Melihat Mbak Artini sudah menelentang sambil menepuk – nepuk dan mengusap – usap memeknya, aku pun spontan tengkurap di antara sepasang paha putih mulusnya. Sementara wajahku sudah tepat berada di atas memek Mbak Artini yang luar biasa indahnya itu.
Ya… bentuk memek Mbak Artini memang lain. Sangat cantik kelihatannya, karena selain tembem, labia mayoranya pun tersembunyi di balik ketembeman bagian luarnya.
Aku merasa beruntung mendapatkan Mbak Artini yang sudah lama kuidam – idamkan itu. Dan aku tak menyangka kalau hatinya pun sudah runtuh, tapi sengaja bertahan agar aku konsentrasi ke kuliahku dulu.
Lalu kungangakan pintu masuk ke surga dunia itu dengan kedua tanganku, sehingga bagian dalam memeknya yang berwarna pink itu mulai kelihatan. Dan dengan sangat bernafsu kujilati bagian yang berwarna pink itu.
Mbak Artini pun memegangi kepalaku yang berada di bawah perutnya.
Sejenak kuhentikan jilatanku, untuk berkata, “Tempik Mbak luar biasa. Seperti yang masih perawan.”
“Memang masih perawan. Dan aku sudah memutuskan untuk memberikan keperawananku padamu Bon,” sahutnya sambil mengusap – usap rambutku.
“Haaa? Mbak seorang janda muda tapi masih perawan?” tanyaku kaget.
“Ceritanya panjang. Nanti aja jelasinnya. Sekarang lanjutkan licking-nya, Bon.”
“Iya,” sahutku dengan gairah semakin bergejolak. Kemudian kulanjutkan permainan oralku yang sudah terlatih berkat pengaklamanku dengan Mbak Weni dan Mama.
Kujilati bagian yang berwarna pink itu secara intensif. Tak terkecuali, kucari kelentitnya yang bersembunyi di bagian atas kemaluan wanita 30 tahunan yang mengaku masih perawan itu.
Mbak Artini pun mulai menggeliat – geliat sambil meremas – remas kain seprai putih bersih itu.
Aku belum tau benar tidaknya Mbak Artini itu masih perawan. Karena aku bukan seorang dokter. Sehingga belum bisa memastikan kebenaran pengakuannya itu. Tapi perawan atau tidak, bukan masalah penting bagiku. Yang pentging, aku sudah sangat bernafsu, sehingga aku menjilati memek Mbak Artini dengan sangat bersemangat.
Sampai pada suatu saat terdengar suaranya, “Mungkin sudah cukup basah Bon… masukin aja kontolmu…”
“Iya,” sahutku setelah menjauhkan mulutku dari memek ibu kosku. Kemudian kuambil tissue dari meja di samping bed, untuk menyeka mulutku yang berlepotan air liurku sendiri. Sementara Mbak Artini sudah merenggangkan kedua pahanya lebar – lebar.
Dengan penuh gairah kuletakkan moncong kontolku di mulut memek Mbak Artini yang sudah agak terbuka sedikit itu. Lalu kuarah – arahkan moncong kontolku agar letaknya ngepas.
Kemudian kudorong sekuat tenaga, tapi… malah meleset ke bawah. Kuletakkan lagi moncong kontolku pada posisi yang mungkin lebih tepat. Kemudian kudorong lagi sekuatnya. Lagi – lagi meleset.
Hmmm… gak nyangka akan sesulit ini. Lebih sulit daripada waktu pertama kali mau menyetubuhi Mbak Weni.
Tapi berkat perjuangan dan keuletanku, akhirnya aku berhasil membenamkan kontolku, meski baru sampai lehernya saja.
“Sudah mulai masuk ya,” ucap Mbak Artini sambil merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Lalu ia menatapku dengan senyum manis di bibir sensualnya.
“Baru sedikit… sepertinya Mbak memang masih perawan,” sahutku.
“Bukan sepertinya! Aku memang belum pernah disetubuhi lelaki…!” ucap Mbak Artini tajam. Sambil mencubit pipiku. “Disumpah juga aku mau. Bahwa aku masih perawan. Dan Bona adalah lelaki pertamaku.”
“Iya maaf… barusan aku salah ngomong…” sahutku sambil bersiap – siap untuk mendorong kontolku lagi, agar masuk lebih dalam.
Lalu kudesakkan kontol ngacengku sekuatnya. Makin jauh membenam ke dalam liang memek Mbak Artini.
Maka mulailah aku mengayun kontolku perlahan – lahan. Dalam gerakan pendek – pendek. Di dalam liang memek ibu kosku yhang luar biasa sempitnya ini.
Namun setelah kuentot secara perlahan dan hati – hati, akhirnya ku berhasil mengentotnya secara normal. Mungkin karena liang memek Mbak Artini sudah menyesuaikan diri dengan ukuran kontolku.
Mbak Artini pun mulai menggeliat – geliat lagi, diiringi oleh rintihan – rintihannya yang terdengar seperti bisikan – bisikan erotis di telingaku.
“Bona… oooh… Booon… ternyata seperti ini rasanya disetubuhi oleh lelalki ini yaaa… oooo… oooooh… Booonaaaa… aku sudah menjadi milikmu, Sayaaaang…”
Itulah pertama kalinya Mbak Artini memanggilku Sayang. Senang hatiku mendengarnya… mendengar ucapan mesra dari perempuan yang sudah lama kugilai ini.
Sambil tetap mengentotnya, kupagut bibir sensualnya ke dalam ciuman dan lumatanku. Dia pun menyambut dengan lumatan yang lebih hangat lagi, sementara tangannya meremas – remas sepasang bahuku.
“Aku juga sayang sekali sama Mbak,” ucapku setelah ciuman kami terlepas.
“Jadi… Mbak sudah lama jatuh hati padaku?” tanyaku tanpa menghentikan entotanku.
“Jatuh cinta…! Bukan jatuh hati lagi.”
Aku terkejut sehingga lepas kontrol. Dan aku terlalu jauh menarik kontolku, sehingga terlepas dari liang memek Mbak Artini. Tapi pada saat yang sama, aku jadi bisa melihat darah yang bertetesan dari memek Mbak Artini… berjatuhan ke atas seprai. Mungkin ada sekitar 1 sendok teh darah yang bertetesan ke kain seprai putih bersih itu.
Inilah untuk pertama kalinya aku menyetubuhi perawan. Lalu kenapa Mbak Artini mengaku janda tapi masih perawan? Soal itu mungkin nanti dia akan menjelaskannya sendiri. Yang penting sekarang, aku harus memasukkan lagi kontolku yang terlepas dari liang surgawi ibu kosku.
“Gak nyangka… Mbak ternyata masih perawan,” ucapku setelah kontolku terbenam lagi seluruhnya di dalam liang kenikmatan ibu kosku.
“Aku dijodohkan dengan seorang cowok. Aku sih menurut saja pada keinginan orang tua. Lalu aku dinikahkan. Gak taunya cowok itu tidak tertarik pada perempuan. Dia hanya menyukai sesama jenis kelaminnya.”
“Gay maksud Mbak?”
“Iya. Aku sudah berusaha untuk merangsangnya dengan berbagai macam cara. Tapi dia tidak terangsang sedikit pun. Makanya aku minta cerai tiga bulan setelah menikah dengan cowok gay itu. Jadi… aku memang janda, tapi masih perawan. Dan sekarang aku berikan keperawananku kepada orang yang kucintai dan bernama Bona ini.
