Close Menu
Cerita SexCerita Sex
  • Warning!
  • Contact Us
  • Privacy Policy
  • Kirim Cerita Sex
  • Join Telegram
  • Video Bokep
  • Foto Bugil
  • Jav Sub Indo
X (Twitter) WhatsApp Telegram
Cerita SexCerita Sex
  • Contact
  • Warning!
  • Privacy
  • Kirim Cerita
  • ThePornDude
  • Bokep
Cerita SexCerita Sex
Home»Novel»Kamu yang Kusebut Rumah

Kamu yang Kusebut Rumah

Share Twitter Telegram WhatsApp Copy Link

“Satu ice coffe medium, please.”

Puspa membayar dan menunggu kopi yang ia pesan di sudut ruang berdinding kaca. Weekend begitu cepat berlalu, senin yang rempong ada di depan mata. Ia memutuskan membeli ice coffe untuk sekedar membuat matanya tetap terbuka.

Minggu kemarin ia pergi ke rumah ayahnya untuk melepas rindu, tetapi laki-laki itu ternyata sedang berlibur dengan keluarganya. Dan Puspa berakhir dengan liburan yang hanya sekedar di rumah dan membaca buku.

“Ice sepertinya bukan pilihan yang tepat di waktu hujan.”

Puspa mendapatkan pesanannya. “Yaa, negatif x negatif bisa jadi positif, dingin x dingin bisa jadi menghangatkan.”

Barista perempuan yang sudah cukup Puspa kenal terlihat ragu mendengar jawaban Puspa. “Aku tidak berfikir seperti itu,” ucapnya menunjukan ketidaksepakatan dengan kalimat yang baru saja Puspa sampaikan.

“Yaa, aku hanya mengarang bebas. Aku sedang ingin saja,” jawab Puspa sambil menunjukan es kopi dinginnya.

“Oke. Good luck untuk hari ini.”

Puspa mengucapkan terima kasih lalu menyeruput kopi di tangannya sedikit. Ia melangkahkan kakinya ke arah bangunan yang sudah lebih dari tiga bulan ia jadikan tempat mencari rezeki. Ia meletakan payung pada tempatnya lalu membenahi pakaian yang terkena cipratan air hujan. Setelah merasa cukup rapi, Puspa kembali melangkah.

“Sudah berapa persen pembangunan pabrik?”

Suara yang tidak asing terdengar dari arah belakang tubuhnya. Puspa beralih haluan, sedikit berlari cepat ke arah toilet lobby. Ia menyembunyikan tubuhnya di sana, sesuatu yang tidak baik jika dia harus bertemu dengan laki-laki itu.

Kenapa harus mereka berada di tempat yang sama pagi ini? Rutuk Puspa dalam hati. Ia memutar tubuhnya untuk lebih masuk ke dalam. Tapi tiba-tiba …

Buugh.

Suara tangis memenuhi lorong menuju ke arah toilet lobby.

“Maaf,” ucap Puspa.

Ia menemukan seorang anak kecil berusia sekitar lima tahunan menangis sesenggukan. Sialnya, anak kecil itu menangis karena terkena tumpahan es kopi miliknya.

“Hati-hati kalau jalan dong, Mba,” ucap seorang wanita berseragam yang bisa Puspa kenali sebagai pengasuh anak laki-laki itu.

“Maaf,” ucap Puspa sekali lagi. Ia berjongkok di hadapan anak kecil itu sambil membenahi pakaiannya yang terkena tumpahan kopi. “Apa ada yang sakit?”

Anak kecil itu menggeleng, jawaban yang membuat Puspa merasa lega.

“Apa yang terjadi?” Suara yang menjadi penyebab tragedi pelariannya kini justru terdengar jelas di balik tubuh Puspa yang sedang berjongkok. Tubuh Puspa menegang, bersamaan dengan wangi parfum yang mendominasi mengubah situasi menjadi lebih mencekam.

“Papaaaa,” panggil anak kecil itu mendekat.

“Maaf, Pak. Tadi den Axel pipis, lari terus nubruk Mbaknya, terus ketumpahan es kopi.”

