Senja dengan segala keindahannya.
***
Terlalu romantis bagi seorang Puspa saat ia menikmati indahnya senja dari bibir pantai Bali. Mereka sudah berpindah tempat, Arya ingin mengganti suasana setiap hari dan berakhir dengan keduanya yang berpindah dari satu pantai ke pantai lainnya.
Sore ini terasa sangat spesial, langit dan pantai sedang bekerja sama menunjukan pemandangan terindah untuk mereka berdua. Terlebih bagi Puspa, karena ada Arya di sampingnya. Laki-laki yang dulu terlalu sulit untuk ia jangkau kini berada dekat di sisinya.
“Istrimu sangat cantik,” puji Puspa tulus. Sebagai wanita saja dia memuji kecantikan istri Arya. Tentu sebagai seorang lelaki, Arya juga mengakui hal itu. “Kamu pasti sangat beruntung mendapatkan istri seperti Ivy.”
“Hem,” jawab Arya singkat. Dia enggan menanggapi karena saat ini ia hanya ingin membicarakan tentang Puspa, bukan Ivy.
“Dia terlihat sangat mencintaimu.”
“Bii,” tegur Arya lembut. Ia menatap ke arah Puspa dengan tatapan tidak suka.
“Ceritakan bagaimana pertemuan kalian pertama kali.”
“Kamu serius ingin mendengarnya?” Arya menjawab dengan dengusan sebal. Dia sudah menunjukan ketidaktertarikan pada topik yang ingin dibahas Puspa tapi wanita itu seakan tak peduli.
“Tentu saja. Aku butuh itu.”
“Bii.”
“Aku takut berharap.”
“Manusia hidup dengan harapan,” jawab Arya lalu kembali menautkan tatapannya ke arah langit.
“Tapi harapan ini salah.”
“Kamu yang tidak mau berjuang,” kilah Arya menyalahkan.
“Seperti yang kukatakan sebelumnya, hidup sebagai seorang anak dari keluarga tidak utuh itu tidak mudah. Apa kamu yakin siap memberikan keluarga tidak utuh untuk anak-anakmu?”
“Bagaimana denganmu? Apa kamu mulai mencintai laki-laki itu sehingga menolak berjuang denganku?”Arya justru menjawab pertanyaan Puspa dengan pertanyaan lainnya.
“Aku tidak tahu. Tapi yang jelas, dia —teman yang baik.” Puspa mengingat satu nama yang selalu bertingkah menyebalkan. “Dia banyak bicara dan selalu membuat hidupku penuh warna. Aku tidak pernah merasa bosan bersama Raka.”
Ada senyum yang tercetak jelas di wajah Puspa. Sesuatu yang menghangatkan hati Arya karena ia sadar dirinya tak bisa menciptakan senyum itu nantinya, mungkinkah laki-laki itu adalah takdir Puspa? Dan bukan dirinya.
“Kamu pasti bisa bahagia, Bii,” ucap Arya, terselip doa tulus di dalam hatinya untuk kebahagian wanita itu.
Puspa sudah terlalu lama menderita, jika laki-laki itu bisa membahagiakannya maka Arya akan belajar untuk mengikhlaskan Puspa-nya.
“Aku ingin bermain air,” putus Arya tiba-tiba. Seperti yang ia inginkan sebelumnya, dia hanya ingin menciptakan cerita bahagia di moment ini. Dengan semangat laki-laki itu melepaskan pakaian yang melekat di tubuhnya bagian atas dan berlari masuk ke dalam air. Arya bermain di tengah temaramnya senja. Laki-laki itu tertawa ceria dan meminta Puspa untuk ikut masuk ke dalam air bersamanya. “Ayo, Bii. Kita berenang.”
“Kamu tahu aku nggak bisa berenang.”
“Kamu percaya sama aku?” tanya Arya.
“Nggak!” jawab Puspa cepat dan tertawa setelahnya saat Arya terlihat tidak terima dengan jawabannya.
“Aku tidak peduli.” Arya menarik tubuh Puspa dan menggendong wanita itu di pundaknya dengan mudah.
“Bii, lepasin. Aku takuuut.”
“Hahaha.”
Arya melempar tubuh Puspa ke dalam air. Wanita itu cemberut saat melihat pakaiannya yang basah. “Bii, dingin,” sebal Puspa dengan dilebih-lebihkan. Lalu dengan cepat wanita itu mencipratkan air ke arah Arya untuk membalas dendam.
