Close Menu
Cerita SexCerita Sex
  • Warning!
  • Contact Us
  • Privacy Policy
  • Kirim Cerita Sex
  • Join Telegram
  • Video Bokep
  • Foto Bugil
  • Jav Sub Indo
X (Twitter) WhatsApp Telegram
Cerita SexCerita Sex
  • Contact
  • Warning!
  • Privacy
  • Kirim Cerita
  • ThePornDude
  • Bokep
Cerita SexCerita Sex
Home»Novel»Kamu yang Kusebut Rumah

Kamu yang Kusebut Rumah

Share Twitter Telegram WhatsApp Copy Link

Hujan turun deras. Puspa bermonolog dalam hati ketika sebuah kegundahan hebat sedang melanda. Di sisi lain, Puspa sangat membutuhkan es kopi dingin untuk meningkatkan kadar kafein di dalam darahnya, sedangkan di sisi lainnya dia juga merasa enggan untuk berbasah-basahan di tengah hujan.

Kedai kopi langganannya berada di seberang jalan. Biasanya ia membeli kopi sebelum masuk ke dalam area perusahaan. Tetapi karena waktu absensi sudah sangat mepet, Puspa terpaksa masuk terlebih dahulu untuk absen atau gajinya akan terpotong bulan ini.

Puspa hanya berdiri bimbang di sisi kanan pintu masuk bangunan gedung tempat ia bekerja. Puspa terlalu sulit mengambil keputusan hanya untuk sekedar membeli kopi atau tidak. Dinginnya air hujan yang kemungkinan besar akan membasahi pakaiannya pasti menyiksa pekerjaan Puspa yang berada di bawah pendingin ruangan.

“Ash!” Cipratan air dari sebuah mobil sedan mewah yang berhenti di depan lobby memaksa Puspa untuk memundurkan tubuhnya.

“Mama.”

Suara anak kecil yang bisa Puspa kenali mampu mencuri perhatian manik mata wanita itu. Puspa melihat ke arah seorang wanita cantik yang keluar dari dalam mobil. Wanita berparas blasteran dengan rambut coklat yang tergerai indah. Kulit putih bersih terawat dengan benda-benda yang jelas mahal melekat di tubuhnya. Semua orang termasuk Pak Satpam yang biasa membantu Puspa menunduk hormat ke arah wanita itu.

Jelas wanita itu bukan sembarang orang di perusahaan ini.

“Mama aku mau pergi ke rumah Grandpa.” Tubuh mungil yang beberapa hari lalu ia tumpahi es kopi miliknya sedang bergelayut manja di dalam pelukan wanita itu. “Mamaaa.”

“Ya sayang,” jawab wanita itu lembut.

“Axel mau ke rumah Grandpa,” rengek anak laki-laki itu lagi.

“Nanti, setelah kita mengantar sarapan ini ke Papa ya,” jawab wanita itu sambil menunjukan kotak makan yang ia bawa di tangan kanannya.

Puspa yakin wanita itu adalah istri Arya. Ia menelisik setiap detail pahatan nyaris sempurna di hadapannya. Bibir tipis dengan senyum menawan dan mata indah. Wanita itu seperti kelopak bunga yang sedang mekar, terlalu mudah untuk dikagumi keindahannya.

Sangat sempurna. Batin Puspa.

Puspa melihat ke arah pantulan dirinya sendiri, tidak ada yang menarik. Seorang wanita cupu pendiam dan berpenampilan biasa saja. Wajar jika Arya memilih wanita itu sebagai pendamping hidup. Tentu saja! Semua orang akan mencari kesempurnaan untuk sebuah keseriusan.

Dan Puspa hanyalah kesekian pilihan yang cukup mudah untuk Arya abaikan. Rasanya sakit, tapi Puspa sudah terbiasa. Senyum tipis muncul di wajah oval milik wanita itu. Senyum yang sering ia gunakan untuk membentengi dirinya sendiri.

Ia memilih untuk kembali masuk ke dalam bangunan gedung. Ia melupakan keinginannya tentang kopi. Daripada kafein, Puspa lebih membutuhkan kesendirian saat ini. Ia kembali mendudukan tubuhnya di kursi usang tempat yang sama seperti hari sebelumnya.

Seperti biasa, Puspa memilih tempat ini untuk menghabiskan sarapan. Bedanya, bangku sebelah kanannya kosong. Si empunya sudah kembali diambil oleh seseorang yang memang memilikinya secara mutlak.

