Diam – diam aku mulai horny menyaksikan perbuatan mereka. Apalagi setelah Ivan memasukkan batang kemaluannya ke dalam liang memek Mama… wooow… memang gede sekali penis teman lamaku itu… gak nyangka sedikit pun kalau Ivan punya alat vital sedahsyat itu… sehingga Mama harus merentangkan sepasang pahanya selebar mungkin…
Mama: “Ooooh… Vaaaan… kontolmu gede sekali Vaaaan… ooooh… tapi ini mantap sekali Van… ayo entotin sekarang… iyaaaaa… iyaaaaa… iyaaaaa… iyaaaaaaa… enak sekali Vaaan… aaaah… aaaaah… gak nyangka Mela bakal ngirim kamu Van… aaaaaah… tante bakal ketagihan nih dapetin kontol segede gini siiih…
I v a n: “Stttt… jangan keras – keras Tante. Nanti kedengaran sama Pampam…”
Mama: “Biarin aja… sekarang kita beginian atas permintaan dia juga kan?”
Menyaksikan perbuatan Mama dan Ivan itu, makin lama membuatku semakin horny. Sehingga aku merasa harus melepaskan gaunku, behaku dan terutama celana dalamku…!
Dalam keadaan telanjang bulat kulanjutkan kembali menonton aksi Mama dan teman lamaku itu. Namun kini jemari tangan kananku mulai mempermainkan memekku sendiri. Sementara tangan kiriku meremas – remas toketku sendiri.
Ya… jemari tangan kananku sengaja kusodok -sodokkan ke dalam liang memekku sendiri, sambil membayangkan tengah dientot oleh penis Ivan yang dahsyat kitu. Tangan kiriku pun meremas – remas toketku sendiri, sambil membayangkan tengah diremas oleh tangan Ivan…
Tiba – tiba aku teringat sesuatu yang kusimpan di dalam tas kecilku. Sebuah vibrator yang kecil, hanya sebesar telor burung puyuh. Vibrator itu baru dua hari yang lalu kubeli dari pedagang kaki lima. Dia menawarkan vibrator itu untuk olah raga alis, katanya. Tapi setelah kudesak apa kegunaan vibrator sekecil itu?
“Cara pakainya gimana?” tanyaku.
“Semua kotak vibrator ada aturan pakainya seperti ini Non,” sahutnya sambil memperlihatkan selembar kertas berisi cara penggunaan vibrator itu.
Lalu wanita itu berbisik lagi di dekat telingaku, “Kalau Non seorang karyawati dan mendadak horny di kantor, masukin aja vibrator ini ke dalam vagina, lalu aktifkan batrenya. Enak sekali Non. Saya juga sering pakai kalau suami sedang di luar kota. Tapi yang lebih enak lagi tempelkan aja ke clitoris, dalam beberapa menit juga bisa orgasme Non.
Dan kini, ketika aku semakin terangsang oleh adegan demi adegan di layar monitor CCTV, rasanya aku semakin horny. Lalu vibrator mini yang cuma segede buah melinjo ini kukeluarkan dari tas kecilku, berikut batrenya yang sebesar kotak korek api. Batre kecil ini bisa terhubung ke vibrator secara wireless (tanpa kabel).
Aku mau mengikuti anjuran penjual vibrator ini, kutempelkan ke clitoris alias itil ini. Sambil mengaktifkan batrenya dengan jemari tangan kiriku, sementara tangan kanan tetap kugunakan untuk menempelkan vibrator mini ke clitorisku.
Dan… ttttrrrr…
Vibrator segede telur burung puyuh ini bergetar membuat mulutku ternganga sementara mataku terpejam erat – erat saking enaknya…!
Gila! Ini benar – benar enak… sehingga dalam tempo singkat saja aku menjengking seperti hewan mau melepaskan nyawanya. Dan… aku mencapai orgasme dengahn mudahnya.
Tapi adegan di monitor CCTV masih seru. Mama mulai menggoyang – goyangkan pinggulnya edan – edanan. Pinggul Mama bergeol – geol lebih edan daripada geolan penyanyi dangdut pantura… sementara Ivan pun mengayun penisnya edan – edanan pula.
Aku jadi horny lagi melihat adegan – adegan syur itu. Sehingga terpaksa kumasukkan vibrator yang ada tali pendeknya (untuk mencabut kembali dan jangan sampai “tertelan” oleh kemaluanku). Setelah “telur burung puyuh” itu berada di dalam liang kemaluanku, cepat kuaktifkan kembali batrenya dengan tangan kiriku.
Teeeeeerrrr…
“Telur burung puyuh” ini bergetar kembali. Membuatku tersentak – sentak, seperti penunggang motor sedang berada di jalan yang berbatu – batu.
Dan aku cuma bisa berdesah – desah sendiri sambil memejamkan mataku erat – erat.
“Aaaaaah… aaaaa… aaaaaaah… aaaaaa… aaaaaaah… aaaaa… aaaaaaah… !”
Namun ketika pandanganku tertuju ke layar monitor CCTV lagi, wow… Mama dan Ivan lebih gila lagi. Mereka sudah berganti posisi, jadi posisi doggy.
