Dengan langkah tegap Puspa mengikuti arahan senior divisi yang ditugaskan untuk menemani orientasinya. Mereka berjalan-jalan memutari beberapa bagian kantor yang dianggap penting untuk diketahui karyawan baru, seperti : tempat mesin fotocopy, pengambilan ATK, tempat produksi hingga QC dan beberapa tempat lainnya.
AD Corporate bergerak di bidang produksi sparepart otomotif, properti hingga bisnis Investasi yang kini mulai dirambah para direksi. Sebagai staff HR Puspa tidak terlalu paham dengan produksi, yang perlu ia pahami adalah menghitung kebutuhan karyawan dan memastikan perusahaan mendapatkan karyawan terbaik begitupun sebaliknya.
“Nah, setelah kita berputar-putar akhirnya kita sampai di ruangan kita sendiri. Welcome to Human Resource Departemen, Puspa.”
Semua orang berdiri menyambut puspa di ruangan seluas seratus meter ini. Puspa menemui satu persatu temannya lalu berkenalan, walaupun dia belum tentu bisa mengingat namanya. Entah kenapa Puspa terlalu sulit untuk mengingat nama orang.
Ruangan ini terdiri dari tujuh orang, Puspa masuk ke bagian perekrutan karyawan berbeda dengan Ayuk yang masuk kedalam bagian perhitungan kompensasi dan penilaian kerja. Sedikit kecewa sebenarnya tapi Puspa tetap bersyukur.
“Puspa duduk di paling depan ya,” ucap salah satu senior Puspa yang bernama Mba Dwi.
“Baik, Mba. Terima kasih.”
“Hati-hati lho, Puspa. Kalau duduk paling depan pas ujian nggak bisa nyontek,” celetuk seorang wanita berambut pirang. Di perusahaan ini menjunjung azas kebebasan, jadi kalian bebas datang ke tempat kerja dalam bentuk apapun yang penting masih dalam batas sopan.
“Memangnya Puspa sama kaya lo yang suka nyontek, Sep?” jawab seorang laki-laki yang duduk di samping meja Puspa.
Tawa mengisi ruangan yang tak terlalu besar ini, sesuatu yang membuat Puspa merasa nyaman.
“Gue Raka nggak pakai buming, lo bisa panggil gue Raka saja tanpa embel-embel yang lain,” ucap laki-laki itu memperkenalkan.
“Oh ya, Puspa,” jawabnya canggung. Padahal seharusnya semua orang di sini sudah tahu siapa namanya.
“Kalau malam itu namanya Rara bukan Raka lagi,” ucap wanita berambut kontras tadi. Sekali lagi tawa kembali meramaikan ruangan.
“Sssttt, sudah sudah ayo kembali bekerja,” tegur Mba Dwi yang dituruti semua orang.
Puspa mendudukan tubuhnya di kursi kerja sambil melihat beberapa fasilitas yang bisa ia gunakan. Satu PC keluaran terbaru dengan printer di setiap tiga tempat duduk. Di belakangnya ada almari besi yang cukup untuk menyimpan beberapa berkas.
“Suka kopi? Mau ke pantry dulu?” tawar Raka. “Gue ngantuk nih.”
“Bo—boleh.”
“Sip.”
Raka membawanya ke pantry yang berada tidak jauh dari ruang kerja keduanya. “Sebelumnya kerja di mana?” tanya Raka sambil memasukan kopi ke dalam mesin ekspresso.
“Di Bimatara.”
“Oh, kenapa keluar?”
“Alasan personal.”
“Habis putus cinta?” tanya Raka dengan senyum tengil.
Puspa hanya menggeleng, tak berniat menjelaskan lebih karena itu termasuk kedalam wilayah privasinya.
“Siang ini kita ada rapat dengan petinggi perusahaan, katanya direksi mau menyampaikan langsung beberapa target dan plan kita ke depan. Lo tahu kan perusahaan ini mau membuka pabrik baru di kawasan Cikarang. Lo ikut saja nanti.”
“Boleh Mas?” tanyanya.
“Boleh lah, biar kenal juga sama temen-temen lain di sini,” ucapnya sambil meletakan satu cangkir kopi latte di depan Puspa. “Dan jangan panggil gue Mas! Gue bukan abang lo, panggil nama aja.”
“Hehe ya, Raka.”
“Nah gitu kan keren, gue nggak terlalu tua-tua juga.”
