Close Menu
Cerita SexCerita Sex
  • Warning!
  • Contact Us
  • Privacy Policy
  • Kirim Cerita Sex
  • Join Telegram
  • Video Bokep
  • Foto Bugil
  • Jav Sub Indo
X (Twitter) WhatsApp Telegram
Cerita SexCerita Sex
  • Contact
  • Warning!
  • Privacy
  • Kirim Cerita
  • ThePornDude
  • Bokep
Cerita SexCerita Sex
Home»Novel»Kamu yang Kusebut Rumah

Kamu yang Kusebut Rumah

Share Twitter Telegram WhatsApp Copy Link

Flashback

Seorang gadis berusia remaja terduduk lemas di balik pintu kamarnya yang sempit. Gadis itu masih mengenakan seragam SMA. Ia menutup kedua telinganya ketika suara-suara teriakan di luar tak kunjung berhenti.

“Kenapa kamu selalu menuntutku? Aku capek!”

“Kamu nggak pernah ngertiin aku, Mas!”

“Aku kerja dapat gaji segitu kamu pun tahu, lalu kamu minta apa? Aku sudah ngasih semuanya ke kamu.”

“Tapi itu tidak cukup! Aku sudah bantu ikut jualan, aku sudah ngurus rumah dan kenapa semua kekurangan kamu bebankan ke aku? Biaya sekolah mahal, semua kebutuhan pokok pun juga tidak murah!”

Praaang.

“Aku capek sama kamu!”

“Aku lebih capek, Mas.”

Brak.

Suara pintu ditutup keras menghentikan drama sore ini. Suara teriakan itu berhenti, berganti isakan tangis ibunya yang terdengar lirih. Puspa masih duduk di tempat yang sama dengan tatapan mata gamang dan tubuh yang tak bergerak sedikitpun. Hampir setiap hari suara pertengkaran kedua orangtuanya menghiasi kehidupan Puspa remaja. Gadis yang seharusnya tumbuh dengan kasih sayang terpaksa melihat bagaimana kedua orangtuanya yang hidup untuk saling membenci.

Puspa mendekat ke arah ibunya yang duduk lemas di ruang tengah rumah kecil mereka. Beberapa kali ia menemukan tatapan penuh selidik dari beberapa tetangga yang lewat di depan rumah, entah memang benar-benar lewat atau hanya sekedar ingin tahu. “Bu,” panggil Puspa.

“Bapakmu Ningruum, Bapakmu.”

Puspa duduk di samping ibunya yang menangis. Puspa bingung, apa yang harus ia lakukan? Lama mereka hanya duduk berdua dalam diam, tak ada pergerakan. Puspa duduk di sana sampai tangis ibunya mereda lalu kembali ke kamarnya seperti biasa. Jika pondasinya saja rapuh, kemana Puspa harus mencari perlindungan?

***

“Aw!”

Puspa merasa pusing saat sebuah bola basket terlempar tepat mengenai kepalanya. Wanita itu terjatuh hingga tersungkur karena lemparan yang cukup keras. Beberapa manusia di sana melihat ke arah Puspa kasihan tapi tak ada yang berniat membantu.

“Hey, kamu baik-baik saja?” Seorang mahasiswa laki-laki berpakaian olahraga mendekat. Ia duduk berjongkok di dekat Puspa sambil membantu wanita itu berdiri.

“Saya baik,” jawab Puspa cepat. Ia segera berdiri dan berlari menghindari laki-laki itu meskipun dengan kesakitan karena sikunya yang berdarah terkena batu kerikil.

Dalam langkahnya, Puspa menoleh sekilas untuk melihat ke arah laki-laki itu lagi. Terkesiap, Puspa memutar kepalanya cepat ketika masih menemukan laki-laki itu menatap ke arahnya. Ia bergegas mencari unit kesehatan di kampusnya. Lukanya harus segera dibersihkan agar tidak terinfeksi. “Apa aku boleh meminta obat untuk membersihkan luka ini?” tanyanya ke arah petugas yang sedang berjaga.