Rintihan Mama pun semakin riuh terdengar di headphoneku, “Ivan… duuuuh Vaaaan… tante udah orgasme dua kali… tapi sekarang udah enak lagi… entot terus Vaaan… sambil tepuk – tepuk bokong tante… Vaaan… aaaa… aaaahhhh… aaaa… aaaaah… Vaaan… aaah… Vaaaan… kontolmu…
Pada saat itu pula aku tak kuasa lagi menahan enaknya getaran vibrator mini di dalam liang memekku ini…
Maka aku pun merintih sendiri di dalam kamarku aaaahhhh…!
Aku menggelepar sambil memejamkan matanya. Lalu kubayangkan penis Ivan sedang menancap di dalam liang kenikmatanku yang sangat peka ini. Kubayangkan moncong penis Ivan sedang memuncratkan spermanya yang menghangati liang kemaluanku.
Ooooh… nikmatnya orgasmeku ini…!
Lalu kumatikan batre kecil di tanganku ini. Kucabut vibrator ini dari liang memekku. Dan aku terlena di atas bedku. Dan kepalaku tersungkur tepar di atas bantal. Dalam kenikmatan semu yang seolah nyata.
Ketika aku terjaga, kulihat Mama dan Ivan sudah selesai melakukannya. Tampak mereka sudah berpakaian lagi, bahkan seperti yang baru selesai mandi.
Ya… semuanya itu terjadi sebelum aku menyerahkan kewanitaanku kepada Boyke.
Dan pada waktu aku sudah berada di dalam mobilku yang dikemudikan oleh Ivan, lagi – lagi aku duduk di depan lagi. Aku pun bertanya kepada teman lamaku itu, “Bagaimana tadi Van? Tugas dariku enak kan?”
Sebagai jawaban, Ivan mengacungkan jempol kirinya ke depan wajahku. “Luar biasa…” sahutnya.
Aku cuma tersenyum, tak mau berkomentar. Namun tangan kananku diam – diam bergerak, untuk menurunkan ritsleting celana panjang Ivan. Karena penasaran, ingin tahu sehebat apakah penis Ivan yang tadi di layar monitor CCTV kelihatan dahsyat itu.
Hmmm… memang gede sekali. Tapi sudah lemas.
“Mmm… Pampam mau juga?” tanya Ivan sambil melambatkan laju mobilku.
“Nggak, “aku menggeleng, “cuma ingin tau aja seperti apa bentuk kontol yang sudah ngecrot di dalam memek ibuku…”
Penis Ivan pun mulai membesar dan menegang di dalam genggamanku. “Kamu sudah pengalaman dalam soal sex ya?”
“Belum Pam. Kalau ngocok sih sering. Tapi dimainkan di dalam memek baru sekali tadi,” sahut Ivan.
“Berarti kebujanganmu dilepasin di dalam memek ibuku ya?”
“Hehehe… betul Pam. Ini pengalaman yang sangat mengesankan.”
Kulepaskan kembali genggamanku, karena takut lupa diri dan tak kuat menahan nafsu.
Setibanya di rumah, hari sudah sore. Aku berkata kepada Ivan, “Sekarang pulang aja Van. Kamu harus istirahat, supaya badanmu fits kembali.”
“Siap Bu Boss,” sahut Ivan dengan sikap formal.
Aku pun masuk ke dalam rumah yang mirip istana kekaisaran Romawi ini. Langsung masuk ke dalam kamarku dan melepaskan gaun berikut pakaian dalamku.
Lalu kukenakan kimono putihku dalam perasaan tak menentu. Karena masih membayangkan apa yang telah kusaksikan di monitor CCTV tadi. Pada saat itulah aku dibuat tersentak kaget mendengar suara lelaki di belakangku, “Selamat sore Mamie…”
Ketika aku menoleh, ternyata Walter sudah berada di dalam kamarku. Walter adalah suami anak sulung Papie yang bernama Cinthia itu. Berarti statusnya adalah menantu Papie.
Aku baru nyadar bahwa pintu kamarku masih terbuka, sehingga Walter bisa nyelonong masuk tanpa mengetuk pintu dulu. Kini pintu itu sudah tgertutup, tapi Walter sudah berada di dalam.
Pada saat itu Papie sedang berada di luar negeri. Tapi Papie sedang berada di Jepang, bukan di Eropa seperti perjalanan bisnis berikutnya.
Walter mencium tanganku, lalu cipika – cipiki seperti biasa. Tapi pada saat itu ada yang tidak biasa dilakukannya. Setelah cipika – cipiki, Walter mencium bibirku sambil memelukku erat – erat. Tentu saja akju kelabakan dibuatnya. Dan berusaha meronta agar lepas dari pelukannya. Tapi pelukan lelaki indo Belanda itu bahkan semakin erat memelukku.
Lututku lemas seperti tak ada tulangnya lagi. Aku tak mau munafik, bahwa ciuman Walter membangkitkan libidoku yang belum terpuasi secara normal. Baru dipuasi oleh vibrator mini itu.
Dan… aku tidak tahu sejak kapan aku duduk merapat di sisi kiri Walter di atas sofa kamarku. Aku memang sangat terpancing dengan ciuman dan pelukan menantu tiriku tadi. “Mana Cinthia?” tanyaku berusaha memulihkan pikiranku dari keterlenaan ini.