Arya terkejut dan menyerang balik Puspa. Mereka kembali bermain hingga tak sengaja jatuh bersama ke dalam dinginnya air di bibir pantai. Tubuh mereka berdekatan dengan Arya yang berada di atas Puspa. Deru nafas keduanya memberat saat manik mata beradu saling menyesap rindu. Jika boleh Puspa dan Arya meminta untuk sebentar saja waktu dihentikan dan memberikan waktu keduanya untuk bersama.
Arya memilih berdiri memperlebar jarak sebelum logikanya benar-benar menghilang dan justru kembali menyakiti Puspa. Ia membantu Puspa untuk berdiri dan berniat kembali ke bibir pantai.
Namun, langkah Arya terhenti saat tangan Puspa menahan gerakannya. “Bii,” ucap Arya memperingatkan.
Seperti berada di masa tunggu dimana mereka berdua keluar dari dunia yang selama ini tak pernah memberikan restu. “Do you love me, Bii?” tanya Arya sekali lagi.
Suara bunyi mobil yang berhenti tak jauh dari tempat mereka berdiri mencuri perhatian keduanya. Sebuah mobil sedan berwarna hitam yang terlihat mencolok. Seorang laki-laki keluar dari dalamnya dan berjalan mendekat ke arah Puspa dan Arya. “Liburan telah usai,” ucap laki-laki itu. “Gue harus bawa kalian kembali ke kehidupan kalian masing-masing.”
Anton berdiri dengan gagah di depan Arya dan Puspa.
“Semuanya sudah aman, Ton?”
“Sudah bisa dikondisikan. Lo ditunggu keluarga di Jakarta, Arya. Dan Puspa, gue sudah hubungi Raka kalau kalian pulang hari ini.”
Puspa menghela nafasnya berat, lalu mengangguk dengan senyum yang ia paksakan. “Kita sudah selesai, Bii,” ucap Puspa.
“Yaa,” jawab Arya menguatkan diri.
Malam harinya mereka langsung kembali ke Jakarta menggunakan pesawat. Dengan menyisakan keheningan Arya dan Puspa kembali bersiap. Arya dan Puspa berjalan bergandengan tangan menuruni tangga hotel tempat mereka menginap. Mereka melihat Anton sudah berdiri menanti kedatangan mereka di lobby. “Kamu sudah siap?” tanya Arya.
“Siap tidak siap. Mari kita hadapi saja,” jawab Puspa pasti.
Dini hari mereka sudah sampai di Jakarta. Berjalan menyusuri jalan yang biasanya ramai tapi kini sepi seperti hati Arya dan Puspa. “Kita antar Puspa dulu, Ton.”
“Oke.”
Mobil memutar arah untuk mengantar Puspa ke rumahnya. Selama perjalanan pulang genggaman tangan keduanya tak pernah terlepas. Pemandangan itu tak luput dari pengamatan Anton. Tepat di depan rumah Puspa ia menemukan Raka yang berdiri menunggu wanita itu. “Takdirmu sudah menunggumu,” ucap Arya dengan tersenyum tipis.
“Yaa, terima kasih sudah mengantar,” jawab Puspa lebih ke arah Anton. “Hati-hati di jalan.” Puspa turun dan mobil kembali berjalan ke tujuan.
“Bagaimana?” tanya Anton. “Is everything okey?”
“Nggak akan pernah ada kata baik-baik saja jika itu tentang Puspa, Ton.”
“Kalian sudah mendapatkan waktu kalian, kali ini saatnya lo menghadapi kenyataan. Lo ditunggu Mr. Miller dan Pak Brama di rumah Miller.”
“Sekarang ini juga?”
“Yaa sekarang.”
“Gue capek.”
“Nggak ada alasan, Arya. Lo nggak tahu gimana perjuangan bokap lo, gue dan Ivy di sini untuk kalian.”
Arya malas kembali berdebat, laki-laki itu hanya menatap kosong ke arah jalanan luar melalui kaca jendela mobil yang berjalan. Saat nama Ivy disebut, ia kembali membayangkan wajah wanita itu yang sering menunggunya sepulang kerja. Ivy, seorang wanita yang akan menjadi masa depannya. Seorang wanita yang harus Arya lindungi hingga mereka menua bersama. “Bagaimana kabar Ivy?” tanya Arya.
“Dia baik.”
“Kandungannya?”
“She is fine.”
