Sehingga akhirnya aku menyerah. Kalau ingin memperlihatkan rasa sayangku padanya, mungkin harus transfer duit aja sebulan sekali. Tak ada jalan lain, karena kalau aku diminta pindah ke Subang pun takkan bisa.
Karena itu rumah yang akan direlakan untuk tempat tinggal Mama, akhirnya kupakai sendiri. Karena menurut seorang pakar bisnis, tiap pelaku bisnis harus menyediakan waktu sedikitnya 1 atau 2 jam untuk menyendiri dan merenungkan segala langkah bisnisnya, tanpa gangguan apa pun.
Sementara itu baik Tante Tari mau pun Tante Artini belum ada yang hamil. Padahal aku sudah “serajin mungkin” menggauli mereka. Bahkan aku dan Tante Tari pernah memeriksakan diri ke dokter. Jawaban dari dokter itu, “Dua – duanya normal. Sabar aja ya.”
Begitulah secara singkat tentang segala yang telah terjadi pada diriku dan orang – orang yang dekat denganku selama 6 bulan itu.
Sampai pada suatu hari…
Siang itu aku mau meninggalkan kantor, karena ada sesuatu yang harus kuurus di tempat lain. Namun ketika aku baru tiba di ambang pintu ruang kerjaku, tampak seorang gadis berkulit putih bersih dan berperawakan tinggi langsing tapi padat dan berisi, mengenakan celana dan baju yang sama – sama terbuat dari bahan blue jeans.
Ternyata dia Yuniar, teman seangkatanku yang kutugaskan untuk mengelola lahan Mamie yang di Jatim itu.
“Selamat pagi Boss,” ucap Yuniar sambil menjabat tanganku dengan sikap agak formal.
“Wow… kirain siapa, “sambutku sambil memeluk pinggang Yuniar, lalu cipika – cipiki dengannya. “Setelah tinggal di Jatim lagi, kamu jadi tambah cantik Yun.”
“Masa sih?! “Yuniar tersipu, “Tapi aku sedang ada masalah Boss.”
“Mmm… ayo duduk dululah,” kataku sambil menuntun Yuniar ke ruang tamu.
“Ada masalah apa?” tanyaku setelah Yuniar duduk di sofa ruang tamu kantor.
“Aku melarikan diri nih dari rumah ortu.”
“Ohya? Emangnya ada apa?”
“Mau dijodohin sama lelaki yang sudah tua. Cuma mau dijadiin bini muda pula. Gila kan?”
“Hahahahaa… kalau kaya raya kan nggak apa – apa.”
“Aaah… cuma punya mobil satu. Di zaman sekarang tukang bikin tempe juga bisa beli mobil lebih dari satu.”
“Terus… kamu tinggalkan tugasmu di lahan yang kupercayakan padamu?”
“Sudah ditanami bibit semua secara teratur sekali. Sekarang tinggal bersihkan rumput liarnya doang Boss. Pekerjaan itu kan bisa diberikan kepada buruh. Sekarang aku membutuhkan perlindunganmu Bon,” ucap Yuniar yang tiba – tiba menangis terisak – isak sambil memeluk dan merapatkan wajahnya ke dadaku.
Aku pun mengusap – usap punggungnya sambil berkata lembut, “Tiada masalah yang bisa diselesaikan dengan menangis. Coba katakan apa yang bisa kubantu agar kamu bisa merasa tenang dan nyaman?”
“Tolong sembunyikan aku Bon. Aku takut dipaksa pulang lalu dikawinkan dengan lelaki yang lebih pantas jadi ayahku itu… hikssss… hiksss…”
Aku berpikir sejenak. Dan langsung memutuskan untuk menyembunyikan Yuniar di rumah yang tadinya untuk tempat tinggal Mama itu. Tapi aku lalu teringat sesuatu. Maka kataku, “Kalau aku menyembunyikan kamu, aku bisa dituduh menculik anak orang. Itu bisa dipidana, Yun.”