Puspa masih membeku, ia hanya mendengarkan setiap percakapan yang terjadi antara laki-laki itu dan pengasuh anaknya. Tubuhnya terlalu sulit untuk merespon kejadian yang begitu cepat pagi ini.

“Bisa kamu ambilkan pakaian ganti Axel?” suara laki-laki itu lagi.

Si pengasuh bayi melihat ke arah Puspa dengan tatapan menusuk. Apa maksudnya? Apa laki-laki itu menyuruhnya?

Puspa tahu ia salah, berlari menghindari sumber suara lalu berakhir bertabrakan dengan seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa.

“Hey,” panggil pengasuh itu.

Puspa berdiri lalu memutar tubuhnya ke arah sumber suara. Sebisa mungkin ia tetap menundukan kepala, menghindar bersitatap dengan laki-laki itu —lagi.

“Bisa kamu ambilkan pakaian ganti Axel di mobil?” tanya laki-laki itu lagi.

“Baik, Pak,” jawab Puspa. Ia sadar, Arya sudah tahu tentang keberadaannya.

“Oke, nanti bawa ke ruangan saya.”

Puspa melakukan instruksi yang diberikan atasannya. Atasan yang sialnya adalah ayah anak yang ia tabrak dan tertumpah es kopi miliknya! Puspa mencari tahu tentang keberadaan mobil Arya lalu meminta tolong sopir untuk membukakan mobil Arya dan mengambil pakaian ganti bocah kecil tadi.

“Maaf, apakah saya bisa menitipkan pakaian ganti anak Pak Direktur?” tanya Puspa ke arah petugas satpam yang berjaga di depan pintu lift lantai ruangan Arya.

“Mungkin anda bisa menitipkan ke seketaris Pak Arya, namanya Mbak Lita.”

“Oh ya? Dimana saya bisa bertemu Mbak Lita?”

“Jalan lurus nanti belok kanan, mejanya tepat di depan pintu besar ruangan Pak Arya.”

“Baik terima kasih.”

Puspa mengikuti arahan satpam dan senyumnya mengembang saat menemukan seorang wanita berbalut tampilan elegan dengan nametag Nurlita. “Maaf dengan Mba Lita?”

“Iya,” jawab wanita itu sopan.

“Saya mau nitip pakaian ganti anak Pak Direktur,” ucap Puspa sambil menyerahkan pakaian ganti yang ada di tangan kanannya.

“Saya ingin membantu, tapi maaf tadi Pak Arya berpesan agar Mbak-nya sendiri yang mengantar ke ruangan Pak Arya.”

Senyum di bibir Puspa menghilang, bisa Puspa yakini jika Arya benar-benar mengenalinya. Sesuatu yang sangat ia hindari saat ini. Lalu apa yang harus ia lakukan? Rasa sesak dan tidak nyaman memenuhi perasaannya. Puspa tidak mau tapi apa bisa dia menolak? “Maaf, tapi saya tidak bisa.”

Wanita di hadapannya menyangsikan kalimat Puspa. Kedua alisnya mengerut dan saling mendekat penuh tanda tanya. Tentu saja, bagaimana bisa karyawan sekelas Puspa menolak perintah atasan yang berada di atas atas atasnya?

“Saya harus bekerja,” jawab Puspa asal.

“Saya rasa itu bukan sebuah jawaban yang bijak. Anda sudah menumpahkan pakaian ke anak pemilik perusahaan tempat anda bekerja, saya rasa anda perlu minta maaf langsung ke Pak Arya.”

Puspa tahu.

“Yaa, baiklah. Terima kasih.”

Puspa menyeret langkah kakinya ke arah pintu besar yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Pintu berwarna coklat maskulin dengan nama dan posisi yang tercetak jelas di sana. Doa selalu Puspa ucapkan dalam hati, semoga pertemuan ini tidak akan berarti apa-apa untuk keduanya. Puspa menarik nafas panjang sebelum benar-benar mengetuk pintu itu.

“Langsung masuk saja,” ucap Mbak Lita memberi instruksi.