“Cinthia sedang di rumah sakit Mam,” sahut Walter sambil menciumi tanganku.
“Haa?! Sakit apa dia?” tanyaku sambil berusaha melepaskan tanganku dari genggaman lelaki kebule – bulean itu. Tapi tak berhasil, karena genggaman Walter terlalu kokoh.
“Mau melahirkan, bukan sakit,” sahutnya.
“Berarti Walter sedang menunggu kelahiran anak ketiga ya?”
“Iya Mam. Menunggu kelahiran anak ketiga sekaligus sedang puasa dan membuatku lapar sekali.”
“Sekarang sedang puasa?”
“Iya… puasa dalam soal sex. Cinthia takkan bisa diapa – apain sampai puluhan hari mendatang.”
“Pantesan kamu jadi nakal begini.”
“Maaf Mam. Soalnya Mamie terlalu cantik di mataku,” sahut Walter sambil merayapkan tangannya ke balik kimonoku.
Aku berusaha menepiskan tangan kekar itu dari balik kimonoku. Tapi jemari Walter sudah tiba di permukaan kemaluanku yang belum mengenakan celana dalam ini.
Dengan sendirinya pertahananku jadi lemah. Terlebih setelah jemarinya menyelusup ke dalam celah kewanitaanku yang cepat basah ini.
Dan… tiba – tiba Walter melorot turun. Berjongkok di lantai, di antara kedua kakiku yang sedang lemas ini.
Lalu… mulut Walter menyeruduk ke memekku…!
Dan jilatannya luar biasa trampil. Membuat lututku semakin lemas.
Oooh… adakah godaan yang lebih kuat daripada godaan lelaki indo berambut pirang ini?
Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa ketika Walter semakin gencar menjilati setiap sudut kewanitaanku. Bahkan kelentitku pun mulai dijilati dan disedot – sedot, membuatku terkejang – kejang dalam nikmat…!
Tentu saja batinku semakin tidak karuan. Tak tahu harus berbuat apa dalam situasi yang sudah terpojok begini.
Aku cuma tahu bahwa liang memekku basah lagi (setelah dibuat basah oleh vibrator mini di rumah Mama tadi).
Lalu, aku hanya bisa pasrah ketika Walter mengangkat dan membopong tubuhku ke arah bed. Kemudian ia meletakkanku dengan hati – hati di atas bed. Disusul dengan pelepasan busananya sehelai demi sehelai, sampai telanjang bulat.
Aku terkesiap ketika melihat penis Walter yang putih kemerahan itu. Besarnya mungkin sama dengan penis Ivan. Tapi panjangnya itu… ooooooh… penis Walter yang sudah ngaceng itu… panjang sekali…!
Walter pun naik ke atas bed. Lalu menanggalkan kimonoku. Sehingga aku jadi telanjang bulat. Karena aku belum mengenakan celana dalam maupun beha tadi.
Ketika Walter meletakkan moncong penisnya di mulut vaginaku, masih sempat aku berkata, “Pintunya kunci dulu.”
“Sudah,” sahutnya, “begitu aku masuk ke sini tadi, pintunya sudah langsung kukunci. Biar aman ya Mam.”
Aku tidak menyahut. Cuma memejamkan mata ketika terasa moncong penis bule itu mendesak mulut memekku.
Dan… oooohhhh… penis gede yang sangat panjang itu mulai menerobos liang memekku. Membuatku terbeliak… lalu terpejam erat – erat ketika terasa penis long size itu mjulai bermaju – mundur di dalam liang sanggamaku. Sementara leherku pun mulai dipeluknya dengan hangat. Disusul dengan ciuman hangatnya yang membuatku semakin terlena dalam nikmatnya entotan lelaki indo itu.
Pertahananku memang sudah runtuh oleh suami Cinthia ini. Lalu haruskah aku jadi orang munafik dan berpura – pura tidak merasakan nikmatnya entotan penis Walter yang sangat panjang dan terus – terusan menabrak dasar liang memekku ini (saking panjangnya penis Walter ini)?
Aku tahu bahwa Cinthia lebih tua dariku. Bahkan adik Cinthia yang bernama Monica itu pun lebih tua dariku. Lalu entah dari mana datangnya keinginan yang satu ini. Keinginan untuk menyadarkan Walter, bahwa aku ini lebih muda daripada istrinya. Bahwa aku ini lebih memuaskan daripada Cinthia.
Maka dengan sepenuh gairah kugoyangkan puinggulku dengan gerakan, memutar – mutar, meliuk – liuk dan menghempas – hempas. Sehingga gesekan penis panjang gede itu semakin terasa olehku. Tentu saja, karena dengan goyangan yang sudah terlatih ini, penis Walter dibesot – besot dan diremas – remas oleh liang memekku.
Aku memang sudah lupa daratan. Lupa segalanya. Sehingga rintihan -rintihanku pun mulai berlontaran dari mulutku, tanpa kendali lagi.