Kampus Puspa memiliki satu unit kesehatan yang memiliki bilik-bilik dengan ranjang kecil. Biasanya untuk kasus-kasus sederhana bisa dibantu ditangani di sini atau hanya sekedar untuk penanganan pertama.

Petugas wanita itu menyerahkan satu flabot cairan NaCl dan kasa bersih ke arah Puspa. “Mau dibantu?”

“Tidak perlu,” jawab Puspa tidak mau merepotkan.

Ia masuk ke dalam bilik paling ujung dan mendudukan tubuhnya di ranjang kecil beralaskan kain putih. Puspa membuka cairan NaCl dan menuangkan di tempat yang sudah disediakan. Dengan cukup kesulitan Puspa membersihkan sedikit demi sedikit luka yang ada di sikunya. Sesekali ia terlihat meringis saat kulitnya terasa perih.

“Kamu tidak akan bisa membersihkan lukamu seorang diri.” Laki-laki yang Puspa kenali sebagai orang yang menolongnya berdiri, pun juga kemungkinan besar adalah orang yang mengakibatkan luka itu ada, berjalan mendekat ke arah Puspa. Ia menarik tangan Puspa dan berniat membantu membersihkan lukanya.

“Aku bisa melakukannya sendiri.”

Kalimat Puspa mengudara tanpa balasan. Laki-laki itu tetap mengambil kasa bersih lalu membersihkan siku Puspa yang terluka. “Sakit?” tanyanya.

“Tidak … aw aw.” Puspa meringis saat laki-laki itu sedikit menekan lukanya dengan sengaja.

“Kalau sakit bilang sakit,” ucap laki-laki itu tanpa melihat ke arah Puspa.

Puspa tidak menjawab, membiarkan laki-laki itu melanjutkan kegiatannya membersihkan luka di tangannya. Dari tempatnya duduk Puspa bisa melihat bulu mata laki-laki itu yang lentik, hidung mancung dan rambut yang sedikit ikal di ujung dengan aroma parfum musk yang terkesan mahal.

“Siapa namamu?” tanya laki-laki itu tiba-tiba dan masih tidak mengalihkan objek yang ia tekuni. “Apa kamu bisu?” tanyanya lagi saat menyadari Puspa tidak menjawab pertanyaannya.

“Puspa,” jawab Puspa akhirnya.

“Fakultas?”

“Aku rasa lukaku sudah cukup bersih.” Puspa menarik tangannya tapi kembali tertahan. Laki-laki itu kembali menahan tangan Puspa untuk tetap berada pada tempatnya.

“Kamu dari fakultas mana?” tanya laki-laki itu sekali lagi. Kali ini dengan mata yang beralih menatap ke arah Puspa sebentar lalu kembali fokus ke arah luka.

“Psikologi.”

Laki-laki itu tak merespon lalu membuang beberapa kasa kotor ke tempat sampah. “Sudah bersih.”

“Terima kasih.”

“Kamu tidak bertanya namaku?” tanya laki-laki itu menghentikan langkah Puspa yang hendak keluar bilik. Laki-laki itu berdiri dengan elegan di ujung ranjang, masih ada keringat tipis yang menambah kesan maskulin di tubuh liatnya.

“Untuk apa?”

Laki-laki itu mengedikan bahu. “Aku tidak tahu, biasanya orang lain melakukan itu.”

Puspa malas menanggapi, ia berniat untuk melanjutkan langkahnya yang sempat tertahan.

“Namaku Arya,” ucap laki-laki itu lagi.

“Terima kasih, Arya.”

“See you soon, Puspa.”

Puspa mengabaikan kalimat Arya, bagaimana bisa laki-laki itu mengatakan dengan jelas seakan mereka akan kembali bertemu suatu saat nanti. Tak mau ambil pusing, Puspa melanjutkan langkahnya ke ruangan yang ingin ia tuju sebelumnya.

Beberapa hari berikutnya berjalan seperti biasa. Puspa belajar lalu pulang dan berdiam diri di kamar. Tidak ada interaksi berarti di rumahnya. Ibunya selalu sibuk bekerja sedangkan ayahnya kini sudah menikah lagi setelah satu tahun perceraian. Kedua orangtua Puspa bercerai saat ia masih SMA. Puspa memilih tinggal bersama ibunya karena tidak mau mengikuti ayahnya yang berpindah kota dan sering berpergian karena pekerjaan.

