Dan keesokan harinya aku bisa menghadiri wisudaku secara normal, meski badanku terasa lunglai. Yang paling menyenangkan adalah, aku lulus dengan cumlaude. Membuat kedua kakakku ikut bangga.
Sepulangnya dari gedung yang digunakan untuk upacara wisuda itu, kutraktir kedua kakakku makan di sebuah restoran yang paling kusukai di Tugu Kidul.
Pada saat sedang makan itulah handphoneku berdering. Ketika kulihat di layar ponselku, ternyata Mbak Artini yang nelepon.
Agar leluasa, aku menerima call dari Mbak Artini itu di tempat yang sepi, agak jauh dari kedua kakakku. Lalu :
“Ya Mbak…”
“Maaf kalau mengganggu ya. Acara wisudanya udah selesai belum?”
“Sudah selesai Mbak. Ini lagi makan siang bersama kedua kakakku.”
“Aduh gimana ya… jadi kurang enak nyampaikannya.”
“Ada apa Mbak?”
“Barusan ada telepon dari Mbak Lies. Dia ingin Bona datang hari ini juga ke tempatnya. Karena dia sudah cukup lama menunggu. Jadi kalau serius, dia minta hari ini juga Bona datang ke rumahnya.”
“Diantar sama Mbak kan?”
“Tentu aja.”
“Pakai motor aja ya Mbak.”
“Memang sebaiknya pakai motor. Kalau pakai mobil, jalannya jadi mutar jauh.”
“Oke Mbak. Selesai makan siang, aku akan secepatnya pulang.”
“Terus kedua kakakmu gimana tuh?”
“Biarin aja. Mudah – mudahan mereka mengerti. Karena ini kan masalah pekerjaan yang menentukan masa depanku.”
“Ya syukurlah kalau gitu. Aku mau dandan dulu sambil menunggu Bona pulang.”
“Iya Mbak, silakan.”
Kemudian aku menghampiri kedua kakakku yang sudah selesai makan.
“Aku harus ke luar kota sekarang juga, “laporku.
“Lho ada urusan apa?” tanya Mbak Lidya.
“Urusan pekerjaan. Calon bossku minta ketemu hari ini juga.”
“Apa gak bisa besok lagi? Kamu kan masih capek gitu Bon,” kata Mbak Rina.
“Kalau hari ini aku tidak datang, aku bakal dicoret dari daftar pelamar. Calon bossku sudah menunggu sejak berbulan – bulan yang lalu. Dia akan menempatkanku di perusahaannya setelah diwisuda. Rupanya beliau gak sabar lagi, karena sudah lama menunggu, sejak aku belum bikin skripsi.”
“Ya udah,” kata Mbak Rina, “Karena menyangkut masa depanmu, dahulukan aja urusan kerjamu.”
“Terus kamu mau langsung tinggal di luar kota?” tanya Mbak Lidya.
“Belum tau Mbak. Siapa tau aku bakal ditempatkan di Jabar, bisa dekat nanti sama Mbak Rina dan Mbak Lidya.”
“Ya udah kalau gitu. Makanan ini biar aku yang bayar,” kata Mbak Rina.
“Sudah dibayar sama aku tadi Mbak. Mmm… Mbak Rina dan Mbak Lidya bisa pulang sendiri ke hotel kan?”
“Bisa dong. Kita kan lahir besar di Jogja. Masa gak hafal jalan di sini?”
Begitulah. Akhirnya aku berpisah dengan Mbak Rina dan Mbak Lidya.
Aku pulang ke rumah kos dengan taksi, sementara Mbak Rina dan Mbak Lidya entah mau terus ke mana. Mungkin juga mereka pulang ke hotel, untuk beristirahat setelah kugauli habis – habisan tadi malam.
Mbak Artini menyambutku dengan pelukan dan ciuman mesranya. “Selamat ya atas sudah diwisudanya kekasihku tersayang…” bisiknya.
“Terima kasih Mbak. Ternyata Mbak sudah dandan secantik ini…” sahutku sambil menepuk bokong Mbak Artini yang gede itu, yang selalu mengundang gairahku belakangan ini.
“Aku berdandan untukmu Sayang. Bukan untuk orang lain.”
“Tapi kalau aku ditempatkan di daerah yang jauh dari Jogja gimana? Kita bisa sulit berjumpa dong.”
“Tapi kan ada hari – hari liburnya. Biarin aku yang datang nanti, setelah ditentukan di mana tempat untuk ketemuannya. Ayo kita langsung berangkat aja. Biar hati Mbak Lies tenang.”
“Tanah kakak Mbak itu luas?”
“Bukan luas lagi. Di Jateng, Jabar dan Jatim juga ada. Almarhum suaminya kan tuan tanah.”
“Owh… jadi dia itu janda?”
“Iya. Sama seperti aku. Tapi nasibnya sangat baik. Menikah dengan duda tajir melintir yang sangat mencintainya, meski usianya sudah tua. Setelah suaminya meninggal, tanahnya yang di sana – sini itu jadi milik Mbak Lies.”
“Umur berapa Bu Lies itu?”
“Sepuluh tahun lebih tua dariku.”
“Kok jauh gitu ya beda kakak sama adik?”
“Dia kan kakak sulungku. Dari dia ke aku ada dua orang kakakku.”
“Dari Mbak ke bawah, ada adik?”
“Ada, cuma seorang. Sekarang tinggal di Kalimantan, dengan suaminya. Saudara – saudaraku perempuan semua Bon. Ohya… bawa sekalian pakaianmu Sayang. Siapa tau Mbak Lies nyuruh kamu langsung tinggal di tempatnya.”
“Iya Mbak. Kebetulan aku sjudah menyimpan beberapa stel pakaian dalam ranselku.”
Beberapa saat kemudian Mbak Artini yang mengenakan celana jeans dan baju kaus ditutupi oleh mantel tebal, sudah duduk di belakangku, di atas motor gede kesayanganku yang sudah kupacu menuju ke luar kota. Di atas boncengan motor gedeku ini, Mbak Artini selalu mendekap pinggangku erat – erat, seolah takut jatuh, seolah tak mau berpisah lagi denganku.
Dengan petunjuk dari Mbak Artini, kukemudikan motorku melewati jalan alternatif yang belum diaspal. Tapi menurut Mbak Artini, lewat jalan tikus itulah kami akan cepat sampai. Karena kalau melewati jalan aspal, memutarnya jauh sekali.
Lewat jalan alternatif itu pun, setelah melewati hutan belantara dan pesawahan, tiga jam kami baru tiba di depan rumah calon bossku itu.
Di depan rumah calon bossku itu aku tertegun. Gila, rumah ini di daerah pedesaan. Tapi megahnya luar biasa. Terdiri dari tiga lantai, dengan gaya minimalis.
Memang di zaman sekarang segala hal bisa menyebar sampai ke daerah terpencil sekali pun. Baik budaya, mode, mau pun segala hal yang sedang ngetrend di kota, bisa dengan cepat mengalir ke daerah pinggiran. Terbukti dengan gadis – gadis yang tinggal di kampung ini, kelihatan sudah mengikuti mode zaman now.
Dan rumah calon bossku itu, bukan sekadar besar dan megah, tapi modelnya pun sudah mengikuti perkembangan zaman now. Model minimalis yang tampak sangat kokoh. Dijaga oleh beberapa orang satpam pula.
Pada saat itu kebetulan pintu garasi sedang terbuka, sehingga aku bisa melihat beberapa mobil mahal tersimpan di dalam garasi itu. Bukan hanya satu mobil.
Mbak Artini langsung membawaku ke dalam rumah yang luar biasa megahnya itu.
Lalu memintaku untuk duduk menunggu di ruang tamu dengan furniture serba kekinian ini.
Tak lama kemudian, Mbak Artini muncul, bersama seorang wanita yang usianya kira – kira sebaya dengan Mama. Dan… maaaak… wanita itu tinggi montok… lebih montok daripada Mbak Artini…!