Ia mengambil satu tangkup roti isi strawberry lalu kembali tercekat ketika dadanya terasa sesak. Sudah bertahun-tahun kepergian Arya dari hidupnya, kenapa efek kehilangan Arya masih sehebat ini? Tak mau berlarut dalam kesedihan, Puspa mengambil ponsel genggamnya lalu menghubungi salah satu nama di kontak. Layar ponsel itu menampilkan nama ‘ibuk’ dan berdering.

Sudah lebih dari lima kali nada memanggil itu terdengar, akan tetapi panggilan Puspa tak kunjung mendapat jawaban.

“Assalamualaikum, Rum.” Akhirnya, panggilan Puspa terjawab dipercobaan kedua.

Nama Puspa adalah Puspaningrum. Ayah dan Ibunya biasa memanggil Puspa dengan panggilan Ningrum. Tetapi sejak sekolah SMA Puspa lebih sering dipanggil dengan penggalan awal namanya. “Walaikumsalam, Bu. Lagi apa?”

“Biasa toh, jualan. Kenapa?”

“Nggak apa-apa, Bu. Ningrum cuma—.”

“Oh, kalau nggak ada apa-apa kenapa telepon to?”

Apakah harus? tanya Puspa dalam hati. Hampir setiap minggu ia menghubungi ibunya, jika sedang beruntung panggilan itu bisa tersambung, tetapi lebih seringnya panggilan Puspa tak berbalas. “Ningrum —kangen,” jawab Puspa dengan kalimat tersendat.

“Oh, sehat kan?” tanya Ibu Puspa.

“Alhamdulillah, ibu dan bapak juga sehat kan?”

“Sehat, sehat.” Panggilan itu terjeda saat kedatangan seseorang yang mengajak ibunya berbincang. “Sudah dulu ya, Nduk. Ibuk mau jualan sudah banyak yang ngantri.”

“Oh ya bu, maaf—.”

“Assalamualaikum, nanti ibuk telepon lagi.”

Puspa yakin kalimat itu hanya akan menjadi janji palsu yang kesekian kalinya. Sejak pernikahan keduanya, Ibu selalu disibukan dengan keluarga barunya. Seperti Bapak dulu saat menikah lagi. Semua orang sudah memiliki keluarganya sendiri, kebahagiaannya sendiri lalu meninggalkan Puspa sendirian.

***

Satu cup es kopi dingin dengan manis berada di meja Puspa.

“Tadi di anter sama OB, katanya buat lo.” Mbak Dwi yang mengamati kebingungan di wajah Puspa berbicara.

“Dari siapa, Mbak?” tanya Puspa.

“Nggak tahu deh. Tadi nggak bilang soalnya,” jawab Mbak Dwi yang diberi anggukan teman-teman lainnya

“Oh,” jawab Puspa singkat. Ia melihat ke arah meja di sampingnya yang kosong seperti kemarin tapi bedanya ada sebuah tas menggantung di kursi. Mungkin, Raka yang membelikannya es kopi.

“Kangen gue lo, Pus?” Suara di balik tubuh Puspa yang membeku mengagetkannya.

Puspa memutar tubuh lalu menemukan Raka yang berdiri tengil seperti biasa. Laki-laki itu mengenakan kemeja biru muda yang dipadukan sweater hangat. Wajahnya terlihat sumringah meskipun ia baru saja izin sakit satu hari yang lalu.

“Kangen gue? Ngeliatin meja gue sampai gitu amat.”

“Dih, nggak!”

“Pus.”

“Gue bukan kucing!” Puspa berlagak marah dan duduk di mejanya sendiri.

“Susah banget milih nama panggilan buat lo!” Raka mengucap kalimat itu dengan santai dan tanpa berniat pergi dari hadapan Puspa. “Gue panggil ‘Pus’ lo bukan kucing, gue panggil ‘Pa’ lo bukan bokap gue.”

“Puspa. Panggil gue Puspa.”

“Terlalu panjang.”

“Ribet deh lo, Ka,” sewot Puspa. Ia sudah menghidupkan PC-nya dan siap untuk bekerja. Tetapi Raka seakan tidak melihat situasi yang sengaja diciptakan Puspa.

“Gue panggil Ningrum aja, gimana?” tawar Raka.

Ningrum pun sebenarnya namanya. Hanya saja, nama itu biasa digunakan untuk orang-orang terdekat termasuk keluarganya. Tapi Raka bukan termasuk didalamnya. “Terserah,” jawab Puspa akhirnya karena enggan berdebat.