Puspa mengambil kopi yang dibuatkan Raka dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
Siangnya seperti yang Raka sampaikan, ada rapat penting dengan direksi khusus untuk bagian HR. Puspa diminta Mbak Dwi untuk ikut, ada Raka dan Ayuk juga di tempat ini. Melihat kursi di sebelah Ayuk kosong, Puspa mempercepat langkahnya dan duduk di samping Ayuk.
“Busyet, kaget gue.”
“Hihi.”
“Gimana lingkungan kerjanya?” tanya Ayuk.
“So far so good.”
“Alhamdulillah, gue ikut seneng.”
“Thank”s.”
Rapat dibuka oleh moderator yang menjabat sebagai CHRO perusahaan (Chief Human Resources Officer) namanya Pak Abat. Semua karyawan mendengarkan dengan seksama beberapa informasi yang disampaikan Pak Abat.
“Siang ini kita cukup beruntung karena direktur utama bisa hadir langsung untuk memberikan arahan. Kami berharap karyawan di sini dapat mendengarkan dengan baik beberapa arahan yang nanti akan disampaikan langsung oleh beliau.”
Seseorang dari belakang tubuh laki-laki itu membisikan sesuatu lalu dibalas Pak Abat dengan anggukan singkat.
“Sepertinya Pak Dir kita sudah datang,” bisik Ayuk.
“Oh.”
“Jangan kaget sama Pak Dir kita.”
“Kenapa?”
“Ganteng, hot daddy anak satu.”
Puspa melepaskan tawa kecil menanggapi Ayuk yang mengatakan kalimat itu sambil merem melek, lalu ia kembali menaruh attensinya ke arah podium. Semua orang melakukan hal yang sama, menyambut kedatangan Direktur Utama AD Corporate.
Tap.
Tap.
Tap.
Suara derap langkah kaki mendekat mulai terdengar. Sosok laki-laki berjas navy masuk ke dalam ruangan. Laki-laki dengan garis wajah yang amat sangat Puspa kenali. Laki-laki dengan wajah tegas dan rahang kuat yang dulu sering sekali Puspa kagumi dalam diam.
Mata tajam dan aura dominasi yang selalu mampu membuat Puspa berdebar tak karuan. Puspa menelan ludahnya berkali-kali ketika sosok yang selama ini sudah ia kubur dalam-dalam kini berada tepat di depan mata. Setelah lima tahun perpisahan yang hanya melalui panggilan telepon, sosok itu berdiri dengan elegan di hadapan Puspa.
Arya Adiputra.
“Yuk,” panggil Puspa lirih.
“Ya?”
“AD Corporate itu kepanjangannya apa?”
“Adiputra Corporate.”
Goblok! Batin Puspa dalam hati. Bagaimana bisa dia tidak mencari tahu terlebih dahulu tentang nama perusahaan yang ia datangi? Puspa kembali menelan ludahnya, jantungnya berdebar. Ia sangat hafal dengan apa yang terjadi kepadanya siang ini. Puspa meletakan tangannya di bawah meja dan mulai menghitung angka satu sampai seratus untuk mendistraksi kepanikannya.
Deg … deg … deg.
Tapi sepertinya cara itu tidak berhasil. Keringat dingin Puspa mulai bercucuran, badan bergetar bahkan Puspa merasakan nafasnya yang seperti tercekik.
“Kenapa? Lo sakit?” tanya Ayuk khawatir.
“Nggak apa-apa.”
“Lo pucet, Puspa.”
Puspa mulai merasa perutnya mual. Ia segera berdiri dengan wajah tertunduk dan keluar ruangan. Puspa berlari mencari tempat untuknya bersembunyi, tapi yang ia temukan hanyalah sebuah balkon terbengkalai yang terbuka. Puspa mencari tempat lain, ia berlari ke arah toilet terdekat. Ia masuk ke dalam bilik dan duduk disana sambil memeluk tubuhnya sendiri.
Puspa tidak diinginkan.
Puspa tidak berarti.
Puspa tidak pantas.
Serangan ini kembali datang.
Puspa mengalami serangan panik pertama kali saat kedua orangtuanya bercerai. Ia rutin mendapatkan perawatan dan mulai stabil saat bertemu Arya. Lalu serangan itu kembali muncul saat Puspa kehilangan Arya dan kembali stabil saat ia mulai disibukan dengan pekerjaan.
Sekarang ini serangan itu kembali muncul saat ia melihat sosok sumber sakit hatinya yang teramat besar -Arya Adiputra. Sebuah hubungan yang dianggap Puspa sebagai obat nyatanya justru menjadi pencetus terhebat sakit itu kembali menyerang. Puspa yang ditinggalkan begitu saja dengan sebuah panggilan telepon mendadak tanpa penjelasan, tanpa perasaan.
