Cerita Sex Keluarga Anaconda – Bima anak berumur 18 tahun. Sebentar lagi dia lulus SMA. Dia tinggal bersama bapak dan kakeknya. Untuk ukuran anak umur 18 tahun, badan Bima cukup besar dan kekar. Itu karena setiap pulang sekolah Bima membantu bapak dan kakeknya mengurusi sawah. Apa saja dia kerjakan.
Bapak Bima, Pak Trisno adalah duda yang ditinggal minggat oleh istrinya. Dia mengurusi Bima seorang diri semenjak Bima berumur lima tahun. Selain mengurusi sawah, tidak ada hal lain yang dilakukan oleh Pak Trisno. Dia suka mendengarkan lagu-lagu keroncong di tape tua yang ada di rumah dan minum kopi sambil bercerita dengan kakek Bima, Mbah Sinyo.
Semenjak nenek Bima meninggal, Pak Trisno mengajak Mbah Sinyo untuk tinggal bersama mereka. Jadilah ketiga laki-laki ini tinggal serumah.
Pak Trisno sendiri sebenarnya lumayan ganteng. Untuk ukuran bapak-bapak desa, badannya kuat dan sehat. Warna kulitnya cokelat tua dan ototnya menonjol kemana-mana. Dia memiliki otot dada yang besar, perut kotak-kotak dan paha yang besar.
Ngocoks Sebuah hasil yang didapatkan dari kerja di sawah seharian. Selain itu Pak Trisno juga suka tertawa. Itu sebabnya ibu-ibu dan para janda suka menggodai Pak Trisno. Berharap Pak Trisno memperistrinya. Tapi menurut kabar yang beredar Pak Trisno sudah terlanjur jatuh cinta dengan istrinya sehingga patah hatinya belum bisa diobati.
Mbah Sinyo sendiri juga sama kekarnya dengan Pak Trisno. Hanya saja badannya lebih kurus. Tapi masih kekar dan berotot. Dan memang kulitnya memang sudah agak berkeriput. Rambutnya juga sudah beruban. Tapi hal tersebut justru menambah keseksiannya.
Yang membuat dilema adalah Bima menyadari bahwa sepertinya dia menyukai laki-laki. Meskipun dia sangat tampan, dengan kulit sawo matang, rambut gondrong yang membuatnya macho dan bewok yang membuatnya garang, tapi dia sama sekali tidak tertarik dengan perempuan.
Entah kenapa bayangan perempuan telanjang justru membuatnya ingin muntah. Namun justru ketika dia melihat laki-laki, apalagi yang berotot, dia jadi ngaceng dan bergairah.
Akhir-akhir ini Bima birahinya semakin meninggi. Entah kenapa setiap kali melihat bapaknya atau bahkan kakeknya sendiri tidak memakai baju, dia ingin sekali berhubungan badan dengan mereka.
Dan Bima sadar bahwa ini salah. Ini semua salah. Menyukai sesama laki-laki sangat tabu. Apalagi nafsu dengan orang tua sendiri. Sangat terlarang.
Tapi Bima tidak bisa menahannya. Itu sebabnya dia selalu sembunyi-sembunyi menahan hawa nafsunya. Dia tidak pernah coli kalau memang sedang ingin. Dia menahan agar dia tidak bergerak terlalu jauh.
Karena hanya ada lelaki di dalam rumah, sudah sering kali Bima melihat bapak dan kakeknya telanjang. Dan dia merasa ingin memegang kontol mereka. Apalagi kontol Pak Trisno, bapaknya sendiri, yang sangat tebal dan besar. Panjangnya mungkin 22 senti. Tapi tebalnya benar-benar luar biasa.
Itu sebabnya teman-teman ronda Pak Trisno memanggil bapak Bima dengan sebutan “anaconda”. Itu karena memang kontol Pak Trisno sangat besar.
Bima bahkan sempat pergi ke pesantren selama sebulan atas kemauan sendiri ketika liburan sekolah untuk menyadarkan dirinya. Tapi di pesantren justru keinginannya menjilati kontol semakin menjadi-jadi. Karena dia terpaksa tidur seruangan dengan laki-laki. Dan banyak disana yang setipe dengan selera Bima.
Hari itu hari Minggu. Biasanya hari Minggu memang giliran Bima memasak. Pak Trisno dan Mbah Sinyo sedang ada di sawah. Jadi petani memang tidak ada hari libur. Mereka harus selalu mengurusi apa yang ada di sawah.
Setelah selesai memasak, Bima memasukkan hasil masakannya ke rantang. Dia membawa cangkul dan rantang dan siap membawanya ke sawah.
Di tengah jalan banyak gadis-gadis muda yang belajar motor dengan genit menyapa Bima. Bima tersenyum ramah. Yang jadi perhatian dia justru pemuda-pemuda kampung yang mandi tanpa busana di pancuran terbuka dekat kali. Mereka menyapa Bima dan mengajaknya main bola.