“Oke, Rum.” Raka tersenyum puas saat merasa ide-nya terlalu cemerlang. Laki-laki itu duduk di mejanya sendiri sambil bersiul. Seperti Puspa, Raka sedang bersiap untuk bekerja. Raka terpaksa kembali mengalihkan perhatiannya dari komputer saat tiba-tiba kepala Puspa muncul dari balik pembatas ruangan yang tipis.

“Eh, by the way thanks buat es kopi-nya.”

Raka terlihat berpura-pura bingung. “Kopi?”

“Ini.” Puspa menunjukan kopinya dengan wajah tersenyum ceria. Meskipun ngeselin, setidaknya Raka selalu baik kepadanya.

“Gue nggak beliin kopi.”

“Ya ya ya,” jawab Puspa berpura-pura meng-iya-kan jawaban Raka. Laki-laki itu memang hobby-nya bercanda. Ia kembali mendudukan di kursi lalu menyempatkan untuk menyereput kopinya sedikit. “Ck.” Rasanya benar-benar PAS dengan selera Puspa.

Bagaimana Raka bisa tahu takaran kopi yang Puspasuka?

“Sudah klunting gais.” Ciput menunjukan ponselnya ke arah teman-teman satu ruangan dan disambut hiruk pikuk manusia-manusia lainnya.

“Gajian, gajian,” timpal Mbak Dwi dengan wajah sumringah.

Puspa memeriksa ponselnya sendiri dan tersenyum puas saat melihat notifkasi sms banking yang menunjukan nominal gaji masuk. Ia kembali menekuni PC-nya sebelum tiba-tiba Raka berdiri di depan mejanya dengan wajah muram. “Apa?” tanya Puspa dengan kedua alis mengerut. Wanita itu tetap duduk di kursinya tanpa berniat berdiri untuk menyambut Raka.

“Gue lagi ada masalah.”

“Terus? Gue nggak harus terlibat dalam masalah lo,” jawab Puspa kembali menatap ke layar komputer. Ia membenahi kacamata anti radiasi yang bertengger manis di hidung mungilnya.

“Nyokap tahu kalau gue lagi gajian, terus dia nitip dibeliin kencur.”

Puspa melihat ke arah Raka yang masih tetap dengan kurang ajar berdiri di depannya. Untung teman-teman satu ruangan mereka tidak terlalu ahli mencampuri urusan orang lain. Terlebih, mereka semua sedang tekun dengan ponsel mereka masing-masing. Ada yang sedang bayar paylater, ada yang checkout barang dan ada juga yang transfer orangtuanya di desa.

“Puspaningrum,” panggil Raka lagi dengan penekanan.

“Apa sih?”

“Gue nggak tahu mana kencur, temenin gue belanja bareng,” jelas Raka ketika Puspa tak kunjung paham dengan maksud terselubung dalam hati laki-laki itu.

“Lo bisa nanya ke mbak-mbak di supermarket, Raka.”

“Yaa gue lebih nyamannya nanya sama lo. Lo juga butuh belanja bulanan kan?” Tebakan absurd Raka tidak sia-sia karena Puspa mengangguk. Semua orang pasti memikirkan belanja bulanan di hari gajian tiba. “Makanya, sekalian aja kita belanja bareng.”

“Ya udah, tapi—.”

“Gue udah ada plan! Motor lo ditinggal kantor terus lo gue bonceng sekalian gue anter pulang. Supermarketnya yang deket-deket rumah lo aja biar nggak terlalu capek bawa barang belanjaan,” jelas Raka panjang lebar lalu sedetik kemudian dia menyesal. Seharusnya dia tidak boleh terlalu kelihatan mencolok kalau dia sudah memikirkan plan sejak tadi.

“Yaa gue ngikut aja.”

Beruntungnya Raka, Puspa adalah salah satu wanita ter-tidak peka di muka bumi. Raka yakin wanita itu sama sekali tidak tahu maksud terselubung di balik ajakannya belanja bersama. “Oke deal!”

Sore harinya sepulang kerja, Raka benar-benar tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka berdua berjalan bersama dengan satu trolly belanja. Jika boleh Raka menebak, mereka sudah layaknya sepasang suami istri yang sedang belanja bersama sepulang kerja.

“Kenapa lo senyum-senyum sendiri? Nggak gila kan lo?”

“Dih, kagak! Gue lagi seneng aja habis gajian, gue bingung gimana mau ngabisin duit.”

