Namun tak lama kemudian, bibir dan lidah Boy berpindah sasaran… ke ketiakku…! Ya… dengan lahapnya Boy menjilati ketiak kanan dan ketiak kiriku yang selalu terharumkan oleh parfum dan deodorant-ku.
Jilatan di ketiak yang begini gencarnya, membuatku geli… geli sekali. Tapi gelinya memang geli enak…!
Maka rintihan – rintihan histerisku pun berhamburan lagi dari mulutku, tak terkendalikan lagi.
“Booooy… oooooh… ini enak sekali Boooooyyyy… entot terus Boooooy… entot terus Booooy… entoooootttt… entooootttttttt… !”
Entotan penis Boy makin lama makin nikmat saja rasanya.
Aku pun sadar bahwa persetubuhan di kamar hotel bintang lima ini merupakan persetubuhan yang kedua, karena yang pertama berlangsung di kamarku tadi.
Dengan sendirinya ketahanan Boy pun jauh lebih tangguh daripada persetubuhan yang pertama tadi. Batang kemaluannya sudah sangat lama mondar – mandir di dalam liang memekku. Keringatnya pun sudah bercucuran dan berjatuhan di muka, leher dan dadaku. Namun belum kelihatan juga gejala – gejala mau ejakulasi.
Padahal aku sudah dua kali orgasme, sementara Boy jadi sedemikian tangguhnya menyetubuhiku.
Aku pun sudah menggoyang pinggulku dengan geolan – geolan yang makin lama makin menggila. Sehingga liang memekku begini gencarnya membesot – besot dan memilin – milin batang kemaluan anak tiriku.
Namun Boy tetap mantap mengantotku, sementara bibir dan lidahnya sudah berpindah – pindah sasaran. Terkadang menjilati leherku, terkadang mengemut dan menjilati pentil – pentil sepasang toketku. Di saat lain ia pun begitu asyik menjilati ketiakku yang selalu bersih dari bulu ketek ini.
Namun aku tak menyerah. Aku bahkan ingin merasakan multi orgasme seperti yang pernah kubaca di sebuah media asing, media khusus membahas masalah seksual.
Ya… aku mulai merasakannya lagi. Merasakan seolah sedang melesat ke langit tinggi, lalu melayang – layang di angkasa… membuatku takut jatuh dan… aaaaah… aku sudah mencapai orgasme lagi untuk yang ketiga kalinya.
Apakah aku akan mencapai orgasme yang keempat nanti?
Ternyata tidak. Sesaat kemudian Boy berkelojotan di atas perutku. Kemudian membenamkan penisnya sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang sanggamaku. Lalu kurasakan lagi sesuatu yang indah ini. Penis Boy memancarkan air maninya yang hangat di dalam liang kewanitaanku.
Crooootttt… crot… croooootttttttt… crotttt… crooooottt… crooootttt…!
Lalu Boy terkulai lemas di atas perutku. Dengan tubuh bermandikan keringat.
Karena merasa berat, kudorong dada Boy. Maka ia pun mencabut batang kemaluannya dari liang kewanitaanku. Cepat aku bangkit untuk mengambil kertas tissue basah dari tas kecilku. Untuk menyeka kemaluanku yang berlepotan air mani anak tiriku.
Kulihat Boy masih menelentang dengan tubuh penuh keringat. “Di kamar mandi pasti ada handuk. Lap dulu keringatmu gih. Kita kan mau makan di lantai satu,” kataku.
“Iya Mam, “Boy bangkit, lalu turun dari bed dan melangkah ke kamar mandi.
Aku pun ikut masuk ke kamar mandi. Untuk menyemprot kemaluanku dengan air hangat shower. Sementara Boy sedang menghanduki badannya. Aku pun mengambil handuk yang satunya lagi, untuk mengeringkan kemaluanku.
Lalu iseng kugednggam penis Boy yang sudah terkulai lemas. “Masih kuat berapa kali lagi ngentot mamie heh?” cetusku.
“Nggak tau Mam. Sekarang sih masih letih,” sahutnya lirih.
“Emang juga jangan terlalu sering. Nanti energimu habis di memek mamie. Lalu kekurangan energi di kampus.”
“Iya Mam. Tapi besok dan lusa aku kan gak kuliah,” sahutnya.
“Iya… kalau hari – hari weekend sih ada pengecualian. Ayo kita makan dulu.”
“Iya Mam.”
Beberapa saat kemudian kami sudah berada di resto, yang selalu menyediakan makanan “all you can eat” dengan system buffet.
Aku hanya makan sedikit, karena terbiasa makan sedikit waktu malam. Takut badanku jadi gendut. Tapi Boy makan habis – habisan, mungkin karena mengikuti cara all you can eat. Rugi kalau makan sedikit.
Kebetulan di lantai satu ada boutique. Maka setelah selesai makan aku membeli kimono sehelai. Boy pun mengambil kimono yang cocok untuk pria.