Sore ini, langit mulai gelap. Puspa mendesah sebal ketika sekali lagi ia harus ketinggalan bis-nya di jam kritis. Belum tentu ada lagi bis yang sejalan ke arah rumahnya lewat di jam enam sore. Pilihan terakhir dia harus naik ojek yang akan menguras kantongnya cukup banyak. “Huft,” gusar Puspa untuk dirinya sendiri.

Sebuah mobil yang cukup mencolok berhenti tepat di depan Puspa. Pintu terbuka dan seorang laki-laki yang bisa ia kenali adalah laki-laki yang membantunya membersihkan lukanya kini berjalan mendekat dengan setelan rapi. Sweater dan celana bahan slim fit melekat di tubuhnya. “Aku anter pulang, boleh?” Arya menawarkan.

“Rumahku jauh.”

“Aku bawa mobil, jarak jauh pun bukan masalah.”

“Maaf, tapi aku tidak bisa.”

Arya terlihat berfikir sebentar, matanya memicing dengan bibir yang ia gigit kecil. Merayu gadis di hadapannya sepertinya tidak akan mudah seperti biasanya. “Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih untukku yang sudah membantu merawat lukamu.”

“Aku tidak pernah memintamu untuk membantuku.”

“Puspa.”

“Aku tidak bisa.”

“Kenapa kamu terlihat menghindariku? Apa ada yang salah denganku?” tanya Arya dengan kedua tangan terbuka lebar. Ia melihat ke arah dirinya sendiri yang terlihat biasa-biasa saja. Tidak ada yang salah dalam diri Arya, lalu kenapa Puspa seakan melihatnya seperti orang jahat yang bisa menyakitinya kapan saja?

Puspa hanya menatap laki-laki itu sekilas lalu berniat pergi. Puspa tidak sedikitpun berniat dengan segala jenis hubungan antar manusia selain keluarga terdekatnya, itu pun jarang. Ada terlalu banyak rasa kecewa yang cukup ia jadikan alasan untuk menghindari interaksi rumit antar manusia. Dia kecewa dan terlalu banyak sumber kekecewaan pada dirinya untuk orang lain. Puspa hanya ingin menyimpannya seorang diri. “Aku tidak bisa.” Puspa hanya bisa mengulang jawaban.

“Setidaknya beri kesempatan untukku mengantarkanmu pulang, sekali saja. Lagipula tidak baik jika seorang perempuan pulang malam sendirian pakai ojek. Bagaimana kalau driver-nya jahat?”

“Bagaimana kalau kamu jahat?”

“Kamu bisa membuktikannya dan aku pastikan tidak ada niatan jahat di otakku.”

“Arya …”

Arya tersenyum saat Puspa menyebut namanya untuk pertama kali, sebuah kemajuan menurutnya. Entah kenapa Arya suka dengan suara Puspa saat memanggil namanya. “Ya?”

“Saya ti—.”

“Aku memaksa, masuk ke mobil dengan atau tanpa paksaan, Puspa,” ancam Arya akhirnya. Dia tidak akan membiarkan kesempatan ini terbuang begitu saja. Sebuah kebetulan ia kembali menemukan Puspa di halte saat hendak pulang ke rumah. Seorang wanita yang ia cari selama seminggu belakangan ini. Seorang wanita yang lebih banyak bersembunyi karena Arya hampir saja menyerah mencarinya.

Tak mau memperkeruh suasana, Puspa mengikuti kemauan Arya. Jika dilihat dari penampilannya tentu Arya bukan seperti orang jahat. Lagipula apa yang hendak dicari dari seorang gadis miskin pendiam seperti dirinya? Hanya ada uang lima puluh ribu di dompetnya, nominal yang tidak mungkin cukup hanya sekedar untuk membeli baju Arya.

Laki-laki itu tersenyum puas saat melihat Puspa masuk ke dapam mobilnya dengan suka rela. “Mau makan dulu?” tanya Arya setelah mereka berdua ada di dalam mobil.