“Sombong!”

“Haha,” tawa Raka lepas.

Mereka berdua sedang berdiri di depan etalase alat mandi dan beberapa pewangi ruangan. Puspa sedang menimbang-nimbang antara dua parfum pewangi ruangan, satu botol berwarna ungu dengan wangi wild flower dan satu lagi berwarna oranye dengan wangi lemon fresh.

“Gue suka yang buah-buahan, lemon gitu,” ucap Raka yang tiba-tiba muncul di sebelah kanan kepala Puspa. Kedekatan asing yang memaksa Puspa untuk menjauhkan tubuhnya dari Raka.

“Ini bukan buat lo.”

“Yaa gue ngasih tahu aja. Siapa tahu besok kalau kita sudah tinggal di atap yang sama lo perlu tahu apa yang gue suka dan apa yang nggak gue suka. Termasuk parfum ruangan,” jawab Raka dengan kedua alis yang sengaja dia naik turunkan. Jangan lupakan senyum tengil yang selalu memaksa bibir Puspa untuk mengikutinya.

“Gue nggak punya duit lebih,” jawab Puspa dengan wajah datar —seperti biasa.

“Maksud lo?” Kenapa Puspa jadi bahas duit?

“Ya siapa tahu lo mau tinggal seatap sama gue buat jadi tukang kebun atau pembantu di rumah gue. Makanya gue kasih tahu, gue nggak punya budget buat itu.”

Raka ternganga, bibirnya terbuka bulat sempurna. Bukan dia terpukau dengan jawaban Puspa yang (sedikit) lucu, tapi laki-laki itu sangat terkejut ketika bagaimana bisa Puspa mengatakan lelucon dengan wajah datar tanpa ekspresi? Raka mendesah tak percaya.

“Kenapa?” tanya Puspa. Dia sedikit ragu dengan jawaban yang sengaja ia timpali untuk mengimbangi Raka.

“Gue kagum, lo pinter banget menyembunyikan ekspresi wajah, Rum.”

Puspa berfikir dengan kedua bola mata yang berada di ujung kiri atas mata belo-nya. “Emang begitu?”

“Ya.”

“Oh,” jawab Puspa kembali dengan ekspresi datar. Puspa membawa trolly mereka berdua ke arah lain, meninggalkan Raka dengan rasa penasarannya.

“Kenapa lo susah banget buat senyum?” tanya Raka tiba-tiba.

“Hidup gue terlalu sulit buat disenyumin,” jawab Puspa singkat. Wanita itu kali ini sedang memperhatikan beberapa merk shampo yang menarik perhatian.

Raka terhenyak, kejadian apa yang membuat seorang wanita semanis Puspa menjadi tak terbaca? Jika dilihat dari cara Puspa menjawab leluconnya, seharusnya Puspa bukanlah wanita se-pendiam itu.

Raka melepaskan segala pemikirannya tentang Puspa ketika merasa tak kunjung menemukan jawaban. Ia memilih pasta gigi dan sikat gigi lalu meletakannya di trolly. Mereka melanjutkan aktivitas belanja lalu sudah berada di parkiran motor ketika senja menjelang.

“Gue laper. Mau sekalian makan nggak?” tanya Raka.

“Gue makan di rumah aja.” Ngocoks.com

“Lo nggak mau nawarin gue makan di rumah lo?” tanya Raka penuh harap.

Puspa hanya menjawab dengan senyuman dan tetap melanjutkan aktivitasnya memakai jaket. Raka tahu, keinginannya kembali pupus.

“Kenapa lo selalu terlihat takut berinteraksi dengan orang? Bahkan waktu ada tawaran buat dinas luar, lo menolak.” Entah kenapa Raka merasa tidak nyaman dengan keingintahuannya. Puspa seorang wanita yang mampu menarik perhatian Raka di kali pertama pertemuan keduanya.

“Buat apa mengenal banyak orang? Ketika gue bisa hidup dengan diri gue sendiri.”

“Lo tetap butuh orang lain.”

“Gue nggak bilang kalau gue nggak butuh orang lain. Gue hanya —nyaman sama diri gue sendiri.”

“Tapi lo tetap butuh bertemu dengan orang baru, mengenal orang baru dan—.”

“Dan masalah baru, sumber rasa sakit baru. Begitu maksud lo?” tanya Puspa menyela.