“Iya Sayaaaang, “aku pun membalas dengan kata sayang. Kemudian kucium bibibrnya sambil mengayun kontolku kembali. Bermaju mundur di dalam liang memek Mbak Artini yang luar biasa sempitnya ini, “Sekarang aku merasakannya… bahwa aku memang mencintaimu Bon… gak tau diri ya… perempuan sudah usia tigapuluh mencintai anak muda…
“Umurku juga sudah menuju duapuluhempat Mbak. Jadi beda usia kita hanya enam tahun,” sahutku sambil menghentikan ayunan kontolku sejenak. “Kalau soal perasaan, pertama kali aku melihat Mbak, aku langsung tergila – gila sama Mbak. Tapi aku tak mau memaksakan diri. Karena takut disangka ingin digratiskan kosku di sini.
“Kata orang… lelaki mengucapkan cintanya dulu, kemudian masuk ke dalam hati. Kalau perempuan dirasa – rasakan dulu di dalam hati. Lalu kalau sudah mengucapkannya, berarti sudah berada di puncak cintanya Bon.”
Aku mengungkapkan perasaanku dalam sikap dan perilaku. Bukan secara lisan dan gombal – gombalan.
Ketika aku mulai mengayun kembali kontolku, mulutku terus – terusan menciumi bibir sensual Mbak Artini, sebagai perwujudan cintaku padanya. Terkadang lidahku menjilati leher jenjangnya yang sudah mulai keringatan, diiringi dengan gigitan – gigitan kecil.
Dan ini membuatnya merintih – rintih histeris, namun suaranya perlahan sekali. Mungkin karena takut kedengaran oleh anak – anak kos lain.
“Booon… aaaaaa… aaaaah… Booon… aku rasanya seperti me… melayang – layang di langit tinggi Booon… aku makin sayang padamu… makin cinta padamu Booon… ini luar biasa nikmatnya sayaaaaang… aaaaaah… indah sekali Booon…”
Aku tak cuma meniciumi bibir dan menjilati leher jenjangnya. Aku pun mulai mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya dengan lembut, tidak berani keras – keras meremasnya.
Semakin menggeliat – geliat dan merintih – rintihlah Mbak Artini dibuatnya. Terlebih ketika aku menjilati ketiaknya, disertai dengan gigitan – gigitan kecil pula… semakin menggelinjang – gelinjang pula tubuh seksinya itu.
Bahkan pada suatu saat Mbak Artini seperti panik. “Bon… ini rasanya ada yang mau meluap dari dalam tempikku Booon…” ucapnya dengan tubuh berkelojotan.
“Lepasin aja Mbak. Itu pertanda mau orgasme…” sahutku sambil mempercepat entotanku.
“Iiii… iiiiya Booon… oooo… oooooooooh… aaaaaaa…”
Lalu sekujur tubuh seksi itu mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat ke atas.
Aku pun menghentikan dulu entotanku. Karena ingin menyaksikan dan merasakan sesuatu yang indah. Bahwa liang memek Mbak Artini mengejut – ngejut, disusul dengan gerakan seperti spiral… sambil meluapkan lendir libidonya, yang membuat liang sanggama Mbak Artini jadi basah sekali.
Lalu nafas Mbak Artini yang tertahan agak lama itu pun dihembuskan, “Aaaaaaah… indah sekali Sayaaaaang…” ucapnya lirih. Namun wajahnya tampak lebih cantik dari biasanya. Mungkin itulah yang disebut aura wanita yang terpancar setelah mengalami orgasme.
Setelah mencium dan melumat bibir Mbak Artini, aku mengusap – usap pipinya yang masih keringatan sambil berkata, “Setelah orgasme, Mbak jadi kelihatan lebih cantik dari biasanya.”
“Masa sih?! Tapi yang jelas aku merasa sudah jadi milikmu seorang.”
“Nanti kalau aku mau ngecrot, lepasin di mana Mbak?”
“Lepasin di dalam memekku aja.”
“Nggak apa – apa?”
“Maksudnya?”
“Kalau Mbak hamil gak apa – apa?”
“Nggak apa – apa. Aku malah kepengen punya anak darimu. Kalau anaknya cowok, mudah – mudahan seganteng bapaknya.”
“Dan kalau anaknya cewek, mudah – mudahan secantik ibunya.”
Mbak Artini menatapku dengan senyum. Wow… betapa manisnya senyum Mbak Artini itu. Maka kupagut lagi bibibr yang tengah tersenyum itu ke dalam ciuman dan lumatanku. Saat itu aku pun mengayun kontolku kembali. Terasa sekali bedanya. Bahwa tadi liang memek Mbak Artini terasa sempit sekali. Sekarang jadi agak longgar, karena liang sanggamanya jadi becek.
Tapi hal itu hanya berlangsung beberapa detik. Karena kemudian liang kemaluan Mbak Artini mulai terasa sempit kembali.
Ini luar biasa enaknya. Karena gesekan antara kontolku dengan dinding liang sanggama ibu kosku sangat terasa nikmatnya. Padahal Mbak Artini belum bisa bergoyang pinggul, karena ia baru sekali ini merasakan disetubuhi oleh lelaki.
Tapi aku tidak membutuhkan goyangan. Yang penting aku bisa mengentot liang memeknya sepuasku.
Namun aku terlalu menghayati nikmatnya memek perawan mature ini. Sehingga tak lama kemudian aku mulai memasuki detik – detik krusial. Biasanya kalau sudah begini, aku suka melambatkan entotanku. Tapi kali ini sebaliknya. Aku bahkan mempercepat entotanku. Makin lama makin cepat. Sampai akhirnya kubenamkan batang kontolku sedalam mungkin di dalam liang sanggama Mbak Artini.
Dan pada detik – detik paling nikmat itu aku merasakan kontolku mengejut – ngejut sambil menembak – nembakkan lendir maniku.
Croooottttt… crotttt… crooooootttt… crotttcrottt… croooooooootttttttt… crotttt… crooootttt…!
Aku menggelepar disertai dengusan nafasku. Lalu terkulai di atas perut Mbak Artini.
“Sudah ejakulasi?” tanya Mbak Artini lirih.
“Sudah Mbak Sayaaaang… luar biasa nikmatnya…” sahutku sambil merapatkan pipiku ke pipinya.
Kemudian kucabut kontolku dari lubang tempik Mbak Artini.
Ternyata banyak sekali air mani yang kumuncratkan di dalam tempik ibu kosku. Sehingga tampak air maniku meluap ke luar, mengalir ke arah anus Mbak Artini.
Cepat kuambil kertas tissue basah dari atas meja rias Mbak Artini. Lalu kuseka memek ibu kosku dengan kertas tissue basah itu.
“Terima kasih, “Mbak Artini duduk sambil memperhatikan darah ytang hampir mengering di kain seprainya, “Berdarah ya?”
“Iya,” sahutku, “darah itu jadi saksi keperawanan Mbak sebelum kusetubuhi tadi. Apakah Mbak menyesal telah memberikan keperawanan Mbak padaku?”