Tapi kuakui bahwa wanita itu berparas cantik, berkulit putih bersih pula. Sementara rambutnya… inilah salah satu tanda bahwa segala jenis model sudah merambah ke pelosok tanah air. Ya, rambut Bu Lies itu dicat jadi kecoklatan (brunette). Tapi beliau tampak pantas saja kelihatannya. Mungkin pada suatu saat aku pun akan menyuruh Mama agar mengecat rambutnya seperti Bu Lies ini.
Wanita itu menatapku dengan sorot tajam, seperti sedang menilai diriku. Tapi aku bersikap biasa – biasa saja. Aku berdiri sambil mengangguk sopan.
“Ini Mbak Lies yang sering kuceritakan itu Bon.”
Dengan agak gugup aku berkata, “Iya… perkenankan saya memperkenalkan diri… nama…”
Belum selesai aku bicara, calon bossku itu memotong, “Namamu Bona kan?”
“Hehe… betul Bu,” sahutku sambil menjabat tangan wanita montok semok itu.
“Jadi gimana wisudanya tadi? Tinggi nilainya?” tanya wanita bernama Lies itu sambil duduk di sofa.
“Alhamdulillah, saya lulus dengan cumlaude Bu,” sahutku.
“Syukurlah. Aku memang butuh insinyur pertanian yang cerdas. Bukan sekadar asal lulus,” ucap Bu Lies.
“Iya Bu.”
Lalu Bu Lies menjelaskan tentang arah agro bisnisnya secara panjang lebar. Dia bukan sekadar tuan tanah biasa, tapi juga bergerak di bidang agro bisnis. Dia menampung sayur – sayuran dan buah – buahan untuk dikirim ke Jakarta.
Tapi tugas utamaku adalah mengelola lahan yang tidak produktif, agar jadi lahan yang menghasilkan.
“Besok pagi deh kita survey lahan – lahan yang tidak produktif itu. Sekarang sudah hampir malam. Ohya… kamar paling depan itu bisa dijadikan kamarmu Bon,” kata Bu Lies.
“Tapi aku mau langsung pulang ke Jogja lagi sekarang Mbak,” ucap Mbak Artini menyela.
Bu Lies menoleh ke arah adiknya, “Minta anter aja sama Pak Karto tuh. Bona takkan bisa ngantger kamu pulang kan?”
“Iya, gakpapa. Minta anter sama Pak Karto aja,” sahut Mbak Artini.
“Kemaren aku transfer ke rekening tabunganmu. Udah diterima kan?”
“Sudah Mbak. Terima kasih ya mbakyuku yang cantik,” sahut Mbak Artini sambil mengecup pipi Bu Lies.
Kemudian Mbak Artini berdiri dan melangkah ke pintu depan. Kulihat di luar ia berbicara dengan seorang lelaki tua. Mungkin itu sopirnya Bu Lies yang bernama Karto itu.
Sesaat berikutnya Mbak Artini kembali ke ruang tamu dan berkata padaku, “Gak apa – apa kan ditinggal sendirian di sini? Aku mau pulang ke Jogja.”
“Iya Mbak. Silakan.”
Mbak Artini menghampiri Bu Lies sambil berkata, “Aku pulang dulu ya Mbak.”
“Iya. Terima kasih sudahnganterin Bona ke sini Ar.”
“Sama – sama Mbak,” sahut Mbak Artini yang lalu cipika – cipiki dengan Bu Lies.
“Jaga diri baik – baik ya Ar,” ucap Bu Lies sambil mengusap – usap rambut Mbak Artini.
Kemudian Mbak Artini melambaikan tangannya ke arahku, “Kalau lagi libur, main ke Jogja ya Bon.”
“Iya Mbak.”
Setelah Mbak Artini berlalu, diantarkan oleh mobil dan sopir Bu Lies, aku masih duduk di ruang tamu sambil menunggu Bu Lies yang masih berdiri di teras depan. Sebenarnya aku ingin mengantarkan Mbak Artini sampai di teras depan. Tapi aku takut kalau hubungan rahasiaku dengan Mbak Artini tercium oleh Bu Lies.
Tak lama kemudian Bu Lies masuk lagi ke ruang tamu sambil berkata, “Ini kamar yang bisa dijadikan kamarmu Bon. Coba ikut sini.”
Spontan aku berdiri sambil menjinjing ranselku, mengikuti Bu Lies yang sudah membuka pintu yang paling depan di rumah megah ini.
Ternyata kamar yang disediakan untukku besar sekali. Ada ruang kerja yang dibatasi oleh partisi kaca blur, ada kamar mandi tersendiri pula.
Yang membuatku agak heran, ada pintu lift segala. Untuk apa lift menuju kamar ini?
Sebelum aku bertanya, Bu Lies menjelaskan: “Nah inilah kamarmu Bon. Ada ruang kerjanya yang dilengkapi oleh komputer dan jaringan internet. Karena kita harus memantau kegiatan di lapangan, baik yang di Jateng, Jabar, Jatim dan juga kegiatan di Jakarta.”
“Iya Bu.”
“Ohya, itu ada pintu lift, langsung menuju kamarku di lantai tiga. Jadi kalau aku mau turun atau naik dan sedang malas pakai tangga, aku pakai lift itu. Nanti kalau kegiatanmu sudah banyak, kalau sekali – sekali ada sesuatu yang emergency, kamu boleh pakai lift itu dan langsung menuju kamarku. Kamu juga jangan kaget kalau tiba – tiba aku muncul di kamar ini.
“Siap Bu.”
“Masalah tugas – tugas dan gajimu, nanti aja kita bahas sambil makan malam ya.”
“Siap Bu.”
“Sekarang mandilah dulu. Peralatan mandi tersedia lengkap di kamar mandi itu. Nanti kalau sudah mandi, kutunggu di ruang makan ya Bon.”
“Iya Bu. Memang badan saya penuh debu bekas di perjalanan menuju ke sini tadi. Jadi perlu mandi dulu. Hehehee…”
“Mandilah. Selesai mandi ditunggu di ruang makan ya Bon.”
“Siap Bu.”
Bu Lies keluar dari kamar yang sudah menjadi kamarku ini. Aku pun bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
Aku memang lupa membawa peralatan mandi, handuk pun tidak bawa. Tapi untunglah semua peralatan mandi tersedia di kamar mandi, semuanya masih baru. Handuk, sabun cair, shampoo, odol dan sikat gigi masih baru semua.
Aku pun buru – buru mandi sebersih mungkin.
Setelah mandi dan mengganti pakaianku dengan pakaian bersih yang kubekal dari rumah kos, aku pun keluar dari kamar. Agak celingukan, karena banyak lorong, sehingga aku tidak tahu harus ke mana untuk menuju ruang makan.
Untung ada pembantu menghampiriku. Langsung kutanya, “Ruang makan di sebelah mana Mbak?”
“Oh… ke sebelah sana Den,” sahutnya sambikl menunjuk ke arah lorong yang di paling kanan.
Aku pun melangkah ke lorong yang ditunjukkan itu. Sampai mentok di ruang makan yang besar ruangannya, serba modern pula furniture dan peralatannya. Rupanya Bu Lies sengaja ingin ditemani makan malam di ruang makan yang super mewah itu.
Pada saat makan itu pula Bu Lies membahas tugas – tugasku dan juga besarnya gaji yang akan kuterima. Nominal gaji yang akan kuterima sangat mengejutkan. Karena menurutku besar sekali. Tapi dengan tenang Bu Lies berkata, “Pokoknya nanti jangan terlalu hitungan dengan tenaga dan pikiran. Karena aku pun tak menghitung – hitung gaji dan penghasilan tambahan untukmu nanti Bon.
“Siap Bu.”
“Pokoknya kalau prestasi kerjamu bagus, aku akan mengangkatmu sebagai tangan kananku.”
“Siap Bu.”