Dan malam itu aku tidur sambil memeluk Boy. Inilah pertama kalinya aku tidur bersama anak tiriku yang muda, ganteng dan perkasa itu.
Tapi menjelang subuh aku terbangun karena pengen pipis. Lalu aku turun dari bed dan melangkah ke kamar mandi.
Setelah pipis, aku kembali lagi ke bed, di mana Boy masih tertidur nyenyak. Tanpa menyadari bahwa kimononya terbuka. Sedangkan penisnya yang “sedang tidur” itu terbuka, karena ia tak mengenakan celana dalam.
Melihat penis lemas seperti itu aku pun jadi penasaran. Karena aku ingin menikmati hubungan sex menjelang subuh ini. Karena menurut pengalamanku, bersetubuh menjelang pagi begini nikmat sekali rasanya.
Maka tanpa ragu lagi aku duduk di dekat pangkal paha Boy. Lalu perlahan – lahan kupegang penis lemasnya.
Kujilati moncong penis Boy, lalu kuselomoti dengan sepenuh gairah mudaku.
Boy terjaga. Membuka kelopak matanya sambil menatapku yang sedang asyik menyelomoti penisnya. Tapi dia diam saja. Membiarkanku mengoral tongkat kejantanannya yang mulai menegang… dan akhirnya ngaceng full…!
Begitu mudahnya membangunkan penis Boy. Maklum usianya baru 18 tahun.
Lalu kutanggalkan kimonoku dan berlutut dengan kedua lutut berada di kanan – kiri pangkal paha Boy, dengan kemaluan berada di atas penis Boy yang sudah ngaceng itu. Penis yang sedang kupegang dan kuarahkan ke mulut vaginaku.
Kuturunkan pinggulku dengan hati – hati, sehingga kepala penis Boy mulai melesak ke dalam liang memekku.
Cukup seret masuknya, karena penis Boy gede sekali. Butuh “perjuangan” untuk memasukkannya ke dalam liang kemaluanku.
Namun akhirnya liang memekku berhasil juga “menelan” penis Boy. Bahkan kemudian aku mulai mengayun pinggulku, membuat penis Boy mulai bergesekan dengan dinding liang memekku.
Tampaknya Boy sangat senang dengan aksiku di subuh yang masih gelap ini.
Cukup lama aku beraksi dalam posisi WOT ini. Tapi seperti biasa, posisi ini membuatku cepat orgasme. Karena dasar liang kemaluanku terasa disodok – sodok terus, menciptakan rasa yang terlalu nikmat dan memaksaku cepat orgasme.
Maka aku pun ambruk di atas perut Boy. Lalu menggulingkan badan jadi terlentang di samping Boy. “Ayo masukin lagi Boy, “pintaku sambil mengusap – usap memekku yang sudah orgasme dan masih basah ini.
Boy pun merayap ke atas perutku sambil memegang penis ngacengnya.
Tampaknya Boy sudah mulai “pandai”. Penisnya membenam ke dalam liang memekku, tanpa harus dibantu lagi.
Lalu mulailah Boy mengayun penisnya di dalam liang memekku yang basah licin ini.
“Enak kan ngentot di waktu subuh – subuh gini?” ucapku sambil menepuk – nepuk pantat Boy.
“Iiii… iyaaa Mam… enak sekali… !” sahut Boy terengah.
“Para pakar bilang, bersetubuh menjelang pagi begini sangat bagus. Karena sperma dalam keadaan fresh setelah tidur semalaman. Ayo entot sepuasmu Boy… mamie barusan udah lepas, tapi sekarang udah bergairah lagi…”
“Iiii… iiiyaaaa Maaaam… dudududuuuuh… enak banget Mamie Sayaaaang…”
Dengan nafas berdengus – dengus Boy menggencarkan entotannya, karena liang memekku sudah sangat licin, sehingga dia bisa mempercepat gerakan penisnya… maju mundur dan maju mundur terus di dalam liang kenikmatanku.
Aku pun jadi bergairah untuk menggoyang pinggulku sebinal mungkin. Sehingga nafas Boy semakin berdengus – dengus, sementara penisnya terbesot – besot oleh dinding liang kemaluanku.
Tiba – tiba Boy membenamkan penisnya, sehingga moncongnya mentok di dasar liang memekku. Disusul dengan bermuncratannya air mani Boy di dalam liang memekku.
Crot… crooottttt… croooooottttttttt… crooootttt… crotcrottt… crooootttttttt…!
“Ugh… cepat sekali ngecrotnya ya Mam, “keluh Boy sambil merapatkan pipinya ke pipiku.
“Saking enaknya jadi cepat ngecrot kan?”
“Iiii… kiya Mam. Barusan terlalu enak…”
Aku tidak menyahut. Kubiarkan saja Boy tetap menghimpitku dalam keadaan yang sudah lunglai itu.