“Kamu janji mengantarkanku pulang, hanya pulang.”

“Oke,” jawab Arya menghela nafas kecewa.Dia berharap rumah Puspa jauh agar bisa memberinya waktu sedikit lebih lama untuk berdekatan dengan wanita itu.

Jakarta diguyur hujan sejak dini hari, suasana yang memunculkan dingin dan asing untuk setiap penghuninya. Biasanya Jakarta panas, tak seperti sekarang yang basah dimana-mana. Puspa mendudukan tubuhnya di kursi kayu usang balkon terbengkalai yang sering ia jadikan sebagai tempat pelarian. Matanya tak pernah puas menikmati suasana jalanan kota Jakarta dari titik ini. Terlebih hujan masih mengguyur deras. Puspa sangat menyukai hujan dan suasana setelahnya.

Sebuah tempat makan berwarna abu-abu dengan isi dua roti bakar selai strawberry terletak di samping kanan Puspa. Satu cup es kopi dingin tak lupa menemani paginya. Perusahaan tempatnya bekerja memberikan kelonggaran karyawan untuk mendapatkan sarapan terlebih dahulu. Lamanya perjalanan di Jakarta menjadi alasan kenapa peraturan perusahaan memberikan kelonggaran jam mulai bekerja.

Puspa membuka kotak makan dan memulai sarapannya. Di gigitan pertama roti bakar miliknya, Puspa merasakan kehadiran seseorang selain dirinya di tempat ini. Tak perlu memutar tubuh untuk mengetahui siapa yang datang karena aroma parfum musk yang sudah ia kenali mampu memberikan jawaban.

Laki-laki itu mendudukan tubuhnya di ujung kanan kursi kayu yang kosong tanpa permisi. Ia meletakan satu cup teh panas dengan tali saringan yang menggantung —seperti dulu, Puspa suka es kopi dan Arya menyukai teh hangat. Tidak perlu bertanya darimana Arya tahu Puspa ada di sini. Perusahaan ini miliknya, ada dalam kekuasaannya. Mereka dipisahkan jarak diantara tempat makan dan dua cup minuman. Gemericik air menjadi suara yang paling dominan disini.

“Bagaimana kabar Bapak dan Ibu?” tanya Arya memecah sepi.

Puspa enggan menjawab, ia lebih memilih untuk segera menghabiskan roti bakar miliknya dan pergi.

“Bapak sama Ibu sehat kan?” tanya Arya tak mau berhenti.

“Aku ke Peninggaran (rumah Puspa dulu), tapi kata tetangga kalian sudah menjual rumah dan pindah.”

Hening kembali menjeda ketika kalimat Arya tak berbalas. Puspa mengunci mulutnya rapat dengan tatapan mata menaut ke arah hujan yang deras.

“Masih suka hujan?” tanya Arya lagi. “Masih suka es kopi di saat hujan, kamu tidak berubah, Bii,” ucapnya sambil tersenyum tipis ke arah Puspa. Laki-laki itu memanfaatkan kebisuan Puspa untuk mengamati garis wajah wanita yang tak pernah berubah di hadapannya. Sudah lebih dari lima tahun tapi Puspa masih sama, masih cantik untuk seorang Arya.

Tanpa permisi Arya mengambil satu tangkup roti bakar milik Puspa dan memasukan ke mulutnya. Hanya satu gigitan tapi ribuan kenangan mereka dulu saling berlomba mencuri perhatian. Kenangan yang mampu menghangatkan dalam dinginnya pagi tapi tiba-tiba mencekat ketika kenyataannya kini mereka tak lagi dekat. “Enak,” puji Arya yang sia-sia karena Puspa masih tetap sama.

Tangan Puspa mengambil cup miliknya dan memilih untuk meninggalkan Arya dalam kesepian. Sayangnya, satu-satunya jalan untuk pergi dari tempatnya harus melalui sisi depan Arya yang kosong. Puspa berfikir sebentar lalu memutuskan untuk tetap melangkah ketika tidak ada pilihan lain.

“Bii.” Arya menahan tangan Puspa yang bebas, menggenggamnya sekilas.