“Jangan terlalu kaku lah. Gak usah manggil boss padaku, jangan pula bilang siap – siap. Karena kita bukan militer, polisi juga bukan. Kamu juga gak usah membahasakan diri saya – sayaan. Larena kata saya itu berasal dari sahaya alias budak. Hamba sahaya itu kan budak. Kamu bukan budak. Pakai kata aku saja, biar lebih akrab kedengarannya ya.
“Siap… eh… iya Bu.”
“Nah sekarang istirahatlah sepuasnya. Karena besok pagi kita akan berjalan menaiki beberapa bukit kepunyaanku.”
“Iya Bu. Terima kasih,” sahutku sambil berdiri, “Selamat malam.”
“Malam,” sahut Bu Lies.
Keesokan paginya, ketika matahari baru saja terbit, Bu Lies sudah menungguku di luar kamarku. Sengaja aku mengenakan sweater biru tuaku, karena kuperkirakan udara di puncak bukit itu bakal dingin. Yang membuatku heran, Bu Lies menutupi seluruh badannya dengan selimut yang tidak tebal.
“Nah bagus kamu pakai sweater begitu. Di puncak bukit itu dingin hawanya.”
“Ibu pakai selimut begitu supaya gak kedinginan?”
“Iya. Kalau udaranya gak dingin, selimutnya bisa dipakai buat duduk – duduk di puncak bukit nanti.”
“Kita mau jalan kaki ke bukit itu Bu?”
“Iya. Itu bukitnya, dari sini juga kelihatan jelas,” kata Bu Lies sambil menunjuk ke bukit yang menjulang tinggi di belakang rumahnya. Ngocoks.com
“Oh, iya… iyaaa… kirain jauh,” sahutku sambil mengikuti Bu Lies yang sudah melangkah ke belakang rumah megahnya.
“Ini sekalian olahraga Bon,” kata Bu Lies di depanku, “Apalagi badanku montok begini. Kalau malas olahraga bisa gendut dan obesitas nanti.”
“Iya Bu.”
Lewat jalan setapak kami mulai menuju bukit itu. Tampaknya luas dan tinggi sekali bukit itu. Tapi dengan senang hati aku mengikuti langkah Bu Lies dari belakangnya.
Setelah tiba di lereng bukit itu, jalan yang harus kami tempuh makin lama makin menanjak. Tapi Bu Lies tidak kelihatan capek. Bahkan pada suatu saat ia melemparkan selimutnya padaku sambil berkata, “Tolong pegangin aja selimutnya Bon. Kayaknya udara sedang tidak terlalu dingin.”
Kutangkap selimut itu. Kulipat dan lalu kugantungkan di bahuku, seperti sedang memakai selendang.
Tapi ketika perhatianku tertuju ke arah Bu Lies… wow… Bu Lies memang memakai sweater juga seperti aku. Tapi bawahannya itu… rok mini yang benar – benar mini… sementara aku berjalan di belakangnya di jalan setapak yang mendaki pula. Ini membuat pemandangan yang luar biasa. Karena terkadang rok mininya itu ditiup angin, sehingga bokong gedenya terbuka penuh, celana dalamnya pun kelihatan jelas.
“Bon… kamu tau Artini pernah dijodohkan dengan seorang cowok, tapi ternyata cowok itu gay?”
“Iiii… iya Bu. Beliau pernah menceritakan soal itu.”
“Kasian adikku itu. STatusnya janda. Padahal masih perawan.”
“Begitu ya Bu?”
“Kamu normal Bon?”
“Maksud Ibu normal apanya?”
“Suka sama cewek, bukan sama sejenis?”
“Owh… iya Bu. Saya… eh… aku normal seratus persen Bu.”
Tiba – tiba Bu Lies mengangkat rok mininya, sehingga bokong dan celana dalamnya terbuka sepenuhnya. “Ayo jawab yang jujur. Kalau melihat pantat begini, kamu nafsu gak?”
“Iii… Ibu sangat seksi… tentu saja aku tergiur Bu… tapi maaf, aku takut disebut lancang dan kurang ajar nanti.”
“Kamu punya pacar nggak?”
“Nggak punya Bu.”
“Masa cowok seganteng kamu gak punya pacar? Jangan – jangan kamu gay juga ya?”
“Amit – amit, aku normal Bu. Hanya saja aku ingin menyelesaikan kuliah dulu, baru kemudian mikirin soal cewek.”
“Masa sih? Terus kamu bisa tergiur melihat pantatku… kok bisa? Aku kan sudah tua. Sedangkan kamu baru duapuluhtiga menuju duapuluhempat tahun kan?”
“Anu Bu… boleh jujur gak?”
“Iya. Harus jujur ngomongnya.”
“Aku ini pengagum wanita setengah baya.”
“Terus… sekarang kontolmu ngaceng nggak?” tanya Bu Lies sambil menghentikan langkahnya.
“Iiii… iya Bu… nga… ngaceng.”
“Coba lihat… sengaceng apa kontolmu.”
Meski ragu – ragu, kulaksanakan juga perintah Bu Lies itu. Kuturunkan ritsleting celana jeansku, lalu kupelorotkan celana jeans berikut celana dalamku, sehingga kontol ngacengku tersembul seperti sedang menunjuk ke arah Bu Lies.
“Woooow! Kontolmu segede dan sepanjang ini Bon?! “seru Bu Lies sambil memegang kontolku yang memang sudah ngaceng ini.
Aku tak menyangka semuanya ini akan terjadi begini cepatnya. Tapi aku tetap menggunakan akal sehatku. Kalau bossku menginginkannya, tiada alasan bagiku untuk menolaknya. Lagipula Bu Lies memang seksi habis di mataku.
Selimut itu sudah dihamparkan di atas rerumputan liar di antara pepohonan yang mirip hutan tak terawat ini. Aku disuruh berlutut dengan dada agak rebah ke belakang. “Tak usah telanjang bulat. Dengan begini pun kita bisa melakukannya. Hitung – hitung test aja, apakah kamu lelaki sejati atau sebangsa mantan suami Artini…
Lalu Bu Lies berjongkok sambil menyeret celana dalamnya ke samping. Dia membelakangiku, sehingga kurang jelas seperti apa bentuk memeknya. Yang jelas, sambil berjongkok dia berhasil membenamkan kontolku ke dalam liang tempiknya. Lalu bokong gede itu naik turun dengan gesitnya, sehingga kontolku terasa dibesot – besot oleh liang licin yang empuk dan hangat.
“Tempikku kepenak mboten?” tanyanya.
“Saestu kepenak Buuu…” sahutku sambil memejamkan mata, karena memang terasa liang tempik Bu Lies itu luar biasa enaknya.
“Ini sekadar tes aja Bon. Kalau kurang puas, nanti lanjutkan di rumah aja ya.”
“Iii… iya Bu.”
“Uedaaan… kontolmu ini gede tenan Bon. Sampai seret gini mainnya.”
“Mungkin karena punya Ibu terlalu kecil, jadi sempit…”
“Hihihihiiii… ini luar biasa enaknya Bon…” ucap Bu Lies ketika ayunan bokongnya mulai menggila. Terkadang kudengar suara desahannya yang aaah oooh… aaah… ooooh…
Sebenarnya ada yang kutakutkan. Takut ada orang lewat lalu memergoki kami sedang beginian.
Untungnya Bu Lies tak kuat lama – lama. Hanya belasan menit dia mengayun bokongnya. Lalu menggelepar dan ambruk.
“Wah, duweku sampun metu Bon. Kamu belum kan?”
“Belum Bu.”
“Nanti lanjutin di rumah ya,” ucap Bu Lies sambil mengangkat bokongnya tinggi – tinggi, sehingga kontolku pun terlepas dari liang memeknya yang seperti apa bentuknya. Belum jelas. Baru bentuk buah pantat gedenya saja yang jelas di mataku.