Tapi diam – diam aku jadi teringat kembali kejadian beberapa hari yang lalu…
Bahwa aku tertegun ketika melihat satpam baru itu. Karena wajahnya masih sangat kuingat.
Satpam itu kupanggil. Dia bergegas menghampiriku di teras depan.
“Kamu Ivan kan?”
“Betul Bu Boss.”
“Masih ingat aku?”
Satpam itu takut – takut menatapku. Lalu mengangguk, “Masih ingat Bu Boss.”
“Coba sebutkan siapa namaku?”
“Iiii… ibu Rina.”
“Di mana kamu mengenalku?”
“Waktu… waktu sama – sama di SMA.”
Aku ketawa kecil sambil menepuk bahu satpam yang di dadanya tertulis nama Hartawan.
“Nama panjangmu Hartawan?”
“Betul Bu Boss. Tapi nasib saya sebaliknya, tidak sesuai dengan nama yang diberikan orang tua saya. Sebenarnya saya malu memakai nama ini. Tapi dalam akte kelahiran memang begini nama saya. Hartawan yang melarat.”
“Jangan mengutuk dirimu sendiri. Siapa tau di masa tuamu beneran jadi seorang hartawan.”
“Amiiin…”
“Sudah berapa lama jadi satpam di sini?”
“Baru dua hari dengan hari ini.”
“Jadi baru kemaren tugas di sini?”
“Betul Bu Boss. Tadinya saya jadi satpam di perusahaan. Lalu kemaren dimutasikan ke sini.”
“Bisa nyetir?”
“Bisa Bu Boss. Di perusahaan juga tugas saya jadi valet boy.”
“Tukang parkir mobil VIP kan?”
“Betul Bu Boss.”
“Sebenarnya bangsa kita salah sebut. Kata valet berarti pelayan laki – laki. Tidak ada hubungannya dengan mobil.”
“Betul Bu Boss.”
“Terus… kamu punya SIM?”
“SIM A punya Bu Boss.”
“Kamu jadi driver pribadiku aja ya. Nanti manager HRD akan kutelepon. Agar menugaskan seorang satpam lain, untuk menggantikanmu di sini.”
“Siap Bu Boss.”
“Sebentar lagi aku mau keluar. Sekalian ngetes kamu yang bawa ya Van.”
“Siap Bu Boss.”
Lalu aku masuk ke dalam rumah yang berkali – kali kunilai mirip istana kekaisaran Romawi dahulu.
Di dalam rumah kugunakan telepon rumah untuk menelepon kantor perusahaan suamiku dan minta berbicara dengan manager HRD.
Lalu terdengar suara lelaki di ujung sana. “Hallo… ada yang bisa kami bantu?”
“Ini dengan manager HRD kan?”
“Betul. Ini dengan siapa ya?”
“Dengan Nyonya Mathias.”
“Ooooh… Ibu Boss? Maaf Bu, saya pikir siapa yang nelepon ini. Ada yang bisa saya bantu Bu?”
“Manager HRD ini siapa namanya?”
“Nama saya Benny Bu Boss.”
“Oke deh. Begini Pak Benny, satpam yang baru ditugaskan di rumah kami, sangat dibutuhkan untuk menjadi sopir pribadi saya. Jadi, bisakah Pak Benny mengirim satpam lain untuk menggantikan satpam yang bernama Hartawan itu?”
“Oh, bisa… bisa Bu Boss. Silakan aja kalau terpakai untuk jadi sopir pribadi Bu Boss sih. Soal satpam untuk menggantikannya di rumah Bu Boss, hari ini juga saya akan mengirim seorang anggota satpam ke rumah Bu Boss. Ada lagi yang bisa saya bantu, Bu Boss?”
“Cukup, itu saja. Terima kasih Pak.”
“Sama – sama Bu Boss. Selamat siang.”
“Siang.”
Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di dalam sedan merah metalic-ku, yang dikemudikan oleh Ivan Hartawan. Mantan teman seSMA denganku dahulu.
Sebenarnya aku ingin duduk di depan, tapi aku sudah dibiasakan duduk di belakang oleh suamiku. Karena itu aku duduk di belakang sebelah kanan, tepat di belakang Ivan.
“Anakmu sudah berapa Van?” tanyaku ketika sedanku baru menginjak jalan aspal.
“Saya belum punya istri Bu Boss,” sahutnya.
“Kamu kok jadi kaku gitu Van? Kalau sedang bewrduaamn gini gak usah manggil boss – bossan. Lagian dulu kita kan selalu memakai istilah gue dan elu. Kenapa sekarang pakai saya – sayaan?”
“Saya tau diri aja… karena kedudukan saya sekarang rendah sekali. Sementara Bu Boss kan sudah menjadi istri sang Big Boss. Masa saya harus nyebut nama.”
“Nggak ah. Kalau sedang berdua gini, panggil aku Pam atau Pampam aja seperti waktu masih sama – sama di SMA dahulu.”
