Dengan memiliki Tante Artini dan Tante Tari, aku sudah merasa lengkap. Karena Tante Artini berperawakan tinggi montok, mirip – mirip Mamie, sementara Tante Tari berperawakan tinggi langsing dengan toket sedang – sedang saja. Jadi kalau aku jenuh dengan kemontokan Tante Artini, aku bisa menyalurkan hasrat birahiku kepada tante tari yang berperawakan tinggi langing dan sepasang toket yang sedang – sedang saja tyapi masih sangat kencang dan padat itu.
Tapi kini baik Tante Artini mau pun Tante tari sudah sama – sama telanjang bulat di depan mataku. Siapa dulu yang harus kulahap nih? Yang montok dulu atau yang langsing dulu?
Mereka menyerahkan padaku, mau siapa yang akan kuentot duluan. Dengan Tante Tari baru beberapa jam yang lalu aku menyetubuhinya. Sementara dengan Tante Artini, sudah agak lama aku tidak menggaulinya. Lagipula aku ingin agar kekagetannya reda (setelah melihatku membawa Tante Tari berikut penjelasannya), maka akhirnya kuputuskan untuk mengentot Tante Artini dulu.
“Mulai saat ini Tante jangan minum pil anti hamil lagi ya,” ucapku sambil memainkan pentil toket Tante Artini yang mulai menegang itu.
“Iya,” sahut tante Artini, “kalau ada teman gini, aku ingin hamil. Mumpung usiaku baru tigapuluh.”
“Aku juga ingin cepat hamil,” kata Tante Tari sambil mengusap – usap memeknya, “Supaya kalau sudah tua kelak, ada yang ngurus.”
“Beruntung kita punya keponakan yang ganteng kayak Bona ini ya Tar.”
“Iya Mbak. Makanya aku butuh cinta dan kasih sayangnya sekaligus jadi sosok yang bisa melindungiku.”
Aku tidak ikut ngomong, karena sedang melorot turun, untuk menjilati memek Tante Artini. Memek yang terindah di antara memek – memek yang pernah kulihat, kusentuh dan kuentot.
Daan kini aku tengah menepuk – nepuk memek cantik yang seolah tengah tersenyum lucu padaku itu. Puk… puk… puk…!
Lalu kungangakan memek Tante Artini selebar mungkin. Sehingga bagian yang berwarna pink itu mulai terbuka, seolah menantang lidahku untuk menggasak dan menggeseknya. Ya… aku mulai menjilati bagian yang berwarna pink itu dengan lahap. Namun Tante Tari yang tengah celentang di sebelah kananku tetap mendapat sentuhanku juga.
Dan ketika aku mulai asyik menjilati memek Tante Artini, jari tengah tangan kananku pun sudah menyelundup ke dalam liang memek Tante Tari.
Ini terasa asyik sekali, karena aku bisa mainkan dua memek sekaligus. Dua memek yang berlainan bentuknya.
Bahkan setelah aku membenamkan kontolku ke dalam memek Tante Artini, tangan kiriku bisa memegang toket kanan Tante Artini, sementara tangan kananku bisa memegang toket kanan Tante Tari.
Aku pun mulai mengentot liang memek Tante Artini yang tak kalah sempitnya dengan liang memek Tante Tari. Sedangkan tangan kiriku mulai meremas – remas toket kanan Tante Artini, sementara tangan kananku meremas – remas toket kanan Tante Tari.
Aku merasa sedang menikmati dua jenis toket yang berlainan bentuknya. Karena toket Tante Artini lumayan gede, meski tidak segede toket Mamie. Sementara toket Tante Tari termasuk kecil, tapi padat dan kencang sekali.
Sehingga aku jadi sangat bersemangat untuk mengayun kontolku di dalam liang memek Tante Artini.
Sementara Tante Tari menikmati remasanku di toket kanannya, sambil bermasturbasi dengan menggesek – gesekkan jemarinya ke itilnya sendiri…!
Tante Artini pun mulai mendesah dan menggeliat, lalu merintih – rintih histeris. “Aaaahhh… aaaaa… aaaaaah… Boooonaaaa… aku sudah tergila – gila oleh gesekan kontolmu yang luar biasa enaknya ini Boooon…”
Tante Tari pun mulai mendesah – desah, mungkin akibat masturbasinya yang dilengkapi dengan remasanku di toket kecilnya…!
Maka riuhlah suasana di dalam kamar Tante Artini ini. Bahwa rintihan – rintihan histeris Tante Artini bercampur baur dengan desahan nafas Tante Tari yang semakin gencar menggesek – gesekkan jemari ke itilnya sendiri.
Ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Sampai pada suatu saat Tante Tari memberikan isyarat sambil menunjuk ke memeknya sendiri. Aku pun merayapkan tanganku ke memek Tante Tari. Ternyata memeknya sudah basah sekali.
Aku mengangguk sambil memberi isyarat agar Tante Tari bersabar menunggu.
Untungnya Tante Artini mulai berkelojotan. Lalu mengejang tegang dengan liang memek berkedut – kedut kencang, pertanda sedang mengalami orgasme.
Aku masih besabar menunggu, sambil tetap mengentot Tante Artini. Sampai akhirnya Tante Artini sendiri yang memberi isyarat agar aku pindah ke atas tubuh adiknya.
Aku mengangguk. Mencium bibir Tante Artini, kemudian mencabut kontolku dari liang memeknya. Dan cepat merayap ke atas perut Tante Tari yang menyambutku dengan senyum dan tatapan wanita muda yang sedang horny.
Tanpa banyak langkah lain, aku langsung memasukkan kontolku ke dalam liang memek Tante Tari yang sudah basah ini. Dan mulai mengentotnya.
Pada saat itulah Tante Tari berkata terengah, “Aku yakin bakal hamil ni Bon… soalnya… ooooh… kontolmu terasa enak sekali… baru dientot sebentar aja udah terasa nikmatnya… semoga aku hamil ya Booon…”
“Iya Tante. Yang penting aku ingin membahagiakan dan melindungi Tante seperti yang Tante inginkan,” sahutku sambil mencium bibirnya dengan hangat. Dan mulai mempercepat entotanku.
Aku yakin bahwa aku bakal kuat bertahan lama menyetubuhi kedua bulekku itu. Karena tadi siang aku baru menyetubuhi Tante Tari. Sehingga sekarang aku seolah sedang memainkan peran di ronde kedua, yang pasti lebih lama durasinya.
Aku punya target, setelah kedua tanteku mencapai orgasme, selanjutnya acara bebas sepuasnya. Tante Artini sudah orgasme. Maka aku akan mengupayakan agar Tante Tari pada saat staminaku masih stabil.
Maka sambil mengentot memek Tante Tari, kujilati lehernya dan kuemut pentil toketnya. Bahkan ketiaknya pun kujilati disertai dengan sedotan – sedotan kuat, terkadang disertai gigitan – gigitan kecil.
Maka belasan menit kemudian Tante Tari berkelojotan, lalu mengejang tegang dan… orgasme…!
Lalu aku pindah ke tante Artini lagi. Kali ini kuminta Tante Artini menungging, karena aku ingin melakukan posisi doggy. Tante Artini menurut saja. Ia merangkak, lalu menungging. Dan aku membenamkan batang kontolku ke liang memek Tante Artini yang masih dalam keadaan agak becek, sehingga kontolku agak mudah mnembenam ke dalam liang tempiknya.
Tante Tari tidak memperturutkan keletihannya. Ia menyaksikanku yang sedang ngentot kakaknya dalam posisi doggi ini sambil tersenyum – senyum. Bahkan ia ikut membantuku, dengan menggerayangi bagian atas, memek kakaknya. Setelah menemukan itilnya, Tante Tari pun mengelus – elus itil kakaknya itu.
Tentu saja Tante Artini jadi klepek – klepek dibuatnya.
Tapi kali ini aku tak mau menunggu sampai Tante Artini orgasme lagi. Ketika melihat Tante Tari sudah menungging di samping kakaknya, sambil menepuk – nepuk pantatnya sendiri, kucabut kontolku dari liang memek Tante Artini. Lalu kejebloskan ke dalam liang memek Tante Tari…!
Kemudian aku mulai dengan keasyikan baru. Berlutut sambil mengentot memek Tante Tari yang sedang menungging. Sementara Tante Artini sudah celentang lagi sambil memperhatikan adiknya yang sedang kuentot habis – habisan ini.
Tiba – tiba aku mendapatkan ilham. Tante Artini kuminta agar menelentang dengan memek berada tepat di bawah mulut Tante Tari. Kemudian Tante Tari kuminta untuk “membantu” agar Tante Artini mencapai orgasme, dengan jalan menjilati memeknya.
“Hihihihi… kayak di dalam bokep – bokep ya,” sahut Tante Tari. Namun Tante Tari melaksanakan juga apa yang kusarankan. Ia tetap menungging dengan memek yang sedang kuentot, namun mulutnya langsung menyergap memek kakaknya. Kemudian menjilatinya dengan lahap.
Sementara aku tetap asyik mengentot Tante Tari dalam posisi doggy ini.
Ketika giliran Tante Artini yang kuentot dalam posisi doggy, Tante Tari giliran celentang dengan memek berada di bawah mulut Tante Artini. Kemudian Tante Artini pun menjilati memek Tante Tari, sementara memeknya sendiri sedang kuentot.
Banyak… banyak lagi yang kami lakukan malam itu. Sampai akhirnya aku berejakulasi di antara mulut kedua tanteku. Ya… mulut Tante Artini dan Tante tari kubagi secara adil. Crooot ke mulut Tante Artini, lalu croooot ke mulut Tante Tari. Sebgian lagi crot crot croooot di pipi mereka.
Lalu kami bertiga terkapar beberapa saat, dalam keadaan masih telanjang bulat semua.
Setelah bersih – bersih, Tante Tari mengemukakan keinginannya untuk mengajak pindah ke rumah yang akan kucari dan kubeli besok.
“Lalu kos – kosan itu gimana ya?” ucap Tante Artini sambil menunduk.
“Kan rumah kos gak perlu ditunggui tiap hari. Banyak pemilik rumah kois yang rumah pribadinya jauh dari rumah kos itu,” sahut Tante Tari.
“Lalu rumahku ini ditinggalkan begitu saja dalam keadaan terkunci?” tanya Tante Artini.
Aku yang menjawab, “Rombak total rumah ini. Jadikan bangunan yang sesuai dengan mini market. Lalu kontrakkan ke pihak yang berminat untuk membuka minimart di sini. Soal biaya perombakannya biar serahkan kepada Tante Tari saja.”
“Mmm… serahkan sama Bona lah. Kan duitku mau dipegang semuanya oleh Bona,” sahut Tante Tari.
Aku mengangguk sambil berkata, “Iya… aku lupa.”
Tante Tari menepuk lutut Tante Artini sambil berkata, “Kita kan sama – sama memiliki Bona. Dan kalau salah seorang di antara kita hamil, kan ada saudara yang ikut mengurus. Lagian kalau kita di rumah terus juga takkan jenuh, karena ada teman ngobrol yang sama – sama bisa menyimpan rahasia.”
Tante Artini menatap Tante Tari sambil tersenyum. Lalu menyahut, “Iya deh. Aku ikut keinginan adik terseyangku aja.”
“Naaah… begitu dong,” ucap Tante Tari yang disusul dengan kecupan di pipi kakaknya.
Atas desakan Tante Tari, akhirnya Tante Artini mau juga diajak ke rumah Mamie.
Tengah malam kami baru tiba di rumah.
Tante Artini masuk ke kamar di sebelah kamarku, sementara aku mauk ke dalam kamarku sendiri.
Mungkin Mamie sudah tidur. Tapi aku ingin bertemu dengan beliau, untuk melaporkan segala yang telah terjadi di antara aku dan Tante Tari, bahkan juga aku mau melaporkan masalah hubunganku dengan Tante Artini.
Aku memang tak mau menyimpan rahasia apa pun terhadap Mamie.
Lalu aku memijat tombol lift. Setelah pintunya terbuka, aku masik ke dalam lift, menuju lantai tiga.
Setelah berada di lantai tiga, kulihat Mamie sedang tidur celentang dengan daster putih yang tersingkap sampai ke perutnya.