Bu Lies membetulkan celana dalamnya yang terseret ke samping. Kemudian duduk di atas selimut yang dihamparkan itu.
Aku pun membetulkan letak celana dalam dan celana jeansku, lalu duduk di samping Bu Lies. “Tau gak, kenapa aku gelis metu mau?”
“Kenapa Bu?”
“Karena sejak suamiku meninggal, baru sekarang aku merasakan lagi enaknya kontol. Apalagi sekalinya ketemu kontol yang panjang gede gitu. Ya cepet keluarlah aku.”
“Iya Bu.”
Kemudian kami membicarakan masalah lahan di bukit dan sekitarnya itu. Memang tampak seperti hutan yang tidak terurus. Dan Bu Lies memasrahkan padaku untuk mengelola bukit itu menjadi lahan yang produktif. Jangan sekadar ditumbuhi oleh pohon kayu murahan dan rumput liar belaka.
Aku menyanggupinya. Untuk mengubah bukit dan lahan di sekitar lerengnya, tanpa mengganggu eko system agar tidak terjadi erosi.
Setelah membahas masalah pendayagunaan lahan tidak produktif itu, kami pun pulang lagi.
Di jalan menuju pulang, masih sempat Bu Lies berkata, “Nanti setelah makan malamn, kuncikan dulu pintu kamarmu. Kemudian naik lift ke lantai tiga ya.”
“Iya Bu.”
“Kamu akan menjadi orang kesayanganku Bon. Kamu sudah siap kusayangi sebagai kekasih tercintaku?”
“Siap Bu.”
“Apakah aku cukup memenuhi syarat untuk dijadikan kekasihmu?”
“Sangat memenuhi syarat. Ibu bukan hanya cantik tapi juga seksi. Kebetulan aku memang pengagum wanita setengah baya pula. Jadi… heheheee… kalau Ibu berkenan, dijadikan suami Ibu pun aku mau.”
“Gak usah jauh – jauh dulu mikirnya. Biar bagaimana aku juga tau diri. Usia kita terlalu jauh bedanya. Yang penting kamu bisa selalu memuasi hasrat birahiku, sudah cukup bagiku.”
“Jadi kita menjalin hubungan rahasia aja Bu?”
“Iya. Kata orang hubungan gelap justru lebih nikmat daripada hubungan suami – istri.”
“Hehehee… iya Bu. Hmmm… gak nyangka bintangku bakal bersinar terang di kampung ini Bu.”
“Nanti malam kuat berapa set main sama aku?”
“Mmm… mungkin sampai tiga atau empat kali bisa Bu.”
“Hihihihi… kebayang tempikku bakal keenakan kalau sering dientot sama kontol panjang gedemu Bon.”
“Iya Bu. Aku juga bakal merem melek kalau sering maen sama Ibu. Heheheee…”
“Tapi ingat Bon… kita harus bermain rapi. Jangan sampai menimbulkan kecurigaan di luaran.”
“Iya Bu.”
“Kamu tidak perlu terlalu fokus pada diriku. Kalau ada cewek yang cocok dengan seleramu, silakan aja mainkan. Yang penting aku tetap dapet jatah minimal tiga kali seminggu.”
“Heheheee… iya Bu… iyaaa…”
“Ohya, kamu bisa nyetir mobil?”
“Bisa Bu.”
“Punya SIM?”
“Punya Bu. SIM C punya, SIM A juga punya.”
“Baguslah kalau begitu. Kapan – kapan kita tour ke daerah wisata yang indah – indah, kamu yang nyetir mobilku ya.”
“Iya Bu. Aku siap nyetir ke mana aja. Mau ke Jabar atau Jatim juga aku sanggup Bu.”
“Baguslah. Soalnya… entah kenapa ya… begitu ketemu sama kamu, aku langsung punya perasaan sayang padamu Bon.”
“Terima kasih Bu. Aku akan berusaha takkan pernah mengecewakan Ibu dalam hal apa pun.”
“Ingat ya… nanti setelah makan malam masuk ke dalam kamarmu. Tutup dan kunci pintu kamarmu. Kemudian pakai lift naik ke lantai tiga, itu langsung ke dalam kamarku.”
“Iya Bu.”
Beberapa saat kemudian kami tiba di rumah megah itu. Bu Lies masuk lewat pintu belakang, sementara aku masuk lewat pintu depan, kemudian masuk ke dalam kamarku.
Memang agak letih juga sehabis jalan kaki naik dan turun dari bukit itu. Tapi aku menyempatkan diri untuk duduk di belakang meja kerjaku, menyalakan komputer dan meneliti line perusahaan Bu Lies. Tentu saja dengan password yang sudah diberikan oleh Bu Lies, sehingga aku bisa membuka situs punya perusahaan Bu Lies.
Dari lalu lintas keuangannya aku mulai bisa menilai betapa besarnya omzet agro bisnis punya Bu Lies itu. Kelak harus aku yang memeriksa dan mengatur semuanya ini.
Dengan kata lain, usaha Bu Lies itu bukan main – main. Meski beliau tinggal di pedesaan begini, omzet harian perusahaannya sudah milyaran. Bukan hitungan juta lagi.
Tiba – tiba terdengar bunyi ketukan di pintu kamarku. Lalu aku membuka pintu itu. Seorang pembantu membungkuk sopan sambil berkata, “Ibu sudah menunggu di ruang makan, untuk makan siang Den.”
“Oh iya. Terima kasih,” sahutku sambil menutupkan pintu dan melangkah menuju ruang makan.
Di ruang makan Bu Lies sudah menungguku. Senyumnya tampak ceria ketika aku sudah menghampirinya di ruang makan yang segalanya serba mewah itu.
Kemudian aku duduk berhadapan dengan Bu Lies, terbatas oleh meja makan.
“Kepada semua pembantu di sini, aku sudah bilang bahwa Bona itu tangan kananku. Orang kepercayaanku. Makanya mereka pasti takut – takut kalau sudah berhadapan denganmu.”
“Iya Bu. Aku memang sudah siap untuk menjadi tangan kanan Ibu,” sahutku.
“Nggak sia – sia aku menunggu kedatanganmu selama berbulan – bulan. Karena ternyata kamu adalah orang yang kuinginkan dalam segala hal, termasuk dalam masalah pribadiku.”
“Iya Bu. Terima kasih atas kepercayaan Ibu padaku. Semoga aku bisa menjaga kepercayaan Ibu sampai kapan pun.”
“Ohya… kamu harus bisa merencanakan gebrakan baru dalam agro bisnis kita Bon. Jangan sekadar mengandalkan yang sudah berjalan saja.”
“Iya Bu. Maaf… apakah Ibu punya izin impor buah – buahan?”
“Oh… belum punya Bon. Kamju bisa mengurus izinnya kan? Memang bagus tuh. Masayarakat perkotaan kan lebih suka makan buah impor. Boleh direncanakan dan dilaksanakan soal impor itu Bon. Senang aku mendengar idemu itu.”
“Iya Bu. Kita bisa sebar buah – buahan impor itu ke setiap kotabesar di Indonesia.”
“Iya, iya iyaaa… kamu sudah mengobarkan semangat baru di hatiku Bon.”
Kemudian kami makan siang bersama. Sambil makan pun aku mengungkapkan beberapa rencana bisnis yang semuanya disetujui oleh Bu Lies. Namun aku tak bisa mengungkapkan jenis bisnisnya secara mendetail, karena termasuk rahasia perusahaan. Yang jelas, semuanya bisnis legal. Bukan bisnis abu – abu, apalagi bisnis hitam.
Menunggu datangnya malam terasa lama sekali. Padahal aku sudah ingin sekali menggemuli tubuh tinggi montok wanita setengah baya itu.
Namun akhirnya tiba juga saatnya selesai makan malam. Kemudian aku masuk ke dalam kamarku. Menutupkan dan mengunci pintu kamar. Mengganti pakaianku dengan baju dan celana piyama. Berkaca sebentar di depan cermin besar yang tergantung di dinding. Kemudian dengan hanya mengenakan sandal jepit, kupijat tombol lift dan masuk ke dalamnya.
