Terus terang, aku horny juga melihat batang kemaluan segede dan sepanjang itu. Penis yang ngaceng dengan perfect pula. Hanya saja aku harus menahan diri, agar tujuan utamaku tercapai. Bahwa Boyke harus kuliah dulu, barulah aku akan memberikan kewanitaanku padanya. Itu pun kalau diijinkan oleh suamiku.
Dan kini penis ngaceng itu sudah berada di dalam genggamanku, setelah menyuruh Boy celentang di atas hamparan selimutku.
Kalau bawa lotion, mungkin aku bisa mengocok penis Boy sampai ejakulasi. Tapi karena aku tidak membawa lotion, maka sebagai gantinya kualirkan air liurku ke moncong ke leher dan ke badan penis Boy.
Kemudian kukocok – kocok penis panjang gede itu dengan telaten. Namun diam – diam aku menyelinapkan tangan kiriku ke balik celana pendekku sendiri, lalu… ketika aku semakin gencar mengocok penis Boyke dengan tangan kananku, jemari tangan kiriku pun gencar mewngelus – elus kelentitku sendiri.
“Dududuuuuh Maaaam… dduududuuuuh Maaam… bo… boleh sambil megang toiket Mamie gak?” rengek Boy sambil menunjuk ke arah toketku yang tertutup oleh baju kaus biru peacock ini.
Aku pun membungkuk agar tangan Boy bisa mencapai toketku lewat bagian leher baju kaus elastisku. “Peganglah…” ucapku sambil menggencarkan kocokan di penis Boy dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku pun semakin gencar mengelus – elus kelentitku sendiri.
Lama kelamaan aku menganggap mulutku harus ikjut campur, agar penis Boy cepat ngecrot. Maka dengan binal kujilati moncong dan leher penis Boy, sementara tangan kananku tetap gencar mengocok badan penisnya.
Tangan Boy pun mulai giat meremas – remas toketku. Sehingga aku jadi merasa lengkap dengan “sesuatu” yang tengah kurasakan ini. Bahwa kelentitku sedang dielus – elus oleh jemariku sendiri, sementara toketku sedang diremas – remas oleh tangan Boy.
Akhirnya moncong penis Boy memuncratkan air mani berulang – ulang, sampai membuat wajahku berlepotan air mani anak tiriku.
Aku sendiri sudah berhasil mencapai orgasme beberapa detik sebelum penis Boy berejakulasi.
Kukeluarkan kertas tissue basah dari dalam ranselku, untuk menyeka wajahku yang berlepotan air mani Boy.
“Bagaimana? Masih pegel kontolnya?” tanyaku sambil mencolek colek ujung hidung Boy yang mancung seperti mancungnya cowok Arab.
“Nggak Mam. Langsung hilang setelah ngecrot barusan. Terima kasih ya Mam.”
“Iya. Tapi ingat… apa pun yang terjadi di antara kita berdua, harus dirahasiakan. Jangan ada seorang pun tau, termasuk saudara – saudaramu, apalagi Papie… jangan sampai tau ya.”
“Iya Mam. Percayalah, aku ini orang yang teguh janji. Takkan menjilat air ludahku sendiri.”
“Termasuk janjimu untuk mendaftarkan diri ke fakultas pilihanmu itu kan?”
“Iya Mam. Bukan sekadar daftar, tapi juga akan kuliah serajin mungkin, agar cepat jadi sarjana.”
“Bagus. Semua itu demi masa depanmu sendiri kan?”
“Iya Mam,” sahut Boy sambil memegang tanganku. Lalu meremasnya sambil melanjutkan, “Aku… aku sayang Mamie… sangat sayang sama Mamie.”
Sebagai jawaban kucium bibir Boy lalu berbisik di telinganya, “Perasaan mamie juga sayaaaaaaang sama kamu Boy. Makanya mulai saat ini kamu harus mengubah sikap dan perilakumu. Minimal kamu harus mau berkomunikasi sama mamie ya.”
“Iya Mam. Sejak Mama meninggal, aku tidak punya tempat untuk curhat lagi. Sedangkan Papie kan selalu sibuk mengurus bisnisnya di sana – sini. Tapi mulai saat ini, kalau ada sesuatu untuk dikemukakan, aku mau curhat sama Mamie aja ya.”
“Iya. Mamie siap mendengarkan curhatanmu. Kalau ada masalah mamie mau ikut mencari solusinya,” sahutku sambil mengelus – elus rambut Boy.
Keesokan harinya, Boy menepati janjinya. Ia pergi pagi – pagi sekali dan pulang di tengah hari, sambil memperlihatkan sehelai formulir yang harus diisinya. Formulir pendaftaran ke fakultas ekonomi di universitas swasta paling bergengsi di kotaku.