Puspa mengangguk dan memberanikan diri membuka handle pintu yang dingin. Saat memasuki ruangan Arya, aroma maskulin langsung memenuhi indera penciumannya. Wangi musk yang dulu menjadi wangi favorit Puspa. Ruangan kerja Arya luas dengan karpet Turki bergaya klasik yang semakin menambah kesan mahal di setiap sudut-sudut bangunan.

“Saya membawakan pakaian ganti adeknya.” Puspa harus bersyukur ia bisa mengucapkan kalimat itu tanpa terbata meskipun degup jantungnya seakan keluar dari tempatnya.

“Pakaikan, namanya Axel,” jawab Arya. Laki-laki itu duduk di sofa tanpa melihat ke arah Puspa. Tangannya disibukkan dengan beberapa berkas, sedangkan anak kecil yang baru Puspa ketahui namanya Axel duduk di karpet di hadapan Arya sambil bermain mobil-mobilan.

Puspa ingin drama ini segera selesai. Ia melangkahkan kakinya mendekat ke arah Axel. “Hai, apa boleh saya bantu mengganti pakaianmu yang kotor?”

Axel anak yang baik, ia mengangguk memperbolehkan dan berdiri dengan manis di hadapan Puspa. Anak yang memiliki garis wajah sama dengan Arya, bedanya matanya berwarna biru. Indah sekali, batin Puspa. Pasti istri Arya sangat cantik karena Axel begitu sempurna di mata Puspa.

“Thank you,” ucap Axel setelah Puspa selesai mengganti pakaiannya.

“You are welcome,” jawab Puspa lalu Axel melanjutkan aktivitas bermainnya.

Puspa berdiri dan menghadap ke arah Arya yang masih terlihat sibuk. “Saya sudah selesai, Pak. Maaf jika tadi saya tidak hati-hati dan menabrak Tuan muda kecil,” ucap Puspa dengan tersenyum saat matanya menangkap sosok Axel yang melihat ke arahnya. “Saya permisi.”

Arya tidak menjawab, ia masih menautkan matanya ke arah berkas-berkas di meja. Merasa tidak perlu menunggu jawaban, Puspa memutar tubuhnya untuk melangkah pergi.

“Tunggu.” Suara yang mampu menghentikan langkah Puspa. Wanita itu membeku di tempatnya. “Axel, bisa kamu bermain di kamar? Papa mau ngobrol sebentar dengan tante ini.”

“Okee, Axel juga mengantuk, Axel mau bobok dulu ya, Pa.”

“Tentu saja sweetheart.”

Suara pintu kamar pribadi di belakang Puspa terbuka, menegaskan bahwa kali ini hanya ada dia dan Arya di ruangan ini.

“Duduklah.”

Puspa tetap bergeming.

“Bii, duduk.”

Entah kenapa panggilan itu menyesakan dada. Puspa memejamkan mata untuk mengusir semua bayang-bayang kenangan masa lalu yang sudah ia kunci rapat di hatinya. Logika Puspa menolak, ia tetap melangkah menjauh dan berhenti di depan pintu ruang kerja Arya.

Namun sialnya, pintu itu tidak bisa dibuka.

“Aku menguncinya,”ucap Arya. “Duduklah dulu, aku berjanji tidak akan menyakitimu—lagi.”

Puspa pernah berharap Arya adalah jawaban dari setiap doa yang ia langitkan. Sebuah pemberian terindah dari dunia yang seringnya mengecewakan. Tetapi pada akhirnya, laki-laki itu justru menjadi salah satu cobaan dari sekian ujian yang harus Puspa lapangkan. Setelah perceraian orangtua yang diawali dari ratusan pertengkaran hebat di hadapan Puspa, wanita itu kembali dipatahkan oleh seseorang yang seharusnya ia jadikan tumpuan. Arya Adiputra, kekasihnya.

Puspa jatuh, terbuang dan sekali lagi merasa tersisihkan.

Kehidupan Puspa berubah drastis setelah kepergian Arya. Wanita yang dulunya sudah mulai percaya dengan adanya keajaiban, kembali diredam oleh sebuah pengabaian.