“Iya Bu eh Pam… hehehe.”
“Dulu waktu masih sama – sama di SMA, kamu cuek banget sama aku. Bahkan cenderung sombong kan?”
“Bukan sombong. Saya… eh… aku hanya tau diri, gak berani deketin cewek mana pun, karena aku cuma anak seorang janda tua yang hidupnya pun serba pas – pasan.”
“Kalau soal itu, aku juga sama – sama tidak punya ayah lagi sejak aku baru kelas satu SMP dahulu.”
“Iya Bu eh… Pa… Pam.”
“Santai aja Van,” ucapku sambil menepuk bahunya dari belakang, “Aku gak bakalan gigit kok. Biar aku udah jadi bini boss, aku tetap teman lamamu kok.”
Ivan hanya tertawa kecil di belakang setir mobilku. Aku pun mulai merasakan bahwa Ivan cukup trampil dan halus nyetirnya.
“Kalau jadi sopir pribadi, mungkin pakaiannya harus hitam – hitam seperti seragam security ya Pam,” ucapnya.
“Gak usah. Pakaian casual juga gak apa – apa,” sahutku, “Kamu kan sopir pribadi istri Boss. Bukan sopir Boss. Ada bedanya kan?”
“Iya Pam.”
“Ohya, tadi aku udah nelepon manager HRD. Dia sudah tau kalau kamu udah jadi sopir pribadiku. Jadi nanti aku yang akan bayar gajimu. Bukan dari perusahaan lagi.”
“Iya, terima kasih. Ohya… sekarang mau ke mana?”
“Ke rumah ibuku,” sahutku. Lalu kujelaskan alamat rumah yang harus dituju. Rumah pemberian Papie yang kini jadi tempat tinggal Mama.
Ivan pun melarikan mobilku ke arah wilayah di mana rumah megah itu berdiri.
Sebelum turun dari mobil, kuberikan sepuluh lembar uang seratusribuan kepada Ivan. “Ini uang untuk beli baju casual, jangan pakai baju satpam begitu, risih melihatnya. Cari di mall terdekat aja dari sini. Tapi jangan terlalu lama ya. Soalnya aku juga takkan lama – lama di rumah ibuku.”
“Siap Pam… !” sahut Ivan sambil memasukkan uang pemberian dariku ke dalam dompetnya.
Aku pun turun dari mobil. Dan melangkah ke pintu gerbang yang tidak dikunci. Lalu masuk dan melangkah menuju teras. Pintu depan terkunci. Maka kupijat bel di samping pintu depan.
Tak lama kemudian Mama membuka pintu dan tampak girang melihat kedatanganku. “Mela?! “seru Mama yang lalu merangkul dan menciumi pipiku. Teman – teman memangilku Pam atau Pampam, tapi Mama selalu memnanggilku Mela.
“Mama sehat – sehat aja kan?” ucapku sambil melangkah ke ruang tamu, lalu masuk ke ruang keluarga.
Di ruang keluar pandanganku tertumbuk ke asbak di atas meja kecil yang dikelilingi sofa – sofa. Sepintas pun tampak, banyak puntung rokok di dalam asbak itu.
Setahuku, Mama sama sekali tak pernah merokok. Lalu siapa yang merokok di ruang keluarga itu? Apakah ada famili yang datang ke rumah ini?
“Sudah dapat pembantu Mam?” tanyaku..
“Belum. Zaman sekarang sih susah nyari pembantu.”
“Terus… ini puntung rokok siapa? Mama gak pernah merokok kan?” tanyaku sambil menunjuk ke asbak itu.
“Oh itu… ta… tadi ada Pak RT datang ke sini…” sahut Mama tampak gugup
“Mau ngapain RT ke sini? Kan sjurat pindah dan sebagainya sudah dikasihkan padanya.”
“Cu… cuma silaturahmi aja…” sahut Mama, masih gugup kelihatannya.
“Pak RT diterima di ruang keluarfga? Kenapa gak di ruang tamu?” tanyaku bernada mendesak.
Mama cuma bengong dan kelihatannya tidak tahu harus menjawab apa lagi. Aku pun mengeluarkan kunci kamarku dari dalam tas kecilku, kemudian membuka pintu kamarku dan masuk ke dalamnya setelah menguncikan pintu dari dalam kamarku.
Aku melompat ke atas bedku yang sudah lama tidak kutiduri.
Namun… tiba – tiba aku ingat sesuatu. Ya… aku teringat monitor CCTV yang selalu aktif di dalam lemari khusus. Mama tidak tahu bahwa aku punya CCTV yang bisa memantau ke seluruh ruangan yang ada di dalam rumah ini.
CCTV itu sengaja dipasang oleh suamiku, untuk berjaga – jaga, agar kalau ada maling masuk ke dalam rumah, bisa dipantau dan direkam oleh CCTV itu. Dan setahuku CCTV itu dilengkapi oleh external hardisk yang besar sekali memorinya (4 Tb). Sehingga kejadian sebulan yang lalu pun bisa direkam oleh CCTV itu.