“Masa nyesel? Aku malah bahagia sekali telah didewasakan olehmu,” sahut Mbak Artini yang disusul dengan ciuman mesranya di bibirku, “Mwuuuuaaaaah…”
“Kita harus istirahat dulu selama dua – tiga hari, sampai luka di dalam tempik Mbak benar – benar sembuh. Setelah sembuh, baru kita boleh bersetubuh lagi,” kataku sambil membelai rambut Mbak Artini yang tergerai lepas.
“Iya. Aku mau nurut sama kamu aja Sayang.”
“Nanti kita kalau mau ngobrol, lewat WA aja. Supaya tidak memancing kecurigaan anak – anak kos lain,” kataku.
“Tapi namaku di hapemu kan ada Artini-nya.”
“Gampang, nama Mbak di hapeku akan diganti jadi Hartono. Biar disangka WA dari bapak – bapak.”
“Hiiihiiihiii… iya, iyaaaa. Namamu juga bakal kuganti jadi Bonita. Biar disangka WA dari cewek.”
“Iya… betul itu Mbak.”
Sebenarnya aku ingin sekali tidur bersama Mbak Artini. Tapi demi kenyamanan hati kami, malam itu aku mengendap – endap keluar dari rumah Mbak Artini. Dan masuk ke rumah kos lagi. Kebetulan Amran belum pulang. Mungkin dia nginep di rumah pacarnya.
Sehingga aku bisa tidur nyenyak tanpa perasaan takut atau cemas.
Keesokan harinya aku menghubungi Mama lewat ponsel. Aku menceritakan bahwa aku lulus dan akan diwisuda 2 minggu lagi.
“Mama bahagia sekali mendengar suksesmu Bon,” kata mama di ponselku, “Tapi mungkin mama gak bisa hadir dalam wisudamu. Nanti mama suruh Rina dan Lidya aja yang menghadiri wisudamu ya?”
“Emangnya Mama kenapa?”
“Nanti aja setelah wisudamu selesai, akan mama ceritakan.”
“Papa gimana?”
“Sejak mama pulang dari Jogja sampai hari ini papamu belum muncul juga. Biarlah, mama sudah lupakan papamu. Yang penting, mama sudah punya kamu secara lahir dan batin.”
“Iya Mam. Semoga Mama sehat – sehat aja ya. Soal yang akan menghadiri wisudaku, gak apa diwakili oleh Mbak Rina dan Mbak Lidya juga.”
“Kamu juga Sayang. Semoga sehat selalu yaaa…”
Tiga hari setelah Mbak Artini diperawani olehku, datang WA darinya pas aku sedang di kampus. Isinya :
-Sekarang udah sembuh Bon. Kapan mau “ditengok” lagi?-
Aku mengerti apa yang dimaksud “ditengok” itu. Memang sejak kuambil keperawanannya, Mbak Artini belum pernah kusetubuhi lagi. Dan kini dia sudah kangen pada kejantananku. Ingin “ditengok” lagi. Hahahaaaa…!
Lalu kubalas WA itu dengan :-Iya Mbak. Sekarang aku masih di kampus. Pulangnya sekitar jam 8 malam. Nanti aku langsung aja ke rumah Mbak ya. Pintu untuk jalan rahasia itu jangan dikunci ya-
Lalu datang lagi balasan darinya: -Iya Sayang. Aku tunggu ya. Emwuaaaah …! –
Jam setengah delapan malam aku baru bisa meninggalkan kampus. Dan seperti yang sudah kujanjikan, setibanya di depan rumah Mbak Artini yang berdampingan dengan rumah kos, aku langsung menyelinap ke gang kecil di samping rumah Mbak Artini. Di situ ada pintu besi yang menghadap ke gang.
Pintu itu tidak dikunci seperti yang kuminta. Namun setelah berada di dalam, kukuncikan pintu besi itu. Kemudian masuk ke ruangan tengah, di mana Mbak Artini sudah menungguku dengan senyum manis di bibirnya.
Aku pun memenuhi janjiku. Untuk menyetubuhi Mbak Artini habis – habisan malam itu.
Dan aku semakin yakin betapa mendalamnya cinta Mbak Artini padaku
Sehari menjelang hari wisudaku, Mbak Rina dan Mbak Lidya sudah tiba di Jogja. Bahkan mereka sudah cek in di sebuah hotel bintang lima. Setelah mereka berada di hotel itu, barulah Mbak Rina call ke ponselku.
”Kenapa Mbak gak ngasih tau dulu sebelumnya, supaya aku bisa jemput ke stasiun?” tanyaku di dekat hapeku.
Mbak Rina menjawab, “Jogja kan gak asing lagi bagi kita. Semua anak Papa dan Mama lahir dan dibesarkan di Jogja kan? Lagian kami gak mau ganggu kesibukan.. mu yang sedang mempersiapkan wisuda-an. “
“Aaaah… cuma mau diwisuda kan gak perlu nyiapin apa – apa Mbak. Jubah toga dan topi wisuda kan sudah siap. Kalau mau jadi pengantin, baru sibuk urus sana – sini. Ya udah nanti malam aku akan datang ke hotel. “
“Bukan cuma datang ke hotel. Kamu harus tidur nemenin kami di hotel. Kami kan takut juga tidur berdua sama – sama cewek. Sekalian ingin ngobrol banyak sama kamu Bon. “
“Iya Mbak iyaaa. Jadi besok pergi ke tempat wisuda, start dari hotel aja ya. “
“Iya, begitu lebih bagus Bon. “
Setelah hubungan seluler ditutup, aku bergegas menuju kamar mandi. Dan mandi sebersih mungkin.
Kemudian aku berdandan dengan agak tergesa – gesa.
Sambil menjinjing dua kantong plastik berisi pakaian wisuda dan pakaian resmiku, dengan stelan jas, kemeja putih dan dasi. Juga ada sepatu baru yang akan kupakai di hari wisuda besok.
Sebelum berangkat ke hotel, aku pamitan dulu kepada Mbak Artini. Kujelaskan bahwa aku akan nginap di hotel, tempat kedua kakakku menginap. Dan besok pagi akan langsung menuju gedung tempat diselenggarakannya wisuda angkatanku.
Mbak Artini tampak bersemangat, meski dia tak bisa hadir dalam wisudaku. Karena menurut peraturan, hanya dua orang keluarga yang dibolehkan menghadiri wisudaku. Jadi Mbak Artini harus mengalah, untuk tidak menghadiri wisudaku.
Yang membuatnya bersemangat, adalah bahwa sekitar tiga hari lagi dia akan mengantarkanku ke tempat kakaknya yang suka dipanggil Mbak Lies itu.
Setelah cipika cipiki dengan Mbak Artini, aku pun meninggalkan rumahnya dan berangkat menuju hotel dengan menggunakan taksi. Tidak menggunakan motor gede kesayanganku.
Tak lama kemudian aku pun sudah berada di lantai lima dalam hotel bintang lima itu. Langsung kau mengetuk pintu yang nomornya sesuai dengan keterangan Mbak Rina. Pintu itu pun dibuka. Mbak Lidya yang membukanya, dengan senyum ceria di bibirnya. Lalu kami berpelukan dan cipika – cipiki.
Tapi berbeda dengan biasanya. Kali ini Mbak Lidya tak sekadar mencium sepasang pipiku, tapi juga… bibirku.
Mbak Rina juga sama. Dia menyambutku dengan pelukan hangat, lalu mencium sepasang pipiku dan juga bibirku…!