Disisi lain, Puspa yang menatap Raka saat menunggunya merasa melihat sebuah masa depan di mata laki-laki itu. “Terima kasih sudah menungguku.”
“Aku sudah bilang bahwa aku menitipkan hatiku padamu,” jawab Raka dengan senyumannya yang hangat.
“Ada banyak yang belum aku ceritakan kepadamu. Aku yakin kamu memiliki banyak pertanyaan untukku.”
Raka mengangguk. “Kita memiliki waktu yang banyak untuk saling bercerita. Sampai kita menua bersama.”
“Yaa, tentu saja.”
***
Dalam hidup manusia akan ada banyak manusia datangdan pergi silih berganti. Ada yang memang datang lalu menetap, ada juga yang datang lalu pergi meninggalkan kenangan.
After 2 years.
“Satu es coffe latte dan satu es coklat less sugar.”
“Ada lagi, Kak?”
“Mmm … sudah itu saja.”
“Baik, kami siapkan dulu. Meja nomor berapa?”
“Tiga.”
“Baik, mohon ditunggu.”
Gadis belia dengan tas ransel itu membayar pesanannya lalu kembali duduk di kursinya.
“Satu es kopi latte dan coklat, please.” Puspa berteriak ke arah Ari dan Kinan, dua karyawan yang sudah hampir dua tahun ini membantunya mengurus kedai kopi.
“Siap komandan,” jawab Ari. Ari adalah barista terampil yang dimiliki kedai kopi milik Puspa ini. Puspa beruntung mendapatkan laki-laki itu, karena ia bisa belajar banyak hal tentang kopi dari Ari.
Seperti yang Puspa cita-citakan setelah memutuskan untuk meninggalkan semuanya. Wanita itu memilih mendirikan sebuah kedai kopi di Bandung. Ia menjual rumahnya di Jakarta dan membeli sebuah rumah yang jadi satu dengan kedai untuk ia berjualan.
Tempat ini strategis, karena selain dekat dengan rumah ayahnya, kedai kopi Puspa pun berada di pinggir jalan menuju tempat wisata terkenal di Dago.
“Teteh, donatnya mau ditaruh dimana?” Mentari muncul dari balik pintu dapur. Selain menyediakan kopi, kedai Puspa juga menyediakan donat dengan berbagai macam toping. Bukan Puspa yang membuat tapi ia memesan dari istri ayahnya. Karena kedai ini cukup ramai, hasilnya bisa digunakan untuk tambahan pendapatan Ibu Mentari.
“Di tata yang rapi di etalase ya, Dek.”
“Siap Teteh.”
Hidup Puspa saat ini sangat lengkap. Ia memiliki dua keluarga, meskipun dulu ia tidak terlalu dekat dengan ibu Mentari tapi seringnya intensitas kerjasama mereka membuat banyak percakapan yang tercipta. Dan ya, Puspa kembali merasakan kehangatan sebuah keluarga. Puspa juga sempat mengunjungi Ibunya di desa. Seperti Ayahnya, kedua orangtua Puspa bahagia dengan cara mereka masing-masing.
Ting.
Puspa kembali berdiri di balik mesin kasir, ia menanti dengan senyum ramah saat ada lagi pengunjung yang datang.
“Selamat siang, Kak. Selamat datang di cafe ‘kenangan’. Mau pesan apa?” tanya Puspa menyambut pembeli dengan ramah.
“Best seller di sini apa, Kak?”
“Kami punya ice coffe huzelnut dan latte, Kakak bisa dapat extra donat jika membeli keduanya.”
“Waah, boleh Kak. Huzelnut satu dan latte satu. Untuk latte-nya bisa dicatat ya, Kak. Aku mau ekspreso-nya 2/6, 3/6 nya susu cair dan lebihnya foam. Boleh ditambah extra foam-nya sedikit saja.”
Puspa menulis setiap detail pesanan yang dipesan. Bekerja dengan pecinta kopi, Puspa sudah terbiasa menyesuaikan selera pelanggan yang berbeda-beda. “Siap, ada tambahan lain?”
“Sudah cukup.”
“Totalnya 70 ribu ya, Kak.”
Pembeli itu memberikan uang seratus ribuan dan Puspa mengembalikan kembalian sesuai yang tertulis di nota. “Terima kasih, mohon ditunggu.”