“Walter… aaaaaa… aaaaaahhhh… Walteeeeer… aaa… aaaaahhhhh… aaaaaa… aaaaaaaahhhhhhh… kontolmu pan… panjang se… sekali… Walteeerrrrr… aaah…”
Walter malah menghentikan entotannya sambil berkata, “Kontol panjang rasanya lebih mantap kan Mam?!”
Kucubit pinggang Walter sambil menyahut, “Ayo entotin terus. Jangan mandeg – mandeg gini… !” Walter mencium bibirku, lalu melumatnya dengan lahap, sambil menggenjot penisnya kembali.
# part 3
Dengan sejujurnya aku mengakui, bahwa gesekan demi gesekan yang terjadi antara liang kewanitaanku dengan tongkat kejantanan Walter, terasa nikmat. Nikmat sekali.
Inilah perselingkuhan pertamaku di belakang Papie (karena pada saat itu aku belum ngapa – ngapain dengan Boy).
Semuanya ini tidak kukehendaki awalnya. Kalau aku berniat selingkuh, mungkin sejak tadi siang pun akan kurenggut Ivan ke dalam dekapanku. Tapi aku tidak melakukan apa – apa dengan Ivan, kecuali memegang penisnya saja.
Begitu juga dengan Walter ini. Bermimpi pun tidak pernah, lalu tahu – tahu aku sudah dihimpit dan dientot oleh mantu tiriku ini.
Dan sebagai seorang wanita yang banyak kelemahannya ini, aku tidak bisa menolak lagi. Karena Walter keburu menggerayangi kemaluanku, keburu menjilati memekku pula. Mana mungkin aku punya kekuatan untuk menolak kehadiran penisnya di dalam liang kewanitaanku?
Akhirnya aku bertekad untuk menikmatinya saja, karena sudah kepalangan basah. Itulah sebabnya aku berusaha membuat Walter puas sepuas – puasnya. Bahkan aku seolah ingin bersaing dengan Cinthia yang lebih tua dariku itu. Ingin agar Walter menganggapku jauh lebih memuaskan daripada istrinya.
Karena itu goyangan pinggulku makin lama makin binal. Goyangan ini selain untuk memuaskan Walter, juga untuk memuasi diriku sendiri. Karena dengan goyangan ini, kelentitku terus – terusan bergesekan dengan badan penis Walter. Dan ini luar biasa nikmatnya…!
Akibatnya, aku mulai merasa berada di detik – detik krusial. Detik – detik menuju puncak orgasmeku.
Karena itu aku terengah – engah mendesis, “Sssss… Wal… Walter… Walterrrrr… aku… aku udah mau orgasme… Walter… Walter… Walter… !”
Walter pun menjawab terengah, “Iiii… iya Mam… aku… aku juga… udahg… ma… mau ejakulasi… ki… kita barengin ya Maaaaaaaam…”
Lalu kami seperti sepasang manusia yang tengah kerasukan. Walter meremas sepasang toketku dengan kencangnya. Tapi aku tidak kesakitan, karena liang memekku sedang menggeliat dan mengedut – ngedutg di puncak orgasmeku.
Aku pun meremas – remas rfambut pirang Walter sampai acak – acakan.
Pada detik – detik inilah moncong penis Walter memuntahkan lendir hangatnya berulang – ulang… crooooottttttttt… crot… crot… crooootttttt… crolttttt… crooootttt… crooootttt…!
Gila… banyak sekali air mani yang dimuntahkan oleh moncong penis Walter ini…! Terasa sampai membludak dari mulut memekku, mengalir ke arah anusku.
Walter terkapar lunglai di atas perutku. Tapi beberapa detik kemjudian ia mencabut penis lemasnya dari liang memekku.
Aku pun cepat bangun, karena merasa liang memekku kebanjiran air mani Walter. Bergegas aku masuk ke dalam kamar mandi, untuk membersihkan memekku dengan air hangat shower, sekalian menyabuninya sampai bersih.
Lalu aku mengambil sebutir pil kontrasepsi dari kotak obat – obatan yang tergantung di dinding kamar mandi. Kuambil pula segelas plastik air mineral, untuk bantu menelan pil itu.
Ya, aku harus waspada. jangan sampai aku hamil yang gak jelas. Apalagi Waltewr kebule – bulean begitu. Bagaimana kalau aku hamil lalu melahirkan anak yang bule seperti Walter?
Jangan sampai terjadi hal seperti itu. Hal yang akan merugikan diriku sendiri itu.
Walter mengajakku menengok istrinya di rumah sakit bersalin, sebagai wakil dari Papie.
Aku pun setuju. Sedikitnya untuk mengurangi perasaan bersalahku karena telah membiarkan suami Cinthia menyetubuhiku tadi.
Cinthia tampak senang sekali melihat kedatanganku bersama suaminya. Pada waktu cipika – cipiki dengan Cinthia yang perutnya masih buncit itu, kudengar Cinthia berbisik, “Doakan aku lancar melahirkannya ya Mam.”
“Iya… mamie ikut mendoakanmu Cin. Semoga kelahirannya berjalan lancar. Mau melahirkan biasa atau mau dicesar?” tanyaku.
“Mau melahirkan secara normal aja Mam. Mungkin aku akan melahirkan nanti malam atau besok pagi.”
Aku cuma mengangguk – angguk perlahan.