Lalu iseng – iseng aku membuka pintu lemari yang berisi monitor CCTV itu.
Hari itu adalah hari Kamis. Kuputar kejadian yang terpantau sejak hari Senin. Tanggal, bulan dan tahunnya selalu muncul di layar monitor bagian bawah sebelah kanan.
Aku langsung mengarahkan monitor ke kamar Mama.
Haaa… ternyata pada hari Senin ada seorang lelaki muda yang masuk ke kamar Mama. Dan ternyata Mama yang membawa lelaki muda itu masuk.
Lalu… setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata lelaki muda itu… Ricky!
O my God! Ternyata mantan pacarku yang dibawa masuk oleh Mama itu…!
Dan adegan selanjutnya membuatku merinding -rinding tak menentu. Karena kulihat Mama melepaskan daster, beha dan celana dalamnya. Lalu dalam keadaan telanjang bulat Mama menelentang di atas bed. Sementara Ricky pun sudah melepaskan segala yang melekat di tubuhnya. Lalu ia naik ke atas bed dan disambut oleh Mama dengan pelukan dan ciuman binalnya.
Aku serasa mau pingsan ketika melihatg adegan – adegan berikutnya. Bahwa Ricky memasjukkan penisnya ke dalam kemaluan Mama.
Lalu… Ricky mengentot Mama dengan garangnya. Disambut dengan goyangan pinggul Mama yang benar – benar binal di mataku…!
Mama sama sekali tidak tahu kalau setiap peristiwa yang terjadi di dalam kamarnya, terpantau oleh kamera – kamera kecil di setiap sudut yang tersamarkan.
Aku tidak tahan lagi menyaksikan semuanya itu. Tapi aku ingin menontonnya di rumah secara tenang nanti. Lalu kucari – cari external hardisk yang masih kosong. Karena seingatku ada tiga external hardisk cadangan di laci lemari ini.
Setelah kutemukan, kucabut external hardisk yang terpasang, lalu kuganti dengan external hardisk yang belum pernah dipakai.
External hardisk yang sudah ada isinya itu kumasukkan ke dalam tas kecilku, lalu aku keluar dari kamarku.
Kulihat Mama sedang duduk di ruang keluarga. Sementara asbak yang tadi penuh dengan puntung rokok itu sudah bersih. Pasti Mama sudah membuangnya ke tempat sampah, lalu mencuci asbak itu dan meletakkan kembali di tempat semula.
“Jadi puntung – puntung rokok tadi puntung rokoknya Ricky ya Mam?!” cetusku dengan nada mendakwa.
Mama tersentak kaget. Tapi bderusaha membohongiku, “Ricky mana?” ia balik bertanya.
“Ricky keparat yang bekas pacarku itu,” sahutku, Memangnya ada Ricky lain?”
“Ah nggak. Itu puntung rokok RT.”
“Iya RT singkatan dari Ricky Terkutuk! Tidak mendapatkan anaknya lalu ngentot ibunya! Mama gak usah membohongiku. Dia sering datang ke sini untuk menyetubuhi Mama kan?!”
“Si… siapa yang laporan begitu sama kamu?”
“Nggak ada yang laporan. Aku melihatnya dengan mata kepala sendiri. Mama masih mau menghindar juga? Mama membawanya masuk ke kamar Mama. Lalu Mama lepaskan daster dan beha dan celana dalam Mama… lalu Ricky memasukkan kontolnya ke dalam memek Mama. Dan Mama menyambutnya dengan goyang Karawang yang gila – gilaan…
Mama tertunduk sambil menangis terisak – isak.
“Aku akan maafkan Mama, asalkan Mama mau berterus terang. Sejak kapan Mama biarkan Ricky menyetubuhi Mama?” tanyaku to the point.
Mama tewrdiam sambil terisak – isak. Lalu terdengar juga suaranya lirih, “Sejak masih di rumah lama, Mela. Kan mama udah laporin sama kamu, bahwa setelah kamu putuskan hubunganmu dengannya… dia datang sambil mencucurkan air matanya di depan mama. Pada saat itu mama hanya ingin melindungi kamu dari gangguannya.
“Lalu Mama kasih memek Mama padanya, agar dia tidak membuktikan ancamannya?”
“Iiii… iya…” sahut Mama sambil bercucuran air mata. “Karena dia yang memaksa mama. Dia mau tutup mulut asalkan mama dijadikan pengganti Mela.”
“Sudah berapa kali Mama disetubuhi oleh lelaki terkutuk itu?”
Mama terdiam.
“Aku ingin Mama bicara sejujurnya. Sudah sering kan dia ngentot Mama?” tanyaku dengan nada dan kata – kata vulgar. Saking jengkelnya.
“Seminggu dua kali… sudah gak terhitung lagi.”