Aaaah… aneh memang. Melihat bagian – bagian terlarang Mamie, selalu saja darahku berdesir. Apakah aku belum kenyang main dengan Tante Tari dan Tante Artini tadi?
Lalu kenapa diam – diam kontolku langsung ngaceng melihat memek Mamie yang tidak bercelana dalam itu?
Ohya, aku ingat bahwa setiap kali mau tidur, Mamie tak pernah mengenakan celana dalam dan beha. Kalau sudah malam, biasanya Mamie hanya mengenakan kimono atau daster saja, tanpa pakaian dalam lagi di baliknya.
Tanpa berpikir pabnjang lagi kulepaskan segala yang melekat di tubuhku. Lalu dalam keadaan telanjang aku naik ke atas bed Mamie.
Dengan hati – hati kurenggangkan sepasang paha Mamie yang putih mulus dan gempal itu. Tadinya aku ingin menjilati memek Mamie dulu. Tapi setelah dingangakan, ternyata memeknya dalam keadaan basah.
Mungkin benar kata orang – orang. Bahwa memek perempuan montok selalu basah.
Lalu dengan hati – hati kuletakkan moncong kontolku di mulut memek Mami. Dan kudorong sekuat tenaga… bleeessss… kontolku mulai menyelundup ke dalam liang kewanitaan Mamie…
“Aaaaaau…! ‘ pekik Mamie sambil melotot, “Ya Tuhan… kamu Sayang? Kirain siapa… !”
Sebagai jawaban kuayun kontolku perlahan – lahan di dalam liang memek Mamie yang memang basah dan licin ini.
Mamie pun mendekap pinggangku sambil berkata setengah berbisik, “Katanya sudah sama Tari tadi.”
“Aaaah… Mamie tetap akan bersemayam di dalam batinku, sebagai wanita yang paling spesial di dunia ini. Meski pun aku sudah kawin dengan cewek secantik bidadari sekali pun, hubungan rahasia dengan Mamie tak boleh putus.”
Mamie mencium sepasang pipi dan bibirku. Lalu berkata, “Iya Sayang… mamie juga akan selalu menyayangi dan mencintaimu di seumur hidup mamie. Aaaa… aaaaaah… pelan dulu ngentotnya Sayaaang… jangan langsung cepat begini…”
Lalu kupelankan kecepatan entotanku.
Mamie pun merapatkan pipinya ke pipiku sambil berkata, “Setelah tau bahwa kamu ini anak kandung Mamie… anehnya… tiap kali bersetubuh sama kamu malah jadi tambah nikmat Sayang…”
“Iya Mam… aku juga begitu. Bahkan ada perasaan takut kalau semua ini dihentikan… pasti aku akan sedih sekali mamieku Sayang… biarkan aja dosanya kita tanggung berdua… karena kita sudah telanjur menikmati hubungan rahasia ini.”
“Tuh tuh tuuuuh… sekarang nikmatnya ini terasa mengalir dari ujung kaki sampai ke ubun – ubun kepala mamie sayang… ooo… oooo… oooooh… sambil emut lagi pentil tetek mamie Bon…”
Kuikuti saja keinginan mamie itu, mengemut pentil toket gedenya sambil mengentot liang memeknya secara berirama. Kontolku bermaju mundur terus di dalam lubang licin dan hangat Mamie… sretttt… bleessss… srttttt… blessss… srtttt… blesssss… srttttt… blessssssss… srettttt …
Sementara dekapan Mamie di pinggangku makin erat saja rasanya.
Lalu rintihan – rintihan tertahan pun mulai terdengar di telingaku. Lebih mirip bisikan yang hanya aku bisa dengar. “Mamie sayang Bonaaa… ooooh… ternyata kepuasan itu hanya kudapatkan dari anakku sendiri… Booonaaaa… Mamie sangat sayang sama kamu Booon… ayoooo… entot terus Sayaaang…
Entooootttt… entoooootttttttt… aaah… aaaaaaaa… aaaaaaah… makin lama makin enaaaaak… entoooot terusss sayaaang… entoooot memek mamie sepuasmu… entooooootttt… entoooottttttt… kontolmu luar biasa enaknyaaaa… kontol enaaak… entoooooottttttttt… entttooootttttttt teruuuuuuuussss…
Keringat pun mulai membasahi tubuhku dan tubuh montok Mamie. Karena sudah lama kami melakukan semuanya ini.
Sehingga pada suatu saat Mamie membisiki telingaku dengan suara tersendat, “Sayaang… mamie udah mau lepas… ayo barengin kalau bisa… biar nikmaaaaat…”
Aku berusaha untuk mengikuti keinginan Mamie. Dengan segenap gairah kugencarkan entotanku. Maju mundur dan maju mundur dengan cepatnya di dalam liang memek Mamie tersayang dan tercinta…!
Mamie pun mulai menggelepar – gelepar. Lalu sekujur tubuhnya mengejang tegang, dengan kedua tangan meremas dan menjambak rambutku, dengan nafas tertahan dan mata terpejam erat – erat.
Dan… wow… aku berhasil melakukan keinginan Mamie. Bahwa ketika liang memek Mamie mengejut – ngejut, kontolku pun mengejut – ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crooottttt… croooottttcroootttt… croooottttttt… crooootttttt… crottttt… crooootttt…!
Lalu kami sama – sama terkulai lunglai di pantai teramat indah bernama kepuasan.
Mamie pun mencium bibirku dengan hangatnya. Lalu berkata lirih, “Terima kasih Sayang. Kamu adalah satu – satunya lelaki yang paling memuaskan buat mamie. Dan mamie makin sayang padamu. Sayang sekali… emwuaaaah… “Mamie menutup ucapannya dengan kecupan hangat lagi di bibirku.
Setelah kucabut kontolku dari liang memek Mamie yang sudah sangat becek itu, Mamie pun bangkit. Duduk sambil menyeka memeknya dengan kertas tissue basah. “Katanya mau tidur di villa kayu. Kenapa gak jadi?” tanya Mamie.
“Tante Tari ngajak ke rumah Tante Artini,” sahutku, “Lalu Tante Artini dibawa ke sini sekalian.”
“Ohya?! Di bawah ada Artini segala?”
“Iya Mam. Sekalian aku juga mau ngomong soal Tante Artini.”
“Mau ngomong bahwa kamu pernah menggauli dia juga ya?”
“Iiiih… Mamie kok tau aja.”
“Dari awal kamu datang ke sini, mamie liat sikap Artini padamu. Begitu penuh perhatian kelihatannya. Makanya mamie sudah menduga kalau di antara dia dengan kamu pernah terjadi sesuatu.”
“Iya Mam. Awalnya Tante Artini mengaku masih perawan, padahal statusnya janda. Karena itu dia ingin tau seperti apa rasanya bersetubuh itu. Lalu… dia memberikan keperawanannya padaku, Mam.”
“”Berarti dia benar – benar masih perawan saat itu?”
“Iya Mam. Makanya sebelum berjumpa dengan Mamie, aku sudah ada hubungan rahasia dengan Tante Artini. Masalah ini tak mau kurahasiakan kepada Tante Tari.”
“Tari cemburu dan marah?”
“Tidak Mam. Dia malah berniat untuk serumah dengan Tante Artini, supaya kalau Tante Tari hamil, ada yang nemenin ya Tante Artini itu. Aku bahkan disuruh beli rumah untuk Tante Tari, yang nantinya akan dihuni oleh Tante Artini juga. Ohya Mam… seluruh dana kepunyaan Tante Tari akan diserahkan semuanya padaku, supaya aku bisa mengembangkannya.
“Berarti Tari sangat mencintaimu Bon. Tapi ingat… kamu harus tetap jadi manusia jujur. Duit Tari itu jangan dipakai untuk foya – foya. Kasihanilah Tari yang sekarang hidup menjanda.”
“Iya Mam. Aku bahkan berniat untuk mengembangkan dana Tante Tari sebisa mungkin. Ohya Mam… mengenai tugas dari Mamie, aku hanya mau mengurus bisnisnya saja. Tentang masalah pengelolaan tanah – tanah Mamie, nanti aku akan merekrut sarjana pertanian yang seangkatan denganku. Biar dia yang mengurus masalah pertaniannya, sementara aku hanya akan mengurus bisnisnya saja.
Mamie mengangguk dengan senyum. Dan berkata, “Sebenarnya mamie juga merasakan hal seperti itu. Tadinya ingin mengurus tanah – tanah warisan dari almarhum suamiku. Tapi setelah terjun ke dunia agro bisnis, ternyata hasilnya jauh lebih gede daripada bertani. Hihihiii… syukurlah kalau kamu pun sudah sepandangan dengan Mamie.
“Iya Mam. Mungkin nanti aku akan merekrut beberapa teman seangkatanku. Lalu mereka akan dipecah ke masing – masing lokasi tanah punya Mamie. Misalnya yang di Jabar seorang, yang di Jateng seorang dan yang di Jatim seorang.”
“Tanah mamie bukan cuma di pulau Jawa, Sayang. Di Sumatra ada, di Kalimantan ada. Malahan di Papua juga ada… bahkan tanah mamie yang paling luas ya di Papua itu. Berarti kamu harus merekrut paling sedikit enam orang sarjana pertanian. Atau gimana ya kalau tanah – tanah yang di luar Jawa itu dijualin aja?
“Nanti dulu Mam. Harus dipikirkan dulu baik – buruknya. Soalnya tanah itu walau pun dibom takkan habis. Dan harga tanah di negara kita masa depannya sangat baik. Makanya daripada mengoleksi mobil mendingan ngoleksi tanah. Karena harga tanah naik terus, sementara kalau kitabeli mobil, tahun depan pasti akan turun nilainya…
“Iya… kamu betul Bon. Mama seneng mendengar wawasan kamu yang ternyata sudah luas begitu.”
“Iya Mam. Kalau Mamie punya duit yang nganggur, belikan tanah atau rumah aja. Aku punya teman tiga tahun yang lalu beli rumah harganya dua milyar. Sekarang sudah ditawar tujuh milyar gak dilepas Mam. Dalam masa tiga tahun aja perkembangannya sedemikian bagus kalau investasi di bidang properti kan?”
“Oke… dalam soal bisnis, mamie setuju pada pendirian dan wawasanmu. Makanya nanti terserah kamu, harta dan dana mamie itu mau dijadikan apa. Yang penting hasilnya poisitif,” kata Mamkie, “Sekarang mengenai Tari dan Artini itu mau dibagaimanakan? Mamie sih gak mau berpandangan kolot. Pasti kamu membutuhkan perempuan untuk membangkitkan gairah hidup dan bisnismu.
“Iya Mam. Tapi kalau ditinggalkan kasihan Tante tari dan Tante Artini itu. Mereka sudah sangat mencintaiku. Dan bagusnya, mereka bisa kompak. Tidak saling cemburu. Makanya aku akan memperlakukan mereka sebagai istri – istriku, tapi takkan melaksanakan akad nikah secara sah. Ohya… memangnya Mamie gak cemburu kalau mereka kujadikan sebagai wanita simpananku?
“Aku ini kan ibumu Sayang. Kalau kamu punya pacar lalu menikah, misalnya, mamie malah bangga karena anakku sudah ada jodohnya. Tapi hubungan rahasia kita harus berjalan terus… itu saja syaratnya.”
Lalu aku dan Mamie merundingkan banyak hal. Baik tentang bisnis mau pun tentang masalah pribadi kami.
Sampai akhirnya aku tertidur di dalam belaian dan pelukan Mamie.
Keesokan paginya, setelah makan sarapan pagi bersama Mamie, Tante Artini dan Tante Tari, mamie mengajak Tante Artini dan Tante Tari ke lantai tiga, lewat tangga biasa. Karena lift itu seolah jadi rahasiaku dengan Mamie. Aku pun diajak naik ke lantai tiga. Ke ruang keluarga yang sangat jarang dipakai oleh Mamie.
Di situlah Mamie membahas masalah hubunganku dengan kedua tanteku itu.
Mamie berkata, “Aku sudah tahu bahwa di Artini dan Tari sudah menjalin hubungan seperti suami istri dengan Bona. Gak apa – apa. Aku malah merasa jadi ada teman dua orang sekaligus adik – adik kandungku.”
