Setelah kejadian di pondok sawah itu, Bima mencoba untuk memperhatikan hubungan bapaknya dengan kakeknya lebih teliti. Dia mengintai mereka dan melihat apakah ada yang aneh. Dan ternyata jawabannya tidak ada.
Ketika Bima pura-pura datang sepuluh menit kemudian setelah Mbah Sinyo mengenyoti kontol anaknya sendiri, mereka bercanda dan bercengkerama seperti biasa. Seperti layaknya anak dan bapak. Yang tentu saja membuat Bima curiga.
Pun ketika mereka sampai di rumah, hubungan antara Pak Trisno dan Mbah Sinyo masih sama saja. Mereka bercanda dan terus mengobrolkan hal-hal tidak penting seperti berita politik, apa yang terjadi di sawah, apa yang terjadi di kampung dan bahkan sesekali membuat lelucon jorok soal Lastri, janda kampung yang terkenal dengan dadanya yang besar.
Baik di depan umum, seperti ketika Mbah Sinyo dan Pak Trisno bercengkerama dengan orang-orang kampung, atau di dalam rumah, mereka tidak menunjukkan keanehan. Tidak ada tanda-tanda bahwa mereka terlibat dalam sebuah hubungan terlarang. Dan ini membuat Bima bingung sekali.
Bima bahkan bertanya kepada dirinya sendiri. Apakah dia terlalu homo sampai-sampai dia berhalusinasi? Tapi dia yakin sekali apa yang dia lihat malam itu sangat nyata.
Hari itu Bima bermain bola bersama teman-teman kampungnya. Diantara semua pemain bola, Bima sebenarnya diam-diam naksir Firman, teman satu timnya.
Firman sendiri seusia dengan Bima. Bedanya Firman tidak sekolah SMA karena Firman merasa bodoh. Dia sudah tidak naik kelas dua kali dan akhirnya memutuskan untuk langsung mengurusi tambak lele milik keluarganya. Yang tentu saja membuat Bima agak sedikit patah hati karena sebenarnya dia suka berjalan berdua ke sekolah bersama-sama.
Berbeda dengan Bima yang agak sedikit kurus, badan Firman sangat gempal. Mengingatkannya pada Pak Trisno. Tapi kulit Firman masih sangat kencang dan otot-ototnya terlihat keras. Wajahnya khas mas-mas jawa. Rahangnya tegas. Matanya ramah dan senyumnya bagus.
Ada bulu-bulu halus tebal dari pusar menuju jembutnya. Dan setiap kali mereka bermain bola dan Firman melepas bajunya, Bima menahan sekuat tenaga untuk tidak ngaceng. Dia pernah suatu kali bermain bola tanpa sempak dan akhirnya dia jadi pura-pura cedera supaya semua orang tidak melihatnya ngaceng di balik celana bolanya.
Seperti halnya lelaki di kampung lainnya, Firman dan Bima sering mandi bersama. Walaupun sekarang sudah jarang. Tapi dulu, ketika mereka masih SMP, mereka sering mandi bersama di pancuran dekat sawah atau di kali. Dan Bima tahu betapa besar dan betapa menariknya kontol Firman.
Firman juga yang mengajari Bima untuk coli pertama kali. Kejadiannya empat tahun lalu. Kelas 2 SMP ketika mereka mencari ikan di kali. Firman bercerita bahwa dia baru saja menonton video porno di rumah Lik Panji. Disana dia diajari coli oleh pakleknya sendiri. Firman pun mencobanya di rumah dan dia ketagihan.
Bima yang polos tidak tahu apa-apa. Akhirnya mereka berdua coli di gubuk dekat situ. Dan Bima langsung merasakan surga untuk pertama kalinya. Bima tidak tersadar bahwa waktu itu dia merasakan orgasme luar biasa ketika dia menatap Firman mengocok kontolnya.
Hari ini Firman entah kenapa terlihat lebih tampan dari biasanya. Dia baru saja pulang dari Jakarta. Sepertinya dia tidak sempat untuk beres-beres karena jambang dan brewoknya tumbuh dengan halus, menghiasi rahangnya yang sangat bagus. Bima bersyukur bahwa dia memakai sempak hari ini karena sedari tadi dia merasakan kontolnya bergejolak di dalam celananya.
Sehabis main bola, Firman dan Bima bersama yang lain nongkrong di dekat pancuran di sawah sambil merokok. Beberapa memutuskan mandi. Firman dan Bima sendiri duduk dekat kali dan tertawa-tawa melihat teman-teman mereka mandi sambil saling bermain-main.