Puspa kembali meneriakan pesanan dan membantu Kinan mengantar pesanan saat wanita itu terlihat kerepotan. Suara bel berdenting saat ada pelanggan masuk menarik perhatian Puspa. Pintu kembali terbuka, tapi bukan pembeli yang datang.
“A’ Rakaaaa.”
Bukan Puspa yang berteriak, melainkan Mentari. Gadis kecil yang sangat dekat dengan Raka itu berteriak kegirangan saat matanya menemukan sosok Raka. Ia berlari menuju Raka yang membuka kedua tangannya lebar menanti pelukan Mentari. “A’ Raka lama nggak main kesini,” sewot Mentari.
“Maaf, A’ sedikit sibuk akhir-akhir ini,” jawabnya.
Raka membawakan sebuah boneka panda besar untuk Mentari. Gadis kecil itu berlari ke arah dapur untuk menunjukan hadiah dari Raka kepada Ibunya.
“Latte?” tawar Puspa.
“Boleh, Bu Bos.”
“Haha. Tunggu gue di belakang ya.”
“Siap,” jawab Raka.
Puspa menyiapkan pesanan Raka lalu meminta izin untuk menemani tamunya sebentar. Meskipun dia adalah pemilik kedai ini tapi dia tetap memposisikan dirinya sebagai pekerja.
“Gue izin temani Raka bentar ya,” ucap Puspa ke arah Kinan.
“Siap, Mbak. Aman kok.”
“Nanti kalau rame telepon aja, gue bawa hape.”
“Siaaap.”
Puspa membawa satu es kopi latte pesanan Raka dan menemui laki-laki itu di belakang rumah.
Meskipun Puspa membeli tanah yang tidak terlalu luas tapi dia menyisakan sebuah ruang untuk taman di belakang rumahnya. Raka sudah menunggunya, duduk di ayunan yang terbuat dari kayu yang sering mereka gunakan untuk berbincang tentang banyak hal.
“Bagaimana? Semuanya lancar kan?” tanya Puspa membuka perbincangan.
“Lancar. Meskipun gue harus bolak-balik Bandung Jakarta.” Sekedar informasi, Raka menyusul Puspa ke Bandung setelah satu tahun kepindahan Puspa ke kota ini.
“Yang penting lancar.”
“Iyaa.” Raka menyerahkan sesuatu ke tangan Puspa dan wanita itu menerima dengan senyum lebar.
“Akhirnya gue dapet juga.”
“Lo adalah orang pertama yang gue kasih ini.”
“Ouuuch, gue tersanjung banget. Selamat yaa, akhirnya apa yang lo perjuangin bisa lo dapetin juga.”
“Heem, karena gue udah mutusin buat berjuang.”
“Haha, iyaa iyaa.”
Puspa membuka pemberian Raka. Dia melihat dengan jelas tertulis nama Raka disana yang bersanding dengan nama seorang wanita yang bukan dirinya.
The Wedding
Raka & Arini
Meskipun sempat merasa tidak nyaman saat mengetahui Raka pindah ke Bandung demi dirinya, tapi melihat laki-laki itu mendapatkan jodohnya disini, Puspa merasa lega.
Setelah hampir satu tahun ia berusaha, nyatanya nama Raka tak bisa sedikitpun menggeser nama seseorang di dalam hatinya. Dengan berat, Puspa memilih untuk melepaskan Raka, agar laki-laki itu bisa menemukan seseorang yang bisa menjadi belahan jiwanya.
Dan saat ini, Puspa bisa bernafas lega ketika Raka sudah menemukan ‘rumah’ yang benar-benar menjadi ‘rumahnya’.
“Gue ikut seneng lo mau nikah, Ka.”
“Thank’s. Meskipun gue udah nikah, gue akan tetep jadi temen lo.”
“Yaa, tentu saja,” jawab Puspa bohong. Melihat latar belakang keduanya yang pernah dekat, tentu bukan sesuatu hal yang baik jika mereka masih sering bertemu meskipun hanya sebagai teman. Raka punya Arini yang harus dijaga perasaannya.
“Gue langsungan ya. Arini nunggu di rumah soalnya. Habis ini kita mau nyari seserahan.”
“Okee, thank’s udah nyempetin mampir. Mentari dari kemarin nanyain lo terus.”
“Haha, yaa. Kapan-kapan gue kesini lagi ajak Arini.”
“Gue tunggu.”
Puspa mengantar Raka kembali ke mobilnya sambil berbincang banyak hal. Seperti biasa, seorang Raka tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Satu langkah mendekati mobil, Raka memutar tubuhnya cepat hingga mengejutkan Puspa.