Tante Artini dan Tante Tari saling pandang sambil tersenyum.
“Kalian mengerti apa yang kumaksud teman barusan?” tanya Mamie pada kedua adiknya.
Kedua tanteku saling pandang lagi.
“Begini, “lanjut Mamie, “pada waktu Bona baru datang diantar oleh Artini itu, aku belum tau kalau Bona itu anak kandungku. Artini juga belum tau kan?”
“Njeh Mbak,” sahut Tante Artini.
“Nah pada saat itu, jujur aja… aku melihat kegantengan Bona, sementara aku sendiri sudah lama sekali tidak mendapatkan sentuhan lelaki. Sampai akhirnya kuminta Bona menggauliku. Begitu sering kami melakukannya. Sampai datang ibu angkat Bona sekaligus menjelaskan siapa Bona sebenarnya. Bahwa Bona itu Fajar yang waktu masih bayi merah kuberikan kepada Bu Maryani, ibu angkat Bona itu.
Kedua tanteku saling pandang lagi, dengan sorot wajah semakin serius.
Mamie melanjutkan, “Gilanya, aku sudah telanjur ketagihan. Sehingga setelah aku tau bahwa Bona itu anak kandungku, aku tak bisa menghentikan kegilaan itu. Bona pun sepakat, untuk tetap melanjutkan kebiasaan gila tapi nikmat itu.”
“Nah…” ucap Mamie di ujung pengakuan singkatnya, “sekarang ternyata kalian juga ingin memiliki Bona kan? Gak apa – apa. Kita anggap aja Bona itu sebagai milik kita bertiga. Tapi ingat, masalah ini jangan sampai bocor ke luar. Kita harus pandai – pandai merahasiakannya. Surtini dan Haryati juga jangan sampai tau.
Kemudian Mamie dan kedua adiknya berunding, tentang langkah – langkah selanjutnya, disertai dengan canda tawa.
Aku pun senang mendengarkannya. Tapi aku harus ke Jogja, untuk melihat – lihat rumah yang akan dijual. Untuk Tante Tari itu. Sekalian ingin menjumpai teman seangkatanku yang bernama Charlita, tapi biasa dipanggil Tata itu. Karena aku akan merekrut dia, kalau dia belum mendapatkan lapangan kerja.
Maka aku pamitan kepada Mamie dan kedua adiknya.
“Maju ke mana Bon? “tanya Tante Artini.
“Mau membeli rumah untuk boss muda ini,” kataku sambil menunjuk Tante Tari.
Tante tari pun serasa diingatkan. Lalu ia mengeluarkan sebuah buku cek dari tas kecilnya dan menyerahkannya padaku sambil berkata, “Semua cek yang sebuku ini sudah ditandatangani semua. Nanti tinggal menulis nominal dan tanggal ceknya aja Bon.”
“Iya Tante.”
Sebelum berangkat, aku mencium bibir Mamie, bibir Tante Artini dan bibir Tante Tari.
Tiada rahasia lagi di antara kami berempat. Karena itu aku tidak melakukan cipika – cipiki lagi, melainkan cium bibir mereka satu persatu.
Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di dalam sedan hitam yang sudah menjadi milikku itu, menuju Jogjakarta.
Tadinya aku ingin menuju perumahan elit di dekat bandara itu. Tapi aku ingin mendapatkan kepastian dulu dari Charlita, apakah dia bersedia kurekrut atau tidak. Sayang aku belum punya nomor hapenya. Sehingga aku tidak bisa call dan mengajaknya ketemuan di suatu tempat yang nyaman. Tapi aku masih ingat rumahnya, di daerah Ngadiwinatan, masuk ke dalam gang kecil.
Setibanya di Jogja aku langsung menuju ke arah rumah Tata Charlita.
Setelah memarkir mobil, aku melangkah ke dalam gang kecil yang hanya bisa dilewati motor atau sepeda itu.
Dan… maaaak… kebetulan sekali Tata sedang berdiri di depan rumahnya. Sehingga aku bisa menyapanya langsung, “Tata cantik… lagi ngapain?”
Tata tampak kaget. Memandang ke arahku dan menyahut, “Hai Bona! Tumben maen ke sini. Mau ke rumah siapa?”
“Mau ke rumah kamu. Kok seperti mau pergi?”
“Mmm… iya sih tadinya mau pergi, tapi gak penting – penting amat. Ayo masuk, “Tata membuka pintu pagarnya. Aku pun masuk ke dalam pekarangan yang lebarnya cuma semeter lebih sedikit, mungkin. Kemudian masuk juga ke dalam rumahnya. Ke ruang tamu yang kira – kira hanya berukuran 2 X 2 meter.
“Untung kamu datang hari ini. Kalau besok, aku sudah pulang ke kampung,” kata Tata setelah mempersilakanku duduk di kursi rotan.
“Terus rumah ini mau ditinggalkan kosong?”
“Iya. Rumah ini kembalikan aja kuncinya kepada pemiliknya.”
“Owh… ini bukan rumah kamu?”
“Bukan. Aku cuma ngontrak di sini. Ntar dulu… kayaknya kamu serius Bon. Ada hal yang bisa kubantu?” tanyanya.
“Kamu sudah dapat kerjaan belum?” aku balik bertanya.
“Belum, “Tata menggeleng, “Memangnya kamu mau ngasih kerjaan sama aku?”
“Iya,” sahutku. Kemudian kututurkan maksudku datang ke rumahnya, untuk menempatkannya di salah satu lokasi tanah milik Mamie.
Tata pun mendengarkannya dengan serius.
“Tanahnya di mana saja Bon?”
“Di Jatim ada, di Jateng dan Jabar juga ada. Bahkan di Sumatra, Kalimantan dan Papua juga ada. Terserah kamu, mau pilih yang mana lokasinya.”
“Di Jabarnya sebelah mana?”
“Dekat perbatasan antara Jabar dengan Jateng.”
“Waaah… aku pilih di Jabar aja, biar dekat kampungku.”
“Kampungmu di mana sih?”
“Di Ciamis. “ “Mmmm… pantesan kamu manis. Amis dalam bahasa Sunda berarti manis kan?”
“Iya… hihihiiii… selama kenal denganku, baru sekali ini kamu muji aku manis. Biasanya sih cuek mulu. Sampai aku mikir, jangan – jangan kamu ini LGBT.”
“Hush… aku ini normal Ta. Apa perlu kubuktikan?”
“Hihihiii… gak usah, gak usah… aku percaya deh. Percayaaa… “Tata mengibas – ngibaskan tangannya sambil geleng – geleng kepala.
SLalu aku pamitan, karena mau melihat rumah yang akan dijual di kompleks perumahan elit itu.
Tata mengantarkanku sampai ke mulut gang. Dan tertegun melihat mobilku yang memang bukan mobil murahan ini.
“Pengen ngerasain duduk di mobil mewah gini, “katanya sambil mengusap – usap sedan hitamku.
“Ya ayo kalau mau nyobain sih,” sahutku, “nanti kuanterin ke sini lagi.”
“Mmm.. kalau kamu gak keberatan sih besok pagi kita ke lokasi bareng aja. Tapi aku mau sekalian pulang kampung.”
“Boleh. Besok sekitar jam delapan pagi kita ketemuan di sini. Lalu barengan berangkat ke lokasi. Oke?”
Tata menatapku dengan sorot yang ceria, “Iya deh. Besok aku nongkrong di sini sebelum jam delapan.”
“Iya. Kamu kan bisa sekalian jadi penunjuk jalan. Karena aku sendiri belum pernah menginjak tanah yang harus dibenahi itu.”
“Lho… katanya tanah itu punya ibumu. Kok belum pernah ke sana?” Tata kelihatan bingung.
“Panjang deh ceritanya. Besok aja kuceritain ya. Jam delapan siap ya.”
Kemudian aku meninggalkan Tata, menuju perumahan elit itu.
Tak sulit untuk menjumpai petugas managemen developer perumahan itu. Ada beberapa rumah yang akan dijual, karena angsurannya macet. Setelah memilih – milih, akhirnya aku menentukan rumah yang ada kolam renangnya. Supaya Tante Tari dan Tante Artini bisa berolahraga juga. Selain daripada itu, rumahnya paling besar dan bagus di antara rumah – rumah yang akan dijual ulang oleh pihak managemen.
Kalau membeli rumah baru, sudah sold out semua. Maka terpaksa aku memilih rumah – rumah second tapi kelihatannya masih 100 % baru itu. Harganya pun jauh lebih murah daripada harga baru. Tapi harus dibayar cash, tidak bisa dicicil lagi.
Rumah yang kupilih itu terdiri dari 2 lantai. Di lantai 2 ada 1 kamar. Di lantai dasar ada 3 kamar, ruang tmu, ruang makan, ruang keluarga, kitchen, kamar pembantu dan sebagainya. Kolam renang itu terletak di belakang dan tertutup oleh benteng tembok tinggi, Sehingga dari luar tidak bisa melihat ke kolam renang itu.
Setelah tawar menawar yang cukup alot, akhirnya aku sepakat di harga matinya. Dan langsung kubayar di depan notaris yang langsung hadir di kantor managemen perumahan elit itu. Di zaman sekarang semuanya bisa dimudahkan oleh system. Untuk menandatangani AJB (akte jual beli) pun tak usah pergi ke kantor notaris.
Aku membayarnya dengan selembar cek yang sudah ditandatangani oleh Tante Tari itu. Aku tinggal menulis nominal harga rumah itu dan tanggal dikeluarkannya cek itu. Selesai sudah.
Kemudian aku pulang ke rumah Mamie. Dan melaporkan masalah rumah itu kepada Tante Tari.
Tante Tari dan Tante Artini tampak ceria. Terutama setelah mendengar bahwa rumah itu ada kolam renangnya segala.
“Tapi besok aku belum bisa mengantarkan Tante ke rumah itu. Karena aku mau ke Banjar dulu, ke lokasi tanah milik Mamie. Mungkin sekitar tiga hari lagi kita bisa ke sana, sekalian membeli furniture dan perabotan rumah lainnya. Karena sekarang masih kosong melompong,” kataku kepada Tante Tari.
“Iya, santai aja Bon. Kan kita gak dikejar – kejar waktu. Urus aja dulu tanah mamiemu itu,” sahut Tante Tari.
Mamie memberi petunjuk kepada siapa aku harus menghubungi setelah tiba di lokasi tanah miliknya besok. “Mamie akan nelepon dia besok pagi. Supaya dia mengantarkan kamu ke lokasi dan menunjukkan batas – batas tanah itu,” kata Mamie.
Hari itu kami hanya ngobrol dan istirahat. Tidak ada acara sex. Karena besok pagi aku harus nyetir sendiri ke Banjar, yang jaraknya cukup jauh itu. Kalau ada acara sex, bisa ngantuk waktu nyetir besok.
Keesokan harinya pagi – pagi sekali aku sudah berada di belakang setir sedan hitamku yang sudah kujalankan menuju Solo, kemudian menuju ke arah barat. Menuju Jogja.
Ternyata Charlita sudah menunggu di mulut gang menuju rumah kontrakannya itu.
Dan yang membuatku terlongong adalah pakaiannya itu. Ia mengenakan celana pendek jeans yang sudah compang – camping ujungnya, ada bolong – bolongnya pula, sehingga aku bisa menyaksikan keindahan kaki Charlita yang putih mulus itu. Tapi ke atasnya, entah apa yang dikenakannya, karena ia mengenakan jaket kulit hitam.
Kubuka pintu depan kiri dari dalam, tanpa turun dulu dari mobilku. Charlita pun masuk dengan senyum manis di bibirnya.
“Seksi bener pakaianmu pagi ini,” ucapku setelah Charlita mengenak seatbelt.
“Seksi apa, cuma celana pendek ini yang kamu anggap seksi?”
“Secara keseluruhan kamu tampak seksi Tata.”
“Mmm… thank you…”
“Sudah lama barusan nunggu?”
“Seperempat jam kurang lebih.”
“Katanya mau nyeritain masalah tanah itu. Kenapa kamu yang anak kandung pemilik tanah itu belum pernah datang ke sana?”