Formulir yang belum diisinya itu diperlihatkan padaku. Kubaca isi formjulir itu. Lalu berkata, “Mendaftar ke universitas itu tentu harus membayar uang sumbangan pembangunan kan.”
“Iya Mam.”
“Kalau ada kekurangan dananya, ngomong aja sama mamie. Nanti mamie bayarin.”
“Nggak Mam. Uang jajan pemberian Papie, masih banyak di rekening tabunganku. Kalau aku mau, beli mobil baru pun bisa.”
“Nah… itu kan lebih bagus. Naik motor itu besar resikonya Boy. Makanya mamie lebih senang kalau kamu pakai mobil. Jangan pakai motor terus. Sayangi badan dan nyawamu sendiri Boy.”
“Iya Mam. Nanti aku pikirkan lagi soal itu sih.”
“By the way, kamu gak punya cewek Boy?”
“Nggak, “Boy menggeleng, “aku sudah muak sama cewek – cewek yang mendekatiku, tapi tujuannya hanya ingin menguras dompetku doang. Soalnya mereka tau kalau aku ini anak orang kaya. Makanya sekarang sih aku mau fokus sama Mamie aja. Kalau aku ingin mencintai seseorang, aku akan mencintai Mamie aja seorang.
Sebagai jawaban, kurengkuh leher Boy ke dalam pelukanku, “Kalau kamu selalu menuruti saran mamie, sampai kapan pun mamie akan tetap menyangimu Boy…” ucapku yang disusul dengan ciuman hangat di bibir Boy.
Boy tampak sangat terhanyut oleh perlakuanku padanya. Lalu berkata perlahan, “Mam… entah kenapa… sekarang ini Mamie sudah ada di dalam hatiku. Ke mana pun aku pergi, bayang – bayang wajah Mamie selalu mengikutiku.”
“Memangnya apa kelebihan mamie sehingga kamu sampai segitunya memikirkan mamie?” tanyaku sambil mengajaknya duduk berdampingan di atas sofa kamarku.
“Mamie sangat cantik di mataku. Dan… Mamie sangat… sangat menggiurkan…”
“Kamu juga ganteng Boy. Nanti… kalau kamu sudah kuliah dan IPK-mu di atas tiga terus, kamu boleh tidur sama mamie pada saat Papie sedang gak ada.”
“Mmmm… sudah kebayang nyaman dan indahnya bobo sama Mamie… bisa melukin Mamie.. bisa melakukan apa pun bersma Mamie…! Aku akan membuktikan kepada Mamie dan Papie, bahwa aku ini bukan cowok bodoh. Lihat aja nanti ya Mam.”
Ketika pulang dari luar negeri, suamiku terheran – heran setelah mendengar laporanku, bahwa Boyke sudah mulai kuliah di fakultas ekonomi.
Lalu suamiku berkata, “Sudah kuduga dari semula, sebagai sarjana psikologi, Mamie pasti mampu memperbaiki sikap dan perilaku Boyke. Hahahaaaa… aku senang mendengarnya, Sayang.”
“Tapi Pap… dia meminta sesuatu sebagai kompensasinya kalau IPKnya di atas tiga terus kelak.”
“Apa yang dimintanya? Sedan sport?” tanya Papie.
“Bukan Pap,” sahutku yang lalu kulanjutkan dengan bisikan di dekat telinga suamiku, “Kalau IPKnya di atas tiga terus, dia ingin menyetubuhiku Pap…”
“Haaah?! Serius?!” Papie tersentak kaget. Aku pun menyiapkan mental untuk menghadapi kemarahan suamiku.
“Iya. Tapi itu nanti kalau sudah dua semester baru akan keluar IPKnya.”
Papie menunduk sambil memijat – mijat keningnya sendiri. Lalu memandangku sambil berkata, “Aku harus berbesar jiwa menghadapi masalah ini. Karena biar bagaimana pun Boy itu anakku, darah dagingku sendiri. Jadi… kalau memang keinginannya seperti itu, kabulkan aja Mam.”
“Kabulkan?!” ucapku dengan sikap seolah – olah tidak setuju pada keputusan suamiku itu. Padahal… ooo… batinku melonjak girang. Karena belakangan ini aku pun sudah mulai terobsesi oleh kegantengan dan kemudaan Boy.
“Iya. Memang kalau dipikir oleh otak picik sih, aku takkan mengijinkan. Tapi setelah dipikir secara luas, dia kan anakku sendiri. Lalu apa salahnya kalau aku berbagi rasa dengannya, agar dia semakin bersemangat kuliahnya? Di sisi lain, dalam beberapa bulan ke depan ini aku akan semakin sibuk mewngurus bisnisku.