“Gue nggak tahu lo pengen denger ini atau nggak. Tapi sumpah! Gue nggak bisa buat nggak ngomong ke lo.”
Puspa mengerutkan kedua alisnya saat mendengar kalimat Raka yang membingungkan. “Apaan sih, Ka?” tanya Puspa bingung.
Raka memejamkan matanya terlihat kesulitan, membuat Puspa bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang ingin dikatakan laki-laki itu.
“Rakaa,” tegur Puspa saat laki-laki itu justru membisu.
“Gue denger Pak Arya cerai, lebih dari satu tahun yang lalu,” ucap Raka cepat tanpa jeda.
Setelah sekian purnama Puspa mencoba menenggelamkan nama Arya dari setiap sendi-sendi kehidupannya. Saat nama itu kembali disebut, ada kerapuhan yang tak bisa Puspa tutup-tutupi. Puspa memilih untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain selain Raka. Ia tidak ingin perasaan yang selama ini ia tutupi dari dunia kembali terlihat.
“Sorry, Puspa. Gue ngomong ini sebagai sahabat. Please, jangan sembunyi dari perasaan lo terus menerus karena itu sangat menyakitkan.”
Puspa diam, tetap berusaha mendengarkan, meskipun jauh di lubuk hati-nya yang terdalam, dia enggan mendengar nama itu kembali disebut.
“Lo sulit menerima perasaan lo yang masih cinta sama laki-laki itu tapi nggak bisa juga menerima orang baru.”
“Raka, gue mohon untuk nggak usah bahas dia lagi.”
“Kenapa?”
“Gue nggak bisa,” jawab Puspa lemah.
“Karena? Apa karena lo masih cinta sama laki-laki itu, Puspa?”
Sialnya apa yang Raka ucapkan itu benar. “Terus gue harus gimana, Raka?”
“Berjuang buat cinta kalian, dia sudah bercerai.”
“Informasi yang lo dapetin belum tentu benar.”
Masih ada kemungkinan informasi yang didapatkan Raka itu tidak benar. Masih ada kemungkinan Arya saat ini sedang bercengkerama dengan keluarganya. Puspa tak ingin berharap karena harapan itu yang nanti akan kembali menyakitinya.
“Lo bisa cari tahu,” ucap Raka masih keukeuh.
“Kalau yang gue dapatkan dia sudah bahagia dengan keluarganya gimana? Kalau dia sudah ngelupain gue? Kalau sudah tidak ada lagi cinta buat gue?” Kali ini tetes airmata Puspa kembali mengalir dari matanya yang sendu. Dia lelah untuk terus berharap dan hancur karena harapannya.
“Tapi masih ada kemungkinan kalau informasi yang gue dapatkan itu benar. Masih ada kemungkinan kalau laki-laki itu punya perasaan yang sama dengan yang lo miliki. Masih ada kemungkinan laki-laki itu masih berjuang buat lo, Puspa.”
“Raka—.”
“Gue nggak bisa lama-lama karena Arini nungguin di rumah,” putus Raka. “Sebagai sahabat gue cuma pengen lo bahagia, Puspa.”
“Gue tahu.”
“Bahagia itu dikejar, diperjuangkan. Bukan didapat begitu saja.”
Benar begitu?
Puspa kecil pernah bertanya kepada ayah, tentang makna sebuah keluarga. Dan ayah menjawab, keluarga adalah tempat dimana kita bisa berlindung dari ketidaknyamanan dunia. Jika keluarga tidak memiliki fungsi itu, lalu apa kita menyebutnya?
Mungkin itu ujian, jawab ayah Puspa.
Dan setelahnya, keluarga yang ia miliki, satu-satunya tempatnya berlindung tak lagi berdiri tegak. Rumah Puspa roboh, meninggalkan Puspa yang kesepian di dalamnya.
Ada banyak hal yang Puspa lalui tapi ia bersyukur karena masih bisa berdiri menatap dunia dengan kedua kakinya sendiri.
Malam ini, Puspa dewasa duduk di ayunan kayu belakang rumahnya yang memiliki dua muka. Bisa melihat kedepan dan juga memiliki dudukan untuk melihat pemandangan dari arah belakang.
Puspa melihat ke arah belakang rumah yang sedang menampilkan kelap kelip lampu kota dari jarak jauh.