Ya, Arya mengabaikan Puspa yang masih berharap besar dengan hubungan mereka. Hingga bertahun-tahun lamanya Puspa masih berharap seorang Arya akan kembali menatap kearahnya seperti dulu, tetapi nyatanya laki-laki itu tak kunjung kembali menoleh.

Arya berjalan lurus tak lagi melihat ke arah Puspa di belakangnya yang memohon laki-laki itu untuk kembali. Arya benar-benar memusnahkan Puspa di dalam setiap poros hidupnya. Tak ada lagi nama Puspaningrum di sana. Sedangkan di hati Puspa masih terdapat nama Arya di mana-mana.

Pagi ini, mereka berdua kembali dipertemukan dalam sebuah fase kehidupan berbeda. Puspa tak lagi berharap, hatinya kosong berantakan. Sedangkan Arya sudah berjalan jauh di depan dengan kehangatan keluarga yang dulu pernah ia janjikan pada Puspa.

Mereka berdua di dalam ruangan yang sama dengan berbagai macam perasaan yang saling mencari perhatian. Puspa duduk dengan canggung dan jari jemari bertaut cemas. Mereka berdua dipisahkan sebuah meja marmer mewah. Puspa duduk di sofa berseberangan dengan Arya yang kini menautkan perhatian penuh ke arah wanita dari masa lalunya.

Sekelibat bayangan kebersamaan mereka hadir dan sekuat tenaga Puspa mencoba menepisnya. “Saya tidak pernah bermaksud mengganggu hidup Pak Arya,” ucap Puspa pertama kali. Ini adalah salah satu bentuk pertahanan diri yang Puspa lakukan.

Sebelum Arya mengeluarkan kalimat yang mungkin bisa kembali merobek hati, Puspa menjelaskan bahwa pertemuan ini hanyalah sebuah ketidaksengajaan. “Bahkan saya sama sekali tidak tahu kalau Pak Arya pemilik perusahaan ini,” tambah Puspa. “Saya —saya sudah berencana resign tapi ternyata pinalty-nya terlalu besar. Saya tidak mampu.”

“Bii—.”

“Nama saya Puspa—, Puspaningrum,” putus Puspa menyela. “Saya tidak akan mengganggu hidup Pak Arya, saya tahu dimana batas saya berada.” Puspa mendominasi, sekuat tenaga mencoba menunjukan betapa dia tidak memiliki maksud terselubung dalam pertemuan ini. Tidak ada lagi yang Puspa harapkan dari seorang Arya Adiputra.

“Aku tidak sedikitpun merasa terganggu, aku—.”

“Saya harus pergi,” putus Puspa sekali lagi sambil berdiri. “Bisa Bapak bukakan pintu untuk saya keluar?”

“Bisa kamu tidak memutus kalimatku, Bii? Dan aku memohon kepadamu untuk tetap duduk, bisa?” Pinta Arya yang lebih layak disebut tuntutan.

Kali ini mata mereka kembali saling tertaut setelah sekian purnama. Puspa menguatkan hatinya untuk menelisik ke arah bola mata yang dulunya dekat namun kini terasa asing. Tak ada lagi perasaan memiliki seperti sebelumnya. Karena bagi Puspa, Arya-nya sudah mati.

“Maaf saya harus bekerja.” Puspa membawa langkahnya ke arah pintu keluar dan semakin mempercepat ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat.

Puspa merasakan tubuhnya ditarik dan dipaksa menghadap ke arah objek yang paling ingin ia hindari. Arya memojokan tubuh Puspa ke pintu. Laki-laki itu kini berjarak sejengkal tepat di depan tubuh Puspa yang membeku.

Puspa memilih mengalihkan tatapannya ketika seakan kembali terperangkap ke dalam manik mata Arya yang memunculkan ribuan kenangan manis mereka berdua —dulu. Mereka berdiri dengan jarak yang begitu dekat, dengan nafas yang saling menderu hebat. “Biarkan —saya, pergi,” mohon Puspa.

