Masih Flashback
Hamparan laut dalam gelap malam, hanya ada suara berisik debur ombak yang saling bersahutan. Mata Ivy berlarian mencari sosok yang menjadi alasannya datang ke tempat ini. Sebuah perkemahan yang diadakan oleh teman-teman Arya di kampus. Dan karena sedang tidak ada acara yang ia inginkan di akhir minggu, terpaksa Ivy mengikuti Arya yang memiliki agenda camping bersama teman-temannya.
Ivy mendudukan tubuhnya di kursi samping Arya. Laki-laki yang sedang memetik senar gitar diikuti beberapa teman-teman lainnya bernyanyi.
Arya sangat piawai bermain dengan gitarnya. Sesekali laki-laki itu melihat ke arah Ivy lalu meminta wanita itu untuk ikut bernyanyi bersama.
Beep.
Bii ❤️
Selamat pagi, Bii.
Satu pesan yang terlihat di layar pop up ponsel Arya menarik perhatian Ivy. Ia melihat ke arah laki-laki itu yang masih fokus dengan teman-temannya. Ivy memberanikan diri menekan tombol power agar ponsel itu mati. Ivy tidak suka wanita itu mengganggu kebersamaan mereka.
Ivy tahu tentang seorang wanita dengan nama panggilan ‘Bii’ di layar ponsel Arya. Ia adalah kekasih Arya, mereka sudah memiliki hubungan selama hampir tiga tahun.
Namanya Puspa, seorang wanita yang sedang mengambil gelar sarjana di Universitas yang sama dengan Arya dulu. Darimana Ivy tahu? Tentu saja wanita itu mencari tahu segalanya tentang Arya. Termasuk Puspa dan segala kerumitan hidup di dalamnya.
“Ada apa?” tanya Arya tiba-tiba.
“Nggak apa-apa.”
“Laper?”
Ivy menggeleng.
“Ngantuk?”
Ivy menggeleng sekali lagi.
“Terus?”
“I’m fine. Aku hanya sedang melamun.”
Arya tersenyum, laki-laki itu memusatkan perhatiannya ke arah seorang wanita yang selalu menemaninya akhir-akhir ini. “Aku sudah bilang untuk tidak usah ikut camping. Acara ini sangat bukan ‘kamu’,” ucap Arya.
“Lalu apa yang bisa aku lakukan tanpa kamu di apartement?” tanya Ivy ambigu.
“Kamu bisa nonton ajak teman-temanmu atau shoping? Apapun yang kamu sukai.”
“I don’t have friends,” jawab Ivy. Ia mengambil satu botol minuman yang tidak ia pahami. Tapi tangannya tertahan tangan Arya.
“Ini minuman beralkohol,” larang Arya.
“Aku tidak boleh minum? Usiaku sudah lebih dari dua puluh tahun.”
Arya menggeleng. “Kamu tidak boleh.”
“Please,” mohon Ivy. “Yang penting kita sama-sama tidak mengatakan rahasia ini ke Daddy ku.”
Arya mengambil beberapa botol minuman yang masih penuh di kedua tangannya. “Tidak boleh.”
Laki-laki itu membawa minuman mendekat ke arah teman-temannya. Mereka semua mendapatkan minuman beralkohol kecuali Ivy yang hanya mendapatkan satu botol air mineral. Merasa selalu dianggap anak kecil, Ivy memilih pergi. Arya selalu berlebihan dalam menjaganya.
Ia masuk ke dalam tenda miliknya sendiri lalu menidurkan tubuhnya disana. Otaknya menerawang jauh entah kemana. Hanya ada satu nama di dalam otak wanita cantik itu.
Puspaningrum.
Bagaimana cara Ivy menjauhkan Arya dari wanita itu? Sudah hampir satu tahun Ivy ada di sini dan nama wanita itu tidak bergeser sedikitpun di hati Arya. Bahkan yang Ivy sadari, Arya hanya melihat Ivy sebagai seorang adik kecil yang membutuhkan perlindungan. Tidak lebih. “Brengsek!” umpat Ivy lirih.
Ia memilih untuk mengambil earphone miliknya dan mendengar beberapa lagu kesukaannya.
