa pertama kali.
“Rencana yang ada di otak gue satu-satunya cuma ini, kalian pergi dari Jakarta kalau perlu keluar pulau jawa. Kita nggak tahu seberapa banyak koneksi Miller di sini.”
“Mas,” panggil Puspa tidak terima ke arah Arya. Tapi laki-laki itu justru meminta Puspa untuk diam dulu dan mendengarkan penjelasan Anton.
“Hanya ini satu-satunya jalan, Arya. Hubungi gue setelah dua hari, nanti gue bantu Ivy buat menyelesaikan masalah ini.”
“Anton…”
“Keselamatan Puspa lebih penting saat ini, apa ada yang salah dengan kalimat gue?” putus Anton. Laki-laki itu tidak memiliki solusi lain selain cara ini. Meskipun itu harus kembali mengorbankan perasaan Arya dan Puspa.
“Lo yang bawa Puspa pergi, atau … Raka,” tawar Arya meskipun dia sendiri takut jika hal itu terjadi.
“Gue belum yakin lo juga aman, Arya. Jika sudah berhubungan dengan keluarganya, Miller yang memiliki sifat setan bisa berubah menjadi iblis mematikan.”
Arya masih bingung, matanya berlarian mencari cara untuk terhindar dari situasi yang mungkin akan semakin menyudutkan dia dan Puspa.
“Kalau lo percaya gue atau Raka buat bawa Puspa pergi, it’s oke, gue tinggal jalan sekarang juga,” ucap Anton lagi.
“Oke, gue bawa Puspa pergi,” putus Arya setelah sekian lama menimbang. Tidak ada yang bisa ia percaya untuk menyelamatkan Puspa saat ini selain dirinya sendiri.
“Aku nggak bisa!” Puspa masih menolak. Wanita itu benar-benar tidak mau pergi berdua bersama Arya.
Arya sendiri pun ragu, tapi sama seperti Anton, tidak ada solusi lain selain Arya sendiri yang melindungi Puspa. Arya menarik tubuh Puspa untuk sedikit menjauh dari keramaian saat Anton pergi membeli tiket. “Papa Ivy sangat berbahaya. Kamu bisa terluka,” jelas Arya. Semua kalangan pesohor tahu bagaimana tangan dingin Miller jika keluarganya terusik.
“Kita temui laki-laki itu, kita jelaskan jika tidak ada hubungan apa-apa diantara kita.”
Puspa benar, tetapi kenapa Arya masih saja sakit hati mendengar kalimat itu? “Menurutmu laki-laki itu bisa percaya dan melepasmu begitu saja?”
Puspa tidak tahu!
“Tapi nggak harus juga pergi dari sini,” jawab Puspa kali ini dengan nada yang lebih rendah. Dia mulai bimbang.
“Tidak ada tempat yang aman di Jakarta. Aku harus membawamu pergi dari sini untuk sementara waktu.” Arya mencoba menjelaskan. “Aku janji, sorry maksudku aku akan berusaha untuk tidak melampaui batasku.”
Arya mungkin bisa berjanji, tapi ini bukan hanya tentang laki-laki itu. Tapi juga tentang Puspa yang tidak percaya dengan dirinya sendiri.
Anton sudah mendekat, laki-laki itu menyerahkan dua tiket kereta ke tangan Arya.
“Tiket ke Surabaya. Kalau saran gue pergi ke Bali. Gunakan kendaraan darat. Dua hari lagi lo telepon gue tapi jangan pakai ponsel lo sendiri,” instruksi Anton cepat dan banyak. “Mana ponsel lo?”
Arya menyerahkan ponselnya ke tangan Anton.
“Ponsel lo Puspa,” ucap Anton ke arah Puspa.
“Punya gue juga?” Ada nada tidak terima di kalimat Puspa.
Anton hanya mengangguk mengiyakan. Dengan terpaksa Puspa menyerahkan ponselnya ke tangan Anton.
Anton menyerahkan tas yang biasa ia bawa ke tangan Arya. “Ada uang lima puluh juta, barusan gue ambil, sementara jangan pakai kartu ATM lo dulu, bahaya.”
“Oke.”
“Kalian pergi sekarang,” usir Anton.
“Kita pergi, Puspa,” ajak Arya dengan melihat ke arah Puspa yang (masih) terlihat tidak terima.
Suara panggilan keberangkatan menarik kenangan Arya saat perpisahan keduanya dulu di Bandara. Tapi bedanya, kepergiannya kali ini membawa Puspa pergi. Seperti keinginannya dulu yang sempat ingin membawa Puspa melarikan diri.
“Puspa,” panggil Arya sekali lagi dengan nada penuh tekanan.
Tangannya kembali menengadah untuk meminta Puspa menyambutnya.
“Kita harus segera pergi,” tambah Arya sekali lagi.
Puspa kembali menyambut tangan Arya yang terbuka. Panggilan kedua keberangkatan kereta memaksa keduanya untuk segera masuk ke dalam stasiun.
Arya menarik tubuh Puspa, mereka berdua berlari mengejar kereta dengan tangan yang saling menggenggam.
“Bii, lebih cepat lagi.”
Puspa mempercepat langkahnya. Arya lebih dahulu masuk ke dalam kereta yang sudah berjalan dan menarik tubuh Puspa untuk ikutmasuk bersamanya.
Bersambung…