“Terus kalau Mama hamil bagaimana?”
“Kalau hamil sih gak mungkin. Mama selalu minum pil kontrasepsi.”
“Berarti Mama sudah menikmatinya juga kan? Setiap kali terjadi, selalu suka sama suka kan?”
Mama terdiam lagi.
“Mama… kalau sekadar ingin kontol anak muda, nanti aku kasih. Tapi jangan dengan si Ricky…! Apakah mama gak sadar kalau dia akan menjadi ancaman bagi rumah tanggaku, akan menjadi ancaman bagi Mama juga kelak?”
Mama tetap membisu. Hanya isakan – isakannya yang terdengar.
Dan aku jadi pusing. Maka ketika terdengar bunyi mesin mobilku berhenti di depan, aku langsung bangkit dari sofa ruang keluarga. Kukunci lagi pintu kamarku. Lalu aku melangkah ke depan tanpa pamitan lagi kepada Mama.
Mama mengejarku sampai di pintu gerbang besi, “Mela… maafin Mama ya Mel…” ucapnya sendu.
“Akan kumaafkan kalau Mama tidak mengulanginya lagi dengan si Ricky jahanam itu,” sahutku yang lalu bergegas menghampiri sedanku. Membuka pintu depan sebelah kiri dan masuk ke dalamnya.
Dalam keadaan galau, aku jadi lupa bahwa seharusnya aku djuduk di belakang. Tapi saat itu aku sudah telanjur duduk di samping Ivan. Maka kataku, “Ayo jalan Van… !”
Ivan memindahkan tongkat persneling matic ke D. Lalu sedan merahku meluncur perlahan di jalan aspal.
“Yang barusan ibunya?” tanya Ivan di belakang setirnya.
“Iya,” sahutku singkat.
“Masih muda ya ibunya. Cantik pula,” ucap Ivan sambil tersenyum -senyum.
Aku cuma menghela nafas panjang. Karena masih teringat pada semua yang terjadi tadi.
Dan aku mencoba untuk berpikir secara objektif. Bahwa menurut pengakuannya, Mama ingin melindungiku, agar jangan sampai diganggu oleh Ricky yang telah melontarkan ancamannya. Seandainya Mama mengatakan yang sebenar – benarnya, mungkin aku tak boleh terlalu marah padanya. Karena biar bagaimana pun Mama itu ibu yang mengandung dan melahirkanku ke dunia ini.
Aku bisa memaafkan Mama. Tapi aku tidak bisa memaafkan kalau Mama tetap berhubungan dengan si Ricky keparat itu. Kalau Ricky mau membuktikan ancamannya, silakan. Malah akan kuadukan lewatg pengacaraku, bahwa dia sudah mengganggu ketentraman rumah tanggaku dengan Papie.
Bahkan kalau jengkel – jengkel amat, aku bisa minta bantuan pada bodyguard Papie yang banyak dan rata – rata bertubuh tinggi tegap kekar itu.
Tapi aku yakin, Ricky takkan berani membuktikan ancamannya. Lagipula kalau hubunganku ddengannya dilanjutkan, mau ke arah mana dia membawaku kelak? Untuk membiayai dirinya sendiri pun masih payah sekali, apalagi membiayai istri dan anak – anak…!
Tapi seandainya Mama sudah ketagihan oleh permainan Ricky, bagaimana mengatasinya?
Tiba – tiba aku mendapat ilham yang bagus. Diam – diam aku memperhatikan Ivan dengan sudut mataku. Ivan yang sudah mengenakan pakaian casual, bukan seragam satpam lagi.
Hmmm… kalau dibandingkan dengan Ricky, Ivan ini jauh lebih ganteng. Kulit Ivan pun putih cemerlang. Tidak seperti Ricky yang berkulit coklat kusam
(Sekarang aku baru nyadar kalau si Ricky itu jelek…! Tapi kenapa dahulu aku bisa menerima cintanya?).
“Ivan… bisa gak aku minta tolong sama kamu?” tanyaku tiba – tiba.
“Minta tolong apa Pam?”
“Aku butuh sesuatu…”
“Butuh apa?”
“Butuh ini…” sahutku sambil memegang celana panjang Ivan, tepat di bagian penisnya.
“Haaa?” Ivan menoleh padaku, “Nggak salah nih?”
“Ini serius Van. Aku butuh ini… tapi bukan buat aku.”
“Lalu buat siapa?”
“Buat ibuku itu…! Kan kamu bilang masih muda dan cantik. Makanya aku mau minta tolong sama kamu. Tolong gauli dia, supaya dia tidak terlalu jauh melenceng.”
“Sebentar… saya masih rada bingung Bu, eh Pam…”
Lalu kujelaskan semua yang telah terjadi itu. Bahwa mantan pacarku meminta Mama sebagai kompensasi atas kejadian diputuskannya hubunganku karena mau menikah dengan Tuan Mathias. Dan aku tidak suka Mama berhubungan dengan mantan pacarku itu. Untuk itu aku membutuhkan lelaki lain, agar pikiran Mama beralih ke lelaki yang kuajukan.