“Singkatnya aja, aku baru sebulanan tau bahwa beliau itu ibu kandungku.”
“Wow… gimana ceritanya?”
“Sejak bayi aku dibesarkan sampai dewasa oleh orang tua angkatku. Tadinya kupikir mereka papa dan mama kandungku. Dan kira – kira sebulan yang lalu aku baru dikasih tau bahwa ibu kandungku adalah pemilik tanah yang akan kita tinjau itu.”
“Terus sekarang kamu tinggal bersama ibu kandungmu?”
“Iya.”
“Dari ibu kandungmu punya saudara?”
“Nggak. Aku anak tunggal. makjanya semua harta ibuku diserahkan padaku untuk mengelolanya.”
“Terus kenapa bukan kamu sendiri yang mengelolanya?”
“Aku mau fokus ke agro bisnisnya aja. Sementara tanah – tanah yang bertebaran di sana – sini akan kupercayakan pada orang lain. Seperti sekarang ini, tanah yang di Jabar akan kupercayakan padamu untuk mengelolanya.”
“Bisa lihat denah tanahnya?”
“Ambil aja di laci dashboard tuh.”
Charlita membuka laci dashboard, lelu mengeluarkan gulungan kertas dan memperlihatkannya padaku.”Yang ini?” tanyanya.
“Iya,” sahutku.
Charlita membuka gulungan kertas itu, lalu memperhatikan denah tanah milik Mamie yang di Jabar itu. “Wow… luas sekali tanahmu ini Bon. Tujuhpuluhdua hektar…!”
“Iya, makanya aku hanya bisa mempercayakan kepada insinyur pertanian untuk mengelolanya.”
Sekarang istilah “insinyur pertanian” sedang diperdebatkan, bahkan ada fakultas yang tidak memakai istilah “insinyur” lagi. Tapi pada masa kisah nyata ini terjadi, gelar insinyur pertanian masih digunakan secara sah.
“Mmmm… aku tau letak lokasi ini. Kalau dari sini sebelum Banjar ke sebelah kanan,” kata Charlita.
“Iya,” sahutku, “makanya nanti kamu sekalian jadi penunjuk jalan. Karena aku sama sekali blank di daerah lokasi tanah itu.”
“Ohya, kata kamu kemaren, gajiku dihitung per hektar ya?”
“Iya.”
“Wuiiih… berarti gajiku bakal gede dong…”
“Tapi dengan syarat, pengelolaanmu harus bagus semua.”
“Soal itu sih jangan takut. Aku jamin semuanya akan berubah drastis. Mwuaaaah… “Charlita mengakhiri ucapannya dengan kecupan di pipi kiriku. Membuatku kaget. Karena tak menyangka kalau ia akan seagresif itu.
Tapi lalu kataku, “Kamu cium pipiku… harus tanggung jawab nanti ya.”
“Tanggungjawabnya dengan cara apa?”
“Dengan melanjutkan ke acara yang lebih jauh. Ayooo…”
“Kalau kamu sudah tau siapa aku, pasti kamu takkan bilang gitu.”
“Emangnya kenapa?”
“Di kampus gak ada yang tau kalau aku ini seorang janda Bon.”
“Wah… asyik dong.”
“Kenapa asyik?”
“Kita bisa berbagi rasa, supaya hubungan kita lebih dekat. Jangan cuma antara manager dengan owner.”
“Mmm… gak tau juga. SOalnya selama hidup menjanda, aku tak pernah dekat dengan cowok mana pun.”
“Tapi kalau denganku harus dekat dong. Supaya kamu lebih profesional lagi bekerjanya nanti.”
“Iyalah. Aku mau dekat denganmu, agar masa depanku lebih diperhatikan oleh Boss. Emwuaaaaah… “lagi – lagi Charlita mengakhiri ucapannya dengan kecupan hangat di pipi kiriku.
“Sip deh, “cetusku di belakang setir, “Soal masa depanmu, jangan takut. Pasti akan kuperhatikan. Pokoknya semua orang yang dekat denganku, pasti mandapat jaminan masa depan yang takkan mengecewakan. Yang penting jujur dan ulet.”
“Dan rajin mendekati boss ya… mwuaaaah… mwuaaaah… mwuaaaah… “Charlita mengecup pipi kiriku lagi… tiga kali…!
Charlita telah membuka jalan. Membuatku takkan ragu untuk melangkah lebih jauh lagi.
Maka tangan kiriku pun mulai menangkap lutut kanan Charlita yang terbuka di bawah celana pendek jeansnya.
“Seperti apa ya kamu kalau sudah telanjang?” tanyaku sambil menahan tawa.
“Kan nanti juga bakal kelihatan semua,” sahutnya.
Triiiiing…! Kontolku mendadak ngaceng di balik celana jeans dan celana dalamku.
“Itunya dicukur nggak?”
“Apanya yang dicukur?”
“Memeknya.”
“Hihihiiii… cuma digunting dan dirapikan. Nggak pernah dibotakin. Takut kelihatan gersang… malah seperti tahu pecah kebanting. Hihihihiiii…”
“Mmmm… kebayang…”
“Kebayang apa?”
“Kebayang waktu kujilatin.”
“Apanya yang dijilatin?”
“Memekmu.”
“Iiiiihhh… aku langsung horny nih, “cetus Charlita sambil mencubit lengan kiriku.
Pada saat itu mobilku sudah memasuki Gombong.
“Kita makan dulu ya. Aku lapar.”
“Iya Boss. Aku juga lapar. Padahal tadi sudah sarapan pagi.”
Lalu aku mencari rumah makan, entah rtumah makan mana yang enak makanannya. Akhirnya asal – asalan milih saja. Yang penting perut lapar diisi dulu.
Pada waktu sedang makan, sikap Charlita jauh berubah. Jadi begitu jinak dan seolah mau merapat terus padaku.
Sehingga akhirnya aku berkata setengah berbisik, “Bagaimana kalau kita cek in aja di hotel yang ada di sini?”
“Terus meninjau lokasinya kapan?”
Kujawab dengan bisikan, “Sekarang ini dirimu lebih penting daripada penggarapan tanah itu. Meninjau lokasi kan bisa sore atau besok pagi sekalian.”
“Terus mau nginep di hotel nanti malam?”
“Iya… bagaimana?”
“Terserah kamu,” sahut Charlita yang disambung dengan bisikan, “Aku juga lagi horny berat. Tadi ngomongnya menjurus ke sana terus sih.”
“Ya udah. Kalau gak salah di kota kecil ini ada hotel bagus kok.”
“Iya, “Charlita mengangguk sambil tersenyum. Membuatku semakin bergairah untuk merasakan kehangatannya.
Setelah membayar makanan yang kami santap, kujalankan mobilku perlahan – lahan. Menyelidik hotel demi hotel yang kami lewati. Sampai akhirnya kubelokkan mobilku ke pelataran parkir sebuah hotel berbintang, entah bintang tiga entah bintang empat.
Kali ini yang terpenting bagiku adalah menikmati kehangatan Charlita…!
Tampaknya Charlita pun tidak berbasa – basi waktu menyatakan horny tadi. Karena begitu berada di dalam kamar yang sudah kubooking, dia langsung melingkarkan lengannya di leherku, lalu mencium bibirku dengan lahapnya.
“Kamu ini manis sekali Ta,” ucapku setelah melepaskan ciuman dan lumatan Charlita.
“Kamu juga ganteng sekali. Bahkan waktu masih sama – sama kuliah, kamu terkenal sebagai mahasiswa terganteng di kampus.,” sahut Charlita sambil memegang kedua tanganku dengan senyum manisnya yang membuatku terlongong.
Charlita itu bertubuh tinggi langsing. Namun meski belum melihatnya secara terbuka, aku yakin toketnya gede. Sementara bokongnya proporsional, tidak terlalu gede tapi tidak juga kecil tepos. Pasti bentuknya indah sekali setelah telanjang bulat nanti.
“Beneran pengen melihatku telanjang?” tanya Charlita dengan mata bergoyang perlahan.
“Iya,” sahutku, “Makanya aku ngajak cek in ke sini juga karena ingin melihatmu telanjang.”
“Tapi jangan bocorin ke teman – teman nanti. Sejak menjanda, baru sekali ini aku merasa siap untuk diapain juga oleh seorang cowok. Ini karena ingin dekat saja denganmu, karena kamu itu selain bakal jadi bossku… juga ganteng sekali,” ucapnya sambil melepaskan jaket kulitnya. Lalu tampak pakaian di balik jaket kulit itu, bukan blouse tapi sesuatu yang mirip kaus singlet tapi terbuat dari jeans.
“Wooow… toketmu ini indah sekali bentuknya… “cetusku sambil memegang toket gede itu dengan hati – hati, karena tak mau disebut cowok kasar.
“Bona sendiri mau pakaian lengkap terus?” tanyanya sambil mencubit lenganku.
“Pengen liat memekmu dulu. Hehehee…” sahutku sambil melepaskan jaket dan baju kausku. Pada saat aku melepaskan sepatu dan celana jeansku, Charlita sedang melepaskan celana dalamnya, sehingga telanjang bulatlah teman kuliahku yang sudah sama – sama insinyur pertanian itu.
Ooo… betapa indahnya tubuh Charlita itu… membuatku terbengong – bengong.
Ketika melihat celana dalamku masih melekat di badanku, Charlita berjongkok di depanku sambil menurunkan celana dalamku, sampai terlepas dari sepasang kakiku.
Toiiiiiiing… kontolku langsung bergoyang – goyang dalam keadaan ngaceng berat di depan mata Charlita yang sedang melotot kaget. Dan ia memegangnya sambil berseru perlahan, “Wow… ini penis manusia apa kontol kuda?”
Charlita tak cuma memegangnya saja. Tapi juga menciumi leher dan moncong kontolku. Bahkan menjilatinya juga dengan tangan agak gemetaran. Ngocoks.com
Tapi aku tidak ingin dioral. Karena dalam suasana nafsu birahiku sedang menggebu – gebu begini, bisa cepat ngecrot kalau dioral oleh teman seangkatanku itu.
Maka kutarik kedua lengan Charlita ke atas, agar dia berdiri dan kudesakkan badannya ke atas bed.
Lalu mulutku langsung menyeruduk ke memek berjembut pendek – pendek sekali itu, dengan gairah birahi yang semakin menggila.
Kungangakan mulut vagina cantik itu sampai tampak bagian dalamnya yang kemerahan dan mengkilap itu, lalu kujilati bagian kemerahan yang empuk dan hangat itu. Dengan geliat nafsu yang semakin menagih – nagih.
“Booonaaa… aaaaa… aaaa… aaaaahhh… aku serasa bermimpi Bon… bahwa kamu yang dahulu terkenal dingin itu… sekarang begini dekatnya denganku… aaaaaah… kamu pandai sekali menjilati memek Booon… iaaaa… aaaaaah… aaaaa… aaaaah… Booooo… naaaa… Booo… naaaaaaa…
Bahkan kemudian kugencarkan jilatanku pada itilnya yang tampak menonjol dan agak mengeras itu.
“Aaaaaaa… aaaah… kalau itilku sudah dijilati begini… pasti aku akan cepat basah Booon… tapi… aaaaah… enak sekali Booon… jangan terlalu lama Bon… ini sudah basah sekali… masukin aja kontolmuuuu… pake kontol ajaaa… pake kontol ajaaaaa… !”
Memang celah memek Charlita dengan cepat sekali basahnya. Sehingga aku pun tak mau buang – buang waktu lagi. Kuletakkan moncong kontolku di celah memek teman seangkatanku itu. Lalu kudorong sekuatnya. Dan… mulai melesak sampai leher kontolku. Kudorong lagi sekuatnya… ya… sekuatnya… blesssss…
Charlita pun mendesis, “Anjriiiiitttt… kontolmu terasa seret gini masuknya… oooohhhh… mimpi apa aku semalam ya? Aaaa… aaa… aaaaaah… aaaaaa…”
Charlita terdiam ketika kontolku mulai kuayun di dalam liang memeknya yang sudah sangat licin ini. Cuma memeluk leherku yang ia lakukan, sambil mengangkat kedua kakinya… lalu sepasang kaki putih mulus itu melingkari pinggangku.