Raka diam, melihat ke arah Puspa tajam. Dia sempat berfikir seharusnya parkiran motor bukan tempat yang baik untuk membahas perbincangan serumit ini. Tetapi semuanya sudah terlanjur bukan? “Gue … gue juga orang baru. Tapi lo bisa menerima gue buat masuk ke dalam hidup lo.” Raka menuntut penjelasan.

“Lo yang selalu maksa buat masuk ke dalam hidup gue, Raka. Laki-laki selalu seperti itu. Tapi santai, tameng gue udah lebih mumpuni buat masalah-masalah seperti itu,” jawab Puspa. Wanita itu sudah mengenakan jaket dan helmnya lengkap. “Sudah boleh naik?”

“Oh ya, tentu.” Raka sejenak kehilangan logikanya. Ia menyiapkan footstep untuk Puspa naik lalu mempersilahkan wanita itu duduk di belakangnya.

Motor mulai dihidupkan dan mereka berdua meninggalkan parkiran supermarket. Sepanjang perjalanan hanya ada kebisuan. Raka sibuk dengan pemikirannya sendiri sedangkan Puspa sibuk menikmati beberapa tetes gerimis yang mulai datang. Gerimis datang sebelum mereka sampai di rumah Puspa.

“Rumah gue udah deket, nggak usah pakai jas hujan ya?” pinta Puspa.

“Yaa.”

Puspa memang tidak berniat menggunakan jas hujan. Dia ingin menikmati hujan. Puspa melepaskan helmnya, ia mendongak menanti air hujan membasahi kulit wajahnya. Sudah lama wanita itu tidak bermain hujan.

Seperti dulu saat ia masih kecil, saat kedua orangtuanya masih utuh dan saling mencintai. Manusia selalu seperti itu, kehilangan cinta karena waktu. Itulah sebabnya Puspa sama sekali tidak percaya dengan hal itu lagi. Baginya, hidup dengan dirinya sendiri sudah lebih dari sekedar cukup.

Puspa tidak membutuhkan oranglain termasuk Bapak dan Ibunya, termasuk Arya dan juga Raka.

Bersambung…

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
ABG Berlanjut Bersambung Cantik Kenangan Kenikmatan Mesum Novel Pacar Romantis Ternikmat Umum
Share. Twitter Telegram WhatsApp Email Copy Link
Previous ArticleBudak Seks
ceritasex

    Ngocoks adalah situs dewasa yang berisi kumpulan cerita sex tergres yang di update setiap hari. Jangan lupa bookmark situs ini biar tidak ketinggalan cerita dewasa lainnya, -terima kasih.

    Related Post

    9.0

    Budak Seks

    9.5

    Sebuah Jimat (Amulet)

    9.3

    Monster Kraken

    9.0

    Nona Majikan dan Temannya

    9.5

    Malapetaka KKN

    9.0

    Perempuan Polos Berjilbab

    Follow Facebook

    Recent Post

    Kamu yang Kusebut Rumah

    Budak Seks

    Sebuah Jimat (Amulet)

    Monster Kraken

    Nona Majikan dan Temannya

    Malapetaka KKN

    Perempuan Polos Berjilbab

    Pubertas Dini

    Sang Penakluk Akhwat

    Pistol Hipnotis

    Kategori

    Terekspos

    Ngocoks.com adalah situs dewasa berisi kumpulan cerita sex, cerita dewasa, cerita ngentot dengan berbagai kategori seperti perselingkuhan, perkosaan, sedarah, abg, tante, janda dan masih banyak lainnya yang dikemas dengan rapi dan menarik.

     

    ✓ Update Cerita Sex Setiap Hari
    ✓ Cerita Sex Berbagai Kategori
    ✓ 100% Kualitas Cerita Premium
    ✓ Semua Konten Gratis dengan Kualitas Terbaik
    ✓ Semua Konten Yang Diupload Dipilih & Hanya Update Konten Berkualitas

     

    Cara Akses Situs Ngocoks

    Akses menggunakan VPN atau kamu bisa juga akses situs Ngocoks ini tanpa VPN yang beralamat ngocoks.com kalau susah diingat, Silahkan kamu buka saja Google.com.sg Lalu ketikan tulisan ini ngocoks.com, terus klik halaman/link paling atas situs NGOCOKS no 1 di Google. Selamat Membaca!


     

    Indonesian Porn Fetish Sites | Indonesian Porn List | Ulasan Bokep Indonesia

    © 2025 Ngocoks - Support by Google Inc.
    • Warning!
    • Iklan
    • Privacy Policy
    • Kirim Cerita Sex
    • Channel Telegram

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.