Lift pun melesat ke lantai tiga. Ternyata benar. Pintu lift itu langsung menghubungkanku ke kamar Bu Lies.
Bu Lies yang sudah mengenakan kimono sutera putih, menyhambutku dengan senyum hangat. Memegang kedua pergelangan tanganku sambil berkata, “Kita turunkan dulu isi perut sehabis makan malam barusan ya.”
Aku mengangguk sambil tersenyum. Harum parfum mahal pun mulai tersiar ke penciumanku. Kemudian tanganku diraih, agar duduk berdampingan di atas sofa putih bersih. Ya… kamar Bu Lies ini serba putih bersih. Lagi – lagi aku menemukan bukti, bahwa orang yang tinggal di pedesaan belum tentu suka warna – warni yang norak.
Namun semuanya tidak kuperhatikan lagi setelah Bu Lies memegang tanganku sambil berkata, “Tadi di puncak bukit kamu ora iso ndelok tempikku toh? Nah sekarang lihatlah sepuasmu. Mau diapain juga silakan.”
Bu Lies merentangkan kedua sisi kimono putihnya sehingga aku bisa menyaksikan dengan jelas. Bahwa Bu Lies tidak mengenakan apa – apa lagi di balik kimono putih itu. Sehingga sepasang toket gedenya terbuka penuh. Memeknya pun tampak jelas di mataku. Tembem dan bersih dari jembut, mirip memek Mbak Artini…
Nafsu birahiku langsung bergejolak. Dan langsung bersila di atas karpet, di antara kedua kaki Bu Lies yang putih mulus… sambil mendekatkan wajahku ke memek tembem dan bersih dari jembut, yang tampak seperti sedang tersenyum malu – malu itu…!
Tanpa ragu lagi kuciumi tempik alias memek alias heunceut alias pepek alias puki alias ketut Bu Lies itu…!
Bu Lies malah mengusap – usap rambutku sambil berkata, “Mau dijilatin juga boleh. Jilatinlah tempikku sepuasmu Bon.”
Bicara begitu Bu Lies sambil memajukan letak bokongnya, sehingga tempik bersih dan tembem itu mendekati mulutku. Maka tanpa basa – basi lagi kungangakan mulut tempik Bu Lies dengan kedua tanganku. Sehingga bagian yang berwarna pink itu terbuka lebar. Bagian itulah yang lalu kujilati dengan lahap. Harum parfum mahal pun semakin tersiar ke penciumanku.
Mungkin sekujur tubuh Bu Lies selalu diharumkan oleh parfum itu. Sehingga tempiknya pun menyiarkan harumnya parfum mahal itu. Ini membuatku semakin bergairah untuk menjilati bagian yang berwarna pink itu. Sementara jempol kiriku mulai menggesek – gesek itilnya yang tampak menonjol “mancung”.
“Booon… oooo… oooohhhh… Booooon… aku makin sayang sama kamu Boooon… sayang sekali Booon… ooooohhhhhh… ooooohhhhh… aku sayang kamu Booon… sayaaaang kaaamuuuu… oooo… oooooooohhhhh… Booonaaaaa… “desahan dan rintihan Bu Lies mulai berhamburan dari mulutnya.
Bahkan beberapa saat kemudian Bu Lies seperti tak kuasa lagi menahan nafsunya. Ia mengusap – usap rambutku sambil berkata terengah, “Suuu… suuudah Booon… ayo kita lanjutkan di bed aja… biar nyaman… udah Booon… aku udah horny berat niiih…”
Kuikuti saja keinginan Bu Lies. Kujauhkan mulutku dari tempiknya, lalu bangkit berdiri dan mengikuti langkah Bu Lies menuju bednya yang serba putih bersih itu.
Di dekat bed itu Bu Lies menanggalkan kimononya. Aku pun cepat menanggalkan baju dan celana piyamakiu. Dan langsung telanjang, karena sengaja aku tidak mengenakan celana dalam sebelum naik ke lantai tiga ini.
Kemudian aku merayap ke atas perut Bu Lies sambil memegangi kontolku yang sudah ngaceng berat ini. Bu Lies pun ikut memegangi leher kontolku dan mencolek – colekkan moncongnya ke mulut tempiknya yang sudah basah oleh air liurku. Kemjudian ia mengedipkan matanya sebagai isyarat agar aku mendorong kontol ngacengku.
Maka kudesakkan kontolku sekuat tenaga. Dan membenam sedikit demi sedikit ke dalam liang memek Bu Lies… blessssssss… hmmmm… tadi di puncak bukit itu aku tidak begitu merasakan nikmatnya bersetubuh dengan majikanku yang bertubuh tinggi montok dengan bokong dan toket serba gede ini. Tapi sekarang aku benar – benar merasakan enaknya ketika kontolku sudah terbenam seluruhnya ke dalam liang tempik Bu Lies.
Bu Lies pun mengerang histeris, “Sudah masuuuuk semuaaaaa Booon… ooooh… kontolmu memang gede dan panjang banget. Ini sampai mentok di dasar liang tempikku Booon…”
Aku pun mulai mengayun kontolku perlahan – lahan. Dan terasa sekali legitnya liang memek Bu Lies ini. Sehingga aku pun berkata terengah, “Ta… tadi waktu di bukit… belum terasa enaknya tempik Ibu ini. Ta… tapi sekarang terasa benar… memek Ibu sangat legit… pasti bakal bikin aku ketagihan kelak…
“Kapan pun kamu mau ngentoit aku, tinggal naik aja ke lantai tiga ini. Kecuali kalau aku lagi datang bulan, pasti harus istirahat dulu,” sahut Bu Lies sambil merangkul leherku ke dalam pelukannya. Kemudian menciumi bibirku dengan lahapnya. Disusul dengan bisikan, “Ayoooo… entotlah aku sepuasmu Bona Sayaaaang …
Tanpa banyak bicara lagi, kupercepat gerakan kontolku, bermaju mundur di dalam liang memek yang terasa licin tapi legit ini.
Bu Lies pun mulai merintih – rintih histeris, “Aaaaa… aaaaaaah… Booonaaaa… aaaaaah… kontolmu memang luar biasa enaknya Booon… iyaaaaa… iyaaaaa… entot teruuussss booon… entoootttt teruuuusssss… iyaaaa… iyaaaaa… entooootttttttt… entoooooooootttttt… sambil emut pentil tetekku Booon…
Kiyaaaaa… luar biasa enaknya kontolmu ini Booon… aku sudah dua kali menikah… tapi baru sekali ini merasakan enaknya dientooootttt… aaaaa… aaaaaaah… Boooonaaaaa… Booonnnaaaaaa… enaaaak sekali Booon… entoooottttt… entoooottttttt… iyaaaaaaaaa… entoooottttt …
Dalam keadaan seperti ini, aku mulai menyadari salah satu kelebihan perempuan berbokong gede. Ketika aku mulai gencar mengentot Bu Lies, biji pelerku sama sekali tidak menyentuh kain seprai. Hanya terombang – ambing di depan memek Bu Lies saja. Ini karena saking gedenya pantat Bu Lies, sehingga pada waktu menelentang, memeknya berada kurang lebih sejengkal dari kain seprai.
Sementara itu aku pun teringat ucapan para pakar seksuologi. Bahwa dalam hubungan sex itu harus ada “take and give” (menerima dan memberi). Jadi kaum lelaki pun jangan hanya ingin merasakan enaknya saja memek pasangannya, tapi juga harus berusaha memberi kenikmatan pada pasangannya itu.
Itulah sebabnya, ketika sedang gencar – gencarnya mengentot tempik Bu Lies, aku pun bukan hanya mengemut dan meremas toket gedenya. Aku pun berusaha “menyempurnakan”nya dengan jilatan – jilatan lahap di lehernya, disertai dengan gigitan – gigitan kecil.