“Lalu… nanti cinta Papie padaku akan pudar, karena aku dianggap istri yang serong kan?”
“Tidak, “Papie menggeleng, “Bahkan di dunia Barat, banyak suami yang sengaja men – sharing istrinya, justru karena ingin membahagiakan istrinya itu. Sedangkan aku men – sharing dengan anak sendiri, demi masa depan anak bungsuku itu. Kalau hal itu sudah terjadi, pasti akju akan semakin mencintaimu, sebagai istri yang bijaksana dalam menentukan langkah yang sangat krusial itu.
“Jadi… “lanjut Papie, “Kasih aja apa yang dia inginkan itu. Tapi semangatnya harus dipacu terus. Dan… jangan bilang – bilang kalau aku sudah ngasih ijin begini. Supaya dia tidak sewenang – wenang padamu nanti.”
Aku tertunduk, seperti bingung. Padahal hatiku sedang bersorak kegirangan. Karena aku sudah membayangkan semua itu. membayangkan segarnya daun muda seperti Boy. Kalau memakai istilah umum, aku akan menikmati segarnya brondong ganteng, dengan seijin suamiku sendiri.
“Terus… apa dia sudah dikasih?” tanya suamiku.
“Belum lah,” sahutku, “Kan dia janjinya juga kalau IPKnya di atas tiga terus, baru akan minta bonus istimewa itu.”
“Kalau nunggu setahun lagi, kasihan dia dong. Kasih aja nanti setelah aku terbang ke Eropa. Tapi dia harus berjanji akan mencapai nilai tinggi terus di kampusnya.”
“Memangnya kapan Papie mau terbang ke Eropa?”
“Sekarang kan hari Selasa. Hari Senin mendatang aku akan terbang ke Eropa bersama beberapa stafku. Untuk menandatangani beberapa perjanjian di sana.”
Tiba – tiba terdengar derum motor gede Boy di pekarangan, lalu mendekat ke arah garasi.
“Nah itu Boy datang Pap, “katgaku.
“Iya, “Papie mengangguk, “aku akan menyambut dia dengan pelukan seorang ayah yang bangga melihat anaknya bersedia melanjutkan pendidikannya. soal yang tadi itu, aku akan pura – pura tidak tahu aja.”
Kemudian Papie melangkah ke ruang keluarga.
Karena sebelum masuk ke dalam kamarnya, Boy pasti harus melewati ruang keluarga dulu.
Pada waktu baru masuk ke ruang keluarga, Boy tampak kaget melihat papienya sudah berdiri tegak di depan matanya.
“Papie udah pulang?” tanya Boy.
“Iya. Dari mana kamu Boy?”
“Pulang kuliah Pap.”
“Hahahahaaaaa… akhirnya anak kesayangan papie sadar juga pada masa depannya ya?” ucap Papie sambil memeluk Boy dengan sikap hangat sekali. “Papie bahagia sekali mendengar kamu mau kuliah seperti yang sering papie anjurkan. Syukurlah Boy. Papie gak punya ganjalan lagi sama kamu. Semoga kamu sukses kuliah dan menata masa depanmu ya.
“Iya Pap,” sahut Boy sambil melirik ke arahku, yang membuatnya seperti salah tingkah. Karena itu aku meninggalkan ruang keluarga, menuju ke belakang. Ke arah kolam renang yang bisa diset menjadi hangat airnya. Tapi aku masih mendengar suara Papie berkata, “Dengar Boy… untuk membuktikan kebahagiaan papie, mulai saat ini uang jajanmu dinaikkan duaratus persen.
“Iya Pap. Terima kasih.”
Aku yang sedang berjalan menuju kolam renang, cuma tersenyum mendengar suara Papie dan Boy itu.
Tadinya aku berniat untuk melepaskan housecoatku, lalu melompat ke kolam renang. Tapi tiba – tiba Papie menghampiriku sambil berkata setengah berbisik ke dekat telingaku, “Uang belanja Mamie juga akan kunaikkan empatratus persen. Jadi mulai saat ini transferku ke buku rekening Mamie akan menjadi lima kali lipat.
“Iya, terima kasih Papie Sayaaang…” sahutku. Dan terpaksa kubatalkan niat berenangku, karena takut Papie merasa dinomorduakan olehku. Lalu aku melangkah mengikuti Papie yang berkata sambil berjalan, “Ada oleh – oleh dari Jepang tuh Sayang.”
Pada hari Senin yang sudah ditetapkan, pagi – pagi sekali Papie sudah siap – siap mau berangkat ke bandara. Papie menerangkan bahwa rombongannya harus transit di Singapore dulu, kemudian dari Singapore terbang langsung menuju Bandara Internasional Schiphol (di selatan Amsterdam – Nederland) sebagai tujuan utamanya.