Tentu saja perasaanku jadi lain. Tapi aku berusaha melupakannya. Dan menganggap bahwa hal itu hanya karena ingin menyatakan kegembiraan mereka atas akan diwisudanya aku besok.
Lalu kami ngobrol ke barat ke timur sebagaimana biasanya kalau kumpul dengan saudara – saudara seperti ini. Termasuk masalah Papa yang tak pulang – pulang ke rumah, juga kami bicarakan.
Aku prihatin juga mendengar cerita tentang Papa itu. Terutama merasa prihatin kepada Mama.
Kedua kakakku itu memang sama bentuknya. Tinggi langsing tapi tidak kurus. Perawakan mereka memang mirip. Tapi ada perbedaan yang menyolok di antara mereka berdua. Kulit Mbak Rina agak gelap, sementara Mbak Lidya putih bersih. Mbak Rina berambut panjang dan hitam warnanya. Sedangkan rambut Mbak Lidya hanya sebatas bahu, diwarnai kecoklatan pula.
Memang Mbak Rina biasa tampil seadanya. Sementara Mbak Lidya agak pesolek.
Tapi setelah makan malam bersama di luar hotel, Mbak Rina dan Mbak Lidya jadi kompak untuk mengutarakan sesuatu padaku, ketika kami sudah berada di dalam hotel lagi. Kami duduk di atas sofa. Aku duduk di tengah, Mbak Rina di sebelah kiriku, Mbak Lidya di sebelah kananku.
Pada saat itulah Mbak Rina tampak serius dan berkata, “Bon… terus terang aja ada sesuatu yang ingin kami minta bantuanmu saat ini. “
“Bantuan masalah apa Mbak?” tanyaku.
“Aku dan Mbak Rina ini masih sama – sama perawan Bon, “Mbak Lidya yang menyahut.
“Lalu?” aku memandang Mbak Lidya, lalu memandang Mbak Rina. Dengan benak penuh tanda tanya.
“Kita kan sesama saudara,” kata Mbak Rina, “Jadi kita ngomong to the point aja ya Bon. “
“Iya… iya…” sahutku.
Mbak Lidya memegang pergelangan tangan kananku sambil berkata, “Kami ingin merasakan seperti apa nikmatnya bersetubuh itu Bon. “
“Haaa?! “aku tersentak. Memandang wajah Mbak Lidya, lalu memandang wajah Mbak Rina di sebelah kiriku.
“Betul Bon,” ucap Mbak Rina, “Kamu pasti mau memberikan apa yang kami inginkan. “
“Iya Bon,” kata Mbak Lidya, “kami akan memasrahkan keperawanan kami kepadamu. “
“Ta… tapi kita kan saudara Mbak,” sahutku rikuh.
“Alaaaa… jangan munafik lah Bon. Kami tau kok apa yang sering kamu lakukan dengan Mbak Weni dahulu. Kalau Mbak Weni sering kamu setubuhi, kenapa kami gak bisa diperlakukan secara adil? “
“Mbak Weni ngomong begitu?” tanyaku dengan perasaan serba salah.
“Kami sering ngintip kamu bersetubuh dengan Mbak Weni dahulu. Mbak Weni sih gak pernah ngomong apa – apa. “
Aku tertunduk dan berkata, “Sebelum bersetubuh denganku, Mbak Weni sudah gak perawan lagi. “
“Nah… apalagi kalau begitu. Mbak Weni yang sudah gak perawan lagi, kamu setubuhi terus – terusan. Sedangkan kami… dijamin masih perawan Bon. “
“Tapi kenapa justru aku yang harus mengambil keperawanan Mbak – Mbak?” tanyaku dengan perasaan yang mulai terpengaruh.
Mbak Lidya yang menyahut, “Kami bukan cewek jelek kan? Dengan gampang kami bisa mengajak cowok mana pun untuk begituan. Tapi kami pikirkan akibatnya kelak. Cowok itu pasti membocorkan rahasia kami kepada teman – temannya. “
“Betul,” kata Mbak Rina, “Kalau dengan saudara, rahasia kami pasti terjamin. Kami yakin kamu takkan mau menceritakannya kepada orang lain. “
“Besok aku kan mau diwisuda,” sahutku mengambang. Karena sebenarnya aku semakin terpengaruh oleh keinginan mereka.
“Diwisuda kan cuma duduk di antrian. Lalu naik ke atas podium setelah tiba giliranmu. Jangan bodoh Bon. Mau dikasih dua perawan malam ini kok malah seperti ogah – ogahan gitu. “
Aku terdiam. Lalu membulatkan tekadku dan berkata tegar, “Oke deh… mau siapa dulu? Mbak Rina dulu atau Mbak Lidya dulu?”
“Siapa pun duluan sama aja. Jadi terserah kamu aja,” sahut Mbak Rina sambil melepaskan gaunnya.
Mbak Lidya pun kompak. Melepaskan celana corduroy coklat tua dan baju kaus coklat mudanya. Sehingga kedua kakakku itu sudah sama – sama tinggal mengenakan celana dalam dan beha.
Beha mereka pun dilepaskan. Sehingga sepasang toket mereka yangberimbang mulai kelihatan. Sama – sama berukuran sedang. Tidak gede, tapi juga tidak kecil.
Dalam keadaan tinggal bercelana dalam begitu, perbedaan Mbak Rina dengan Mbak Lidya mulai kelihatan. Bahwa kulit Mbak Rina lebih gelap daripada kulit Mbak Lidya yang putih bersih. Tapi ukuran badan mereka kelihatannya sama. Tinggi langsing dan serba proporsional ukurannya.
Namun setelah celana dalam mereka dilepaskan, tampak perbedaan yang mencolok. Kemaluan Mbak Rina ada jembutnya, tapi digunting dengan rapi, sehingga bentuk kemaluannya tetap kelihatan jelas. Sedangkan kemaluan Mbak Lidya tercukur bersih.
Entah kenapa aku tertarik untuk mendahulukan Mbak Rina yang kemaluannya berjembut dan kulitnya lebih gelap daripada kulit Mbak Lidya.
Maka kulepaskan busanaku sehelai demi sehelai, kecuali celana dalam yang kubiarkan tetap melekat di tubuhku, aku pun memegang pergelangan tangan Mbak Rina sambil berkata, “Yang paling senior dulu ya. Tapi tentu harus ada foreplay dulu Mbak.”
“Terserah kamu mau pilih siapa,” sahut Mbak Rina, “Tapi apakah kamu bisa dalam semalam mengambil keperawanan kami?”
“Bagaimana nanti aja,” ucapku, “Kalau tidak bisa malam ini, Mbak Lidya kan bisa besok ya?”
“Iya,” sahut Mbak Lidya, “Kami udah bayar hotel ini untuk empat hari kok.”
“Pada banyak duit ya. Sampai cek in di hotel bintang lima untuk selama empat hari.”
“Kami kan udah kerja. Kalau perlu sampai seminggu kami di sini, karena izinnya juga untuk seminggu. Iya kan Mbak?” tanya Mbak Lidya kepada Mbak Rina.
“Iya. Santai aja. Kalau perlu, nginep sebulan juga gakpapa,” sahut Mbak Rina sambil tersenyum.
“Kalau sebulan sih bisa dipecat kita Mbak. Izinnya kan cuma seminggu.”