Karuan saja Bu Lies jadi merem melek dibuatnya. Bahkan pada suatu saat jilatanku beralih ke ketiaknya yang tercium harum parfum juga. Maka rintihan – rintihan Bu Lies pun semakin menjadi – jadi dibuatnya, “Booonnnaaaa… oooo… oooooh… Boooon… kamu sangat pandai membuatku keenakaaaaan… iyaaaaaa…
Iyaaaa… entot terus Booon… kontolmu luar biasa enaknya Booonaaaa… entooot teruuuussss… entoooott… sambil jilatin dan gigit – gigit ketekku juga Booon… aaaaaah… ini luar biasa enaknyaaaaaa… luar biaaasaaaaaa… entooot teruuuussss… entoooottttt… entoooottttt… Boooonaaaaaa…
Aku sengaja ingin memperlihatkan keperkasaanku, supaya Bu Lies ketagihan, ingin dientot terus olehku kelak.
Sudah dua kali Bu Lies orgasme. Tapi kontolku masih tangguh. Masih memompa liang memek legitnya Bu Lies.
Padahal keringatku mulai membasahi tubuhku. Keringat Bu Lies juga sama, tampak membasahi tubuhnya di sana – sini.
Sampai pada suatu saat, Bu Lies berkelojotan sambil mengerang, “Aku mau lepas lagi Bon… bisa dibarengin nggak?”
“Mudah – mudahan bisa Bu,” sahutku sambil mempercepat entotanku. Sambil menyedot – nyedot pentil toket gedenya.
Dan Bu Lies mulai berkelojotan… kemudian mengejang tegang dengan perut agak terangkat ke atas.
Pada saat itulah aku pun menancapkan kontolku di dalam liang memek Bu Lies. Moncong kontolku sampai menabrak dan mentok di dasar liang tempik wanita setengah baya itu. Lalu liang sanggama Bu Lies terasa berkedut – kedut kencang, diikuti dengan gerakan spontan yang seperti spiral… laksana meremas dan memilin kontolku yang tengah meletuskan lendir kenikmatanku.
Crooot… cooootttt… crooooootttt…
Crooooootttttt… crooooooooottttt… crooootttt…!
Aku menggelepar, lalu terkulai di atas perut Bu Lies.
Bu Lies pun terkulai. Namun sesaat kemudian dia mencium bibirku dengan lahapnya, disusul dengan bisikannya di dekat telingaku, “Terima kasih ya Sayang. Kamu telah memberikan sesuatu yang sangat berarti bagiku. Ini takkan kulupakan sampai kapan pun.”
“Ibu juga telah memberikan sesuatu yang sangat berarti bagiku. Punya panjenengan luar biasa enaknya,” sahutku.
Kemudian kucabut kontolku dari dalam liang tempik Bu Lies.
Bu Lies pun duduk, lalu turun dari bed, “Ayo kalau mau bersih – bersih di kamar mandi, “ajaknya.
Aku pun mengikuti langkah Bu Lies masuk ke dalam kamar mandi pribadinya.
Begitu berada di dalam kamar mandi, Bu Lies langsung duduk di atas kloset. Dan aku berjongkok di depan kloset itu.
“Heh… mau apa kamu malah jongkok di situ Bon?” tanya Bu Lies.
“Pengen liat punya Ibu seperti apa kalau sedang kencing… hehehee…”
“Hihihiiii… ada – ada aja. Iya liatin deh. Sekalian cebokin setelah aku kencing ntar ya.”
“Iya Bu. Mau kok aku nyebokin Ibu.”
“Mau nyebokin apa mau megang – megang tempikku?”
“Hehehee… mau dua – duanya Bu,” sahutku sambil menarik shower dan siap – siap untuk menceboki Bu Lies.
Lalu terdengar bunyi kencing Bu Lies di dalam kloset. Sweerrrr… kecewesssss kecewessss …
Aku pun langsung mendekatkan shower ke tempik Bu Lies, sementara tangan satunya lagi siap untuk menceboki memek bu boss.
“Baru sekali ini aku ngalami dicebokin sama orang lain. Bona… Bona… kamu mulai jadi tangan kananku luar dalam.”
“Iya. Ibu juga mulai jadi atasan luar dalam.”
Bu Lies bangkit dari kloset, sementara aku justru baru mulai kencing. Kemudian kubasuh kontolku yang masih berlepotan lendir. Pada saat itulah Bu Lies memelukku dari belakang. Sambil berbisik, “Masih kuat main berapa kali lagi?”
“Mungkin tiga kali lagi juga masih kuat Bu. Soalnya p;unya Ibu luar biasa legitnya.”
“Hihihiiii… begitu ya?”
“Iya Bu. Luar biasa enaknya.”
Bu Lies menjawab dengan bisikan di dekat telingaku, “Kontolmu juga luar biasa enaknya Sayang.”
Kemudian kami keluar dari kamar mandi, menuju bed kembali. Di situlah Bu Lies meremas – remas kontolku dengan lembut sambil berkata, “Kalau anak muda sih dipegang dan diremas – remas begini juga pasti bisa tegang lagi. Naaaah… sudah ngaceng lagi nih Bon.”
“Iya… mau dilanjutkan Bu?” tanyaku.
“Ayooo… ganti posisi ya. Sekarang main posisi doggy. “Bu Lies menungging di atas bed, sambil menepuk – nepuk bokong gedenya.
Dan… begitulah. Kami bersetubuh lagi dalam posisi doggy.
Tak cuma itu. Setelah malam makin larut, kami bersetubuh lagi untuk ketiga kalinya. Kali ini main posisi WOT. Bu Lies main di atas, aku main di bawah.
Dan aku seolah ingin memperlihatkan keperkasaanku, agar Bu Lies merasa sangat membutuhkanku untuk pemuas nafsu birahinya.
Menjelang subuh, aku menyetubuhi Bu Lies lagi untuk keempat kalinya. Kali ini kembali ke posisi missionary. Aku di atas, Bu Lies di bawah.
Hari demi hari kulalui dengan penuh gairah. Bukan sekadar gairah kerja, tapi juga gairah sex. Karena hari – hari yang kulewati selalu ditemani oleh sex.
Bu Lies pun semakin baik padaku. Transfer demi transfer mengalir ke buku rekening tabunganku. Kalau dihitung secara kasar, saldo rekening tabunganku sudah bisa dipakai untuk membeli mobil baru. Tapi untuk apa beli mobil? Bukankah keenam mobil mahal Bu Lies yang tersimpan di garasi bisa kupakai kapan dan ke mana saja?
Pada suatu hari…
Ketika aku sedang berdiri di halaman rumah Bu Lies, sambil mengamati lucunya ikan – ikan koi berenang di kolam hias, seorang wanita setengah baya bergaun batik tampak menghampiriku, diantarkan oleh seorang satpam.
Setelah dekat dan jelas, aku terkejut karena wanita bergaun batik itu adalah Mama…!
“Bona…! “seru Mama sambil merentangkan kedua tangannya.
“Mama…! “aku pun menghambur ke dalam pelukannya.
Kami cipika – cipiki sambil berpelukan.
Lalu Mama kubawa masuk, langsung ke dalam kamarku.
“Barusan pakai apa Mama ke sini?” tanyaku setelah mengajak Mama duduk berdampingan di atas sofa yang tak jauh dari bedku.
“Pakai ojek. Dari Subang sih pakai Bus. Turun di Solo. Dari Solo pakai ojek ke sini.”
“Capek sekali dong Mama,” ucapku sambil meremas – remas tangan Mama.
“Memang capek sekali Sayang. Tapi karena ada sesuatu yang sangat penting, mama lupain rasa capeknya. Mama ini sedang hamil Sayang.”
“Hamil? Sudah berapa bulan hamilnya?”
“Baru tiga bulan. Belum kelihatan gede ya perut mama?”