Menjelang keberangkatan Papie dan rombongannya, aku mencium bibir suamiku yang bijaksana itu, disusul dengan ucapan, “Semoga penerbangannya lancar, bisnisnya sukses dan pulang kembali dalam keadaan lancar juga, ya Papieku Sayang.”
Papie mengangguk sambil menepuk – nepuk bahuku dan berkata, “Take care ya Sweetheart. Semoga keadaan di rumah tetap damai dan nyaman selama ditinggalkan olehku.”
Sejam kemudian Boy mengetuk pintu kamarku. Setelah kusuruh dibuka pintunya, Boy pun membuka pintu dan masuk menghampiriku yang sedang duduk di pinggiran bed, “Aku mau kuliah Mamie,” ucapnya yang disusul dengan ciumannya di tanganku.
“Iya… nanti pulangnya jangan ngeluyur dulu ya Sayang. Mamie mau mengajak ke suatu tempat nanti sore.”
“Iya Mam,” sahut Boy sambil mengecup pipi kanan dan pipi kiriku.
Kemudian Boy berlalu.
Meninggalkanku dalam sedikit keresahan. Karena aku sudah sangat tergiur oleh kemudaan dan kegantengan Boy. Meski sudah menjanjikan baru akan “dikasih” setelah terbukti IPKnya di atas tiga, kini justru aku yang tak sabar lagi menunggunya sampai setahun lagi, setelah ada hasil ujian dari dua semesternya.
Itulah sebabnya, aku jadi gelisah dibuatnya. Dan menunggu Boy pulang rasanya lama sekali.
Untungnya jam 12.15 siang terdengar derum motor gede Boy sudah memasuki garasi. Buru – buru kubukakan pintu kamarku, untuk menyambut kedatangan sang pangeran yang sudah membuatku resah gelisah ini.
Di balik kimono sutera putih aku berdiri di ambang pintu, menunggu munculnya sang pangeran. Dan ketika ia muncul, aku langsung bertanya, “Kok tumben siang – siang begini sudah pulang?”
“Kebetulan dosennya gak bisa datang, karena ada acara kawinan di rumahnya. Mau ngajak ke mana Mam?”
Kutarik pergelangan tangan Boy ke dalam kamarku sambil berkata, “Mau ngajak ke sini,” kataku.
“Heheheee… Mamie… ada – ada aja. Kirain mau ngajak ke mana.”
“Sini… mamie mau nanya,” kataku sambil mengajak Boy duduk berdampingan denganku di sofa bedroomku.
“Mau nanya apa Mam? Aku ini sangat setia lho sama Mamie… jangan mikir yang bukan – bukan.”
“Nggak Sayang. Mamie sangat percaya pada kesetiaanmu. Cuma mau bilang bahwa Papie di Eropanya akan makan waktu tiga bulan.”
“Asyik dong Mam. Sedikitnya aku bisa ngemut toket Mamie tiap hari selama tiga bulan.”
“Sekarang mamie mau nanya, masalah apa yang membuatmu masih penasaran? Jawab sejujur mungkin. Apa pun jawabanmu takkan membuat mami marah.”
“Mamie nanya masalah yang membuatku masih penasaran? Tapi maaf ya Mam… Mamie jangan marah… mmm… yang membuatku masih penasaran ya punya Mamie itu,” sahut Boy sambil menunjuk ke arah kemaluanku yang masih tertutup oleh kimono sutera putihku.
Aku lalu berbisik ke dekat telinganya, “Maksudmu… memek mamie?”
“Iya Mam. Tapi Mamie kan bilang, aku baru boleh menikmati yang satu itu kalau IPK-ku tiga ke atas. Berarti aku harus menunggu setahun lagi, baru aku bisa nagih janji Mamie.”
“Kalau mamie nyuruh kamu jilatin memek mamie, mau nggak?”
“Waaaah… mau banget Mam. Aku sering nonton filmnya… film yang jilatin memek, tapi aku belum pernah jilatin memek. Sedangkan memek Mamie… megang aja belum pernah. Baru dilihatin sekilas di puncak bukit tempo hari.”
Saat itu aku tidak mengenakan beha mau pun celana dalam. Sehingga kalau kimono ini kulepaskan aku akan langsung telanjang bulat di depan mata Boy.
Lalu kulepaskan ikatan talki kimono di pinggangku. Dan kurentangkan kedua sisi kimonoku sambil berkata, “Kalau begitu, jilatin deh memek mamie sekarang…”
“Mamie…! Oooooh…! “seru Boy tertahan, sambil melompat ke depanku. Lalu duduk bersila di lantai, di antara kedua kakiku yang sudah kurenggangkan.