Sambil meremas sepasang toket yang bulat – bulat seperti buah melon itu, aku pun langsung mmepercepat entotanku sampai batas kecepatan standar.
Charlita pun memagut bibirku ke dalam lumatan hangatnya.
Aku tak mempedulikan itu. Biarlah dia melumat bibir dan terkadang menyedot lidahku ke dalam mulutnya, sementara aku mulai asyik merasakan nikmatnya liang memek Charlita yang sempit tapi licin ini.
Setelah ciuman dan lumatannya terlepas, giliran mulutku yang beraksi. Menjilati leher jenjangnya yang mulai keringatan, sementara tangan kiriku asyik meremas – remas toket kanannya yang masih kenyal padat ini.
Charlita pun mulai merengek p- rengek erotis, “Entot terus sepuasmu Booon… kontolmu luar biasa… membuatku seperti melayang – layang gini… entottt terussss… entoooottttt… entoooooootttt… iyaaaaa.. iyaaaa… aaaaaa… aaaaah… entooootttt… tubuhku sudah menjadi milikmu sekarang Bon…
Rintihan dan rengekan manja Charlita berbaur dengan dengus – dengus nafasku. Begitu lama aku melakukannya. Sampai pada suatu saat terdengar suara Charlita terengah, “Bona… aku… aku sudah mau lepassss… aaaaaaaah… entot terusss Booon… aku mau lepas…”
“Lepasin aja… aku seneng menikmati cewek yang sedang orgasme…” sahutku sambil mempercepat entotanku.
Charlita pun berkelojotan. Lalu mengejang sambil memejamkan matanya, dengan nafas tertahan. Aku pun sudah menancapkan kontolku sedalam mungkin, sampai terasa sudah menabrak dasar liang memek Charlita. Lalu kudiamkan kontolku, sambil merasakan kedat – kedut liang memek teman seangkatanku itu.
Lalu tubuh Charlita melemas. Matanya pun terbuka. Menatapku dengan sorot jinak. Dan berkata lirih, “Terima kasih Bon. Sudah lima tahun aku tak pernah disentuh cowok. Sekalinya nemu, terlalu enak. Sehingga aku gak kuat nahan lama – lama.”
“Sejak kapan kamu jadi janda?” tanyaku tiba – tiba kepo.
“Sebelum jadi mahasiswi aku sudah janda.”
“Ohya? Memangnya umur berapa kamu kawin?”
“Begitu tamat SMA aku dikawinkan sama orang tuaku, karena kuatir hubungan dengan pacar terlihat rapat sekali. Tapi usia perkawinanku hanya berlangsung setahun. Aku tidak kuat lagi jadi istrinya.”
“Emangnya kenapa mantan suamimu itu?”
“KDRT terus. Pencemburu pula. Kalau sudah ngamuk, aku babak belur dibuatnya.”
“Hmm… seharusnya seorang suami melindungi istrinya ya.”
“Iya… tapi sudahlah. Aku sudah move on kok. Apalagi sekarang… seandainya aku masih gadis sih pasti aku minta kawin sama kamu.”
“Kan ini juga lagi kawin.”
“Iiiiih… ayo lanjutin lagi. Kamu belum ngecrot kan?”
“Belum. Masih jauh.”
“Ya udah… entotin lagi,” kata Charlita sambil menepuk – nepuk pantatku yang sejak tadi dipeganginya.
Aku tersenyum. Lalu melanjutkan lagi entotanku yang terhenti beberapa menit barusan.
“Memekmu enak sekali,” ucapku sambil mengayun kontolku dalam gerakan perlahan di dalam liang memek Charlita yang terasa becek karena habis orgasme tadi.
“Enak apa? Becek gini dibilang enak, “Charlita mendelik.
“Becek lantaran abis orgasme justru aku suka,” sahutku sambil menjilati ketiak Charlita yang harum deodorant.
“Hihihihiiii… dijilatin ketek gini sih aku gak nahan… geli sekali Bon… geli… geliiiiii… aaa… aaaaaaaaah Bonaaaa… geli tapi enak Bon… aaaaaah… iya… jilatin terus deh ketekku… aaaaah… aaaaah… enak Bon… aaaah… gak lama juga bakalan lepas lagi kalau gini sih…
Sambil menjilati ketiak Charlita, aku pun mempercepat entotanku. Seolah mesin pompa yang sedang bekerja… maju mundur dan maju mundur terus di dalam liang memek Charlita.
Banyak lagi yang bisa dilakukan oleh mulutku. Terkadang kujilati leher jenjangnya yang sudah basah oleh keringat. di saat lain kujilati telinganya, kelopak matanya, pentil toketnya. Bahkan terkadang kusedot – sedot pentil toketnya yang tegang itu. Sementara moncong kontolku terus – terusan menyundul – nyundul dasar liang memek Charlita.
Aku memang ingin memperlihatkan keperkasaanku. Charlita sampai orgasme dan orgasme dan orgasme lagi… sementara aku masih bertahan di atas perutnya. Padahal keringat sudah membanjiri tubuhku.
Sampai akhirnya, setelah Charlita orgasme lebih dari tiga kali, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin. Sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crot… croooottttttt… crotcrottttt… croooooootttttt… crooootttttt…!
Aku mengelojot, lalu terkulai di atas perut Charlita.
“Gila… lebih dari sejam kamu ngentot aku… luar biasa…” ucap Charlita sambil memijat hidungku, “tapi kenapa dilepasin di dalam? Nanti kalau aku hamil gimana?”
“Bukannya kepengen merasakan bahagianya p;unya anak?”
“Jangan dulu lah. Kan aku mau ngerjain tanahmu. Kalau perut buncit, gimana bisa bekerja hilir mudik di tanah seluas itu?”
“Yang bekerja kan buruh tani. Kamu kan bertugas untuk mengarahkan dan mengawai aja.”
“Tapi aku belum mau hamil dulu Bon.”
“Iya deh,” kataku sambil mencabut kontolku dari liang memek Charlita, “aku punya pil kontrasepsi kok. Tenang aja.”
Kemudian kukeluarkan 1 strip pil anti hamil dari dalam dompetku. Kemudian menyerahkannya kepada Charlita.
“Wah… kamu nyiapin pil kontrasepsi segala rupanya,” ucap Charlita dengan wajah ceria lagi. Lalu ditelannya sebutir pil itu, didorong oleh air mineral gelas yang disediakan hotel di meja kecil dekat bed.
“Sekarang masih kuat nyetir untuk melanjutkan perjalanan ke lokasi?” tanya Charlita.
“Kuat lah. Tapi harus mandi dulu, biar badan seger.”
“Aku juga pengen mandi.”
“Ya ayo kita mandi bareng, laksana pengantin sehabis ewean di malam pertama. Hihihihihiiiii…”
Lalu kami mandi bareng. Sambil saling menyabuni.
Dalam keadaan seperti ini, selalu saja nafsuku bangkit lagi. Charlita juga tahu itu. “Iiiih… kontolmu kok ngaceng lagi Bon?!” ucapnya ketika aku sedang menyabuninya.
“Iya. Pengen dientotin ke memekmu ini lagi,” sahutku.
“Urus dulu bisnis dong. Kata kamu di lokasi juga ada pondok yang kosong – kosong kan?”
“Iya. Mau berusaha sabar deh. Nanti kalau sudah selesai urus masalah tanah yang harus direhibilitasi itu, kamu akan kuentot sepanjang malam sampai besok pagi. Sanggup?”
Charlita melingkarkan lengannya di leherku. Menatapku sambil tersenyum dan berkata, “Apa pun yang kamu inginkan, pasti kukabulkan. Karena aku sudah menjadi milikmu, Pangeran…”
Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di dalam mobil lagi. Mobil yang kularikan dengan cepat menuju Banjar.
“Kalau aku belum punya calon istri, pasti aku akan menikahimu,” kataku pada suatu saat.
Dengan tenang Charlita menjawab, “Nggak usah dinikahi juga gak apa – apa. Asalkan nasibku diperhatikan aja.”
“Kamu mau kujadikan simpanan?” tanyaku.
“Mau. Jadi simpanan Big Boss kan keren.”
“Emangnya kamu bisa setia padaku walau pun tidak kunikahi?”
“Soal kesetiaan sih jangan diragukan lagi. Bunuh aja aku kalaju sampai aku nyeleweng nanti. Pokoknya aku hanya akan mencintai dirimu seorang di dunia ini.”
“Tapi aku sendiri takkan bisa seperti itu. Cintaku pasti akan terbagi – bagi.”
“Ngak apa – apa. Lelaki kan memang biasa begitu. Beda lagi dengan perempuan.”
Sambil ngobrol begini, tanpa terasa perbatasan Jateng – Jabar pun kami lalui.
Ketika kota Banjar masih jauh, Charlita memperingatkanku, “Kurangi kecepatannya Bon. Sebentar lagi ada belokan ke kanan. Lokasinya terletak di situ.”
Kuikuti petunjuk Charlita. Tak lama kemudian aku sudah membelokkan mobil ke kanan, ke jalan yang belum diaspal.
“Kalau tau begini jalannya, aku pakai jeep tadi,” kataku.
“Jalannya masih tanah. Tapi kan nggak ada batu – batunya Bon.”
“Iya. Tapi kalau hujan pasti becek. Kalau memekmu yang becek malah enak. Hahahaaaa…”
“Kamu seneng memek becek ya?”
“Kalau becek setelah orgasme sih suka sekali.”
“Hihihiiii… makanya sering – sering aja kamu bikin aku orga ya.”
“Iya. Memekmu enak kok.”
Tiba – tiba kulihat seorang lelaki setengah baya menyetop mobilku.
Aku pun menghentikan mobilku. Lelaki itu menghampiri mobilku.
Kubuka kaca jendela mobil dan bertanya pada lelaki itu, “Mang Gofur?”
“Iya Den. Ini putra Ibu Boss kan?”
“Iya. Aku anak Bu Lies Mang.”
“Owh… iya… iya… tadi Bu Boss sudah nelepon saya. Beliau bilang putranya akan datang ke sini. Silakan mobilnya diparkir di sana Den,” ucapnya sambil menunjuk ke depan pos keamanan yang tidak ada penjaganya.
Setelah memarkir mobil, aku dan Charlita turun dari mobil. Kemudian mengikuti langkah Mang Gofur ke arah batas tanah punya Mamie.
“Di sini batas baratnya Den,” kata Mang Gofur, “Pokoknya untuk mengetahui batas tanah punya Bu Boss gampang. Karena batasnya ditandai dengan pohon pisang semua.”
“Iya Mang. terima kasih,” sahutku sambil memegang bahu Charlita, “Nanti ibu insinyur ini yang akan memimpin di sini, untuk mengadakan pembaruan tanaman di tanah punya ibuku ini Mang.”
“Oh iya… iyaaaa… sakarang begini keadaannya. Kayak hutan aja Den.”
“Iya. Kalau tanah dibiarkan tidak produktif terus seperti ini, bisa – bisa negara mengambil alih. Karena tanah ini kan harus bayar sewanya ke negara.”
“Iya Den… iyaaa…”
“Kami mau survey dulu ya Mang.”
“Baik Den. Apa saya diperlukan untuk mengantar?”
“Nggak usah Mang. Kan ada denahnya yang dipegang oleh ibu insinyur ini. Ohya, ini ada titipan dari ibuku,” kataku sambil mengeluarkan amplop besar berwarna coklat muda, berisi uang untuk mang Gofur.
Mang Gofur menerima dan membuka amplop besar itu. Lalu berkata, “Waaaah… terima kasih Den. Terima kasiiih…”
Kemudian aku dan Charlita melangkah masuk ke lahan yang sudah seperti hutan ini.
“Mungkin pohon – pohon yang tidak berguna harus ditebang semua nanti,” kata Charlita yang berjalan sambil menggandeng pinggangku.
“Lakukan apa pun yang kamu anggap positif nanti,” sahutku.