“Belum”
“Kamu maskih ingat kan waktu mama ke Jogja dan memadu birahi sama kamu itu tiga bulan yang lalu kan?”
“Ja… jadi… yang di dalam perut Mama itu anakku?”
“Ya iyalah. Anak siapa lagi?”
“Terus kalau ketahuan sama Papa gimana?”
“Mama sudah cerai sama Papa. Vonis di pengadilan baru diputuskan seminggu yang lalu. Jadi… biarin aja Papa tau mama hamil juga gak apa – apa. Karena mama bukan istri dia lagi. Ohya… rumah bossmu ini megah sekali Bon. Kayak istana aja ini sih.”
“Iya Mam. Kebetulan majikanku sangat baik padaku. Dan…”
Belum selesai aku bicara, tiba – tiba terdengar suara Bu Lies di ambang pintu yang tidak kututupkan, “Ada tamu Bon?”
Mama menoleh ke arah Bu Lies yang masih berdiri di ambang pintu. Lalu Mama berseru, “Ini Lies?!”
Bu Lies menghampiri Mama. Dan terbelalak sambil berseru, “Maryani?!”
“Iya Lies… ya Tuhaaan… kita bisa berjumpa lagi setelah lebih dari duapuluh tahun berpisah yaaa?”
“Yani… Yani… gak nyangka kita bisa berjumpa lagi…” ucap Bu Lies sambil mengajak Mama duduk berdampingan di sofa, sementara aku cuma berdiri heran dan bingung. Karena tak mengira kalau Bu Lies kenal sama Mama.
“Syukurlah kamu sekarang sudah sukses begini Lies… kamu majikannya Bona kan?”
“Iya,” sahut Bu Lies, “Panjang ceritanya Yan. Waktu itu aku nekad jadi TKW di Hongkong. Gak taunya aku ditaksir sama orang Indonesia yang sukses di Hongkong. Dia duda aku janda, ya kawinlah kami di Hongkong. Suamiku itu luar biasa tajirnya. Dia dianggap big boss di Hongkong juga. Tapi usianya sudah tua.
Setelah sepuluh tahun kami hidup bersama di Hongkong, akhirnya suamiku mengajak pulang ke Indonesia. Maklum usianya mulai tergolong udzur. Gak taunya setelah berada di tanah air dia jadi sakit – sakitan. Dan akhirnya meninggal sekitar lima tahun yang lalu. Almarhum menitipkan surat wasiat pada penasehat hukumnya.
“Jadi sekarang kamu melanjutkan usaha yang sudah dirintis oleh almarhum suamimu?” tanya Mama.
“Iya. Kalau gak ada peninggalan almarhum, bagaimana bisa aku seperti sekarang ini.”
“Punya anak berapa dari almarhum suamimu itu?”
“Nggak punya. Dia yang mandul Yan. Ohya… bagaimana dengan Fajar? Apakah dia sehat – sehat aja?”
Mama berdiri dan menghampiriku. Lalu memegang bahuku sambil berkata, “Ini Fajar Lies…”
“Haaa? Bona ini Fajar?!” Bu Lies tampak kaget sekali.
“Iya. Ini Fajar… anak kandungmu Lies,” kata Mama yang lalu menoleh padaku sambil berkata, “Bersujudlah di kaki ibu kandungmu Sayang…”
“Ja… jadi?” cetusku bingung dan kaget.
“Bu Lies ini adalah ibu kandungmu Sayang. Waktu kamu masih kecil sekali, hidupnya sengsara sekali. Lalu dia nekad untuk menjadi TKW di Hongkong. Dan kamu diberikan pada mama dengan perjanjian bahwa dia takkan mengganggu gugat dirimu di kemudian hari. Tapi sekarang keadaan ibumu sudah berubah jadi orang sukses.
Aku manjut saja pada suruhan Mama. Lalu berlutut di depan Bu Lies yang ternyata ibu kandungku itu. Kemudian kuciumi kakinya sambil bercucuran air mata. Karena aku sangat sedih menghadapi kenyataan ini. Bagaimana tidak, wanita yang terus – terusan kusetubuhi itu ternyata ibu kandungku…!
Secara gamblang Bu Lies yang ternyata ibu kandungku itu menceritakan asal – usulku yang sebenarnya. Bahwa ayahku bukan lelaki yang bertanggung jawab. Ketika Bu Lies hamil tua, malah minggat dengan seorang cewek muda belia. Dahulu Bu Lies dan Mama tetangga dekat dan masih sama – sama tinggal di Jogja.
Karena itu Bu Lies menyandarkan hidup kepada Mama. Saat itu Mama memang bukan orang tajir, tapi kehidupannya jauh lebih baik daripada Bu Lies. Maka terjadilah perjanjian, bahwa kalau bayinya sudah lahir akan diberikan kepada Mama. Tapi biaya melahirkan dan makan sehari – hari Bu Lies ditanggung oleh Mama.
Lalu lahirlah bayi itu yang lalu diberi nama Fajar oleh Bu Lies. Mama senang sekali karena belum punya anak laki – laki, Mama meminta agar Fajar tetap disusui oleh Bu Lies. Sementara diam – diam Bu Lies mendaftarkan diri untuk menjadi TKW di Hongkong, yang kata orang – orang gede gajinya itu. Bu Lies pun terbang ke Hongkong yang dibiayai oleh yayasan yang biasa merekrut para TKW untuk bekerja di luar negeri.
Setelah setahun tinggal di Hongkong, Bu Lies berjumpa dengan seorang pengusaha asal Indonesia yang sudah sukses di Hongkong. Kebetulan pengusaha asal Indonesia itu baru ditinggal mati oleh istrinya.
Kebetulan pula Bu Lies di masa mudanya memang cantik. Pengusaha tajir melilit itu pun jatuh cinta kepada Bu Lies.
Tanpa memandang usia yang berbeda jauh, Bu Lies pun menerima lamaran pengusaha itu. Lalu mereka menikah di Hongkong. Dan tetap tinggal di sana dengan status yang berbeda. Bu Lies bukan TKW lagi, melainkan sudah jadi istri seorang pengusaha besar.
Sepuluh tahun kemudian, suami Bu Lies mengajak pulang ke Indonesia, karena usianya sudah tua sekali dan tidak sanggup mengembangkan usahanya lagi di Hongkong. Katakanlah dia sudah ingin pensiun dari dunia bisnis. Namun simpanannya di bank sangat banyak. Tanahnya pun di pulau Jawa banyak. Ada yang di Jabar, Jateng dan Jatim.
Setelah berada di tanah air, suami Bu Lies yang sudah tua renta itu pun jadi sering sakit. Dan akhirnya meninggal dunia lima tahun yang lalu. Atas dasar surat wasiat yang ditinggalkan oleh almarhum suami Bu Lies, semua harta dan simpanannya di bank diwariskan kepada Bu Lies semua.
“Begitulah ceritanya,” kata Bu Lies di akhir penuturannya, “Memang setelah berada di tanah air, aku sering ingat pada anakku. Tapi aku ingin jadi orang yang teguh pada perjanjian. Karena pada saat aku memberikan dirimu kepada wanita baik yang jadi Mama angkatmu ini aku sudah menandatangani perjanjian.
Bu Lies yang ternyata ibu kandungku itu menbghela nafas panjang. Lalu melanjutkan, “Untungnya wanita yang kamu panggil Mama ini bijaksana orangnya. Kalau tadi dia tutup mulut, aku takkan menyangka kalau Fajar itu kamu Bon. Aku sangat menghargai kebijaksanaan mamamu ini. Sehingga aku bisa ditertemukan dengan satu – satunya anak kandungku, yakni kamu Bona.
Mama menjawab lirih, “Aku sangat menyayangi Bona laksana sayangnya ibu kepada anak kandungnya. Tapi hubungan darah di antara kalian berdua tak boleh diputuskan begitu saja. Jadi begini saja… Bona tetap manggil Mama padaku, lalu kepada Lies mungkin bagusnya manggil Mamie, supaya tidak tertukar – tukar ya.