“Nanti Mamie menyusul ya. Biar aku punya adik dari Mamie,” kata Cinthia.
“Kayaknya masih jauh Cin. Papie kan sudah tua. Mungkin bibitnya juga sudah jarang.”
“Sabar ya Mam. Lagian Mamie kan sudah punya anak lima orang. Aku salah satu anak Mamie,” ucap Cinthia dilanjutkan ciumannya di pipiku.
Aku cuma tersenyum sambil mengangguk.
Begitu baiknya sikap Cinthia padaku, membuatku malu sendiri.
O, seandainya dia tahu bahwa aku baru disetubuhi oleh suaminya, apakah dia masih tetap akan sebaik itu sikapnya padaku?
Ada perasaan bersalah yang sangat mendalam di hatiku. Karena aku merasa telah mencuri suami Cinthia, walau pun bukan atas kehendakku pada awalnya.
Seharusnya Walter pun punya perasaan bersalah seperti yang kurasakan ini. Tapi Walter sangat pandai menyembunyikan segala yang pernah terjadi denganku tadi. Walter bersikap biasa – biasa saja. Bahkan kelihatan lebih mesra sikapnya kepada Cinthia.
Keesokan harinya adalah hari Sabtu. Ivan sudah kukasih libur dua hari. Hari Sabtu dan hari Minggu.
Sedangkan aku pun istirahat saja di rumah, tidak menikmati week end di luar rumah.
Hari Senin… pagi – pagi sekali Ivan sudah datang. Lalu duduk di pos satpam, sambil ngobrol dengan teman – temannya. Satpam yang bertugas menjaga rumahku ada enam orang. Tapi dibagi menjadi dua shift, masing – masing shift terdiri dari tiga orang.
Pintu kamarku ada dua. Yang satu menuju ke ruang keluarga, yang satunya lagi menuju ke teras depan. Karena itu aku bisa melihat Ivan ketika dia baru datang tadi.
Aku baru selesai mandi dan baru mau berdandan, karena ingin menengok rumah lama yang sudah ditinggalkan itu.
Ketika masih mengenakan kimono, aku mengambil kunci mobilku dan keluar lewat pintu yang menuju teras depan itu.
Ivan yang sedang duduk di pos satpam, melihat kemunculanku di teras depan. Lalu kulambaikan tanganku ke arahnya. Ivan pun bergegas menghampiriku.
“Kita mau keluar. Panasin dulu mobilnya Van,” kataku sambil menyerahkan kunci mobilku.
“Siap Bu Boss,” sahut Ivan yang bersikap formal di rumahku. Mungkin agar tidak ada hal yang mencurigakan teman – temannya semasa masih jadi satpam.
Aku pun kembali ke dalam kamarku. Dan berdandan serapi mungkin.
Pagi itu aku mengenakan spanrok abu – abu dengan blouse putih yang ditutupi lagi oleh blazer berwarna abu- abu, sama dengan spanrok yang kukenakan.
“Kenapa tadi kamu bengong ketika melihatku sudah dandan begini?” tanyaku yang sudah duduk di samping Ivan yang tengah mengemudikan mobilku.
“Pakaian itu… membuat Pampam jadi cantik plus sesuatu,” sahut Ivan tidak formal -formalan lagi padaku.
“Plusnya apa?” tanyaku.
“Mmm… maaf ya… cantik plus seksi abis.”
Aku cuma tersenyum. Ivan bilang aku ini seksi abis. Apalagi kalau dia tahu bahwa saat ini aku sengaja tidak mengenakan celana dalam… pasti tambah lagi komentarnya…!
“Ohya… kamu udah ketemu mamaku lagi?” tanyaku tiba – tiba berbelok ke topik Mama.
“Belum. Kan kalau mau ketemu Tante Rini harus dibarengi putrinya.”
“Kamu udah tau nama mamaku segala ya?”
“Iya. Kemaren dia nelepon. Dia nanya apa gak kangen sama Tante Rini? Nah saaat itulah saya tau siapa nama beliau.”
“Kamu kalau kangen sama mamaku, datang aja sendiri. Asalkan jangan di jam kerja aja. Kemaren kamu kan dapet libur dua hari. Kenapa gak pergi aja sendiri ke sana?”
“Belum dapet ijin dari Pampam sih gak berani. Kalau sudah dikasih ijin gini, mungkin besok atau lusa akan dateng ke sana malem – malem.”
Aku tidak menyahut. Karena lampu merah di depan menyala. Sehingga Ivan harus menghentikan mobilku. Pada saat itulah aku diam – diam menarik spanrokku ke atas. Lalu kutarik tangan kiri Ivan sambil berkata, “Tempo hari aku sempat megang kontolmu. Sekarang giliranmu…”
Telapak tangan Ivan kutempelkan di permukaan memekku yang tidak bercelana dalam ini.
Ivan terkejut setelah menyadari bahwa tangannya sedang menempel di permukaan kemaluanku. “Pam… oooo… oooooh… Pampam… ti… tidak pake celana dalem?”
“Iya… kalau gak pake celana dalem gini lebih seksi apa malah menakutkan?”