Sentuhan fisik pertama kali setelah lima tahun perpisahan membuat setiap nadi di dalam tubuh Puspa menegang. Kulit itu terasa dingin dan asing, sesuatu yang menciptakan desir hebat di hati Puspa yang terbiasa kosong tak ada rasa dan warna.

“Aku mohon untuk tetap seperti ini.”

Puspa mengingat permohonannya dulu yang selalu terabaikan. Ia mengingat dengan sangat detail bagaimana perasaannya dulu saat Arya menolak permintaannya untuk kembali. “Bapak sangat paham semua ini adalah kesalahan.”

Arya meletakan kepalanya di tangan Puspa yang menggantung. Sepersekian detik Puspa merasakan kesedihan Arya yang sampai ke hatinya. Lalu tiba-tiba ingatan Puspa kembali tersentak ketika rasa sakitnya ditinggalkan kembali muncul. Arya tidak mencintainya lagi.

“Tidak ada yang salah jika itu tentangmu, Bii. Tentang kita,” jawab Arya tanpa melepaskan genggamannya. Ngocoks.com

“Bapak sudah —menikah.” Puspa tercekat dengan fakta itu.

Semua sudah berbeda, Arya tak lagi milik Puspa begitu sebaliknya. Dia tidak mau mengusik pernikahan laki-laki itu. Puspa melepaskan tangannya dari genggaman Arya dengan mudah. Seperti itulah laki-laki itu saat melepaskannya dulu, tanpa kata, tanpa penjelasan, Puspa pergi meninggalkan Arya dengan perasaannya sendiri.

Sepanjang perjalanan ke ruangan, hati Puspa tak pernah berhenti berdesir hebat. Efek Arya masih begitu kuat untuk seorang Puspa. Arya adalah cinta pertama Puspa setelah ayahnya, laki-laki yang mematahkan sayapnya, setelah ayahnya juga melakukan hal yang sama. Ia berjalan ke arah kubikel karena waktu sarapan seharusnya sudah selesai. Jika dia terlalu lama, kemungkinan besar ia pasti akan mendapatkan teguran dari Mbak Dwi. Seperti kemarin ketika tragedi menumpahkan kopi ke anak pemilik perusahaan yang memaksa Puspa untuk memulai pekerjaannya sedikit terlambat.

Bola mata Puspa menemukan kehampaan saat melihat kubikel di sisinya yang tak berpenghuni. Ia ingin bertanya kepada teman-teman lainnya karena laki-laki itu jarang terlambat, tapi urung. Tidak ada yang perlu mendapat perhatian lebih termasuk Raka.

“Ada update terbaru ya gais, ini sudah ada rancangan penerimaan karyawan baru. Sepertinya perusahaan benar-benar concern dalam pembangunan pabrik di Cikarang.” Mbak Dwi datang dengan segepok berkas perencanaan rekruitment karyawan.

“Kapan, Mbak?” tanya si rambut kontras yang Puspa ketahui biasa dipanggil Ciput. Kata Raka nama aslinya adalah Putri sedangkan Ciput adalah nama kerennya saja.

“Bulan depan. Akan ada rekruitment di luar kota, mungkin ada yang berniat mendaftarkan diri buat dinas luar nih?”

“Kemana aja?” tanya Laila, dia adalah salah satu karyawan yang hampir mirip dengan Puspa, pendiam. Duduk di paling ujung dekat jendela kaca.

“Jogja, Bandung sama Malang.”

“Wah gue mau yang di Malang.”

“Gue mau yang di Jogja, biar sekalian jalan-jalan.”

Banyak anak-anak yang mendaftarkan diri untuk bisa ikut gabung dinas luar. Karena bisa sekalian jalan-jalan pun juga uang ekstra-nya yang lumayan.

“Puspa mau coba ikut daftar?” tanya Mbak Dwi.

Puspa menggeleng, tempat baru dengan teman-teman dan orang baru bukan menjadi pilihan yang terbaik untuk dirinya saat ini.

“Oke, fiks ya, udah gue list nih,” tanting Mba Dwi.

“Sudah, Mba,” jawab anak-anak serentak.