Aku cuma tersenyum mendengar percakapan kedua kakakku itu. Sementara lenganku sudah melingkar di pinggang Mbak Rina.
Sebenarnya waktu masih kecil kami suka mandi bareng. Tapi saat itu aku tak pernah memperhatikan tubuh telanjang mereka. Lalu setelah aku di SMP, Mama melarang kami mandi bareng lagi. Dan sejak saat itulah aku tak pernah melihat mereka dalam keadaan telanjang lagi.
Dan kini, setelah kami sama – sama dewasa, baru melingkarkan lengan di pinggang Mbak Rina saja… sudah ada getaran – getaran syur di dalam batinku.
Terlebih setelah aku meraih pergelangan tangan Mbak Rina dan sama – sama naik ke atas bed hotel yang cukup besar itu, diam – diam kontolku mulai ngaceng di balik celana dalam yang belum kutanggalkan.
Ketika aku sudah menghimpit Mbak Rina, kulihat sepasang matanya menatapku dengan sorot pasrah. “Kamu nafsu lihat aku telanjang gini?”
“Kalau gak nafsu dari tadi juga aku sudah minggat Mbak,” sahutku.
“Buka dong celana dalammu. Pengen liat kontolmu, udah ngaceng apa belum?”
Aku pun menggulingkan badan ke samping Mbak Rina. Lalu kulepaskan celana dalamku, “Dari tadi juga udah ngaceng Mbak. Tuh liat …“
“Wow! Sekarang jadi gede dan panjang banget Bon. Waktu kita masih sering mandi bareng, kontolmu masih kecil… !” seru Mbak Rina sambil duduk dan memegang kontolku yang memang sudah ngaceng ini.
“Dulu kan masih anak – anak Mbak. Kayak tempik Mbak aja, dulu kan gak ada jembutnya,” sahutku sambil duduk juga sambil mengusap – usap memek Mbak Rina yang berjembut tapi pendek – pendek dan rapi itu.
“Tempikku gak ono jembute lho, “sela Mbak Lidya sambil mengusap – usap memeknya.
“Hihihiii… dicukur apa diwaxing tuh?” tanyaku kepada Mbak Lidya.
“Gak diapa – apain,” sahut Mbak Lidya sambil mendelik.
Aku cuma tersenyum. Lalu mendorong kedua toket Mbak Rina agar menelentang lagi. Aku menoleh ke arah Mbak Lidya sambil mencolek memek gundulnya “Jangan ganggu ya. Nanti setelah Mbak Rina selesai kan giliran Mbak Lidya juga,” kataku.
“Iya… aku cuma mau nonton aja,” ucap Mbak Lidya sambil merebahkan diri, celentang di samping Mbak Rina. Aku menyempatkan diri menciumi memek Mbak Lidya, kemudian tengkurap di atas perut si item manis berambut panjang (Mbak Rina).
“Foreplay itu perlu, supaya memek Mbak siap untuk dipenetrasi,” ucapku sambil mempermainkan pentil toket Mbak Rina.
“Iya… lakukanlah apa pun yang menurutmu paling baik.”
“Tapi yang paling enak kalau Mbak nyiapin pil anti hamil. Supaya enak, aku bisa ejakulasi di dalam memek Mbak.”
“Sudah disiapin Bon. Aku dan Lidya sudah lama mempunyai rencana ini, tapi baru sekarang terlaksananya.”
Aku tersenyum. Lalu merayapkan mulutku dari pipi ke bibir Mbak Rina.
Mbak Rina pun memagut bibirku. Lalu melumatnya sambil memejamkan matanya. Ini membuatku semakin bergairah. Dan berusaha menganggap bahwa Mbak Rina itu bukan kakakku, melainkan seorang cewek yang baru kukenal dan siap untuk kuambil keperawanannya. Maka setelah melepaskan lumatan Mbak Rina, mulutku berpindah ke pentil toket kirinya.
Suhu badan Mbak Rina terasa menghangat. Pertanda bahwa dia sudah mulai horny.
Aku pun tak mau buang – buang waktu lagi. Aku melorot turun, sehingga wajahku berhadapan dengan memek Mbak Rina yang berjembut pendek – pendek dan rapi itu.
Bentuk memek kakakku yang item manis itu tampak jelas, karena jembutnya seolah cuma hiasan belaka. Tak ragu pula aku mendorong sepasang paha Mbak Rina agar merenggang jaraknya, lalu mengangakan mulut memeknya. Hmmm… bagian dalam tempik kakakku yang item manis itu tampak jelas berwarna pink. Dan bagian yang berwarna pink itulah yang menjadi sasaran awal lidahku.
Kujilati bagian dalam tempik kakakku itu, dengan tekad harus membuat liang memeknya sebasah mungkin, agar mudah diterobos oleh kontolku nanti. Karena itu sambil menjilati bagian yang berwarna pink itu, aku pun berusaha untuk mengalirkan air liurku ke dalamnya.
Aku pun berusaha mencari itilnya. Dan setelah menemukan bagian seupil yang cuma sebesar kacang kedelai itu, aku pun mulai mengintensifkan jilatanku ke situ. Bahkan ketika aku sedang menjilati itilnya ini, kusertai dengan isapan – isapan kuat. Sehingga Mbak Rina mulai terkejang – kejang sambil meremas – remas kain seprai, diiringi oleh desahan dan rintihan perlahannya, “Aaaaaah …
Aku tahu bahwa memek Mbak Rina sudah basah kuyup oleh air liurku. Namun aku masih terus – terusan menjilati itilnya. Tujuanku adalah ingin agar Mbak Rina orgasme dalam permainan oralku. Karena kalau sudah orgasme, liang memeknya akan mengembang. Pada saat itu pula aku akan membenamkan kontolku ke dalam liang memek yang sudah “mekar” itu.
Dan… detik – detik yang ditunggu itu pun datang. Mbak Rina menggeliat dan mengelojot. Lalu menjang tegang sekujur tubuhnya. Memeknya pun terasa bergerak – gerak sedikit. Berarti dia sudah orgasme…!
Lalu dengan sigap kuletakkan moncong kontolku di mulut memek Mbak Rina.
Mbak Lidya pun tampak serius memperhatikan semua ini. Sehingga aku ingin iseng juga, untuk menjawil toketnya yang menggantung ke bawah, karena dia setengah tengkurap untuk memperhatikan semua ini.
Setelah merasa moncong kontolku berada di arah yang ngepas, kudorong batang kemaluanku sekuat tenaga. Dan… blesssss… kontol ngacengku membenam sampai lehernya. Kudorong lagi sekuat tehnaga. Blessss… melesak lagi sampai hampir separohnya.
“Udah masuk ya? “Mbak Rina menatapku dengan sorot pasrah.
“Sudah,” sahutku, “Sakit nggak?”
“Nggak. Cuma ada kayak disuntik… tadi… sekarang mah gak lagi…”
Sambil mulai mengayun kontolku perlahan – lahan, kubisiki telinga Mbak Rina, ““Mbak sudah jadi milikku sekarang…”
Dia menyahut terengah, “Bi.. biarin aja… dimiliki oleh adikku sendiri… gakpapa… ooo… ooooh… Booon… ini mulai enak lagiiiii…”
“Sekarang kita mulai bersetubuh Mbak… enak kan?” ucapku sambil agak mempercepat entotanku.