Setiap malam, ia sering menghabiskan waktunya di sini jika kedainya sudah tutup. Kadang, Puspa merasa kesepian. Dia butuh ramainya lampu kota untuk sekedar menunjukan bahwa dia tidak sendiri di bumi ini.
Puspa menyeruput es kopi dingin mililknya saat merasakan kehadiran seseorang selain dirinya di taman ini. Meskipun membelakangi, tapi dari aroma parfum yang masih teringat dengan jelas di otak Puspa menciptakan sebuah kecanggungan di tubuhnya. Ada debar tak menentu hanya dengan menyapu aroma parfum yang sangat ia kenal itu.
Malam memang dingin dengan detak jantung Puspa yang semakin berdebar cepat saat merasakan langkah kaki mendekat.
Puspa menghembuskan nafas dalam lalu mengeluarkannya dengan pasrah. Dia menanti apapun yang akan ia hadapi malam ini.
Saat laki-laki itu sudah mendudukan tubuhnya di ruang tersisa ujung kursi ayunan, Puspa semakin merasa tercekat. Arya duduk dengan begitu menawan, mengenakan pakaian kasual dan sweater yang terlihat hangat.
Lama menjeda, keduanya tak ada yang berniat membuka suara. Mereka berdua memilih untuk menikmati pemandangan kota Bandung dengan bunyi angin yang mendesau dari balik pepohonan.
“Aku minta maaf karena masih terus ingin menemuimu.” Arya memulai pembicaraan meskipun Puspa tidak mempersilahkan.
“Aku memang se-tidak tahu diri itu karena tetap menunjukan batang hidungku di hidupmu.”
Puspa tak berniat menanggapi, wanita itu hanya sesekali menyesap es kopinya yang sebenarnya sudah tandas sejak tadi.
“Aku sudah mencoba, sesuai keinginanmu. Aku belajar untuk hidup di dalam keluarga kecilku, tapi nyatanya sulit. Aku tetap kalah.”
“Aku tak pernah sedikitpun mencari tahu tentangmu, tapi pada akhirnya aku tetap memutuskan untuk melepaskan keluargaku. Bukan hanya aku, Ivy pun melakukan hal yang sama. Sejak kejadian dua tahun lalu ia mengalami keguguran, dan setelahnya wanita itu berubah menghindariku dan berakhir dengan kami yang tak lagi bisa berjalan berdampingan. Aku sudah bercerai dari Ivy.”
Meskipun kalimat yang Arya ucapkan sangat berpengaruh besar, tapi Puspa membiarkan Arya mengucapkan apa yang ingin ia sampaikan. Tak ada interupsi sedikitpun dari Puspa karena wanita itu hanya berniat mendengarkan.
“Kamu tidak perlu khawatir dengan Axel. Kami berjanji untuk tetap menjadi sebuah keluarga yang utuh untuk Axel.” Ngocoks.com
“Bii,” panggil Arya saat tak mendengar satu kalimat pun dari bibir wanita itu. Arya menelisik ke arah wanita yang masih mengunci bibirnya rapat-rapat. Puspa bahkan sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari arah kota Bandung.
“Aku tahu, aku memang tidak tahu diri karena masih mengharapkanmu. Setelah perceraian terjadi, aku mulai membenahi diriku sendiri, lalu mulai mencari keberadaanmu. Saat mendapatkan kabar pernikahan Raka, rasanya masih tetap sama, sakit. Maaf jika kemudian aku senang, saat mendengar jika mempelai wanita-nya bukanlah dirimu.”
“Kamu belum menjawab pertanyaan yang sudah aku tanyakan berulang kali. Apa kamu masih mencintaiku, Bii?”
Bibir Puspa masih tak mau menjawab. Memaksa Arya mengurungkan niatnya untuk berbicara banyak. Mungkin kedatangannya saat ini begitu mendadak dan tiba-tiba, Puspa belum siap untuk bertemu dengannya. Tentu saja, ditinggalkan berulang kali tidak akan semudah itu untuk dilupakan. Tapi sebagai laki-laki, Arya memiliki waktu seumur hidup untuk menunjukan keseriusan cintanya kepada Puspa.
“Maaf jika aku mengganggumu, aku tahu kedatanganku begitu tiba-tiba.”
Arya meletakan satu kotak cincin berwarna merah di ayunan. Meskipun tak melihat, Arya yakin Puspa tahu ia meletakan benda itu di sana. “Aku pergi, jangan terlalu lama di luar rumah. Udara sedang dingin-dinginnya.”