Wanita itu tertidur dalam waktu yang cukup lama. Ivy mendudukan tubuhnya lalu menggeliat panjang untuk merilekskan tubuhnya yang kaku karena tertidur dalam posisi tengkurap. Ia melihat ke arah jam yang menunjukan pukul dua pagi waktu setempat.
Ivy keluar dan dia mendapati beberapa teman Arya tergeletak di kursi, bahkan sampai tertidur di pasir. Pasti mereka baru saja selesai mabuk-mabukan. Kehidupan luar negeri memang sebebas itu, terlebih untuk anak muda yang memiliki uang seperti Arya dan Ivy.
Mata Ivy terpaut ke arah sosok tubuh yang sedang tertidur tidak jauh dari tempatnya berdiri. Arya duduk di kursi dengan posisi sedikit menelungkup. Ivy mendekat lalu merasakan bau alkohol yang sangat kuat di sekitar tubuh Arya.
Pasti laki-laki itu sedang mabuk. Batin Ivy. Arya, paling tidak kuat dengan alkohol. Laki-laki itu sering meracau jika sedang mabuk, dan melakukan hal-hal absurd seperti bukan dirinya.
Ivy tidak mau Arya sakit. Dengan cuaca sedingin ini, tentu tidak baik bagi Arya yang memiliki riwayat asma menghabiskan malam di luar tenda. Biarkan teman-teman lainnya tidur di luar tapi tentu Ivy tidak akan membiarkan tubuh Arya kedinginan di luar tenda. Ivy membawa tubuh Arya yang besar, ia beruntung karena Arya masih sedikit sadar dan mau ikut melangkah untuk mempermudah jalan mereka berdua.
“Hai adik kecilku,” sapa Arya dengan kalimat serak.
Berapa minuman yang laki-laki itu tenggak? Jika dia sudah sadar, Ivy tidak akan segan untuk memukulkan botol itu ke kepala Arya.
“Ah, jika melihatmu di sekitarku, aku —jadi sangat merindukan Puspaku.”
Kalimat Arya menghentikan langkah Ivy. Ia melihat ke wajah Arya yang tersenyum sambil menerawang entah kemana. Jelas laki-laki itu sedang membayangkan kekasihnya, dan Ivy sangat tidak menyukai hal itu.
“Aku sangat merindukannya, kamu tahu? Aku sangat ingin memeluk tubuh wanita itu sekarang ini.”
Ingin sekali Ivy menyumpal bibir Arya dengan tangannya. Sekuat tenaga Ivy mencoba membantu Arya untuk masuk ke dalam tenda. Ia menidurkan tubuh Arya ke kasur matras tapi karena berat tubuh Arya yang besar, Ivy kehilangan keseimbangan dan justru ikut jatuh ke dalam pelukan hangat seorang Arya.
Laki-laki itu melingkarkan tubuhnya ke tubuh mungil Ivy yang membeku. Ketika menengadahkan kepalanya, moment di sekitarnya terasa berhenti. Mata Ivy terpaut ke arah wajah Arya yang tersenyum dengan mata terpejam. Moment yang jarang terjadi, Ivy bisa mengamati Arya dari jarak dekat.
“Aku mencintaimu, Bii.”
“Aku mencintaimu, Arya.”
Laki-laki itu tersenyum meremehkan padahal matanya tertutup sempurna. “Kamu tidak lebih dari adik kecilku. Dulu … aku sangat menginginkan seorang adik perempuan, dan aku mendapatkannya darimu.”
Dengan sekuat tenaga Ivy melepaskan diri. Ia berniat melangkah pergi, rasa sakit luar biasa ia rasakan di hatinya. Ivy tidak suka ketika hal yang dia inginkan tidak bisa ia dapatkan. Ini bukan tentang obsesi tapi jelas Ivy sudah jatuh cinta kepada sosok Arya, dan ingin memiliki Arya untuk dirinya sendiri.
Kamu bisa memilikinya.
Ivy melihat ke arah Arya yang masih meracau, Ivy tahu … laki-laki itu akan mudah menyerah dengan logikanya saat mabuk. Masih ada satu kesempatan. Ivy mendekat lalu dengan berani mendudukan tubuhnya di atas tubuh Arya yang telentang. Anggap saja Ivy sudah kehilangan logika dan akal!