“Eeee… enak sekali Booon… ooooh… ini luar biasa enaknya Booon…”
Sebagai jawaban, kupercepat entotanku sampai kecepatan normal. Memang liang memek Mbak Rina masih sangat sempit. Sehingga agar entotanku berada di dalam kecepatan standar, lumayan banyak energi yang harus kukerahkan.
Namun aku bukan hanya mengentot liang memek sempit Mbak Rina. Aku pun mulai menjilati lehernya yang sudah keringatan, sementara tangan kiriku meremas – remas toket kanannya.
Desahan dan rintihan Mbak Rina pun mulai tak terkendalikan lagi, “Boooon… oooooohhhhh… ini luar biasa enaknya Booon… entot terus Booon… entooot teruuuussss… entoooot… entoooottttt… iyaaaa… iyaaaa… iyaaaa… ooooh… kontolmu enak sekali Boon… entoootttt… entoooootttt…
Pada saat itu pula Mbak Lidya jadi duduk bersila, sambil memperhatikan peristiwa yang sedang terjadi antara aku dan Mbak Rina. Mbak Lidya memperhatikannya dengan serius, sambil mempermainkan pentil toketnya.
Terdorong oleh perasaan kasihan kepada kakak langsungku (tidak terhalang oleh kakak lain), aku pun menyempatkan diri menjulurkan tanganku ke arah memek Mbak Lidya… lalu kuelus – elus memek yang bersih dari jembut itu. Aku seolah berkata, sabarlah… nanti tiba giliran memekmu yang akan kuentot…
Demi Mbak Lidya yang tampak sudah gak sabaran menunggu, kuintensifkan entotanku di dalam liang memek Mbak Rina yang super sempit tapi sudah licin ini.
Mbak Rina pun semakin menggeliat – geliat sambil merintih – rintih histeris. Terlebih setelah aku menjilati ketiaknya yang harum deodorant, sambil meremas – remas toket kanannya… semakin menggila pula rintihan dan desahan nafas Mbak Rina sibuatnya, “Aaaaa… aaaaah… Boooon… ini luar biasa enaknya Booon…
Aaaaaaah… aaaaaah… entot terus Booon… entot teruuuussss… makin lama makin enak Booon… serasa sedang melayang – layang di langit… aaaaah… aaaa… aaaaahhhh… entot teruis Booon… entot terussss… entoooootttt… entooootttt… ooooooohhhh… enaaaak…
Di tengah riuhnya raungan – raungan histeris Mbak Rina, diam – diam aku menyelidik. Ya… aku akan berusaha bertahan, meski nanti Mbak Rina mencapai orgasmenya, aku tak mau ngecrot cepat – cepat. Karena masih ada Mbak Lidya yang belum kuapa – apain.
Maka aku pun mengentot Mbak Rina sambil mengatur nafas dan jalan pikiranku. Manakala aku mearasa terlalu enak dan bisa melesat ke arah puncak kenikmatanku, cepat kupelankan entotanku. Pelan sekali. Dan setelah pernafasanku teratur kembali, barulah aku mempercepat kembali entotanku.
Akhirnya Mbak Rina berkelojotan, dengan tubuh sudah bermandikan keringat.
Lalu ia memejamkan mata sambil menahan nafasnya, dengan tubuh mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat ke atas.
Pada saat itulah kubenamkan kontolku sedalam mungkin, sampai moncongnya menyundul dan mendorong dasar liang memek Mbak Rina.
Lalu… Mbak Rina mengelojot, dengan nafas terhembus kembali… dengan liang memek berkedut – kedut erotis. Lalu ia terkapar dan terkulai lunglai, sementara kontolku terasa seperti berada di liang yang basah dan hangat.
Kudiamkan kontolku sejenak. Kemudian perlahan – lahan kutarik dari liang memek Mbak Rina. Kemudian menoleh ke arah Mbak Lidya yang sedang menatapku juga. Dengan sorot nafsu seorang cewek di kala horny.
Sebelum pindah ke atas perut Mbak Lidya, masih sempat kulihat genangan darah di bawah kemaluan Mbak Rina. Darah perawan kakakku yang item manis itu.
“Sama Mbak Rina udahan?” tanya Mbak Lidya ketika aku sudah tengkurap di atas perutnya.
“Iya… dia sudah orgasme,” kataku sambil melirik ke arah Mbak Rina yang tampak seperti terlena tidur, “Mbak udah horny sejak tadi ya?”
“Iya… udah gak sabaran, pengen ngerasain enaknya dientot sama kontolmu,” sahut Mbak Lidya sambil melingkarkan lengannya di leherku. Kemudian mencium dan melumat bibirku dengan penuh kehangatan.
“Dahulu kita cuma bisa cipika – cipiki ya,” ucap Mbak Lidya setengah berbisik, “Sekarang bisa ciuman bibir dengan bibir.”
“Iya. Bahkan sebentar lagi bibirku dengan bibir memek Mbak juga bakal berciuman.”
“Iya Bon. Aku pengen sekali merasakan enaknya memek dijilatin.”
“Memangnya Mbak belum pernah merasakannya sama sekali?”
“Ya belum lah. Kalau sudah dijilatin memek segala, pasti ujung – ujungnya ke entotan. Makanya aku masih perawan sampai detik ini juga. Tapi kalau sama adek sendiri, aku rela menyerahkan keperawananku.”
“Gak punya niat mempertahankannya sampai kawin kelak?”
“Alaaah… Mbak Weni juga gak mempertahankan keperawanannya di masa masih gadis. Sekarang malah hidup senang, karena suaminya tajir walau pun usianya udah tua.”
Aku cuma tersenyum, sambil memainkan pentil toket Mbak Lidya.
Lalu berkata, “Siap – siap Mbak… aku mau jilatin memek Mbak. Biar kontolku lebih mudah dimasukkannya ke dalam liang memek Mbak.”
“Iya. Jilatin deh sepuasmu. Pokoknya saat ini semua terserah kamu, karena kamu yang sudah pengalaman dalam soal sex,” sahut Mbak Lidya.
Aku pun melorot turun. Sehingga wajahku langsung berhadapan dengan memek Mbak Lidya.
Kutepuk – tepuk memek yang agak tembem dan tanpa jembut sehelai pun itu. Lalu kuciumi memek itu, sekaligus ingin membuktikan apakah ada aroma yang kurang sedap atau tidak. Kalau ada aroma yang kurang sedap, akan kusuruh cebok dulu sebersih mungkin, agar nyaman menjilatinya.
Tapi ternyata aroma memek Mbak Lidya sangat natural. Tidak ada aroma yang kurang sedap dari memek plontosnya itu. Maka kudorong sepasang paha putih mulusnya, agar jaraknya serenggang mungkin. Kemudian dengan kedua tanganku pula kungangakan mulut memeknya selebar mungkin, sehingga bagian yang berwarna pink itu terbuka lebar.
Lalu dengan penuh gairah ujung lidahku mulai “menari” di permukaan yang lembut, hangat, agak basah dan berwarna pink itu…!