Arya meletakan kedua tangannya di samping kanan dan kiri tubuh Puspa. Terdengar jelas tarikan nafas Arya saat mencoba mengatur deru nafasnya sendiri. “Apakah kamu bisa mendengarkanku?” tanya Arya setelahnya.

“Tidak.”

“Kenapa?”

Kenapa? Puspa benar-benar tertarik dengan pertanyaan itu. “Itu adalah pertanyaan yang saya simpan sejak dulu lalu menguap dengan sendirinya karena tak kunjung terjawab.”

“Maksudnya?” tanya Arya tidak paham.

“Kenapa?” ulang Puspa.

“Kenapa apa?”

“Kenapa Pak Arya tidak bisa mendengar permohonan saya untuk tetap tinggal?” tanya Puspa tegas, tepat ke manik mata laki-laki itu. Ngocoks.com

Arya terbungkam! Tak mampu menjawab pertanyaan Puspa yang memukul telak dirinya.

“Maaf Pak Arya, bapak lima menit lagi ada rapat direksi. Terima kasih.” Suara Mbak Lita melalui intercom memberikan jeda diantara keduanya. Puspa kembali menundukan wajahnya sedangkan Arya masih menautkan bola matanya ke arah Puspa. Laki-laki itu terlihat marah, sangat marah untuk alasan yang tidak Puspa ketahui.

“Aku minta maaf,” ucapnya lirih. Kedua tangannya ia tarik kembali sejajar dengan tubuhnya

“Saya mohon untuk membuka kunci pintu.”

“Aku meminta maaf, Bii.”

“Puspa.”

“Yaa Puspa! I already said sorry.”

“Saya tidak bisa memaafkan Bapak. Lebih baik seperti itu, kita tak lagi perlu saling mengungkit masa lalu. Semuanya sudah selesai.”

Beep

“Maaf Pak Arya, sudah waktunya rapat direksi. Bapak sudah ditunggu.”

Kedua tangan Arya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Bibir laki-laki itu mengatup tipis dengan rahang keras menahan emosi. Berbeda dengan Puspa, bibir wanita itu bergetar dengan kedua tangan saling meremas karena takut. Sebuah respon tubuh yang tertangkap mata Arya dengan jelas.

“Pergilah.”

Arya berjalan mendekat ke arah mejanya lalu sedetik kemudian bunyi kunci pintu terbuka. Puspa bergegas keluar dari ruangan yang menyesakkan ini, berjalan cepat ke arah lift yang bisa membawanya menjauh dari Arya. Lift berdenting di lantai empat, Puspa masuk ke dalam toilet dan kembali memeluk tubuhnya sendiri disana.

Semuanya akan baik-baik saja.

Semuanya akan baik-baik saja.

Berulang kali ia mengucapkan kalimat positif untuk dirinya sendiri sambil mengantuk-antukan kepalanya ke tembok toilet yang dingin. Ia berharap masalah dan kesakitan yang ada di otaknya menghilang, bersamaan dengan benturan di kepalanya yang menyakitkan.

Jauh di dalam lubuk hati Puspa bertanya, kapan penderitaannya berakhir?

***

“Apa ini?”

“Hot coffe latte.”

“Untuk?”

“Buat lo.”

“Oh.”

“Sebagai ucapan terima kasih karena sudah nolongin gue waktu motor gue mogok dan karena udah nganterin gue pulang.”

Laki-laki itu menaikan kedua alisnya yang tebal dengan mimik wajah meremehkan. Padahal tangannya mengambil satu cup kopi yang tadi disodorkan Puspa di mejanya. “Cuma dapet ini doang?” tanya Raka.

“Ck, jangan ngelunjak.”

Puspa berjalan memasuki kubikelnya sendiri, meletakan tas lalu duduk dengan anggun seperti tidak terjadi apa-apa di sekian menit kehidupan sebelumnya.

“Traktir gue makan siang,” pinta Raka. Laki-laki itu meletakan kepalanya di pembatas kubikel diantara keduanya. Wajahnya menunjukan sebuah permohonan yang sangat kentara.

“Gue sibuk,” jawab Puspa.

“Habis pulang kerja aja berarti.”