Laki-laki itu terkejut, tapi dengan cepat Ivy meletakan kedua tangannya merangkum wajah Arya untuk menghadapnya. “Aku bukan adik kecilmu.” Ivy mencium bibir Arya semampunya. Meskipun ia tidak pernah melakukan ini, tapi nalurinya yang menuntun setiap gerakan lembut bibir Ivy. Arya sempat menolak tapi dengan mudah Ivy memaksa tubuh Arya yang gontai untuk tetap berada di bawahnya.
“Vy, kamu—, Stop!” cegah Arya. Logikanya sudah rusak akibat minuman yang baru saja ia tenggak.
Lebih lebih dari satu tahun dia tidak bertemu dengan kekasihnya. Dan malam ini, seorang wanita dengan tubuh indah berada di hadapan Arya menawarkan diri. “Ivy, stop,” geram Arya sekali lagi saat Ivy mulai menciumi lehernya.
Laki-laki itu menghargai Ivy sebagai wanita terhormat, menjaga wanita itu seperti adiknya sendiri. Ia bergerak dan mendorong tubuh Ivy pelan agar wanita itu menjauh, tapi sepertinya, usahanya terlalu mustahil dilakukan saat tubuhnya lemah. “Aku tidak bisa, Vy, aku mohon, lebih baik—.”
Ivy menempatkan tubuhnya di bagian bawah tubuh Arya. “Livyliaaa!” bentak Arya marah, ia mendorong tubuh Ivy kasar hingga wanita itu nyaris terjungkal.
Ivy menyelesaikan apa yang ingin ia lakukan, lalu berdiri menantang. Jari jemarinya melepas satu persatu pakaian yang menutupi tubuhnya. “Aku tidak akan melepaskan Mas Arya malam ini.”
“Fuck!” Marah Arya kasar lebih untuk dirinya sendiri!
Arya … kalah.
“Arya tidak bisa.”
Satu tamparan kuat mendarat di pipi Arya. Laki-laki itu berdiri dengan kaku di depan papanya di ruang tengah apartement miliknya di Boston. “Jangan jadi goblok, Arya.”
“Arya tidak bisa, Pa,” keukeuh Arya.
“Karena wanita itu?” tanya Tn. Brama marah. Kedua matanya menyorotkan amarah yang sangat besar kepada anak laki-laki satu-satunya yang selama ini selalu bisa ia andalkan. Tn. Brama langsung mendapatkan penerbangan di hari pertama saat mendapatkan kabar kehamilan Ivy dan … penolakan Arya.
“Namanya Puspa,” jawab Arya.
Arya berdiri dengan kepala yang sengaja ia tundukan. Dia sangat menyesal tapi bukan berarti dia harus mengorbankan sisa hidupnya bersama dengan seorang wanita yang sama sekali tidak ia cintai. Dia menjaga dirinya dan juga perasaan Ivy nanti.
“Papa tidak peduli! Lepaskan wanita itu!” tuntut Tn. Brama.
“Berapa kali pun Papa meminta, Arya tetap akan selalu memiliki jawaban yang sama jika itu tentang Puspa.”
Tn. Brama mengambil kertas kosong di hadapannya lalu meremasnya tepat di depan mata Arya. “Aku bisa menghancurkan wanita itu seperti kertas ini,” ancam Tn. Brama. “Lepaskan dia.”
Arya takut! Tentu saja papanya bisa menyingkirkan hidup Puspa dengan sangat mudah. Terlebih jika ada nama keluarga Miller dibelakangnya. “Arya ti—.”
Brak!
“Jangan membantahku, Arya! Kamu tahu siapa Livylia? Siapa nama Miller dibelakangnya? Mereka bisa menghancurkan perusahaan yang sudah kakekmu rintis dari nol dengan sangat mudah. Hancur! Dan itu semua hanya bisa terjadi jika kamu melihat tubuhku terbujur kaku.”