Dan Ivan ini sangat memenuhi syarat. Dia jauh lebih bagus daripada Ricky. Usianya pun lebih muda daripada Ricky. Karena Ricky sudah berusia 31 tahun, sementara Ivan ini seangkatan denganku di SMA dahulu. Jadi kira – kira umurnya pun sebaya denganku.
“Bagaimana Van?” tanyaku, “Kamu bersedia untuk mengikuti arahanku?”
Ivan tidak menjawab. Tetap berkonsentrasi pada setir mobilku.
Maka kataku lagi, “Kalau kamu bersedia membantuku… aku takkan melupakan jasamu. Aku akan berusaha agar kamu mendapatkan jabatan yang bagus di perusahaan nanti.”
“Tapi… saya bukan gigolo Pam.”
“Lho… siapa yang nganggap kamu gigolo? Aku tidak menjanjikan bayaran kan? Aku minta tolong padamu sebagai sesama teman lama. Bukan sebagai istri boss kepada anak buah suaminya. Bukan pula sebagai mak comblang yang akan menjodohkan kamu dengan ibuku. Bahkan aku dengan berat hati minta bantuan ini padamu.
“Tapi nanti saya harus menggaulinya secara rutin, begitu?”
“Iya,” sahutku, “anak muda zaman sekarang malah banyak yang terobsesi oleh wanita setengah baya seperti ibuku itu. Karena servis perempuan setengah baya pada umumnya sangat memuaskan. Daripada kontolmu dikocok sama tangan kan mendingan dimainkan di dalam memek. Ibuku itu sangat rajin merawat tubuhnya.
“Terus nanti Pampam mau nonton saya begituan dengannya?” tanya Ivan.
“Nggak lah. Aku hanya akan menemani ibuku pada awalnya aja. Kalau sudah siap main, aku akan keluar dari kamar ibuku dan tiduran di kamarku sendiri,” sahutku. Dengan hati tertawa, karena nantinya aku bisa nonton di kamarku lewat monitor CCTV.
Hihihiiii…!
Akhirnya Ivan sepakat untuk mengikuti arahanku. Dan aku yakin bahwa kalau Ivan sudah dihadirkan di dalam kehidupan Mama, maka Ricky akan segera ditinggalkan. Karena dalam segala hal Ivan lebih berbobot kalau dibandingkan dengan Ricky.
Aku pun menjanjikan, kalaju Ivan sukses meraih Mama, aku akan mengangkatnya sebagai aspriku (asisten pribadiku), tentu dengan gaji yang jauh lebih tinggi daripada sopir pribadi.
Keesokan paginya, Ivan tampak sudah siap berangkat. Sudah mandi dan mengenakan pakaian yang pantas di mataku. Dan secara jujur aku menilai, bahwa di balik pakaian yang “layak” itu, Ivan tampak ganteng sekali di mataku. Mudah – mudahan saja Mama akan mengikuti arahanku nanti.
Ivan juga sudah menguasai point – point yang sudah kurancang tadi malam.
Lalu sedan merah metalic-ku meluncur di jalan aspal, menuju rumahku yang ditempati Mama itu.
Jam tanganku baru menunjukkan pukul 09.30 pagi ketika mobilku sudah dimasukkan ke dalam garasi. Mama pun keluar dari rumah, menghampiriku dengan senyum ceria, “Kirain kamu masih marah sama mama,” ucapnya sambil memegang pergelangan tanganku dan menuntunku masuk ke dalam rumah.
Ivan pun mengikuti langkahku, masuk ke dalam rumah megah hadiah dari Papie menjelang perkawinanku dengannya dahulu.
“Ini siapa Mel?” tanya Mama sambil menunjuk ke arah Ivan yang ikutan masuk ke dalam rumah…
“Dia asisten pribadiku Mam,” sahutku.
Lalu Ivan pun menjabat tangan Mama dengan sikap sopan.
“Dia ini akan menjadi obat bagi Mama,” kataku sambil memegang bahu Ivan, “Obat untuk melupakan buaya darat itu.”
“Buaya darat?” Mama menatapku.
“Iya… buaya bernama Ricky sialan itu.”
Lalu kami bertiga duduk di ruang keluarga. Di situlah aku melanjutkan pembicaraan, “Coba Mama bandingkan Ricky dengan Ivan ini… bagusan mana?”
“Kok harus membanding – bandingkan dengan Ricky?”
“Iya. Harus dibandingkan sekarang juga. Bagusan siapa?”
“Yaaa… bagusan ini lah… siapa namanya tadi?” Mama menoleh ke arah Ivan.
Ivan menyahut, “Saya Ivan, Tante.”
“Berarti bagusan Ivan kan?” tanyaku kepada Mama.