Setelah beberapa saat melangkah di atas tanah yang sudah seperti hutan ini, kulihat ada beberapa bangunan seperti perumahan sederhana. Aku pernah mendengar dari Mamie bahwa di lahan ini memang ada perumahan untuk buruh yang sudah ditinggalkan. Ada sebuah mobil pick up tua pula yang sudah tidak dipakai lagi.
“Nanti kalau sudah merekrut buruh tani, rumah – rumah itu bisa direnovasi semua,” kataku.
“Wah bakal banyak proyek dong aku nanti,” sahut Charlita sambil tersenyum.
Kusahut, “Pohon kayu yang ditebangi kan bisa dipakai bahan bangunan atau kayu bakar. Tergantung jenis kayunya, ada yang bisa dijadikan bahan bangunan, ada juga yang hanya layak untuk kayu bakar. Lalu kayunya dijual. Duit hasil penualannya bisa dipakai untuk merenovasi perumahan untuk buruh nanti kan?
“Iya… iya Boss.”
“Terus… di mana kita bisa bersetubuh lagi ya? Apa di atas mobil pick up itu?“
“Iiiih… banyak debu gitu.”
“Ngentot sambil berdiri di bawah pohon beringin itu mau?”
“Hihihihiii… ayo deh. Mendingan sambil berdiri daripada di tempat yang banyak debu sih.”
Lalu kami melangkah ke bawah pohon beringin raksasa itu. Dengan nafsu birahi yang mulai berkobar lagi.
Sebenarnya aku merasa letih juga. Habis nyetir dari pinggiran Solo ke Banjar. Lalu bersetubuh di hotel dan di lokasi tanah Mamie sekali lagi. Tapi aku merasa kasihan juga kalau melepaskan Charlita begitu saja tanpa diantarkan ke rumahnya. Terlebih menurut keterangan Charlita, rumahnya hanya sekitar tigapuluh kilometer dari lokasi lahan yang akan digarap dan dipimpin olehnya itu.
Maka kuantarkan juga Charlita ke rumahnya yang memang tidak jauh dari lokasi lahan yang akan dipimpinnya itu.
Dengan kecepatan nyantai, tidak sampai sejam mobilku sudah tiba di depan sebuah rumah mungil, ketika hari sudah mulai gelap.
“Itulah rumahku,” kata Charlita sebelum turun dari mobilku, “Ayo masuk dulu Bon… sekalian kukenalkan pada mamaku. Mau nginep di rumahku juga boleh. Tapi beginilah keadaannya… rumah kecil yang sudah tua pula.”
Aku pun turun dari mobil, mengikuti langkah Charlita menuju teras depan rumahnya, lalu masuk ke dalam.
Seorang wanita setengah baya muncul di ruang tamu.
“Boss… ini Mama,” kata Charlita sambil memegang pinggang ibunya.
“Ini yang Tata bilang teman kuliah yang sekarang jadi boss Tata?” tanya wanita itu sebelum berjabatan tangan denganku.
“Hehehe… nama saya Bona Bu,” ucapku pada waktu berjabatan tangan dengan wanita yang tampak lebih muda daripada Mamie itu, tapi masih kelihatan cantik sekali. Kenapa kecantikannya tidak menurun kepada Charlita ya? Charlita bisa disebut manis, tapi tidak secantik ibunya.
“Hermin…” kata wanita itu waktu berjabatan tangan denganku, “Silakan duduk Nak Bona.”
Aku pun duduk di sofa ruang tamu.
Bu Hermin menoleh kepada Charlita dan berkata, “Tata… tadi ada Yeni ke sini. Dia bilang kalau kamu sudah datang, ditunggu di rumahnya. Penting sekali, katanya.”
“Ohya?! Kalau begitu aku mau ke rumahnya sebentar. Bisa nunggu sebentar di sini?” tanya Charlita padaku.
“Oke, “aku mengangguk.
Charlita masuk ke dalam. Dan keluar lagi sudah mengenakan daster batik. Lalu melangkah keluar dari pintu depan.
“Yeni itu sahabat karib Tata. Dia mau menikah minggu depan. Mungkin ingin dibantu oleh Tata untuk mengurus pernikahannya,” kata Bu Hermin setelah Charlita berlalu.
“Ogitu ya…”
“Tinggalnya di Jogja?”
“Saya tinggal di daerah Solo. Tapi dari Solo juga masih jauh lagi ke utara Bu. Di pedesaan sih.”
“Di pedesaan kalau sudah tajir sih gakpapa. Mmm… sebenarnya lusa mama juga mau ke Jogja,” kata Bu Hermin membahasakan dirinya “mama”.
Dan entah kenapa… diam – diam aku mengagumi ibunya Charlita itu yang begitu cantik, meski usianya tidak muda lagi.
“Ada urusan apa ke Jogja Bu?” tanyaku, tetap memanggil “Bu” padanya.
“Mau belanja. Kan mama suka masukkan pakaian ke pasar dan toko – toko di sini. Belanjanya dari Jogja.”
“O begitu. Di Jogja belanja di mana?”
“Ah, di pasar Beringharjo aja.”
“Padahal saya tau pabrik yang memproduksi pakaian di Jogja. Di situ juga bisa beli secara kodian. Saya yakin harganya lebih murah daripada di pasar.”
“Tapi mama gak tau alamatnya. Lagian mama kalau ke Jogja cuma tau Malioboro dan pasar Beringharjo aja.”
“Kalau gitu biar saya antar aja nanti. Ibu bisa telepon saya kalau sudah tiba di Jogja. Nanti saya jemput Ibu di terminal atau di stasiun kereta api. Gimana?”
“Ngerepotin nggak?”
“Nggak Bu. Saya nyantai kok orangnya. Kita tukaran nomor hape aja sekarang.”
“Boleh… kini nomor mama,” kata Bu Hermin sambil menyebutkan nomor hapenya.
Lalu nomor itu ku-misscall dari hapeku sambil berkata, “Itu nomor saya Bu.”
“Terima kasih sebelumnya ya. Tap;I jangan ngomong – ngomong sama Tata. Takut dia marah karena mama mau ngerepotin bossnya.”
“Iya Bu. Tenang aja Bu. Ohya… nanti di Jogja mau nginep?”
“Tergantung kebutuhannya.. mama kadang suka nginep di Jogja, kadang pulang hari.”
“Kalau nginep di mana?”
“Di losmen yang murah aja, asalkan nggak jauh dari Malioboro.”
“Lusa kalau mau nginep, Ibu akan saya tempatkan di hotel yang bagus dan dekat Malioboro juga.”
“Tuh jadi tambah ngerepotin lagi. Mama gak enak hati jadinya.”
“Nggak ngerepotin Bu. Saya punya jatah hotel gratis. Daripada jatahnya nggak dipakai, kan mendingan digunakan untuk menyamankan hati Ibu,” kataku berbohong. Mana ada hotel mau ngasih gratis padaku yang bukan pejabat ini?
“Panggil mama aja deh. Jangan ibu – ibuan. Nak Bona kan teman Charlita, jadi wajar kalau manggil mama.”
Lalu kami ngbrol. Tentang ayah Charlita yang sudah meninggal lima tahun yang lalu. Tentang kehidupan Mama Hermin yang terpaksa harus nyari duit sendiri semenjak suaminya meninggal.
Banyak lagi yang kami obrolkan. Kami pun bersepakat, bahwa lusa akan berjumpa di Jogja dan akan merahasiakannya kepada Charlita.
Tak lama kemudian Charlita pulang. Laporan kepada ibunya bahwa pada hari Minggu mendatang dia harus jadi penerima tamu di nikahan teman karibnya.
Aku pun pamitan pulang, karena hari sudah semakin malam.
Anehnya, di sepanjang jalan menuju rumah Mamie, terawanganku digelayuti oleh bayang – bayang Mama Hermin terus.
Di mataku, Mama Hermin itu luar biasa cantiknya. Bahkan dibandingkan dengan Charlita pun Mama Hermin jauh lebih cantik. Padahal Charlita jauh lebih muda. Tapi kenapa sosok Mama Hermin jauh lebih menarik bagiku?
Apakah aku ini penggila wanita STW?
Tapi tidak semua wanita STW kugilai. Dan khusus tentang mama Hermin yang tinggi langsing dan berkulit putih mulus itu… memang mengugahkan birahiku.
Lalu bisakah aku memilikinya?
Entahlah.
Yang jelas di belakang setir aku membayangkan Mama Hermin terus. Begitu cantik dan seksinya Mama Hermin di mataku. Tapi mungkinkah aku bisa mendapatkannya?
Entahlah. tadi aku merasa masih gelap. Karena tidak melihat gejala – gejala “khusus” selain keramahan dan murah senyumnya. Dan sikap itu mungkin karena ingin supel saja di mataku sebagai teman anaknya.
Setibanya di rumah, hari sudah lewat tengah malam. Karena itu aku masuk ke dalam kamarku dan langsung tidur nyenyak. Namun gilanya… di dalam tidurku datang mimpi gila itu. Mimpi menyetubuhi Mama Hermin… sehingga waktu bangun paginya, kudapati celanaku basah…!
Usiaku sudah hampir 24 tahun, masih mimpi begituan?!
Selesai sarapan pagi, aku langsung on the road lagi, menuju Jogja. Untuk membeli segala jenis furniture dan perabotan rumah selengkap mungkin. Untuk mengisi rumah baru yang sudah kubayar di perumahan elit itu. Semuanya akan dikirim pagi itu juga ke alamat rumah yang akan dihuni oleh Tante Tari dan Tante Artini itu.
Setelah semuanya dikirim dan dipasang oleh tukangnya masing – masing, aku memikirkannya beberapa saat. Mengingat – ingat apakah masih ada yang kurang?
Setelah merasa sudah lengkap, aku pulang ke rumah Mamie ketika hari sudah jam enam sore. Dan tiba di rumah Mamie jam sembilan malam, karena mampir dulu ke toko peralatan komputer.
Langsung aku laporan kepada Tante Tari. Bahwa rumah itu sudah lengkap perabotannya, termasuk perabotan kitchennya.
“Kalau mau dilihat sekarang aja, karena kalau besok aku akan sibuk seharian mengurus lahan Mamie yang di dekat perbatasan Jabar – Jateng itu.”
“Biar menyenangkan semuanya, tunggu sampai kesibuikanmu reda aja Sayang,” sahut Tante Tari sambil mencium pipiku, “aku gak keburu – buru kok. Di sini malah terasa nyaman bisa kumpul sama saudara – saudara.”
Maka malam itu aku istirahat lagi sepuasnya. Tanpa sex sama sekali. Karena besok pagi aku harus berangkat ke Jogja lagi, untuk menjemput Mama Hermin… kalau dia jadi berangkat ke Jogja.
Agar tidak kesal menunggu call dari Mama Hermin, aku stand by di rumah Tante Tari itu. Rumah yang Tante Tari sendiri belum melihatnya. Dan dibeli atas namaku, seperti yang Tante Tari inginkan.
Dalam masalah duit, mungkin aku kini tergolong sangat jujur. Tak pernah mengganggu hak orang lain. Tapi dalam masalah perempuan, mungkin aku ini termasuk kurang jujur.
Kenapa kuakui bahwa dalam masalah perempuan aku ini kurang jujur?
Karena ketika stand by di rumah Tante Tari itu, terlintas di dalam pikiranku untuk membawa Mama Hermin ke sini. Tanpa harus cek in di hotel segala.
Tapi setelah dipikir – pikir, nantinya malah merepotkanku sendiri. Karena aku harus melenyapkan segala “jejak” Mama Hermin sebelum Tante Tari dibawa ke rumah ini.
Tiba – tiba handphoneku berdering. Ternyata call dari Mama Hermin…!
“Yaaa… selamat pagi Mama…”
“Selamat pagi juga. Sekadar mau laporan, ini mama sudah dekat ke Jogja. Nanti kalau mama nunggu di depan kantor pos aja gimana? Apa gak merepotkan Nak Bona?”
“Iya Mam. Aku akan langsung menuju ke situ sekarang,” sahutku sambil bergegas menghidupkan mesin mobilku dan kupaksakan meluncur menuju kantor pos seperti yang disebut oleh Mama Hermin tadi. Di jalan aku pun menyempatkan diri untuk menghubungi hotel… hotel yang pernah kupakai untuk mengambil keperawanan Mbak Rina dan Mbak Lidya itu.