“Yo, engko tak susul (ya, nanti aku nyusul),” kata Bima.
Bima kemudian terus berjalan ke arah sawah.
Bima kemudian sampai di pondok. Pondok milik Pak Trisno ada di tengah sawah dan dikelilingi oleh pohon singkong. Jadi lumayan sejuk dan enak buat tidur siang. Karena tidak terganggu oleh banyak orang.
Ketika Bima sampai dekat pondok, dia justru mendengar suara-suara aneh.
Dia mendengar suara desahan Pak Trisno.
Bima berjalan dengan pelan, berusaha tidak membuat suara.
Kemudian dia mengintip dari sela-sela pohon singkong. Dan dia kaget sekali dengan apa yang dia lihat.
Pak Trisno bersandar di sandaran, tidak memakai baju dan celana pendek warna biru tuanya yang sudah pudar (Pak Trisno tidak pernah memakai celana dalam) sudah sampai dengkul.
Kakinya dilebarkan. Dan di ujung pahanya, ada kontol hitam tebal besar yang berurat sedang keluar masuk mulut Mbah Sinyo.
Bima menutup mulutnya shock. Dia langsung sadar dengan suara di sekitarnya. Dia menaruh rantang dan cangkulnya di tanah dan mendekat. Mengintip.
Pak Trisno merokok Dji Sam Soe sambil sesekali memegang kepala Mbah Sinyo yang menjilati kontol Pak Trisno dengan penuh bernafsu.
“Oh yo, Pak. Ojo lali ngko ngeterke gabah nang juragan Bambang (oh iya, Pak, jangan lupa nanti mengantarkan gabah ke juragan Bambang),” kata Pak Trisno disela-sela ngerokoknya.
Mbah Sinyo melepas kontol Pak Bambang dari mulutnya. Bima bisa melihat kontol hitam tersebut berkilauan terkena sinar matahari. Penuh dengan ludah. Mbah Sinyo memandang Pak Trisno dengan serius.
“Yo ngko gampang. Bima ae sing budal (Ya nanti gampang. Bima saja nanti yang berangkat),” kata Mbah Sinyo kemudian dia langsung menyantap lagi kontol Pak Trisno.
“Slurrrp… slurrp…” suara Mbah Trisno menyedot kontol Pak Trisno membuat Bima makin shock.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Bima bingung tapi dia tahu yang pasti kontolnya ngaceng luar biasa.
“Asu tenan sedotanmu, Pak (Anjing banget sedotanmu, Pak),” kata Pak Trisno.
“Yokpo? Joskan? (Gimana? Enak kan?),” kata Mbak Sinyo sambil menjilati lubang kontol Pak Trisno.
“Doyan men karo kontol (doyan amat sama kontol),” sahut Pak Trisno.
“Cepetan tokno pejuhmu. Tak ombene (Cepetan keluarin pejuhmu. Mau kuminum),” kata Mbah Sinyo.
“Wis gak kuat ta? (Sudah nggak kuatkah?),” Jawab Pak Trisno sambil memukul-mukulkan kontolnya yang keras seperti tongkat ke wajah Mbah Sinyo.
“Iyo iki kontolku wis kepingin muncrat (iya ini kontolku juga ingin muncrat),” kata Mbah Trisno.
“Yowis iki. Bima yo maringene rene nggowo panganan (Yaudah ini. Bima bentar lagi juga kesini bawa makan siang),” kata Pak Trisno. Ngocoks.com
Pak Trisno kemudian mengocok kontolnya di depan wajah Mbah Sinyo. Mbah Sinyo mengeluarkan lidahnya seperti anjing sementara tangannya mengocok kontolnya.
Pak Trisno menjambak kepala Mbah Trisno kemudian memuncratkan pejuh kental ke wajahnya. Mbah Trisno memejamkan matanya, menerima crotan pejuh ini dengan bahagia. Kemudian dia menjilati pejuh dari kontol Pak Trisno dengan raut muka binal. Pak Trisno tertawa.
“Pak… pak… wis tuwek kok doyan men pejuh (Pak Pak, udah tua kok doyan banget pejuh),” kata Pak Trisno.
“Ahhh…” Mbah Sinyo menjerit keenakan. Sepertinya dia keluar. “Wong pejuh anake dewe. Yo enak (Namanya juga pejuh anak sendiri. Ya enak),” lanjut Mbah Sinyo.
Kemudian Pak Trisno melakukan sesuatu yang membuat Bima makin shock.
Pak Trisno mendekat ke Mbah Sinyo dan menjilati pejuhnya sendiri di wajah Mbah Sinyo. Dia menjilati semua pejuh itu kemudian Pak Trisno berciuman dengan Mbah Sinyo. Setelah berciuman lama, Mbah Sinyo berbisik, “Wenak men pejuh anakku (Enak banget pejuh anakku).”
Keduanya tersenyum kemudian berpelukan.
Bima tidak tahu harus merasakan apa.
Bersambung…