“Iii… iiini sih super seksiiiiii… oooo… oooooohhhhhhhh… “jemari Ivan mengelus – elus mulut memekku. Tapi lampu merah sudah berganti jadi lampu kuning, lalu lampu hijau pun menyala.
“Ayo jalan lagi. Sudah hijau tuh,” kataku sambil menjauhkan tangan Ivan dari kemaluanku. Spanrokku juga kubetulkan lagi.
Ivan segera menjalankan lagi mobilku. Sambil bergumam, “Apakah ini sebagai lampu hijau juga bagi saya Pam?”
“Lampu hijau apa? Itu tadi lampu hijaunya udah ditinggalin,” sahutku sambil diam – diam mengeluarkan celana dalam dari tas kecilku. Lalu kutempelkan celana dalamku ke mulut Ivan.
Ivan agak terkejut. Tapi lalu diambilnya celana dalamku sambil tetap nyetir mobilku dengan kecepatan rendah. Lalu diciuminya celana dalamku sambil bergumam, “Harum… harum sekali…”
Aku malah menunjuk ke mulut jalan yang hampir terlewati, “Pelan – pelan… itu di depan ada belokan ke kiri… !” kataku.
“Jadi belok ke kiri, ke jalan yang kecil itu?” tanya Ivan.
“Nggak kecil – kecil amat kok. Dua truk berpapasan juga bisa lewat,” sahutku.
Ivan membelokkan mobilku ke kiri.
“Setelah warteg itu ada gang ke kiri lagi. Tapi mobil gak bisa masuk. Tinggalin aja mobilnya,” kataku.
“Di sini aman? Maksudnya aman untuk ninggalin mobil di jalan?”
“Alaaa… mobilku dicuri sih ada asuransi,” sahutku, “Biar pihak asuransi yang nyariin malingnya. Santai aja. Eh kembaliin celana dalamku. Masa diciumin terus?”
Ivan mengembalikan celana dalamku, lalu menghentikan mobilku di dekat mulut gang yang menuju ke rumah lama itu.
“Ayo turun Van,” kataku sambil membuka pintu di sampingku. Dan turun dari mobilku, setelah memasukkan celana dalamku ke dalam tas kecilku.
Sambil berjalan di gang menuju rumah lama itu, kukeluarkan kunci – kunci rumah lamaku. Lalu melangkah ke depan rumahku dengan perasaan terharu. Terharu melihat rumah yang jadi tempat tinggalku sejak bayi hingga dewasa.
Lalu kubuka kunci pintu depan dan masuk ke dalam rumah lama yang bersejarah ini.
Tadinya kupikir rumah lama ini kotor dan penuh debu. Tapi ternyata bersih sekali. semua furniture kucolek – colek dengan ujung jari, untuk melihat banyak debu atau tidak. Ternyata memang tidak ada debu di rumah tua ini.
Mungkin Mama suka membersihkan rumah ini, karena Mama memegang kunci cadangan untuk pintu – pintu di rumah tua tapi bersejarah ini.
Ivan duduk di sofa yang berhadapan dengan sofaku. Dan aku jahil lagi. Sengaja aku duduk dengan kedua lutut direntangkan lebar lebar. Sehingga Ivan melotot nyaris tak berkedip… memandang ke arah kemaluanku yang sengaja dipamerkan padanya ini.
“Kenapa melototin memek terus? Pengen jilatin ya?” tanyaku sambil menahan tawaku.
“Kalau diijinkan sih mau banget. Mau jilatin memek Pampam,” sahut Ivan dengan sikap malu – malu.
“Ya udah. Jilatin deh sepuasmu. Tapi aku hanya ngasih ijin menjilati doang ya. Gak pake yang lain – lain.”
“Megang pake tangan gak apa – apa kan?”
“Boleh. Mau masukin hidung juga boleh. Yang penting jangan masukin kontol. Itu aja.”
Ivan menghampiri sofaku. Seperti sudah mau jongkok di depanku. Tapi aku berkata, “Eiiittt… nanti dulu… kunciin dulu dong pintu itu. ntarf kalau ada tamu nyelonong masuk, bisa heboh se-RW… !”
Ivan nyengir. Lalu bergegas menuju pintu depan dan memutar anak kuncinya… klik…! Lalu menghampiriku lagi.
“Van… aku pengen memekku dijilatin, tapi pengen sambil megang kontolmu. Gimana caranya ya?”
Ivan tmapak berpikir. Lalu menjawab, “Kalau begitu, mungkin harus pake posisi 69. Jadi saya jilatin memek Pampam, sementgara Pampam juga bisa mainin kontol saya. Gimana?”
“Kalau begitu mendingan di kamarfku aja yok. Biar bisa sama – sama telanjang,” ucapku sambil berdiri.
Ivan mengangguk, “Siap Bu Boss.”
Setelah sama – sama berada di dalam kamarku, Ivabn duluan melepaskan segala yang melekat di tubuhnya.
Aku pun melepaskan blazer, blouse, spanrok dan behaku. Lalu berdiri sambil bertolak pinggang, “Gimana kalau sudah telanjang gini? Masih seksi?” tanyaku sambil memperhatikan penis Ivan yang tampaknya sudah ngaceng.
“Sangat menggiurkan Pam. Makanya kontol saya langsung ngaceng gini nih,” sahut Ivan sambil memegang penisnya yang memang sudah ngaceng itu.