Tak lama kemudian aku tiba di depan kantor pos.
Ternyata Mama Hermin sudah menungguku dalam pakaian yang aduhai. Celana legging hitam yang ketat dan fullover putih yang ketat ketat juga. Sehingga membuatku terpana sesaat, karena begitu seksinya Mama Hermin di mataku.
Bergegas aku turun dari mobil, untuk membukakan pintu depan kiri. Setelah Mama Hermin duduk di depan kiri, bergegas aku masuk ke belakang setir.
“Agak lama ya nunggu barusan? Maklum jalanan lagi macet,” kataku sambil menjalankan mobilku kembali.
“Gak lama, paling juga sepuluh menitan Nak,” sahut Mama Hermin.
“Panggil namaku langsung aja Ma. Biar lebih akrab.”
“Masa boss anak mama dipanggil nama langsung?”
“Heheheee… jangan mengingat ke sana deh. Sekarang aku mau habiskan waktu khusus untuk Mama. Kalau perlu, sampai besok malam juga boleh.”
“Wah… ngapain lama – lama banget? Rumah nggak ada yang nungguin Nak, eh Bon.”
“Tata sudah berangkat ke Banjar?”
“Sudah, kemaren. Dia kelihatan sangat bersemangat mendapatkan pekerjaan dari Bona itu.”
“Mmm… barusan aku sampai bengong melihat Mama berdiri di depan kantor pos.”
“Kenapa?”
“Mama kelihatan cantik sekali. Kenapa kecantikan Mama tidak menurun ke Charlita ya?”
“Ah… Bona bisa aja. Masa sudah tua dibilang cantik.”
“Aku bicara sejujurnya lho. Kalau dibandingkan dengan Mama, Charlita itu kalah jauh.”
“Tata kan menuruni tampang ayahnya.”
“O, pantesan. Makanya waktu aku sedang berada di rumah Mama, aku mikir… kenapa kecantikan Mama gak nurun pada Charlita ya?”
“Mmm… Bona juga ganteng sekali kok.”
“Berarti nyambung dong. Yang ganteng harus sama yang cantik.”
“Masa sih?! Mama kan udah tua Bon.”
“Boleh aku terus terang?”
“Soal apa?”
“Aku ini pengagum wanita setengah baya seperti Mama ini.”
Tiba – tiba Mama Hermin memegang tangan kiriku sambil berkata, “Yang bener nih. Jangan bikin mama ge – er dong…”
“Aku serius Mama. Nanti di pusat penjualan pakaian itu, silakan Mama ambil semua pakaian yang diperkirakan laku. Aku yang akan bayar semuanya. Hitung – hitung ngasih modal aja sama Mama.”
“Duh duh duuuh… kalau modal sih memang mama kekurangan Bon. Terima kasih sebelumnya ya. Terus setelah belanja di pusatnya itu ke mana mama mau dibawa?”
“Ke hotel bintang lima seperti yang kukatakan di rumah Mama.”
“Terus sekarang mau ke mana?”
“Ke pusat penjualan pakaian yang biasa disebut factory outlet itu Mama.”
Tiba – tiba Mama Hermin mendekatkan mulutnya ke telingaku. Dan berbisik, “Ke hotel aja dulu. Biar mama tenang belanjanya nanti. Kalau perlu, besok pagi aja belanjanya. Supaya mama bisa mikir dulu, jenis apa saja yang sekira laku dijual di kampung mama nanti.”
“Itu lebih baik Mam,” ucapku sambil membelokkan arah mobil menuju hotel bintang lima itu.
“Tapi jangan ngomong apa – apa sama Tata nanti ya Bon.”
“Iya Mam. Soal itu sih dijamin bakal ditutup rapat – rapat kepada siapa pun.”
Tak lama kemudian, aku dan Mama Hermin sudah berada di dalam lift yang mengantarkan kami ke lantai lima. Mama Hermin terus – terusan menatapku dengan senyum manisnya.
Senyum manis itu pun tersungging lagi di bibir sensual Mama Hermin ketika kami sudah berada di dalam kamar yang sudah kubooking.
Lalu kami duduk berdampingan di sofa yang tak jauh dari bed.
“Mama tau gak? Sepulangnya dari rumah Mama… aku sampai mimpiin Mama lho,” kataku sambil memegang tangan Mama.
“Mimpiin apa?”
“Mimpiin begituan sama Mama. Besoknya… celanaku basah. Hihihihiii…”
“Mama akan wujudkan mimpi itu. Karena mama juga kagum berat sama Bona sejak pertama kali melihat boss Tata ini. Tapi mama kan tau diri, usia mama gak muda lagi. Makanya disimpan aja perasaan itu di dalam hati.”
“Jadi Mama sudah membayangkan kalau kita bakal sedekat ini?”
“Ada sih bayangan itu… tapi samar – samar. Karena mama pikir cuma khayalan yang gak tau diri. Masa cowok seganteng dan semuda ini mau sama mama…”
“Yang samar – samar itu sekarang sudah jadi jelas ya Mam,” ucapku sambil melingkarkan lengan di leher Mama Hermin.
Seperti tahu apa yang kuinginkan, Mama Hermin mendekatkan bibirnya ke bibirku, dengan tatapan sepasang mata bening yang indah dari jarak sangat dekat sekali pun. Aku menanggapinya cuma dengan senyum, karena ingin tahu apakah dia seagresif anaknya atau tidak. Ternyata dia memagut bibirku sambil memeluk leherku.
Maka aku pun ingin lebih agresif lagi, karena semuanya ini sudah terbayangkan sejak dua malam yang lalu. Dengan menyelundupkan tanganku ke balik celana legging ketatnya. Mama Hermin reaktif juga. Menyadari aku sulit memasukkan tangan ke balik celana leggingnya, maka celana legging itu pu dipelorotkan sampai ke lututnya, sehingga dengan mudah aku menyelundupkan tanganku ke balik celana dalam putih bersihnya.
Maka dengan penuh gairah kucolek – colek belahan memek yang masih bersembunyi di balik celana dalamnya itu.
Mama Hermin pun memagut dan melumat bibirku lagi, lebih lahap dari sebelumnya. Bahkan pada suatu saat ia berbisik, “Pindah ke atas tempat tidur aja yuk…”
Aku mengangguk dan mengeluarkan tanganku dari balik celana dalamnya. Lalu membantu Mama Hermin melepaskan celana leggingnya. Bahkan aku pula yang melepaskan celana dalam putihnya. Sehingga tampaklah memeknya yang bersih dari jembut itu, seolah menantangku untuk menjilatinya. Tapi aku hanya menciuminya sebentar, karena Mama hermin mau melangkah ke bed.
Di pinggiran bed ia melepaskan fullover dan beha serba putihnya. Sehingga tampaklah sepasang toketnya yang tak kalah gede daripada toket Charlita…!
Apakah semuanya ini terlalu cepat bagiku? Tidak. Aku bahkan pernah punya pengalaman yang lebih cepat lagi dahulu, ketika aku masih tinggal bersama Papa dan Mama angkatku di Jogja. Dengan seorang wanita yang mengantarkan seorang pembantu untuk bekerja di rumah kami. Setelah kuperhatikan, wanita itu memang manis sekali.
Maka kutawarkan jasaku untuk mengantarkannya pulang ke kampungnya di sekitar Jatingaleh Semarang. Wanita itu tampak senang. Lalu nemplok di boncengan motorku. Dan kuantarkan ke arah Semarang. Namun di Ungaran aku mengajaknya untuk mandi air panas mineral. Ia pun setuju. Dan di dalam kamar mandi air panas itu aku langsung bisa mengentotnya…
Jadi aku tidak menganggap Mama Hermin ini terlalu cepat untuk melangkah sejauh ini. Aku malah butuh waktu dua malam untuk mencapai semuanya ini.
Tidak terlalu cepat untuk menanggalkan pakaianku sehelai demi sehelai, tinggal celana dalam saja yang kubiarkan tetap melekat di tubuhku. Lalu merayap ke atas tubuh Mama Hermin yang sudah celentang dalam keadaan sudah telanjang bulat itu.
Mama Hermin pun menyambutku dengan senyum manisnya. Lalu membiarkanku memegang sepasang toket gedenya yang ternyata belum kendor. Masih kenyal dan padat. Tak kalah dengan toket putrinya.
Namun tujuan utamaku dalam foreplay ini adalah ingin menjilati memeknya yang gundul bersih itu. Maka aku pun langsung melorot turun, sampai wajahku berhadapan dengan memek Mama Hermin. Pada saat yang sama Mama Hermin pun merenggangkan sepasang paha putih mulusnya, seolah mengandung ucapan “silakan jilatin memekku sepuasmu”.
Ketika ujung lidahku mulai menyapu – nyapu bibir luar (labia mayora), Mama Hermin agak tersentak. Tapi sepasang paha putih mulusnya semakin direnggangkan, sementara kedua tanganku sudah mengangakan mulut vaginanya, sehingga bagian dalamnya yang berwarna pink itu ternganga lebar di depan mataku. Bagian yang berwarna pink itulah kujilati habis – habisan, sehingga Mama Hermin mulai menggeliat – geliat dengan nafas berdesah – desah.
Di mataku, Mama Hermin ini dari ujung kaki sampai ujung rambutnya tiada celanya. Tubuh yang tinggi langsing tapi tidak kurus. Toket dan bokongnya gede. Kulitnya putih mulus. Wajahnya pun sangat cantik. Sehingga aku menganggap Mama Hermin ini harus mendapat prioritas kedua setelah Mamie. Ya, biar aku beristrikan perempuan secantik bidadari pun, Mamie tetap menjadi sosok yang paling menggiurkan dan paling kuutamakan.
Tapi dalam hal kecantikan, semuanya kalah oleh Mamie Hermin ini. Selain cantik dia bertubuh seksi dan sangat menggiurkan…!
Dan kini aku sedang menjilati memeknya yang beraroma khas. Mungkin dia rajin minum ramuan tradisional, khusus untuk mengharumkan kemaluan wanita. Sehingga aku jadi begini lahap menjilati memek tembemnya.
Namun menjilati memek bukanlah tujuan utamaku. Cunnilingus hanya sebagian dari foreplay. Maka ketika kontolku sudah sangat ngaceng dan ingin segera dijebloskan ke liang memek Mama Hermin, aku pun melepaskan celana dalamku.
Mama Hermin spontan duduk sambil memegang kontolku, “Astagaaaa… ini penis manusia apa kontol kuda?! Wadududuuuh… mama sampai merinding nih. Gak nyangka Bona punya meriam sepanjang dan segede ini.”
“Kenapa merinding? Takut?” tanyaku.
“Merinding karena membayangkan nikmatnya kalau sudah dimainkan di dalam memek mama…! “Mama Hermin menelentang lagi, sambil mengusap – usap memeknya yang sudah basah kuyup oleh air liurku, bercampur dengan lendir libidonya, mungkin.
Pada saat yang sama, kuletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek Mama Hermin. Lalu kudorong sekuat tenaga… blessssssss… amblas hampir separohnya… diiringi ringisan Mama Hermin, “Ooooohhhhh… masuuuuuuk… gede banget… oooo… ooooohhh…”
Tercapai juga yang kubayangkan dalam dua hari belakangan ini. Bahwa kontolku membenam terus… sampai cukup jaraknya untuk mulai kuayun perlahan – lahan. Tubuh menggiurkan itu pun mulai menggeletar – geletar, dalam amukan birahiku yang seolah tengah merayap cepat menuju lereng surgawi… untuk merayap terus menuju puncaknya.
Ayunan kontolku pun seakan ingin memamerkan keperkasaanku, yang selama ini belum pernah mengecewakan. Dan kepak – kepak sepasang tangan wanita setengah baya itu mulai mengusutkan kain seprai putih yang berkali – kali diremasnya.
Aku pun mulai melengkapinya. Ketika kontolku mulai gencar mengentot liang memek Mama Hermin, mulutku pun tak sekadar mencium dan melumat bibir sensualnya. terkadang nyungsep di leher jenjangnya, untuk menjilatinya dengan lahap, disertai gigitan – gigitan lembut.