“Pa…”
“Berfikirlah dengan benar sebelum kamu bertindak,” ucap Tn. Brama lalu duduk di kursinya. Seperti sebuah tamparan hebat disematkan kearah keluarga Adiputra saat mendengar kabar ini. Bagaimana bisa Arya tidak mau bertanggung jawab dengan darah dagingnya sendiri? “Keluarga Miller menginginkan pernikahan setelah anak itu lahir. Jangan pernah lepaskan pandanganmu dari Ivy.”
Arya hanya diam membisu, tidak mengiyakan. Otaknya sibuk mencari jalan keluar yang sekuat tenaga ia cari tetapi nyatanya tetap tidak ia temukan. “Arya tidak mencintai Ivy.”
“Apa menurutmu Papa menikahi mamamu karena cinta?” tanya Tn. Brama. “Jawabannya adalah tidak! Tapi buktinya ada kamu, kita bahagia hidup di dalam keluarga ini.”
Arya diam mendengarkan. Ngocoks.com
“Dan apakah kamu membutuhkan cinta untuk membuat janin tumbuh di dalam perut Ivy?” tambah Tn. Brama.
“Itu sebuah kesalahan.”
“Tidak butuh cinta dalam rumah tangga, Arya! Yang kamu butuhkan hanya komitmen dan kerjasama. Cinta akan menghilang bersama waktu, dan Papa pastikan apa yang kamu rasakan kepada wanita itu akan hilang saat kamu memulai kehidupanmu bersama Ivy.”
Arya memejamkan matanya kuat saat merasa tak ada lagi pintu keluar untuknya. Tapi melepaskan Puspa tidak akan semudah itu. Wanita itu sudah menjadi bagian dalam hidup Arya. Ia jadikan tumpuan selama ini. Lalu bagaimana ia harus mengatakan sebuah perpisahan yang sama sekali tidak ada di dalam rencananya bersama Puspa? “Pa —,” panggil Arya lirih.
Satu tetes air mata tak lagi bisa tertahan ketika rasa kehilangan begitu kuat meskipun perpisahan belum terucap. Dada Arya sesak, hanya sekedar untuk bernafas normal. Ia membayangkan bagaimana hidupnya nanti tanpa wanita itu? Bagaimana bisa Arya bertahan saat wanita itu-lah selalu bisa ia jadikan sandaran?
“Yaa?”
“Apakah tidak ada jalan keluar lain?” tanyanya. Ia menatap papanya dengan sebuah permohonan tanpa ucapan. Papanya adalah benteng terakhir yang bisa menyelematkan hidup Arya saat ini.
Tn. Brama menggeleng. “Tidak ada, Nak. Maafkan papamu. Aku tidak bisa membantumu.”
Isakan Arya pecah! Laki-laki itu meluruhkan tubuhnya di lantai marmer yang dingin. Ia menumpahkan segala perasaannya di sana. Meratapi kisah cinta yang selalu ia sematkan dalam hidupnya.
“Arya dan Puspa sudah mati. Mulai detik ini, mulai hidup barumu bersama Ivy. Masa depanmu ada bersamanya,” ucap Tn. Brama penuh penekanan.
Tn. Brama memeluk tubuh Arya untuk memberikan kekuatan. Dia memahami perasaan putranya. Jelas ia bisa melihat ketertarikan Ivy kepada Arya di detik pertama pertemuan keduanya. Dan melihat bagaimana wanita itu yang selalu mencoba mendekati Arya, Tn. Brama tahu, kehamilan Ivy tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab Arya.
Laki-laki itu memilih berdiri saat merasa apa yang ingin ia sampaikan sudah terucap. Ada rasa sakit yang ia rasakan saat melihat anaknya terluka. Tapi ketika suratan takdir itu sudah tertulis, apa yang bisa manusia bisa lakukan selain menjalaninya?
Tn. Brama melangkah pergi meninggalkan Arya dengan keputusasaannya seorang diri. “Beri kesempatan kepada Arya,” ucap Arya yang menghentikan langkah Tn. Brama.
“Untuk?”
“Mengucapkan sebuah kata perpisahan.”
“Ambil waktumu sebelum pernikahan itu terjadi. Tetapi setelahnya, kamu harus benar-benar melepaskan wanita itu termasuk kenangan kalian.”