Mama mengangguk dengan sikap salah tingkah. “Lalu kenapa Ivan ini disebut obat buat mama?” tanyanya.
“Begini Mam,” kataku, “Mama memang belum tua – tua banget. Karena itu aku yakin bahwa libido Mama masih berkobar. Masih jauh dari padam.”
Lalu aku berdiri sambil menarik pergelangan tangan Mama dan mengajak masuk ke dalam kamarnya.
Di dalam kamar Mama, aku berbisik ke telinganya, “Ivan kutugaskan untuk memanjakan gejolak birahi Mama. Jangan menolak ya Mam. Kalau Mama menolak, berarti Mama masih ingin melanjutkan hubungan dengan si Ricky keparat itu.”
“Jadi Mama harus bagaimana?” tanya Mama dengan sikap bingung.
Kujawab dengan bisikan, “Ivan siap buat menggauli Mama sekarang dan di hari – hari yang akan datang. Mama jangan menolak ya. Ini tanda perasaan sayangku kepada Mama.”
Kemudian kulambaikan tanganku ke arah Ivan. Maka Ivan pun berdiri dan melangkah masuk ke dalam kamar Mama.
Dengan cepat kuambil kunci pintu kamar Mama. “Titip Mama, ya Van. Silakan enjoy sepuasnya. Pintu ini akan kukunci. kalau mau pipis atau bersih -bersih gampang, karena kamar ini ada kamar mandinya. Ayo terkam Mama Van… !”
Pintu kamar Mama kututup dan kukuncikan dari luar. Lalu aku bergegas menuju pintu kamarku. Membuka kuncinya, lalu masuk ke dalam kamarku yang sudah lama tidak kutiduri ini.
Cepat kubuka lemari berisi monitor dan perangkat CCTV itu.
Karena aku hanya ingin memantau keadaan di dalam kamar Mama, aku bisa mendengarkan suaranya (kalau kejadian jauh di luar rumah, hanya bisa dilihat gambarnya saja), maka kuambil headphone dan kutancapkan jack kabel kontaknya ke perangkat, lalu kupasangkan ke kepalaku.
Monitornya sudah aktif… hmmmm… Mama sedang duduk di pinggiran ranjang, sementara Ivan sudah melepaskan celana jeans dan t-shirtnya.
Mama: “Ini serius Van?”
I v a n: “Serius Tante. Saya gak berani maen – maen, takut dipecat oleh Pampam.”
Mama: “Hihihihi… rasa ngimpi, tau – tau dikasih cowok ganteng gini, “(Mama mencolek dagu Ivan… hmmm Mama sudah mulai “on”)
I v a n: “Dasternya lepasin aja ya Tante”(kedua tangan Ivan berada di punggung Mama)
Mama: “Atur – atur aja lah. Tante juga gak berani menentang niat baik Mela”
I v a n: “Tante manggil Mela ya sama dia”(daster Mama sudah dilepaskan, kedua tangan Ivan masih berada di belakang Mama. Oooo… lagi melepaskan kancing beha Mama).
Mama: “Iya. Teman – temannya sih manggil Pam atau Pampam.”
I v a n: “Duh… payudara Tante masih bagus gini. Diapain bisa kencang gini Tan?”(Ivan menggenggam kedua toket Mama. Ivan masih berdiri di belakang Mama)
Mama: “Tante kan gak pernah menyusui anak. Suka pake sufor, karena tetek tante sedikit sekali asinya”
(Mama menelentang dalam keadaan cuma mengenakan celana dalam)
I v a n: (menelungkupi perut dan toket Mama)
Mama :(meraih leher Ivan ke dalam pelukannya… mencium bibir Ivan sambil memejamkan mata)
I v a n: (menciumi pentil toket Mama, lalu mengemutnya)
Mama: “Van… tante langsung horny nih. Ivan ganteng banget sih.”
I v a n :(melorot turun… wajahnya berada di atas celana dalam Mama yang sedang dipelorotkan olehnya… hmm memek Mama memang selalu dibersihkan jembutnya… mulai dijilati oleh Ivan).
Mama: “Dudududuuuuh Ivaaaan… tante kalau dijilatin gini, gak tahan lama… bisa langsung lepas… ooo… ooooo… oooooh… apalagi kalau itilnya yang dijilatin gini… bisa langsung orgasme Vaaan… aaaaa… aaaaaah… masukin aja kontolnya Vaaan… hssss… pake kontol aja…”
I v a n: “Iya Tante, ini juga udah mau pake kontol… kalau gak dijilatin dulu takut Tante kesakitan… soalnya kontol saya segede gini… “ (Ivan sudah melepaskan celana dalamnya, memperlihatkan kontolnya kepada Mama… anjriiiittttttttt… kontol Ivan gede banget… !)
Mama: “Waaaw…! Ini kontol kuda apa kontol orang?”(mama memegangi kontol Ivan sambil melotot)
Bersambung…