“Awakmu mari lulus kuliah ta (Kamu abis lulus mau kuliah?)?” Tanya Firman.
“Mbuh. Koyoke sih ngunu. Tapi yo mbuh lek gak ono duwike (Nggak tau. Kayaknya sih gitu. Tapi nggak tau lagi kalo nggak ada uangnya),” jawab Bima.
“Onoklah pasti. Wong koyok awakmu kudu kuliah, Ma. Sayang. Mosok pinter-pinter ngurusi tegal terus (Adalah pasti. Orang kayak kamu harus kuliah, Ma. Sayang. Masa pinter-pinter ngurusin sawah terus?),” kata Firman sambil menatap serius ke Bima. Jantung Bima deg-degan tidak karuan.
“Yo emange salah ngurus tegal (Emangnya salah ngurusin sawah?)?” Tanya Bima.
“Nggak sih,” Firman tertawa.
“Awakmu dewe nang Jakarta lapo toh (Kamu sendiri dari Jakarta ngapain?)?” Tanya Bima.
“Biasa,” Firman nyengir. “Urusan masa depan. Koncomu iki telung ulan kas rabi lho (Temanmu ini tiga bulan lagi menikah lho.” Senyum Firman terlihat sangat lebar.
Hati Bima mencelos. Dia tahu, dia bukan siapa-siapanya Firman. Tapi dia merasakan patah hati yang amat sangat.
“Wah, selamat yo. Undangen aku!” kata Bima.
“Yo jelas tah. Sopo maneh sing ngancani aku ngkokn nang Jakarta (Siapa lagi yang nemenin aku nanti ke Jakarta),” kata Firman sambil memeluk Bima dari belakang.
Kalau saja Firman tahu apa yang ada di dalam hati Bima.
Setelah bercanda dan berbicara, terdengar adzan Maghrib. Setelah semuanya sepi dan pergi, Bima memutuskan untuk mandi di pancuran. Di bawah air sumber yang bersih itu, dia memikirkan bayangan Firman dan istrinya nanti. Hatinya pilu sekali. Dan Bima menertawakan diri sendiri. Cuman teman kok patah hati.
Jalanan sudah gelap. Lampu-lampu jalanan sudah dinyalakan. Bima kemudian membawa sepatunya dan berjalan kaki tanpa alas ke rumah. Rumah Pak Trisno ada di ujung, dekat sawah. Sendirian. Tetangga mereka adalah sawah-sawah dan beberapa pepohonan. Anak-anak kecil tidak ada yang berani main-main disini lepas Maghrib karena terkesan angker. Padahal tidak ada apa-apa.
Bima kemudian masuk ke rumah. Pintu tidak pernah dikunci karena mereka jarang sekali menerima tamu selepas Maghrib. Tanpa alas kaki, kedatangan Bima di rumah tidak terdeteksi.
Bima masuk ke kamarnya dan bersiap ganti baju ketika dia mendengar sesuatu.
Suara desahan.
Lebih tepatnya suara desahan bapak dan kakeknya.
Jantung Bima berdegup lagi.
Dia berjalan ke arah kamar kakeknya dan mengendap-ngendap. Pintu tertutup. Tapi Bima bisa mengintip isi kamar dengan mudah dengan lubang jendela di atas pintu. Bima mengambil kursi dan mengintip.
Di dalam kamar Bima melihat Mbah Sinyo nungging dan Pak Trisno menghantam pantat Mbah Sinyo dengan kontolnya yang tebal dan keras.
“Plok plok plok plok…” begitu suara.
“Asu, enak tenan goyanganmu, No…” teriak Mbah Sinyo.
“Ojok banter-banter. Ngkok krungu Bima lho (Jangan keras-keras, nanti kedengeran Bima),” kata Pak Trisno sambil terus mengentoti bapaknya sendiri.
“Bima bal-balan karo koncone. Paling mulih Isya (Bima main bola sama temennya. Mungkin pulang Isya),” sahut Mbah Sinyo. “Ah ah ah ah… kontolmu kok iso enak…”
“Yo kontol iki kan gaweanmu, Pak (Kontol ini kan juga bikinanmu, Pak!” Sahut Pak Trisno.
“Plok plok plok…” suara pantat Mbah Sinyo ketemu paha Pak Trisno terdengar begitu keras. Dan Bima melongo menatap ini semua. Kontolnya ngaceng sejadi-jadinya. Melihat ini, Bima langsung memasukkan tangan ke celananya dan mulai mengurut pelan kontolnya.