Ini membuatnya mulai merintih dan mendesah, sambil mempererat dekapannya di pinggangku.
“Aaaaaaahhh… Bonaaaa.. ini luar biasa Booon… luar biasa indahnya… lakukan apa pun yang Bona inginkan pada diri mama… entot terus Booon… penis Bona luar biasa enaknya… terasa sekali gesekannya… pasti akan membuat mama ketagihan nanti… aaa… aaaaaahhhh… aaaa… aaaaaahhhh…
Aku harus mengakui bahwa Mama Hermin ini wanita tercantik di antara sekian banyak wanita yang telah kugauli. Namun aku tak mau mengatakannya secara lisan. Aku hanya ingin membuatnya klepek – klepek dalam entotan kontolku yang mulai kupercepat, bermaju mundur di dalam liang memeknya yang sangat legit ini.
Mama Hermin pun mulai atraktif. Bokong gedenya mulai menggeol – geol tak ubahnya kocokan telor manual. Memutar – mutar dan meliuk – liuk. Tekadang menghempas – hempas ke atas kasur, sehingga itilnya bergesekan dengan badan kontolku.
Memang luar biasa nikmatnya geolan pantat Mama Hermin ini. kontolku terasa dibesot – besot dan diremas – remas oleh liang memeknya. Namun karena itilnya terus – terusan bergesekan dengan kontolku, maka tak lama kemudian terdengar rengekan histerisnya. “Booo… Boooonaaaa… mama maaaaauuuu lepassss…
Mama Hermin berkelojotan dengan nafas tersendat – sendat. Dengan tangan meremas – remas bahuku. Dan akhirnya mengejang tegang, dengan perut agak terangkat, dengan nafas tertahan, mulut ternganga dan mata terpejam.
Aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin, sampai mentok di dasar liang memeknya.
Lalu liang memek legit ini terasa seperti ular yang tengah bergerak melilit batang kontolku. Membuat mataku terpejam, dalam nikmat.
“Aaaaaaaaahhhhh… “Mama Hermin menghembuskan nafasnya setelah tertahan beberapa detik. Lalu sekujur tubuhnya melemas. Sementara wajahnya tampak seolah bersinar, seolah memancarkan aura kecantikannya yang menimbulkan rasa sayang di dalam hatiku.
Kuusap – usap pipi Mama Hermin yang keringatan. Lalu kucium bibirnya mesra. Dan berbisik, “Sudah orgasme Mam?”
Mama Hermin membuka kelopak matanya. Menatapku dengan sorot seperti baru bangun tidur, Dan memelukku erat – erat sambil menyahut, “Sudah Sayang… terima kasih. Setelah bertahun – tahun puasa, ternyata mama masih punya kesempatan merasakan nikmatnya digauli lelaki… semuda dan seganteng ini pula…
Aku tersenyum. Mengecup bibir sensualnya lagi. Lalu mengayun kontolku lagi, di dalam liang memek yang terasa becek. Sehinga terdengar bunyi unik dari memek Mama Hermin. Stttt… crekkkk… srttttttttt… crekkkk… stttt… crekkkkkkkkk… stttt… crekkkkkkk…
“Jadi becek mama jadi becek ya?” bisiknya sambil mendekap pinggangku lagi.
“Biar aja. Aku justru seneng memek becek yang baru orgasme gini,” sahutku tanpa menghentikan entotanku.
Mama Hermin tersenyum manis. Lalu mengusap – usap rambutku sambil berkata perlahan, “Sepertinya mama mulai mencintai Bona…”
“Kita rawat aja cintanya…”
“Terus, kalau mama kangen sama Bona gimana?”
“Ketemuan aja,” sahutku sambil melambatkan ayunan kontolku, “Mama belanja ke Jogja berapa hari sekali?”
“Biasanya sih seminggu sekali.”
“Nah… sedikitnya seminggu sekali aku bisa ngentot memek Mama yang legit ini,” ucapku sambil mulai mempercepat lagi entotanku.
Mama Hermin pun terdiam. Dan menggeliat – geliat lagi.
Mungkin fisiknya sudah pulih, sehingga bisa merasakan lagi nikmatnya gesekan kontolku yang memang berukuran di atas rata – rata ini, mungkin.
Lalu aku merasa seolah sedang melayang – layang di langit tinggi. Langit yang ketujuh kata para pujangga. Langit yang bertaburkan bunga – bunga surgawi, diiringi dentang – denting gamelan kahyangan.
Pergesekan antara kulit zakar dengan dinding liang kewanitaan wanita setengah baya itu memang membuatku lupa segalanya. Aku hanya merasa bahwa rongga di hatiku sudah bertambah satu nama lagi. Hermin jelita yang membuatku lupa daratan.
Keringat pun mulai membanjiri tubuh kami. Padahal kami sedang bergelut di dalam ruangan berAC dingin sekali.
Mama Hermin pun sudah orgasme lagi. Namun aku tetap mengentotnya dengan gairah birahi yang semakin indah… semakin nikmat.
Sampai akhirnya aku merasakan sesuatu. Bahwa aku hampir mencapai puncak kenikmatan itu, yang kebetulan berbarengan dengan orgasme ketiga mama Hermin.
Pada detik – detik indah itulah kami seolah sepasang manusia kerasukan. Saling cengkram sekuatnya, saling remas sebisanya.
Kemudian meriam pusakaku menembak – nembakkan peluru lendirnya di dalam liang memek ibunya Charlita itu. Crotcroooot… croooottttt.. crottt… croooottt… crooootttt…!
Lalu kami terkapar di pantai yang sangat indah, bernama kepuasan…
**Ang waktu berputar dengan cepatnya…
Tanpa terasa 6 bulan sudah berlalu. Dalam tempo setengah tahun itu banyak yang sudah terjadi.
Mama Hermin tidak mengedarkan pakaian ke pasar dan toko – toko lagi. Karena sudah punya toko sendiri. Toko yang tak kalah bagus daripada FO – FO di kota besar. Pakaian yang dijual pun bukan pakaian kodian lagi, melainkan pakaian yang mengikuti trend masa kini.
Mama Hermin pun tak lagi harus belanja secara rutin ke Jogja, karena ada supplier dari Bandung yang datang sendiri untuk menyimpan pakaian model terbaru. Memang dalam soal mode, Bandung selalu ngetop. Setiap hari selalu muncul model baru, yang belum ada di kota lain.
Dengan sendirinya Mama Hermin pun berubah penampilannya. Menyesuaikan diri dengan pakaian yang dijualnya. Hal itu membuatku bangga. Karena Mama Hermin jadi tampak semakin cantik di balik pakaian yang sesuai dengannya.
Tentu saja aku ikut berperan untuk memajukan usaha Mama Hermin itu. Karena aku selalu mentransfer dana untuk mengembangkan usahanya.
Namun hubunganku dengan Mama Hermin tetap dirahasiakan. Karena kami berusaha agar Charlita jangan sampai tahu. Maka semua kemasjuan yang telah dicapai oleh Mama hermin itu seolah berasal dari perjuangannya sendiri. Padahal aku berada di belakangnya.
Sementara itu insinyur pertanian untuk memimpin di lahan Mamie di Jatim dan Jateng sudah ada. Di Jatim dipegang oleh Yuniar, teman seangkatanku yang kebetulan lahir dan dibesarkan di Jatim, meski aslinya orang Sumatra. Lahan yang di Jateng, dipegang oleh teman seangkatanku yang biasa kupanggil Joko.
Kantor untuk urusan agro bisnis tetap di tempat yang tak jauh dari rumah Mamie. Tapi di Jogja aku buka kantor baru, untuk mengurus bisnis yang berasal dari dana Tante Tari. Kantor pusat urusan lahan – lahan Mamie baik yang di Jawa mau pun di luar Jawa, disatukan di kantor ini. Agar aku mudah mengurusnya kalau ada yang harus diselesaikan.
Kantor ini dibeli dengan dana Tante Tari 90% dan dana Mamie 10%. Karena urusan lahan – lahan Mamie hanya menggunakan satu ruangan. Itu pun ruangan kerjaku, karena aku tak membutuhkan asisten lagi untuk urusan lahan – lahan Mamie itu.
Sedangkan untuk urusan bisnis yang Tante Tari serahkan sepenuhnya padaku, membutuhkan sembilan ruangan, karena bisnisnya bermacam – macam (yang tak perlu dibuka satu persatu). Tentu saja aku yang memimpin semuanya itu.
Lalu bagaimana dengan ibu angkatku yang sejak kecil kupanggil Mama itu?
Nasib kandungannya ternyata malang sekali. Karena ketika kandungannya baru berusia 7 bulan, bayi di dalam perut Mama itu dinyatakan sudah meninggal, kata dokter yang merawatnya. Sehingga bayi yang sudah meninggal itu harus dikeluarkan. Untungnya Mama hanya diberi suntikan agar mulas – mulas. Kemudian bayi laki – laki yang tidak bernyawa lagi itu lahir, tanpa harus dioperasi dan sebagainya.
Aku bisa memaklumi hal itu, karena usia Mama memang sudah di atas 40 tahun. Tentu tidak mudah untuk hamil dan melahirkan di usia yang sudah tidak muda lagi itu.
Sementara itu, Mbak Rina dan Mbak Lidya sudah pada menikah. Dengan sendirinya mereka dibawa oleh suaminya masing – masing. Sehingga Mama tinggal sendirian di rumahnya yang di Subang itu.
Hal itu kusampaikan kepada Mamie. Bahwa Mama di Subang tinggal sendirian, karena anak – anaknya sudah pada kawin dan dibawa oleh suaminya masing – masing. Tentu saja masalah kehamilan Mama itu tidak kuceritakan kepada Mamie.
Maka Mamie berkata, “Kasihan juga ya. Biar bagaimana dia sangat berjasa pada kita. Kalau tidak ada dia, mamie takkan bisa terbang ke Hongkong saat itu, takkan berjumpa dengan pengusaha besar yang lalu menjadi suami mamie itu. Mama angkatmu yang membiayai kelahiranmu. Lalu merawatmu sejak bayi merah sampai dewasa.
Aku setuju kepada saran Mamie. Soal rumah, aku sudah membeli rumah di kompleks perumahan kelas menengah. Bukan di kompleks perumahan yang sudah dijadikan tempat tinggal Tante Tari dan Tante Artini itu. Aku membeli rumah itu untuk diriku sendiri. Karena terkadang aku merasa letih kalau harus pulang ke rumah Mamie.
Setelah mendengar saran Mamie, aku merencanakan rumah itu untuk tempat tinggal Mama.
Keesokan harinya aku menelepon Mama dari kantorku. Lalu :
“Hallo Sayang? Apa kabar? Sehat – sehat saja kan?”
“Sehat Mam. Mama sendiri gimana? Aku ingat terus nih sama Mama.”
“Mama juga sehat Sayang.”
“Mbak Rina dan Mbak Lidya suka nengok Mama nggak?”
“Rina kan dibawa pindah ke Palembang. Sedangkan Lidya pindah ke Jakarta. Sampai saat ini mereka belum ada yang nengokin mama, Sayang.”
“Kalau gitu Mama pindah ke Jogja aja ya. Rumah untuk Mama sudah kusediakan. Lumayan bagus kok rumahnya.”
“Mama kan punya usaha di Subang ini Sayang. Usaha mama justru sedang berkembang pesat sekarang ini. Bagaimana bisa mama tinggal di Jogja? Kalau mama kangen sama kamu, biarlah mama yang pergi ke Jogja. Tapi mama gak bisa menetap di Jogja, Bona Sayang…”
“Yaaahhh… Mama sih gitu. Padahal aku sudah berunding sama Mamie. Bahkan Mamie juga yang nyuruh aku beli rumah untuk Mama.”
“Iya. Terima kasih atas perhatian kamu dan mamiemu itu. Tapi mama bener – bener gak bisa ninggalin Subang Sayang.”
Aku pun memutar kata – kata yang intinya ingin agar Mama menetap di Jogja, tapi hasilnya nihil. Mama tetap tak mau pindah ke Jogja. Meski Mama merasakan kesepian di Subang, Mama akan memaksakan diri untuk terbiasa dengan suasana sepi itu.
Bersambung…