Mbak Lidya agak tersentak. Tapi lalu diam saja ketika aku mulai menjilati bagian yang berwarna pink itu dengan lahap sekali. Mulutku seolah terbenam di permukaan memek Mbak Lidya, sementara desahan – desahan erotisnya pun mulai terdengar, “Aaaa… aaaaah… Booon… aaaaa… aaaaaahhhhh… aaaaa…
Seperti yang kulakukan kepada Mbak Rina tadi, kali ini pun sama. Sambil menjilati bagian dalam mulut memek Mbak Lidya ini, kualirkan air liurku sebanyak mungkin ke dalamnya. Kemudian kufokuskan untuk menjilati itilnya yang tampak mengkilap sebesar kacang kedelai itu.
Semakin menggeliat – geliat pula Mbak Lidya dibuatnya. Bahkan kedua tangannya meremas – remas rambutku sambil merintih – rintih histeris, ”Ini lebih enak lagi Booon… ooooo… oooooohhhhh… enak sekali Booon… enak sekaliii… oooooohhhhh… jilatin terus itilnya Boooon… itilnyaaaa… itiiiiilllll …
Dengan penuh semangat kujilati terus itilnya, terkadang disertai isapan – isapan kuat. Sehingga itil Mbak Lidya jadi kelihatan lebih menonjol, jadi agak “mancung”. Sementara air liurku pun semakin banyak kualirkan ke dalam celah memeknya.
Kali ini aku tak mau menunggu sampai Mbak Lidya orgasme. Karena aku pun tak kuat menahan nafsu lagi, ingin segera melakukan penetrasi.
Maka kujauhkan mulutku dari memek Mbak Lidya. Kemudian kuletakkan moncong kontolku tepat di bagian yang berwarna pink itu.
Aku masih sempat melirik ke arah Mbak Rina yang tampak masih tepar. Seperti ketiduran sambil membelakangi kami.
Lalu… kudorong kontolku sekuat tenaga. Uuuuuggggggghhhhhh…!
Kepala kontolku mulai masuk dengan sulitnya. Kudorong lagi, dengan mengerahkan segenap tenagaku. Berhasil…! Kontolku mulai membenam sampai lehernya. Kudorong lagi sekuat tenaga… uuuughhhhh…! Masuk lagi sampai separohnya…!
“Sudah masuk ya? “tanya Mbak Lidya dengan tatapan pasrah.
“Sudah,” sahutku sambil merapatkan pipiku ke pipinya, “Sekarang Mbak sudah mulai jadi milikku.”
“Milikilah sepuasmu Bona Sayaaaang…” sahut Mbak Lidya sambil mendekap pinggangku erat – erat.
Dengan hati – hati aku mulai menggerakkan kontolku, maju mundur perlahan. Dan berusaha agar jangan sampai terlepas, karena takut sulit membenamkannya lagi.
Mbak Lidya belum orgasme. Sehingga liang memeknya terasa lebih sempit daripada memek Mbak Rina tadi.
Namun makin lama liang memek Mbak Lidya makin menyesuaikan diri dengan ukuran kontolku. Sehingga aku makin lancar mengentotnya, sambil menyedot – nyedot pentil toketnya.
Sambil mengusap – usap rambutku, Mbak Lidya pun mulai merintih – rintih histeris, “Oooo… oooo… ooooohhhh… Boooon… rasanya seperti melayang – layang gini Booon… lu… luar biasa enaknya Booon… kontolmu enak sekali Booon… begini rasanya dientot yaaaaa… oooooh… Booonaaaa…
Aku pun mulai melengkapi entotanku dengan jilatan – jilatan di leher Mbak Lidya yang sudah mulai keringatan. Sementara kontolku mulai bermaju – mundur dalam kecepatan normal.
Semakin menggila jugalah rintihan – rintihan histeris Mbak Lidya dibuatnya. “Booon… kamu benar – benar mampu membuatku nik… nikmaaaat… ooooh… Booonaaaaa… ini luar biasa nikmatnya Booon… entot teruuuussss… entoooootttttttt…”
Sementara itu kulihat Mbak Rina sudah duduk bersila di samping Mbak Lidya, sambil tersenyum – senyum padaku. Mungkin dia terbangun karena mendengar rintihan – rintihan Mbak Lidya yang terlalu keras.
Lalu Mbak Rina menepuk pantatku sambil berkata, “Kalau bisa, setelah dengan Lidya nanti entot aku lagi ya Bon.”
“Iiii… iya Mbaaak…” sahutku dengan gerakan kontol yang semakin lancar mengentot liang memek Mbak Lidya…
Permintaan Mbak Rina bahwa ia ingin kusetubuhi lagi setelah persetubuhanku dengan Mbak Lidya ini selesai, adalah permintaan yang harus kukabulkan. Dan itu berarti bahwa aku harus berusaha sekuat tenaga agar jangan ngecrot di dalam memek Mbak Lidya.
Tapi memek Mbak Lidya ini… sangat aduhai… terlalu enak buatku. Bahkan mungkin memek Mbak Lidya ini menempati peringkat pertama di antara perempuan – perempuan yang pernah kuentot…! Liang tempik Mbak Lidya ini paling enak di antara memek – memek yang pernah kuentot…!
Ketika aku sedang gencar – gencarnya mengentot Mbak Lidya, aku tahu bahwa Mbak Lidya sudah orgasme beberapa saatg sebelumnya. Seharusnya cepat kucabut kontolku dari memek Mbak Lidya, lalu pindah ke memek Mbak Rina.
Tapi aku sudah telanjur menghayati betapa nikmatnya liang memek Mbak Lidya ini. Sehingga kontolku tetap gencar mengentot memek Mbak Lidya yang aduhai ini. Dan pura – pura tidak tahu bahwa Mbak Lidya sudah orgasme.
Justru setelagh orgasme, liang memek Mbak Lidya jadi semakin enak rasanya. Masih tetap sempit, tapi jadi licin dan hangat. Sementara Mbak Lidya pun tampak seperti kerasukan, mungkin saking enjoy merasakan nikmatnya entotan kontolku.
“Entot terussss Booon… makin lama makin enak rasanyaaaa… entottt yang lebih kencang Boon… iyaaaa… iyaaaa… gila… luar biasa enaknya Booon… entooottttt… entooooootttt… entoooooootttttt… aaaaaaaa… aaaaah… enaaaak Booon… kontolmu memang luar biasa enaknyaaaa…
Aku tak sekadar memainkan kontolku yang bermaju mundur terus di dalam liang memek Mbak Lidya. Bibir dan lidahku pun ikut beraksi. Terkadang mencium dan melumat bibir Mbak Lidya, terkadang menjilati lehernya yang sudah dibasahi keringat, disertai dengan gigitan – gigitan kecil.
“Sekalian cupangin leherku Booon… ini nikmat sekali… nikmaaat… “erang Mbak Lidya sambil mendekap pinggangku erat – erat.
Kuikuti saja permintaan kakakku itu. Kusedot – sedot lehernya sekuatku. Sehingga meninggalkan bekas merah kehitaman.
Takut kalau bekas cupanganku jadi masalah, karena besok Mbak Lidya akan menghadiri acara wisudaku, aku hanya berani meninggalkan bekas satu titik saja di leher Mbak Lidya. Kemudian aku mengalihkan aksi mulutku ke toket Mbak Lidya yang masih kencang padat ini. Di badan toket itulah aku mencupanginya.
Namun semua ini terlalu indah bagiku dan juga bagi Mbak Lidya.
Pada suatu saat Mbak Lidya berkelojotan lagi. Kemudian mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat ke atas.