Lalu Ivan melompat ke atas bed yang sudah berbulan – bulan tidak kutiduri itu.
“Kamu mau di bawah?” tanyaku ketika melihat Ivan sudah celentang di atas bedku.
“Terserah… saya sih ikut keinginan Bu Boss aja.”
“Kamu bukan budakku, Van. Makanya jangan pakai istilah saya, karena saya itu berasal dari kata sahaya, yang artinya budak belian.”
“Rasa kurang sopan aja kalau pake istilah aku. Karena biar bagaimana pun Pampam ini kan istri Big Boss.”
Aku pura – pura tak mendengar ucapan Ivan itu. “Kamu yang di bawah ya. Supaya aku tidak menanggung berat badanmu,” kataku sambil merayap ke atas perut Ivan. Lalu memegang penisnya yang panjang gede ini. Membuatku membanding – bandingkan antara penis Ivan dengan penis Walter. Rasanya sama persis…
Tapi yang jelas, kalau melihat penis sepanjang dan segede ini, aku suka tergiur… ingin menyelomotinya sepuasku.
Tapi kalau nonton video dewasa, aku paling tergiur pada adegan facesitting. Maka aku pun berubah pikiran. Aku menaiki perut Ivan, lalju naik lagi sehingga kedua kakiku berada di kan – kiri leher Ivan, sementara kemaluanku berada persis di atas mulut Ivan.
“Ayo facesitting dulu van… “pintaku sambil mendekatkan memekku ke mulutnya…
Teman lama yang sudah menjadi anak buahku mulai menjilati kemaluanku dengan lahapnya. Sementara aku setengah duduk di lehernya, tapi tidak terlalu bertumpu, agar dia jangan sesak nafas.
Gila… begitu lahap dan gencarnya Ivan menjilati kemaluanku, sehingga aku mulai terpejam – pejam saking nikmatnya. Bahkan hidung Ivan pun berkali – kali “nyasar” untuk menggesek – gesek kelentitku.
Hanya belasan menit memekku dijilati oleh Ivan dalam posisi facesitting ini. Lalu aku memutar badanku jadi menghadap ke arah batang kemaluan Ivan. Bahkan akhirnya aku merapatkan badanku ke badan Ivan dalam posisi 69. Dalam posisi sungsang. Ivan berhadapan dengan kemaluanku yang berada di atas mjulutnya, sementara wajahku berada di atas batang kemaluan Ivan yang sangat ngaceng dan sedang kugenggam dengan sepenuh gairahku ini.
Ivan bukan hanya menjilati mulut vaginaku, lidahnya menyapu – nyapu ke sekitar kemaluanku dengan gencarnya. Bahkan terkadang ujung lidahnya menjilati mulut anusku pula. Oooo… ini luar biasa nikmatnya.
Sehingga akhirnya aku menelentang sambil berkata sambikl mengusap – usap permukaan vaginaku, “Lanjutkan Van… terserah kamu mau diapain memekku ini. Tapi kontolmu jangan dimasukin ke memekku ya…”
Tampaknya Ivan tahu apa yang harus dilakukannya. Ia menelungkup di antara kedua pahaku yang sudah direntangkan selebar mungkin. Mulutnya beraksi lagi. Menjilati kemaluanku dengan lahapnya. Jemari tangan kanannya pun mulai diselundupkan ke dalam liang memekku, lalu digerak – gerakkan seperti penis yang sedang mengentot.
Begitu gencarnya Ivan menjilati memekku, juga menjilati kelentitku disertai dengan sedotan – sedotan kuat, sehingga kelentitku terasa jadi “mancung”. Ini membuatku tak kuat menahannya lagi. Aku memekik lirih, “Ivaaaan… “sambil mengejang tegang. Dan… liang memekku terasa mengejut – ngejut kencang di puncak orgasmeku.
Sedetik kemudian Ivan pun memegang penisnya yang diarahkan ke kakiku. Lalu… air maninya berhamburan ke telapak kakiku. Crooot… crotttt… croootttttt… croooooottttt… crooootttt… crooootttttttt…!
Ivan pun terkapar, tengkurap lemas di sisiku. Dan aku cepat mengambil kertas tissue basah dari dalam tas kecilku, untuk menyeka telapak kakiku yang berlepotan air mani Ivan.
Sebenarnya aku merasa kasihan dengan apa yang Ivan lakukan barusan. Seharusnya air mani Ivan dimuntahkan di dalam liang memekku. Tapi begitu patuhnya ia padaku, sehingga ia tidak berani melanggar laranganku. Tidak berani menyentuhkan penisnya ke memekku.
“Biasanya kalau ngocok, kuat berapa kali sehari?” tanyaku sambil menepuk pantat Ivan yang sedang telungkup.
“Hehehe… itu sih rahasia perusahaan Pam.”
“Aku sih cuma mau tau power kamu aja.”
“Ngocok sih gak perlu sering – sering. Kalau keseringan bisa gila nanti.”
“Daripada main sama pelacur mendingan ngocok lah. Lebih aman dari penyakit kotor. Belum lagi resiko ketularan HIV, herpes, hepatitis dan sebagainya.”