Lo nggak berharga.
Puspa menutupi kedua telinganya mencoba menghilangkan suara-suara halusinasi yang mampu membuatnya ketakutan.
“Pergi,” ucap Puspa lirih. “Lo nggak nyata!”
Puspa membaca doa dalam hati, berharap sedikit menenangkan perasaannya yang kacau. Meskipun takdir tak selamanya baik, dia masih percaya Tuhan-nya melihat dan mendengar doanya.
Merasa mulai stabil, Puspa memilih untuk berjalan ke ruangan lalu mengambil tas miliknya. “Gue butuh dr. Tesa.” Puspa berjalan keluar bangunan tinggi ini dan bergegas mencari taksi. Ia menyebutkan sebuah klinik tempat dr. Teza praktik pribadi.
Gue akan baik-baik saja.
Gue bahagia dengan diri gw sendiri.
Bisik Puspa berulang kali dalam hati.
“Kontraknya satu tahun dan jika resign sebelum masa kontrak selesai maka akan dikenakan pinalty, Kak.”
“Berapa?” tanya Puspa mencari tahu.
“Jumlah bulan yang ditinggalkan dikali gaji pokok. Kak Puspa kemarin tertulis gaji pokok empat setengah juta ya? Jadi kalau kakak mau resign bulan ini, pinalty-nya sekitar lima puluh empat juta.”
Oke! Puspa menghembuskan nafas beratnya perlahan. Uang lima puluh empat juta bukan uang yang sedikit bagi Puspa, meskipun ia punya tabungan tapi tentu tidak sebanyak itu. “Terima kasih informasinya,” ucap Puspa sambil tersenyum ramah.
Ia permisi keluar dari ruangan lalu berjalan ke arah sisi lain kubikel. Puspa berhenti di balkon yang berada di sisi kanan gedung. Sebuah tempat tersembunyi yang ia temukan saat melarikan diri sari serangan panik, meskipun dia tetap berakhir di toilet karena dianggap lebih tertutup.
Jika diteliti lebih lama sepertinya balkon ini sudah jarang terjamah, sepi dan berantakan. Puspa mendudukan tubuhnya di sebuah kursi usang yang warnanya mulai pudar. Tatapan matanya kosong menatap ke arah jalanan kota Jakarta yang padat dan langit biru yang terlalu jauh untuk digapai.
Kalian belum tentu akan bertemu lagi, dia berada jauh diatasmu Puspa. Akan sangat jarang berinteraksi masalah pekerjaan.
Puspa mengingat kalimat yang disampaikan dr. Tesa, psikiatri yang selama ini selalu membantu Puspa mengatasi masalah panik yang sering menyerang. Seharusnya dia akan mudah menjadi tidak terlihat di hadapan Arya, seharusnya posisi mereka yang jauh berbeda akan mampu menyembunyikan Puspa.
Hanya satu tahun dan Puspa akan kembali mencari pekerjaan lain. Dia tidak mau mengganggu Arya dan keluarganya. Dia tidak mau menganggu kenangan yang sudah ia kunci rapat-rapat di dalam hati.
Hot daddy anak satu.
Puspa memejamkan mata, teringat saat Ayuk mengatakan fakta itu dengan jelas. Arya sudah beristri, tidak seharusnya ia mengusik. Toh, belum tentu juga Arya masih mengingatnya? Puspa tidak cukup berharga untuk diingat sebagai seorang yang layak untuk dikenang. Puspa tersenyum tipis merutuki kebodohannya. Yaa, semuanya akan baik-baik saja. Puspa cukup untuk menjadi tidak terlihat di depan Arya dan semuanya akan baik-baik saja.
Ia berdiri lalu melangkahkan kakinya dengan pasti ke ruang kerjanya.
“Lo kemana saja kemarin?”
Ayuk menarik tubuh Puspa tiba-tiba, membawanya menepi ke sisi kanan lorong yang ia lewati untuk menuntut penjelasan.
“Gue sakit, kemarin gue ke dokter. Sorry.”
“Sakit apa?” tanya Ayuk khawatir.
Puspa menelisik ke arah temannya. Ayuk dan Puspa tidak terlalu dekat sewaktu kuliah, mereka hanya teman biasa. Apakah Ayuk bisa dipercaya? Tentu saja jawabannya tidak.