Pada saat itu pula aku tak bisa menahan diri lagi. Kugencarkan entotanku secepat mungkin, kemudian kutancapkan kontolku di dalam liang memek Mbak Lidya, sampai menyundul dasar liang memek aduhai itu.
Lalu kami seperti sedang kerasukan. Saling jambak, saling remas seolah – olah ingin menghancurkan tulang di balik daging dan kulit yang kami remas ini.
Sepasang mata indah Mbak Lidya terbeliak. Nafasnya tertahan. Lalu liang memeknya terasa mengedut – ngedut kencang… disusul dengan gerakan seperti spiral yang seolah tengah meremas kontolku yang sedang gawat juga ini.
Tak kuasa lagi aku menahannya. Moncong kontolku langsung menembak – nembakkan lendir kenikmatanku di dalam liang memek Mbak Lidya… croooooooootttttttt… crootttttt… crooootttt… crotttcrootttt… crooootttt…!
Aku terkapar di atas perut Mbak Lidya. Lalu terkulai lunglai di puncak kepuasan birahi.
Mbak Lidya pun terkulai lunglai. Memejamkan sepasang mata indahnya, mungkin sedang meresapi nikmat yang baru saja dialaminya.
Meski lemas, kutarik kontolku dari liang memek Mbak Lidya. Lagi – lagi kusaksikan genangan darah yang sudah mulai mengering di bawah memek Mbak Lidya.
Dua orang perawan telah kurenggut kesuciannya. Atas kehendak mereka sendiri.
Aku pun turun dari bed menuju kamar mandi. Ternyata Mbak Rina mengikuti langkahku dan ikut masuk ke dalam kamar mandi.
“Kontolmu sudah lemas ya Bon,” ucap Mbak Rina sambil memegang kontolku yang masih berlepotan air mani bercampur dengan lendir libido Mbak Lidya.
“Iya Mbak,” sahutku dengan perasaan kasihan juga, karena mungkin dia pikir aku bisa langsung menyetubuhinya setelah selesai dengan Mbak Lidya barusan. Lalu kupeluk leher Mbak Rina sambil berkata, “Sabar ya Mbak. Nanti setelah ngaceng lagi, pasti Mbak yang bakal kuentot.”
“Barusan kontolmu ejakulasi di dalam memek Lidya?”
“Iya. Gak kuat lagi menahannya.”
Mbak Rina mencium bibirku, lalu berkata setengah berbisik, “Aku juga pengen ngerasain disemprot oleh air manimu Bon.”
“Iya Mbak.”
“Bagaimana nih caranya supaya kontolmu bisa ngaceng lagi?”
“Kalau Mbak mau, oral aja kontolku.”
“Bukan gak mau, tapi belum tau caranya.”
“Sebentar Mbak… aku mau kencing dulu.”
“Aku pengen seperti di bokep yang pernah kutonton. Kencingin memekku nih,” ucap Mbak Rina sambil meletakkan kedua telapak tangannya di bokong, sekaligus mengangsurkan memeknya ke dekat kontolku.
Ah, ada – ada aja kakakku yang satu ini. Tapi tanpa membantah kulakukan juga apa yang diminta olehnya itu. Kuarahkan moncong kontolku ke memek Mbak Rina. Lalu kupancarkan kencingku ke memek berbulu tipis dan pendek – pendek itu.
“Hihihiiii… air kencingmu panas,” kata Mbak Rina sambil menepuk – nepuk memeknya yang sudah basah oleh air kencingku, “Kita sekalian mandi aja yuk. Biar bisa saling menyabuni seperti waktu masih anak – anak dahulu. ““
“Boleh. Biar aku bisa nyabunin memek Mbak, sementara Mbak juga bisa nyabunin kontolku.”
Mbak Rina memegang kontolku yang masihlemas ini sambil berkata, “Waktu masih kecil aku sering nyabunin kontolmu ini. Tapi pada saat itu kontolmu hanya sebesar kelingking. Sekarang kontolmu jadi segede pergelangan tanganku… hihihihiiii…”
“Memek Mbak juga waktu itu belum ada jembutnya. Sekarang kan jadi berjembut.”
“Kamu gak suka kalau aku membiarkan jembutku meski sudah dirapikan gini?”
“Aku sih yang berjembut suka, yang gundul juga suka. Sama aja. Punya kelebihan masing – masing,” sahutku sambil memutar keran shower air hangat.
Air pun memancar dari shower yang berada di atas kepala kami. Memang aku pun merasa perlu mandi, karena badanku penuh dengan keringat bekas “perjuangan” belah duren dua kali tadi.
Lalu kami pun melakukan hal yang sering kami lakukan di masa kecil, yaitu saling mnyabuni. Tapi dengan bentuk fisik dan perasaan yang jauh berbeda. Ketika Mbak Rina sedang menyabuniku, ketika sedang menyabuni kontolku ia berjongkok. Lalu belajar tentang bagaimana caranya felatio (mengoral kontol). Sehingga kontolku mulai membesar…
Ketika giliranku menyabuni sekujur tubuh Mbak Rina, maka setelah dibilas dengan air hangat shower, aku berjongkok di depannya, untuk menjilati memeknya yang sudah bersih dan harum sabun mandi.
“Duuuh Booon… aku jadi horny berat nih,” ucap Mbak Rina setelah cukup lama aku menjilati memek dan itilnya.
“Di sana aja yuk…” ucapku sambil menunjuk ke meja washtafel yang bisa diduduki pinggirnya. Meja washtafel yang ditutupi granit coklat itu.
Mbak Rina langsung setuju saja. Ia melangkah duluan ke meja washtafel itu. Kemudian kuatur agar ia duduk di meja washtafel itu, dengan sepasang kaki mengangkang di pinggirannya.
Lalu dengan perjuangan yang lumayan berat, akhirnya aku berhasil membenamkan kontolku, sambil berdiri menghadap kakakku yang sedang duduk mengangkang di pinggiran meja washtafel itu.
Ketika aku mulai mengentotnya, Mbak Rina memegang sepasang bahuku. Sambil berdesah – desah lagi. Tiba – tiba terdengar suara Mbak Lidya di belakangku, “Pantesan hilang… rupanya lagi begituan lagi di sini yaaa?”
Mbak Rina yang menyahut, “Kalau mau joint, mandi dulu sana Lid. Biar bersih dan segar badanmu.”
“Iya Mbak… badanku udah lengket – lengket sama keringat nih. Asyik juga dientot di dalam kamar mandi ya? Bikin aku jadi horny lagi neh… !”
Setelah Mbak Lidya selesai mandi, kami sepakat untuk melanjutkan semuanya ini di luar kamar mandi. Tepatnya di atas sebuah sofa putih.
Di situlah kami habis – habisan melakukannya. Melakukan persetubuhan threesome FFM, yang membuat keringat kami bercucuran kembali.
Namun kami sangat bergairah melakukannya, terutama diriku.
Ya, aku tak usah munafik, bahwa semuanya ini indah sekali. Sebagai pengalaman pertamaku berthreesome.
Nikmat sekali. Karena dengan seenaknya aku bisa mengentot Mbak Rina, lalu kupindahkan kontolku ke dalam liang memek Mbak Lidya. Benamkan lagi ke dalam liang memek Mbak Rina dan begitu seterusnya.
Lewat tengah malam barulah kami tertidur nyenyak.
Bersambung…