Lalu tangannya seperti mau menyentuh kemaluanku yang senantiasa dicukur bersih ini. “Mam… boleh aku megang memek Mamie ini?” tanyanya dengan suara parau, dengan tangan gemetaran pula.
“Boleh. Dijilatin juga boleh…”
“Mamie… berarti aku… akju akan mendapatkan keringanan hari ini?”
“Iya. Narapidana juga suka dikasih remisi kan? Karena itu kamu pun boleh jilatin memek mamie sepuasnya. Bahkan boleh juga ngentot mamie sekarang. Asalkan kamu berjanji akan benar – benar membuktikan IPK-mu yang harus di atas tiga. Oke?”
“Siap Mam!” sahut Boy sambil mengacungkan dua jari tangan kanannya.
Kemudian Boy mulai menjilati kemaluanku secara serampangan, pertanda dia memang sangat pemula. Belum pernah menyentuh kemaluan wanita seperti pengakuannya yang berkali – kali diiringi sumpah segala macam.
Maka kuberi petunjuk bagian mana saja yang harus dijilatinya.
Lalu kenapa aku seperti ngebet banget ingin agar memekku dijilati oleh Boy? Masalahnya aku sudah tahu betapa gedenya batang kemaluan Boy itu. Lebih gede daripada penis papienya dan bahkan lebih gede daripada penis Ricky, mantan pacarku yang sudah kuputuskan itu.
Untungnya Boy cukup cerfdas. Dia cepat mengerti petunjukku. Maka mulailah ia menjilati mulut memekku dengan lahapnya. Bahkan terkadang ia bergumam sendiri. “Hmmm… memek Mamie harum sekali…”
Tentu saja harum. Karena sesaat sebelum dia turun dari motor gedenya, aku sudah menyemprot selangkanganku dengan parfum made in France. Sehingga harumnya tersiar sampai ke kemaluanku.
Tak cuma itu. Dia juga sudah mengerti yang mana bagian kecil mungil dan bernama kelentit alias itil itu. Bagian yang paling peka di atas mulut vaginaku itu. Dan ketika dengan lahapnya dia menjilati kelentitku, yang terkadang disedot – sedotnya… aku pun mulai merintih keenakan. “Iyaaaa… aaaaaaaah…
Setelah Boy menjilati kelentitku dengan lahapnya, terasa liang memekku mulai basah. Makin lama makin basah. Sehingga akhirnya aku minta Boy menghentikan jilatannya. Lalu aku bangkit dari sofa dan mengajak Boy pindah ke bed, dengan nafsu birahi yang sudah memuncak.
Di atas bed aku yang sudah telanjang bulat ini menyuruh Boy telanjang juga.
Lalu aku cdelentang sambil merentangkan sepasang pahaku lebar – lebar. Sementara Boy merayap ke atas perutku sambil memegangi batang kemaluannya yang sudah ngaceng berat itu.
Karena takut salah sasaran, kupegangi leher penis Boy dan kuledtakkan pada tempat yang tepat. Kemudian aku berkata, “Ayo… doronglah…”
Boy menuruti perintahku. Ia mendorong penisnya kuat – kuat dan… blesssssssss… penis panjang gede itu pun membenam ke dalam liang kenikmatanku. Yang kusambut dengan pelukan di leher Boy, sambvil memberikan instruksi, “Ayo… entotin kontolmu Boy… tapi jangan sampai lepas ya… nanti susah lagi masukinnya…
O, Boy yang ganteng dan cerdas…! Kini ia mulai mengayun penisnya, bermaju mundur di dalam liang memekku. Awalnya pelan – pelan… kemudian ia mempercepat entotannya sesuai dengan instruksi dariku.
“Mamie… oooooo… oooooh Maaaam… memek Mamie enak sekali Maaaaaam… impianku sudah menjadi kenyataan… impian untuk menyetubuhi Mamie seperti ini… dan aku jadi semakin mencintaimu Maaaam… “desis Boy pada waktu mulai lancar mengentotku, sambil merapatkan pipinya ke pipiku.
“Iya Sayang… mamie juga makin sayang sama kamu Booooy… mungkin lebih sayang daripada seorang ibu kepada anak kandungnya… ayo ent terus memek mamie Boooy… entooot teruisssss… entoooooootttt… Booooy… entooot terusssss… jangan mandeg – mandeg Boooy… entooooottttttttt…
Rintihku berlontaran begitu saja dari mulutku, tanpa dapat kukendalikan lagi. karena sesungguhnyalah gesekan demi gesekan penis Boy yang panjang gede itu menimbulkan rasa nikmat yang luar biasa. Nikmat yang sulit dilukiskan dengan kata – kata belaka.
Saking enaknya, entotan Boy menimbulkan nikmat yang seolah mengalir dari ujung kaki sampai ke ubun – ubunku. Terkadang membuatku merinding. Merinding dalam syur, bukan merinding karena takut.