Tidak ada yang bisa Puspa percaya selain dirinya sendiri. “Sakit asam lambung,” jawabnya bohong.
“Udah baikan sekarang?”
“Lumayan, gue udah dapet obat.”
Ayuk masih menautkan kedua alis sambil menunjukan raut wajah permusuhan. “Lo juga pagi ini nanya tentang pengajuan resign ke Mba Tata! Kenapa sih lo Puspa? Gue udah ngerekomendasiin lo di sini, jangan bikin gue kecewa dengan resign di bulan pertama kontrak.”
Puspa diam mendengarkan celotehan Ayuk yang kemungkinan masih panjang.
“Kalau lo nggak suka kerja di sini kenapa nggak mengundurkan diri waktu magang? Lagian juga pinalty-nya mahal kalau lo keluar sekarang. Dan—.”
“Ssttt! Gue nggak akan resign dan gue masih butuh duit, Ayuuuk. Ayo sekarang kita kerja.”
“Lo bikin gue khawatir tahu nggak sih!”
“Hihi, sorry. Tapi serius, gue masih butuh duit.”
“Iyee.”
“Mau makan siang di kantin kan nanti?” tanya Puspa mengalihkan pembicaraan.
“Iya dong, kite kan cari yang gretongan ya, Sist.”
Mereka berdua tertawa lepas di lorong yang sepi, lalu memutuskan untuk kembali ke kubikel masing-masing.
***
Waktu berlalu terasa cepat, sudah lima hari Puspa bekerja di perusahaan ini. Dan seperti yang Puspa prediksi sebelumnya, hidupnya damai. Dia memang bekerja di satu gedung yang sama dengan Arya tapi tak pernah sekalipun bertemu dengan laki-laki itu.
Sesuatu yang cukup membuatnya lega. Obat yang diberikan dr. Tesa pun tak lagi ia konsumsi. Puspa berharap itu hanyalah sebuah serangan panik sesaat yang tidak membutuhkan terapi lanjutan.
Dia melenggang dengan santai ke arah parkiran bersama teman-temannya. Saling bercerita tentang pekerjaan masing-masing yang melelahkan.
“Bye gais, see you on ugly monday.” Ayuk pamit terlebih dahulu ke arah teman-temannya. Mereka semua berpisah di parkiran.
“Happy weekend.”
“Selamat liburan.”
Puspa hanya menanggapi dengan senyuman sambil sesekali membalas lambaian tangan teman-temannya. Ia memilih segera mendekat ke arah motor bututnya yang tadi pagi harus Puspa syukuri bisa berjalan tanpa hambatan. Ia mengenakan jaket dan peralatan tempur jalanan, lalu memencet tombol starter dengan jempol tangan kanannya.
Blubub … blubub …
Ia mengulangi lagi dan lagi, bahkan hingga percobaan kelima motor itu tak juga kunjung menyala. Astaga. Batin Puspa.
Empat hari Puspa menggunakan ojek online untuk perjalanan ke kantor. Sedangkan motor miliknya terparkir rapi di garasi rumah karena Puspa memang belum sempat membawanya ke bengkel. Lalu pagi tadi ia mencoba peruntungannya dengan menggunakan motor ini, tapi lihatlah apa yang terjadi? Puspa mendengus sebal. Dia harus bagaimana?
“Macet?” Raka muncul tiba-tiba di belakang tubuhnya. Laki-laki itu sudah mengenakan jaket hitam dan tas selempang yang menggantung di dada.
“Iya.”
“Coba gue cek.”
Puspa menjauh dari motor lalu Raka berjongkok di sisi sebelah kiri motor. “Terangin gue pake lampu flash hp.”
Puspa mengikuti instruksi Raka, memberikan penerangan ke arah mesin motor yang sedikit berada di dalam.
“Businya ini mah, udah soak.”
“Gitu ya?”
“Jarang servis kan lo?”
“Iya.”
“Tinggal aja motornya, titipin ke Pak satpam namanya Pak Tejo. Biar dia yang bawa ke bengkel nanti lo kasih aja uang seratus ribu gitu. Senin udah bisa dibawa pulang. Gimana?”
“Emang mau?”
“Mau lah, gue panggilin Pak Tejo.”
Puspa menarik tangan Raka yang hendak pergi lalu melepaskannya dengan cepat ketika tersadar apa yang ia lakukan terlalu berlebihan untuk keduanya. Raka menatap Puspa heran dengan kedua alis menyatu.