“Selamat malam.” Arya melangkahkan kakinya meninggalkan Puspa. Ia berjalan lemah saat pertemuan pertamanya dengan Puspa tidak terlalu bermakna. Ia menghela nafas berat sebelum kembali memaksakan kakinya untuk melangkah pergi.
“Kenapa baru pulang sekarang?”
Arya mematung, sedikit sangsi pertanyaan Puspa diarahkan untuk dirinya. Tapi, di taman ini hanya ada dia dan Puspa. Tidak mungkin kan Puspa bertanya kepada hantu? Dia bukan cenayang setahu Arya. “Aku?” tanya Arya memastikan sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri.
“Hem.”
“Kamu tahu, —tidak mudah untukku bisa berdiri di sini sekarang ini.”
“Kenapa lama?” tanya Puspa masih dengan pertanyaan yang sama.
“Aku memang lelet, nggak peka. Aku memang tidak tahu diri, pokoknya semua aku yang salah. Karena aku bodoh, karena aku —banyak. Ada banyak kekuranganku, Bii.” Arya kembali mendekat, laki-laki itu mendudukan tubuhnya di depan Puspa dengan tatapan penuh harap. “Bii, kasih kesempatan untuk kita.”
“Kamu yakin?”
“Sangat,” jawab Arya pasti.
“Mungkin aku akan menjadi pasangan yang sangat posesif nantinya. Aku nggak mau lagi berjauhan, aku nggak mau lagi ada jarak.”
“Okee, aku akan selalu berada di rumah setelah bekerja. Aku tetep boleh kerja, kan? Kita butuh uang untuk hidup. Mungkin aku hanya akan keluar rumah untuk berolahraga, lari atau gym. Kalau tidak boleh pun aku bisa membuat tempat olahraga sendiri di rumah.”
“Aku mungkin akan sering ikut ke kantor.”
“Nggak apa-apa. Aku siap membawamu kemanapun aku pergi. Kalau dinas luar kamu juga boleh ikut biar aku bisa membawamu melihat dunia luar.”
“Aku mungkin akan menjadi wanita yang cemburuan dan tidak mudah percaya.”
“Aku pun akan begitu, cemburuan. Dan jika kamu tidak percaya aku akan selalu menjelaskan terus dan terus sampai kamu percaya,” jawab Arya menggebu. “Bii, kamu masih cinta sama aku?”
“Bodoh! Harusnya kamu nggak perlu nanya.”
“Aku cuma mau dengar dari bibirmu sendiri, Bii.”
Puspa merangkum wajah Arya, ia menariknya untuk mendekat. “Aku cinta sama kamu, Arya Adiputra. Aku cinta sama kamu dari dulu sampai detik ini, sampai nanti kamu akan selalu ada di dalam hatiku.”
Senyum ceria terbit di wajah Arya yang tegas. Ia melakukan hal yang sama dengan apa yang Puspa lakukan. Tapi bukan hanya merangkum, laki-laki itu kini juga menautkan bibir keduanya untuk melekat. Di bawah sinar bulan purnama mereka kembali dipersatukan setelah sekian lama menyimpan rasa. Puspa dan Arya semakin mengikis jarak saat rasa yang menggebu membuncah di dalam hati.
“Kamu mau nikah sama aku, Bii? Tapi aku seorang duda anak satu, gimana?”
“Aku mau.”
Arya kembali mencium bibir Puspa dengan tekanan. Ia mencium dengan hangat dan senyum yang terbentuk di sela-sela ciuman keduanya. “Aku bahagiaa, sangat,” ucap Arya.
“Aku juga bahagia.”
“I love you, Bii.”
“I love you too.”
***
Seberapa jauh jarakmu pergi, kamu tetap akan melangkah pulang ke rumah. Langkah, tak akan pernah salah berjalan menuju rumah. Bagi Arya, Puspa adalah rumahnya. Ia menemukan ketenangan dan kehangatan di sana. Sedangkan bagi Puspa, Arya adalah rumahnya. Rumah yang memberikan perlindungan saat dunianya sedang tidak baik-baik saja, rumah tempatnya pulang saat kedua orangtuanya memilih membangun ‘rumah’ mereka masing-masing.
“Kamu yang kusebut rumah. Terima kasih karena tetap bertahan sampai sejauh ini.”
***END***