Semua nikmat yang kurasakan ini, akan membuatku semakin menyayangi Boy. Mungkin lebih dari sayangnya seorang ibu kepada anak kandungnya. Karena Boy seolah telah melengkapi kebahagiaanku setelah menjadi Nyonya Mathias ini.
Nikmat ini pun membuatku lupa daratan. Lupa sdegalanya. Sehingga rintihan – rintihan di luar kesadaranku berlontaran terus dari mulutku, seolah tak bisa dikendalikan lagi.
“Iya Booooy… entot terussss Boooy… entoooot teruuuussssssss… entooootttt… entooooottttttt… entoooootttt… kontolmu enak sekali Boooooy… !”
Sementara Boy pun tampak seperti tenggelam dalam arus birahinya sendiri. Arus yang membuatnya berdengus – dengus terus, laksana dengus kerbau yang tengah disembelih…!
Boy pun mengikuti petunjukku. Bahwa ketika ia sedang gencar mengentotku, mulutnya terkadang nyungsep di pentil toketku yang masih kencang ini. Tanpa ragu lagi ia mengemut pentil toketku, membuatku semakin merinding – rinding dalam nikmat yang tiada bandingannya.
Keringat Boy pun mulai berjatuhan di atas dadaku, wajahku dan leherku. Bercampur aduk dengan keringatku sendiri.
Cukup lama Boy menyetubuhiku. Sampai pada suatu saat ia seperti panik. Ia mengayun penisnya dengan tergesa – gesa sambil merintih – rintih, “Oooooh Maaaam… Maaaaaam… aaku… mau lepas Maaaam…”
Aku pun menanggapinya dengan menggoyangkan pinggulku sedemikian rupa, sehingga terasa kelentitku bergesekan dengan kepala penis Boy terus – menerus.
“Ayo letuskan di dalam memek mamie Boy… lepasin semuanyaaaa… mamie juga mau lepasssss… ayooooo lepasiiiiin semuanyaaaaa…”
Sesaat kemudian, aku sudah tiba di puncak nikmatku yang membuat batinkju serasa melesat ke langit tinggi… langit ketujuh, seperti yang sering dibilang oleh orang – orang tua dahulu. Inilah orgasmeku yang paling nikmat di antara orgasme – orgasme yang pernah kualami.
Boy pun berkelojotan sambil menancapkan penisnya di dalam liang sanggamaku.
Crooootttt… crettttt… crooooootttt… crettt… croooooottttttt… cret… croooooottttt…!
Wow… terasa banyak sekali air mani yang dimuntahkan oleh moncong zakar anak tiriku ini. Membuat liang memekku seperti dilanda banjir lendir… namun sangat mengesankan bagiku.
Boy terkulai lemas di atas perutku. Dan aku merasa berterimakasih padanya, karena sudah diberikan kesempatan menikmati kejantanannya yang sangat memuaskan batinku ini.
Maka kucium bibir Boy, disusul dengan bisikan di dekat tewlinganya, “Memek mamie enak nggak Sayang?”
“Ughhh… luar biasa enaknya… terima kasih Mam… semua ini akan membuat semangat belajarku semakin kuat. Mamie memang luar biasa baiknya padaku. Sungguh aku tak menyangka kalau hari ini bisa merasakan nikmatnya menyhetubuhi Mamie… sebagai pengalaman pertamaku merasakan menyetubuhi wanita. Sangat mengesankan Mamie…
Ketika hari mulai senja, Boy sudah duduk di sebelah kiri dalam sedanku yang tengah kukemudikan sendiri.
Menyadari bahwa sedanku matic, Boy terus – terusan menggenggam tangan kiriku dengan sikap mesranya, memperlakukanku laksana kekasihnya.
Jujur, aku suka sekali diperlakukan semesra ini. Bahkan kalau kubanding – bandingkan dengan Papie atau Ricky, perlakuan Boy padaku ini terasa paling mesra.
Bahkan pada suatu saat Boy berkata, “Seandainya Mamie bukan istri Papie, aku mau kawin dengan Mamie.”
“Tadi kita kan sudah kawin Boy,” sahutku sambil menepukkan tangan kiriku ke lutut Boy.
“Heheheee… iyaaa… tapi maksudku menikah Mam.”
“Gak usah mikirin nikah segala. Kamu kan sudah mamie ijinkan, kapan pun kamu mau, memek mamie boleh kamu sodok.”
“Memang iya. Tapi kalau Papie sudah pulang dari Eropa, aku harus jauh – jauh lagi dari Mamie kan?”
“Tetap bisa Boy.”
“Tetap bisa gimana?”
“Kita kan bisa cek in ke hotel. Setelah sama – sama puas, cek out.”