“Bukannya lo mau balik? Gue nggak mau ngerepotin,” ucap Puspa tak enak hati mendapatkan bantuan Raka.
“Hey hoy, Puspaningrum. Di parkiran ini cuma ada gue yang bisa nolong lo. Emang lo mau dorong motor sendiri?”
Puspa menggeleng.
“Ya udah dih sini kunci motornya.”
Puspa menunjuk ke arah kunci yang menggantung di motor.
“Oh iya, hehe. Lo tunggu disini.”
Beberapa menit setelahnya Raka datang bersama seorang laki-laki besar berseragam satpam. “Ini motornya Pak,” ucap Raka menunjukan motor Puspa.
“Oh ya siap, Bos.”
“Tolong bawa ke bengkel. Kaya-nya businya butuh ganti. Sekalian servis dah, ya Puspa?”
Puspa yang tiba-tiba dipanggil gelagapan. “I-iya, Pak.”
Raka menengadahkan tangannya ke arah Puspa tapi Puspa tidak paham dan bertanya dengan menggunakan tatapan mata.
“Duit Puspa.”
“Oh iya, tapi gue nggak bawa cash.”
“Astagaa.” Raka mengeluarkan uang lima ratus ribu dari dompetnya dan memberikan uang itu ke Pak Tejo. “Kalau ada kurangnya talangin dulu ya, Pak.” Ngocoks.com
“Oke oke, siap.”
Pak Tejo membawa motor Puspa ke arah parkiran yang dekat dengan pos satpam.
“Mau gue anter pulang?” tanya Raka menawarkan.
“Eh nggak usah. Gue udah cukup ngrepotin lo. Gue naik ojek online aja.”
“Kalau nolong nggak boleh setengah-setengah, Puspa,” ucap Raka sedikit memaksa.
“Rumah gue jauh, Raka.”
“Gue punya jaket tebel, bensin fulltank dan motor yang rajin diservis.”
“Dih ngejek gue lo?”
“Hahaha, ngerasa ya? Ya udah lah, ayook gue anter pulang,” ucap Raka sambil menarik tangan Puspa. “Gue maksa Puspa!”
Mau tidak mau Puspa mengikuti langkah Raka mendekat ke arah motornya. Mereka berhenti di dekat motor cowok dengan bagian belakang yang menukik tajam. “Lo serius kita pakai motor ini?”
“Motor gue satu-satunya cuma ini. Kenapa?”
“Boncengannya terlalu tinggi, Ka,” jawab Puspa tidak nyaman.
“Nggak apa-apa, kan nanti kalau gue kedinginan karena perjalanan jauh lo bisa peluk gue biar anget.”
“Ogah!”
Wajah Raka terlihat kecewa. “Coba naik dulu, kita bisa kok duduk tanpa berdekatan kalau misal itu bikin lo nggak nyaman.”
“Emang bisa?”
“Bisa, paling capek doang kakinya pegel-pegel karena nahan.”
Raka sudah bersiap di atas motor dengan helm fullface miliknya. Dia menyiapkan footstep untuk Puspa naik, lalu wanita itu mengikuti perintah Raka untuk duduk di belakang motornya. “Udah?”
“Ntar dulu,” jawab Puspa sambil memperbaiki posisi duduknya dan memastikan ada jarak di antara mereka berdua. “Udah,” jawabnya setelah merasa siap.
“Lo tetap butuh pegangan, Puspa. Pegang sini.” Raka menarik kedua tangan Puspa dan melingkarkan di perutnya sendiri. “Begini lebih baik.”
Motor mulai melaju membelah jalanan kota Jakarta yang ramai. Sepanjang perjalanan tangan Puspa bertengger manis di tubuh Raka yang asing. Tidak ada perbincangan apapun selama perjalanan, hanya ada suara angin yang membawa rambut Puspa beterbangan kemana-mana.
“Terima kasih,” ucap Puspa setelah sampai di depan garasi rumahnya.
“Okee. Gue langsung balik ya.”
“Iya, hati-hati.”
“Hem, lo masuk rumah dulu gih.”
Puspa mengangguk mengikuti perintah Raka. Kakinya juga terasa tegang karena menahan jarak diantara mereka selama perjalanan.
“Puspa,” panggil Raka tiba-tiba.
Puspa yang merasa namanya dipanggil kembali memutar tubuhnya ke arah Raka.
“Banyak-banyakin senyum, lo cantik kalau tersenyum.”
Raka tersenyum tipis penuh arti sebelum memutargasnya cepat meninggalkan Puspa.
Bersambung…