“Gak pernah nyentuh perempuan gituan.”
“Sekarang kalau disuruh ngentot mamaku masih kuat?” tanyaku ketika Ivan sudah duduk dalam keadaan masih telanjang bulat.
“Masih kuat. Emangnya mau ditugaskan ke sana?”
“Nanti aja. Setelah kamu pulih tenaganya,” sahutku sambil memegang penis Ivan yang masih terkulaki lemas, “Memek mamaku enak gak?”
“Sangat enak. Sudah punya anak tapi masih mrepet rapet.”
“Iya sih. Mamaku sudah tiga kali melahirkan, tapi pandai merawat diri.”
“Tiga kali melahirkan? Bukannya Pampam ini anak tunggal?”
“Aku punya dua orang adik cowok. Kukun dan Ajie. Tapi sejak mereka berumur tujuhbelas dan delapanbelas sudah pada kerja di kapal. Makanya lama gak pulang – pulang. Waktu aku kwin sama Pak Mathias juga, mereka gak bisa hadir.”
“Adik – adik Pampam kerja di kapal pesiar?”
“Bukan. Mereka kerja di kapal barang, bolak – balik dari Eropa ke Afrika. Kadang kapalnya bawa lokomotif, kadang bawa mesin. Pokoknya mereka kerja di kapal pengangkut barang – barang berat.”
“Biasanya kalau kerja di kapal, sembilan bulan di laut, tiga bulan di darat.”
“Bisa lebih lama lagi. Buktinya sekarang… sudah dua tahun mereka gak pulang – pulang.”
“Gak apa – apa. Yang penting sekalinya pulang bawa duit banyak.”
“Kalau mereka pulang, aku mau rekrut untuk bekerja di perusahaanku.”
“Perusahaan Big Boss memang besar sekali.”
“Itu perusahaan suamiku. Nanti beda lagi perusahaan suamiku dan perusahaanku sendiri.”
“Wow… Pampam mau buka perusahaan sendiri?”
“Iya. Berkat dukungan suamiku juga sih. Sekarang surat badan hukumnya belum terbit. Kalau sudah terbit, nanti kamu juga akan kuaktifkan di perusahaanku. Haaaiiii… kontolmu sudah keras lagi Van.”
“Iya… abis… dipegang – pegang sama Pampam terus… jadi bangun lagi deh… hehehee…”
“Nanti spermanya lepasin di memek mamaku aja ya.”
“Ya… ikut perintah Bu Boss aja…”
Aku tercenung sesaat. Lalu… entah kenapa aku jadi ingin… ingin sekali merasakan nikmatnya dientot oleh penis sepanjang dan segede punya Ivan itu.
Karena itu kudorong dada Ivan sehingga teman lamaku itu celentang. Dan sambil berjongkok dengan kemaluan berada di atas penis ngaceng Ivan, aku berkata, “Mau nyobain kontolmu sebentar aja ya…”
“Iya,” sahut Ivan dengan sorot bingung.
Sambil memegang penis Ivan, kuturunkan badanku, sehingga penis Ivan menyruak masuk ke dalam liang memekku. “Van… ooooh… kontolmu memang gede banget Van… “rintihku pada saat penis Ivan baru masuk kurang dari setengahnya.
Lalu kunaikkan lagi memekku, sehingga penis Ivan terlepas dari memekku. “Hihihihiii… takut tembus ke jantung… karena selain gede, panjang sekali sih.”
Lalu aku menelentang sambil mengusap – usap memekku. “kamu gak pengen nyobain ngentot memekku Van?” tanyaku dengan senyum menggoda.
“Pengen sih pengen. Tapi kan Pampam melarang masukin kontolku ke memek Pampam.”
“Kamu bisa merahasiakannya kalau kuijinkan ngentot memekku?”
“Siap. Sangat bisa merahasiakannya.”
“Termasuk mamaku juga jangan sampai tau.”
“Siap Pam.”
“Ya udah… masukin deh kontolmu. Soalnya aku juga jadi horny berat nih. Tapi memekku jangan dijilatin lagi, masih basah sekali. Langsung masukin aja kontolmu…”
“Iya Pam… iyaaa…” sahut Ivan terdengar gugup. mungkin karena ia tidak menduga kalau aku akan ngasih ijin untuk mengentotku. Soalnya sudah kepalangan basah sih.
Ivan berlutut sambil mengarahkan moncong penisnya ke mulut vaginaku yang sudah agak ternganga ini, karena aku merentangkan pahaku selebar mungkin. Sebagai tanda “welcome” buat kehadiran penis Ivan di dalam liang memekku.
Dan… penis Ivan mulai menerobos liang memekku yang masih basah akibat orgasmeku tadi. Memang seret masuknya, saking gedenya penis teman lamaku itu. Tapi setelah penis panjang gede itu masuk setengahnya, Ivan mulai memaju mundurkan penisnya perlahan – lahan dan pendek – pendek jaraknya.
Namun beberapa detik kemudian, liang memekku sudah beradaptasi dengan ukuran penis Ivan yang dahsyat itu. Ooooh… edan…! Gesekan demi gesekan penis Ivan di liang memekku, luar biasa enaknya…!
Bersambung…