Puspa mendekati Mba Dwi yang sibuk menulis beberapa pendaftar di mejanya plus kota yang diinginkan. “Raka kemana, Mbak?” tanya Puspa ingin tahu.

“Tadi pagi tiba-tiba izin lagi sakit katanya.”

“Oh,” jawab Puspa singkat.

Raka sakit? Batinnya dalam hati.

“Gimana, Puspa?” tanya Mba Dwi memastikan.

“Nggak apa-apa, Mbak. Cuma nanya aja.” Puspa melanjutkan aktivitas pekerjaannya. Ia mengambil ponsel dan merasa sulit menahan rasa ingin tahunya.

Me :
Lo sakit?

Lama pesan itu tak berbalas. Puspa mengabaikan dengan menyibukan diri dalam pekerjaannya yang menggunung di awal minggu. Beberapa menit tidak terdengar ada balasan, hingga Puspa tertarik untuk kembali mengambil ponsel dan mengecek notifikasinya lalu mendesah pelan saat tak menemukan apa-apa di sana.

“Huft.”

Beep.

Raka :
Iya.

Me :
Sakit apa?

Raka :
Kalau mau tahu dateng aja jengukin gue.

Me :
Dih! Ogah, ngarep lo.

Raka :
Emang! Peka dikit dong.

Puspa tak lagi membalas pesan Raka. Memilih untuk membiarkan dan kembali berkutat dengan beberapa berkas laporan yang harus ia selesaikan hari ini. Tidak ada yang salah jika itu tentangmu, Bii. Tentang kita.

Kenapa kalimat ini terus terulang-ulang di dalam otaknya?

Bersambung…

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
ABG Berlanjut Bersambung Cantik Kenangan Kenikmatan Mesum Novel Pacar Romantis Ternikmat Umum
Share. Twitter Telegram WhatsApp Email Copy Link
Previous ArticleBudak Seks
ceritasex

    Ngocoks adalah situs dewasa yang berisi kumpulan cerita sex tergres yang di update setiap hari. Jangan lupa bookmark situs ini biar tidak ketinggalan cerita dewasa lainnya, -terima kasih.

    Related Post

    9.0

    Budak Seks

    9.5

    Sebuah Jimat (Amulet)

    9.3

    Monster Kraken

    9.0

    Nona Majikan dan Temannya

    9.5

    Malapetaka KKN

    9.0

    Perempuan Polos Berjilbab

    Follow Facebook

    Recent Post

    Kamu yang Kusebut Rumah

    Budak Seks

    Sebuah Jimat (Amulet)

    Monster Kraken

    Nona Majikan dan Temannya

    Malapetaka KKN

    Perempuan Polos Berjilbab

    Pubertas Dini

    Sang Penakluk Akhwat

    Pistol Hipnotis

    Kategori

    Terekspos

    Ngocoks.com adalah situs dewasa berisi kumpulan cerita sex, cerita dewasa, cerita ngentot dengan berbagai kategori seperti perselingkuhan, perkosaan, sedarah, abg, tante, janda dan masih banyak lainnya yang dikemas dengan rapi dan menarik.

     

    ✓ Update Cerita Sex Setiap Hari
    ✓ Cerita Sex Berbagai Kategori
    ✓ 100% Kualitas Cerita Premium
    ✓ Semua Konten Gratis dengan Kualitas Terbaik
    ✓ Semua Konten Yang Diupload Dipilih & Hanya Update Konten Berkualitas

     

    Cara Akses Situs Ngocoks

    Akses menggunakan VPN atau kamu bisa juga akses situs Ngocoks ini tanpa VPN yang beralamat ngocoks.com kalau susah diingat, Silahkan kamu buka saja Google.com.sg Lalu ketikan tulisan ini ngocoks.com, terus klik halaman/link paling atas situs NGOCOKS no 1 di Google. Selamat Membaca!


     

    Indonesian Porn Fetish Sites | Indonesian Porn List | Ulasan Bokep Indonesia

    © 2025 Ngocoks - Support by Google Inc.
    • Warning!
    • Iklan
    • Privacy Policy
    • Kirim Cerita Sex
    • Channel Telegram

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.