“Gue nggak biasa makan malam.”

“Kita cari cemilan sehat aja kalau gitu.”

“Raka …” panggil Puspa dengan nada memanjang di bagian akhir.

“Iya, Puspa …” jawab Raka dengan nada yang sama.

Raka membawa tangannya mendekat ke wajah Puspa, sesuatu yang memaksa Puspa untuk memundurkan tubuhnya ketika daerah teritorialnya terganggu. Tapi seakan tak mau berhenti, Raka tetap mendekatkan jari telunjuknya ke ujung bibir Puspa lalu menariknya ke atas. “Sumpah lo kalau senyum cantik banget.”

“Bangke!”

“Bhahaha, serius sumpah!”

“Mau apa sih lo muji-muji gue gitu?”

“Makan siang atau makan malam semuanya gue suka.”

“Gue—.”

“Oke makan siang aja ya? Deket-deket kantor, di deket sini ada tempat makan nasi padang murah meriah enak banget. Ntar gue kasih tahu tempatnya.” Raka mengucap kalimat panjang lebar itu sambil menarik tubuhnya.

Puspa hanya bisa menggeleng menanggapi tingkah Raka yang menyebalkan. “Raka sialan.”

“Gue dengeer,” teriak Raka dari dalam kubikelnya.

Puspa tahu, dia sengaja mengatakan itu agar Raka mendengarnya. Puspa kembali mendudukan tubuhnya dan terkesiap ketika melihat wajahnya yang terpantul dari kaca kecil di meja. Sebuah senyum yang jarangPuspa lihat dalam kesehariannya.

Bersambung…

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
ABG Berlanjut Bersambung Cantik Kenangan Kenikmatan Mesum Novel Pacar Romantis Ternikmat Umum
Share. Twitter Telegram WhatsApp Email Copy Link
Previous ArticleBudak Seks
ceritasex

    Ngocoks adalah situs dewasa yang berisi kumpulan cerita sex tergres yang di update setiap hari. Jangan lupa bookmark situs ini biar tidak ketinggalan cerita dewasa lainnya, -terima kasih.

    Related Post

    9.0

    Budak Seks

    9.5

    Sebuah Jimat (Amulet)

    9.3

    Monster Kraken

    9.0

    Nona Majikan dan Temannya

    9.5

    Malapetaka KKN

    9.0

    Perempuan Polos Berjilbab

    Follow Facebook

    Recent Post

    Kamu yang Kusebut Rumah

    Budak Seks

    Sebuah Jimat (Amulet)

    Monster Kraken

    Nona Majikan dan Temannya

    Malapetaka KKN

    Perempuan Polos Berjilbab

    Pubertas Dini

    Sang Penakluk Akhwat

    Pistol Hipnotis

    Kategori

    Terekspos

    Ngocoks.com adalah situs dewasa berisi kumpulan cerita sex, cerita dewasa, cerita ngentot dengan berbagai kategori seperti perselingkuhan, perkosaan, sedarah, abg, tante, janda dan masih banyak lainnya yang dikemas dengan rapi dan menarik.

     

    ✓ Update Cerita Sex Setiap Hari
    ✓ Cerita Sex Berbagai Kategori
    ✓ 100% Kualitas Cerita Premium
    ✓ Semua Konten Gratis dengan Kualitas Terbaik
    ✓ Semua Konten Yang Diupload Dipilih & Hanya Update Konten Berkualitas

     

    Cara Akses Situs Ngocoks

    Akses menggunakan VPN atau kamu bisa juga akses situs Ngocoks ini tanpa VPN yang beralamat ngocoks.com kalau susah diingat, Silahkan kamu buka saja Google.com.sg Lalu ketikan tulisan ini ngocoks.com, terus klik halaman/link paling atas situs NGOCOKS no 1 di Google. Selamat Membaca!


     

    Indonesian Porn Fetish Sites | Indonesian Porn List | Ulasan Bokep Indonesia

    © 2025 Ngocoks - Support by Google Inc.
    • Warning!
    • Iklan
    • Privacy Policy
    • Kirim Cerita Sex
    • Channel Telegram

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.