“Iya… iyaaa… aku setuju itu,” sahut Bu Lies yang mulai saat ini harus kupanggil Mamie itu.
“Jadi Bona tetap boleh menganggapku mamanya, tapi dia juga haruis menerima bahwa Lies itu mamie kandungnya. Tentang di mana Bona mau tinggal, bebas sajalah. Mau ke rumahku di Subang… pintu rumahku tetap terbuka sampai kapan pun buat Bona. Mau tinggal di sini apalagi, karena dia punya pekerjaan pula di sini kan?
Mamie memegang bahuku sambil bertanya lembut, “Keinginan Bona sendiri bagaimana?”
Spontan kujawab, “Pokoknya aku sayang keduanya, baik kepada Mama mau pun kepada Mamie. Malah semakin menyenangkan karena mulai saat ini aku jadi punya ibu dua orang. Heheheee…”
“Iya… kami berdua sayang kamu Bon,” kata Mamie alias Bu Lies, “Ohya… sekarang Yani mau nginep di sini kan?” Mamie menatap ke arah Mama.
“Sayang sekali… sekarang sih aku gak bisa nginap Lies. Kapan – kapan deh aku sengaja nginap di sini, biar kita bisa ngobrol panjang lebar.”
“Memangnya ke Subang mau naek apa?” tanya Mamie.
“Dari Solo ada bus yang lewat Subang Lies.”
“Mmmm… begini aja,” kata Mamie, “Sekarang anterin Mama ke Subang, ya Bon.”
“Iya Bu, eh Mamie,” sahutku.
“Waduh… dari sini ke Subang itu jauh sekali Lies.”
“Nggak apa – apa. Yang penting Bonanya sanggup kan?” Mamie menoleh padaku.
“Sanggup Mamie.”
“Sebentar… aku mau ngomong dulu sama Bona ya Yan,” kata Mamie.
“Silakan,” sahut Mama.
Lalu Mamie memijat tombol lift sambil memegang pergelangan tanganku. Pintu lift terbuka, aku dan Mamie masuk ke dalamnya. Kemudian lift itu bergerak ke lantai tiga.
Di kamarnya Mamie memegang kedua tanganku sambil berkata, “Ternyata kita ini ibu dan anak kandung Sayang.”
“Iya Mam. Aku kaget sekali mendengar semuanya ini. Sedangkan kita sudah melangkah begitu jauh. Bagaimana ke depannya nanti?”
Mamie ma;lah mencium bibirku. Lalu berkata setengah berbisik, “Takdir juga yang membuat kita harus seperti ini. Biarin aja. Kita lanjutkan aja hubungan rahasia kita. Kamu masih mau melanjutkannya nggak?”
“Mau Mam. Sudah telanjur jauh sih.”
“Bagus. Mamie juga udah telanjur jatuh cinta padamu Sayang. Biarlah kita lanjutkan aja. Tapi awas… Mama jangan sampai tau ya.”
“Iya Mamie.”
“Sekarang antarkan dulu Mama pulang gih. Mumpung masih siang. Pilihlah mobil mana yang mau kamu pakai. Ingat… sekarang semua yang kumiliki adalah milikmu juga, karena kamu satu – satunya anak kandungku.”
“Iya Mam. Tapi Mamie masih bisa hamil kan?”
“Bisalah. Selama belum menopause, berarti perewmpuan itu masih bisa hamil.”
“Lalu kalau Mamie hamil olehku nanti gimana?”
“Justru itu yang mau kubicarakan denganmu. Tapi besok aja setelah kamu pulang dari Subang, kita bicarakan lagi semuanya secara matang yaaa. Mmm… Bona… Bona… ternyata kamu ini anak kandungku… tapi aku telanjur jatuh cinta padamu mmmmmwuaaaaah… “Mamie mencium bibirku. Lalu mengeluarkan dua gepok uang seratusribuan dari brankas.
Diserahkannya uang itu padaku sambil berkata, “Yang seikat kasihkan sama Mama, yang seikat lagi untuk membeli pertamax dan makan di jalan.”
“Iya Mam. Terima kasih. Tapi Mam… masih ada yang kuinginkan,” kataku sambil menyingkapkan daster Mamie, “Pengen megang tempik Mamie dulu ah…”
Mamie melotot, tapi lalu menahan tawanya. Dan dibiarkannya saja kurayapkan tanganku kebvalik celana dalamnya, lalu mengelus – elus tempiknya sebentar.
Kemudian kukeluarkan lagi tanganku dari balik celana dalam Mamie. “Aku pamit dulu ya Mam,” ucapku setelah mencium bibir Mamie dengan kehangatanku.
“Iya… ati – ati di jalan ya Sayang. Gak usah ngebut.”
“Iya Mamie Sayang.”
Kemudian aku dan Mamie masuk ke dalam lift dan turun ke kamarku lagi, di mana Mama masih duduk di sofa kamarku.
“Ayo Mam… sekarang aja pulangnya mumpung masih siang?“tanyaku sambil menyerahkan seikat uang pemberian Mamie, “Ini dari Mamie,” kataku.
“Iiih banyak banget Lies?!”
“Ah ala kadarnya aja Yan. Mohon maaf gak disuguhin makan. Tapi Bona udah dikasih duit tuh buat makan di jalan.”
“Iya, terima kasih ya Lies. Kapan mau maen ke Subang? Aku udah bubar sama suamiku lho.”
“Ohya?! Kenapa?”
“Biasa penyakit laki – laki. Maen gila mulu sama cewek yang jauh lebih muda daripada aku.”
“Begitu ya?! Gak ada mendingnya. Aku pilih yang jauh lebih tua, biar udah kenyang maen perempuan. Tapi ya gitu… gak ditinggal maen gila sama cewek, tapi ditinggal mati Yan.”
“Gak apa – apa. Kita jalanin aja suratan takdir kita masing – masing.”
“Iya, iyaaaa… semoga perjalanannya lancar ya Yan.”
“Iya Lies. Aku pamit ya,” kata Mama sambil cipika – cipiki dengan Mamie.
Beberapa saat kemudian Mama sudah duduk di samping kiriku, dalam sedan Mamie yang sudah kujalankan menuju Solo, kemudian memutar menuju Jogja.
“Bagaimana perasaanmu sekarangf? Bingung atau gimana?” tanya Mama.
“Malah jadi plong. Karena Mama bukan ibu kandungku. Jadi aku bebas melakukan apa pun dengan Mama sekarang kan?”
“Iya. Hihihiiii… pikiranmu kok malah sama dengan pikiran mama.”
“Berarti Mama juga kangen entotanku lagi kan?”
“Iyaaa… lagi hamil gini mama malah pengen begituan mulu.”
“Kalau gitu kita cek in aja di Jogja… di hotel yang kita pakai dahulu itu Mam. Hitung – hitung nostalgia.”
“Iya. Hotel itu sangat bersejarah bagi kita ya.”
“Mmm… Mbak Weni, Mbak Rina dan Mbak Lidya pada tau gak kalau aku ini bukan anak kandung Mama?”
“Nggak ada yang tau. Kan waktu kamu mama terima dari Mamie, mereka masih kecil – kecil. Weni juga baru berumur tiga tahun. Belum ngerti apa – apa.”
“Kalau sudah terbuka gini, apakah mereka bakal dikasihtau atau nggak?”
“Kasihtau aja. Gak apa – apa. Toh hubunganmu dengan mereka bakal tetap baik.”
“Iya. Aku akan tetap menganggap mereka saudara – saudaraku,” sahutku dengan pikiran melayang – layang. Teringat apa yang sudah kulakukan dengan Mbak Weni, dengan Mbak Rina dan Mbak Lidya. Sedan built up Jerman yang kukemudikan ini pun meluncur terus ke arah Jogjakarta.
Bersambung…