“Oh, iya ya.”
“By the way, kenapa kamu gak pernah pacaran?”
“Kan aku sudah bilang. Cewek – cewek yang mendekati aku pada matre semua. Mereka mendekatiku karena ada maunya. Minta dibeliin inilah, itulah… karena mereka tau kalau aku ini anak orang kaya. Makanya aku sudah enek sama cewek yang cuma money oriented.”
“Terus… kenapa sama Mamie kamu mau?”
“Karena Mamie memiliki kedudukan ganda bagiku. Sebagai kekasih sekaligus sebagai pengganti ibuku yang sudah tiada. Itulah sebabnya pada saat ini tiada satu pun cewek yang bisa menggantikan Mamie.”
“Tapi cewek cantik yang nggak matre juga banyak kan?”
“Mamie cewek tercantik di dunia. Di mana pun aku berada, nama Mamie selalu tersimpan di dalam hatiku.”
Aku cuma tersenyum dengan perasaan bangga mendengar ucapannya itu.
Dan ketika sedanku mentok di depan lampu merah, Boy menggerayangi paha kiriku yang tersembul di belahan gaun malamku. Kubiarkan saja Boy melakukan hal ini. Aku bahkan ingin agar Boy bisa menjadi cowok yang agresif, tanpa terlalu mengikuti etika.
Dan lampu merah menyala cukup lama, sehingga tangan kanan Boyh sudah tiba di pangkal pahaku. Bahkan sudah menyelusup ke balik celana dalamku, untuk mengotak -atik kemaluanku.
Ketika lampu hijau sudah menyala, tangan Boy masih berada di balik celana dalamku. Padahal aku sudah menjalankan sedanku kembali, menembus kepadatan lalu lintas di hari yang sudah mulai gelap ini.
Tak lama kemudian aku sudah membelokkan sedanku ke area parkir yang terletak di basement. Area sebuah hotel five star.
“Mau cek in di hotel ini Mam?” tanya Boy.
“Tadinya mau makan dulu. Hotel ini menyediakan makanan all you can eat, dengan system buffet. Tapi mendingan cek in dulu. Setelah ML, baru kita makan. Kamu judah kepengen ngentot memek mamie lagi kan?”
“Heheheee… iya Mam. Mendingan ML dulu, baru makan. Punyaku udah ngaceng berat nih.”
Lalu kami turun dari mobil dan melangkah ke arah pintu lift untuk cek in di front office dulu. Beberapa saat berikutnya kami sudah berada di dalam lift lagi, yang membawa kami ke lantai lima. Lantai di mana letaknya kamar yang sudah kami booking.
Pada waktu di dalam lift yang sedang membawa kami ke lantai lima itulah Boy mendekap pinggangku sambil mencium bibirku dengan mesranya. Memang Boy bebas menciumku, karena hanya ada kami berdua di dalam lift ini.
Setelah lift berhenti, barulah Boy melepaskan ciumannya.
Lalu kami keluar dari lift, menuju kamar yang sudah dibooking.
Setelah berada di dalam kamar hotel, Boy seperti ingin melanjutkan perilakunya di dalam lift tadi.
Boy memeluk leherku sambil berkata, “Di mataku, Mamie ini penuh pesona yang takkan pernah membosankan.”
“Semoga kata – katamu itu muncul dari hatimu yang sebenarnya,” sahutku sambil tersenyum. Lalu kurapatkan bibirku ke bibirnya. Dan kemudian kami jadi saling lumat sambil saling remas. Aku meremas – remas rambut Boy, sementara Boy meremas – remas bokongku.
Setelah saling lumat ini terurai, Boy berkata sambil duduk di atas sofa yang menghadap ke sebuah televisi kecil, “Besok kan sabtu Mam.”
“Terus kenapa kalau Sabtu?” tanyaku sambil duduk di samping Boy.
“Sabtu – Minggu aku kan gak kuliah.”
“Terus kamu maunya nginep di hotel ini sampai Minggu?”
“Maunya sih gitu. Tapi kita gak bawa pakaian ganti ya? Ini aja aku cuma pakai celana pendek dan bersandal pula. Gak pakai sepatu.”
“Sudahlah. Kita nginap sampai besok siang aja. kalau belum kenyang kan bisa dilanjutkan di rumah.”
“Siap Mamie… !” sahut Boyke sambil membusungkan dadanya.
Aku tersenyum sambil menyelinapkan tanganku ke balik celana pendek hitam yang Boy kenakan. Celana pendek yang elastis di bagian lingkaran perutnya. Dan kupegang penisnya yang memang sudah ngaceng berat. Maklum anak muda masih belasan tahun. Produksi sperma dan gairahnya masih melimpah.