Tn. Brama melanjutkan langkahnya dan meninggalkan Arya di dalam ruang apartemennya.
“Bagaimana?” tanya seorang laki-laki yang sudah menunggu Tn. Brama di depan pintu.
“Aku sudah berusaha semampuku.”
“Perusahaan kalian ada di tangan Arya. Semua keputusannya akan sangat berpengaruh besar dalam kehidupan kalian kedepannya.”
“Saya sudah berusaha, Mr. Miller.”
***
Ivy berdiri canggung saat mendengar pintu terbuka. Ia melihat Arya yang masuk ke dalam apartement. Dengan pasti Ivy tahu Arya sudah melihatnya, tapi laki-laki itu memilih mengabaikan Ivy. “Mas,” panggilnya.
Arya melepaskan sepatunya lalu berganti dengan sandal rumah. Ia berjalan dengan gontai dan duduk di sofa berseberangan dengan wanita itu.
“Mas, bagaimana?” tanya Ivy.
“Kamu tahu aku tidak pernah mencintaimu,” jujur Arya.
Sakit memang! Tapi Ivy yakin ia bisa menaklukan hati Arya jika laki-laki itu sudah benar-benar menjadi miliknya. Jika sudah tidak ada lagi nama Puspaningrum di dalam hidup Arya. “Kita bisa mencoba, Mas. Setidaknya, demi anak kita.”
Ivy tahu laki-laki itu tersentuh saat mendengar bayi yang berada di dalam kandungannya. Ivy sadar ia jahat, tapi demi cintanya ia merasa harus untuk melakukan ini.
“Aku menghormatimu sebagai perempuan, Ivy. Dan aku menyayangimu seperti saudaraku sendiri. Tidak akan ada namamu di hatiku,” ucap Arya dengan menunjuk ke arah dadanya sendiri. “Apapun keputusanmu saat ini akan sangat berpengaruh besar dalam kehidupan kita nantinya.”
Ivy menatap mata Arya, mendengar setiap ucapan yang disampaikan laki-laki itu.
“Sebuah pernikahan adalah dua manusia yang menyatu. Tanpa cinta, semuanya akan terasa hambar.”
“Mas Arya bisa mencoba?”
Arya memejamkan matanya kuat, sekelibat bayangan Puspa yang sedang tersenyum ceria semakin membuat Arya merasa bersalah. Seharusnya Arya menjadi obat bukan justru menjadi sumber kesakitan Puspa.
“Mas Arya bisa mencoba?” tanya Ivy sekali lagi. “Sebuah pernikahan bisa dipupuk dengan adanya komitmen dan tanggung jawab. Jika Mas Arya bisa memastikan bahwa wanita satu-satunya yang ada didalam hidup Mas Arya hanya Ivy. Ivy mau menjadi istri Mas Arya dan berusaha menjadi Ibu yang baik untuk anak kita.”
Arya masih tercekat. Ia tidak mampu untuk sekedar berkata ‘ya’ seperti rencananya sebelumnya.
“Mas … bagaimana?”
Jeda cukup lama dibiarkan Arya tanpa jawaban. Ia melihat seorang wanita yang duduk dengan wajah berbinar di hadapannya. Apakah benar wanita itu adalah takdirnya? Masa depannya? Rasa ngilu di hati Arya kembali terasa saat menyadari bahwa tidak ada lagi nama Puspa di masa depannya.
“Mas…”
“Aku akan berusaha,” jawab Arya lirih. “Tapi aku memperingatkanmu, Vy. Hal yang didapat dengan cara yang tidak baik … tidak akan pernah berakhir dengan baik.”
Wanita itu mendekatkan tubuhnya lalu memeluk Arya. “Aku mengambil resiko itu, Mas. Terima kasih.”
“Aku minta satu hal.”
“Apa itu?”
Arya menelan ludahnya kesulitan. “Aku ingin kamu memberiku waktu sampai pernikahan itu terjadi.”
“Waktu?”
“Waktu untukku dan Puspa. Waktu untuk perpisahan.”
“Tentu saja.”
Bersambung…