“Aduh enak men kenthu karo anak dewe (Aduh enak banget ngentot sama anak sendiri),” kata Mbah Sinyo.
“Sempit men silitmu, Pak (Sempit sekali pantatmu, Pak),” jawab Pak Trisno.
Pak Trisno kemudian melepas kontolnya. Mbah Sinyo langsung berbalik dan dia langsung jongkok. Dia mengambil handuk yang ada di kasur, membersihkan kontol Pak Trisno kemudian langsung memasukkan kontol Pak Trisno ke dalam mulutnya.
“Slurrrpp… slurrppp.” Bunyi sedotan Mbah Sinyo terdengar sangat keras.
“Atos men kontolmu, No (Keras sekali kontolmu, No),” kata Mbah Sinyo sambil menatap Pak Trisno.
“Yokpo? Seneng ra ngemut permen daging? (Gimana? Suka nggak ngemut permet daging?),” Tanya Pak Trisno.
“Kok kate takok barang. Lha iki kurang bukti opo? Slurrrpppp (Kok pake nanya segala? Ini kurang bukti apa lagi?),” Mbah Sinyo langsung memasukkan kontol Pak Trisno yang berurat itu ke dalam mulutnya.
Mbah Sinyo kemudian terlentang. Pak Trisno menaruh bantal di pinggul Mbah Sinyo. Kemudian dia memainkan kontolnya di ujung lubang pantat Mbah Sinyo.
“Yokpo? Dikenthu anake dewe enak to? (Gimana? Dientot anak sendiri enak kan?),” Tanya Pak Trisno.
“Rasah kakean omong. Langsung lebokno iku kontol (Gausah kebanyakan omong. Masukin kontolnya),” kata Mbah Sinyo.
“Aaahhhh…. Assuuuuuu…” jerit Mbah Sinyo saat kontol Pak Trisno masuk.
Bima mengocok kontolnya lebih keras.
“Plok plok plok…”
“Ahhhhh…” desah Pak Trisno.
“Enak men kontolmu, No. Nggak nyesel aku kok kenthu bendino (Enak banget kontolmu, No. Nggak nyesel aku kamu entot setiap hari),” kata Mbah Sinyo. Ngocoks.com
“Lha gak bendino yokpo, wong sampeyan bendino ngemuti kontolku. Yo mesti njaluk kenthu (Gimana nggak tiap hari ngentot, orang kamu setiap hari ngemut kontolku. Ya minta dientot itu namanya),” sahut Pak Trisno.
“Aduh, No, metu aku… (Aduh, No, mau keluar),” teriak Mbah Sinyo.
Mbah Sinyo kemudian mengocok kontolnya. Pak trisno menggenjot Mbah Sinyo lebih cepat.
“Jancoookkk… mettuuu… (Anjing, keluar),” kata Mbah Sinyo. Dan pejuh keluar dari kontol Mbah Sinyo. Muncrat ke perutnya.
Pak Trisno kemudian mencabut kontolnya dan langsung dengan cepat loncat ke kasur dan ngangkang di depan wajah Mbah Sinyo. Dia mengocok kontolnya di depan muka Mbah Sinyo.
“Terimoen iki pejuh anakmu, Pak (Terima ini pejuh anakmu, Pak),” teriak Pak Trisno.
Mbah Sinyo menjulurkan lidahnya.
Pak Trisno kemudian menggelepar. Pejuhnya tumpah ruah di wajah Mbah Sinyo. Begitu muncrat, Mbah Sinyo langsung mencaplok kontol anaknya dan kontol tersebut dilumat. Kontol anaknya sendiri diperah untuk mendapatkan pejuh.
Pak Trisno kemudian melepas kontolnya.
“Keri, Pak (Geli, Pak),” kata Pak Trisno.
“Sek tah. Durung puas (Bentar. Belum puas),” Mbah Sinyo menarik lagi kontol Pak Trisno dan memasukkannya lagi ke dalam mulutnya.
“Wis tuwek kok doyan men kontol (Udah tua kok doyan banget kontol),” kata Pak Trisno sambil tertawa.
Pak Trisno kemudian melepas kontolnya lagi dan tidur bersebelahan bapaknya. Kemudian mereka berpelukan dan berciuman. Pak Trisno menjilati pejuhnya di hidung Mbah Sinyo dan menelannya.
“Asin,” kata Pak trisno.
“Enak. Aku doyan,” kata Mbah Sinyo.
Nafas Bima masih tersengal-sengal. Dia baru saja orgasme menyaksikan bapak dan kakeknya ngentot.
Bersambung…