“Kontolmu udah ngaceng full gini… udah gak sabar pengen ngentot memek mamie lagi ya?” tanyaku sambil meremas penisnya dengan lembut.
“Iya Mam… please…” sahut Boy sambil melepaskan celana pendek hitam dan celana dalamnya.
Dan… penis panjang gede itu tampak mengacung ke atas. Membuatku tersenyum. Lalu berdiri sambil melepaskan gaun malamku. Kemudian kugantungkan gaunku di kapstok. Begitu juga beha dan celana dalam kutanggalkan dan kugantung di kapstok. dan menghampiri Boy kembali, yang juga sudah menanggalkan baju kaus hitamnya, sehingga jadi telanjang bulat, seperti aku.
Kutarik pergelangan tangan Boy sambil berkata, “Di bed aja yuk. Biar leluasa pergerakannya.”
Boy manut saja. Mengikuti langkahku menuju bed. Lalu ia duluan melompat ke atas bed, diikuti olehku yang terus – terusan mengamati penis Boy secara diam – diam.
Entah nurun dari siapa penis Boy bisa sepanjang dan segede itu. Soalnya penis Papie tidak sepanjang dan segede penis Boy gitu.
Aku pun mulai bergumjul hangat dengan Boy. Terkadang aku berada di atasnya, sambil sengaja menggesek – gesekkan kemaluanku ke penis Boy. Terkadang Boy yang berada di atas, menciumi bibirku sambil meremas – remas toketku dengan lembut.
Dan akhirnya… Boy seperti sadar bahwa ukuran penisnya terlalu gede untuk liang memekku yang kecil ini. Lalu Boy menelungkup di antara kedua pahaku yang sudah kurentangkan. Dengan wajah berada di atas kemaluanku.
Lalu… Boy mulai menjilati memekku dengan lahapnya, sambil mengelus – eluskan ujung jarinya ke kelentitku. Entah belajar dari mana Boy itu… atau sengaja mengembangkan dirinya, sehingga trik yang satu ini terasa jauh lebih nikmat. Bahwa lidah dan bibirnya menggeluti celah memekku, sementara ujung jarinya menggesek – gesek kelentitku.
Karuan saja aku pun mulai merintih – rintih histeris, “Enak sekali Boy… oooooh… itilnya gesek terus Booooy… itilnyaaaa… iiitiiiiiil… iiiiitiiiiiil… hihihihiiiii… geli – geli enak Boooy… gesek terus itilnya… iiitiiiiilnyaaa… iiiiiiiiitttttttttiiiillll…
Saking enaknya permainan Boy ini, dalam tempo singkat saja liang memekku terasa sudah basah oleh air liur Boy bercampur dengan lendir libidoku sendiri.
Sehingga akhirnya aku meratap seperti memohon, “Udah Boy Sayaaang… masukin aja kontolmu Booooy… sudah bisa kan masukin sendiri kontolnya?”
“Mudah – mudahan bisa Mam, “Boy merangkak ke atas perutku sambil mencolek – colekkan moncong penisnya ke mulut vaginaku.
Tak urung aku pun ikut memegangi leher penis Boy, agar jangan meleset ke arah lain.
Setelah moncong penis Boy terasa berada di posisi yang tepat, aku pun memberi instruksi, “Ayo dorong Boy…”
Boy mengikuti instruksiku. Ia mendorong penis ngacengnya sambil menahan nafas… lalu… blesssss… penis panjang gede itu melesak masuk ke dalam liang memekku.
Aku pun menyambutnya dengan merengkuh lehernya ke dalam pelukanku. Lalu kupagut bibir machonya, yang kulanjutkan dengan lumatan lahap dan penuh gairah.
Boy pun mulai mengayun penisnya, bermaju – mundur di dalam liang kewanitaanku. Menimbulkan gesekan demi gesekan yang membuatku terpejam – pejam saking nikmatnya.
Terlebih ketika Boy mulai menjilati leherku disertai dengan gigitan – gigitan kecil, aku semakin terpejam – pejam dibuatnya. Bahkan aku spontan membisikinya, “Cupangin leher mamie Boy…”
“Cupangin? Nanti kalau kelihatan beklas cupangan di leher Mamie gimana?”
“Nggak lah. Nanti belitkan aja selendang di leher mamie, biar gak kelihatan bekas cupangannya.”
Maka Boy pun mengikuti keinginanku. Ia mulai menyedot – nyedot leherku dengan kuatnya. Membuat mataku terpejam – pejam lagi. Memang terasa sakit cupangan Boy ini. Namun aku bisa merasakan sensasi dari persetubuhan ini dengan sedotan – sedotan Boy di leherku, membuatku menggeliat – geliat dalam sakit bercampur nikmat.
Bersambung…