“Aku bilang kantor pusatku di Jakarta. Bukan di Jogja. Jadi seandainya orang tuaku melapor kepada polisi pun, pasti aku akan dilacak di Jakarta. Bukan di Jogja. Lagian, seandainya pun aku ketahuan, aku akan membelamu habis – habisan nanti. Yang penting aku sembunyikan Bona yang baik… hiks…”
Tanpa berpikir panjang lagi, Yuniar kubawa ke rumah itu. Rumah yang di sana sini sedang diperbaiki oleh pemilik lamanya, tapi banyak yang belum selesai renovasinya. Sementara aku pun belum sempat memanggil tukang bangunan untuk melanjutkan renovasi yang belum selesai itu.
Tapi di bagian dalamnya, rumah itu bagus dan bersih. Furniture dan perabotan rumahnya pun sudah lengkap. Sehingga Yuniar langsung merasa nyaman setelah berada di dalam rumah itu.
“Di rumah ini Bona tinggal sendirian?” tanyanya sambil mengamati keadaan di dalam rumah ini.
“Iya,” sahutku, “Tapi seringnya aku tidur di rumah mamieku, agak jauh dari Solo, di pedesaan.”
“Aaah… kalau tinggal sendirian di rumah segede ini, aku takut Bon. Terutama pada waktu malam. Kalau siang – siang sih gak apa – apa,” ucap Yuniar sambil memegang kedua pergelangan tanganku, sambil menatapku dengan sorot memohon.
“Nanti kupertimbangkan dulu ya. Sekarang mandi dulu gih sana. Perjalanan dari Jatim ke sini kan jauh. Pasti banyak debu yang menempel di tubuhmu.”
“Mumpung Bona sedang ada di sini, temenin aku mandi sekalian yuk.”
“Mmmm?! Memang aku juga belum mandi sore nih.”
“Ya ayolah temenin aku mandi.”
“Nanti kalau aku tergiur melihatmu telanjang gimana?”
“Apa pun yang Bona inginkan dariku, akan kuberikan. Asalkan aku disembunyikan dan dilindungi di sini.”
“Serius nih?”
“Sangat serius,” sahutnya sambil mengangguk dan tersenyum manis sekali.
Sebenarnya Yuniar jarang sekali tersenyum. Sikapnya sering kelihatan formal. Tapi justru itulah yang kusukai, sehingga aku menempatkannya di Jawa Timur.
Ya, Yuniar tidak pernah sembarangan tersenyum, apalagi tertawa. Dengan kata lain, dia sosok berwibawa di mataku, sehingga kuanggap cocok untuk menjadi pemimpin di lahan Mamie yang di Jatim itu.
Dan kini Yuniar sudah mengikuti langkahku, masuk ke dalam kamar mandi ysng sudah ditata secara modern, namun tidak semewah kamar mandi rumah Mamie atau rumah Tante Tari.
Di dalam kamar mandi, Yuniar melepaskan busananya sehelai demi sehelai. Sehingga tinggal beha dan celana dalam saja yang masih melekat di badannya. Sementara aku sendiri sudah tinggal mengenakan celana dalam saja, karena sudah mau mandi juga. Dan setelah melepaskan behanya, Yuniar menutupi sepasang toketnya dengan kedua telapak tangannya sambil tersipu – sipu malu.
Namun aku menepiskan kedua tangannya itu, sehingga sepasang toketnya pun tampak di mataku. Dan… aduh maaaak… toket Yuniar ternyata gede… tak kalah indah dengan toket Charlita…!
Hasratku mendadak bangkit. Ketika Yuniar sedang melepaskan celana dalamnya, aku melangkah ke belakangnya. Lalu menggenggam kedua toketnya dengan kedua tanganku sambil berkata, “Gak nyangka toketmu luar biasa indahnya…”
Yuniar tidak menyahut. Sementara celana dalamnya sudah dilepaskan dari kakinya. Sehingga aku memindahkan tanganku ke bawah perutnya, ingin memegang sesuatu yang belum kelihatan karena aku masih berdiri di belakangnya.
Kusentuh rambut pendek – pendek sekali di bawah perut Yuniar. Kompak dengan Charlita, sama – sama berjembut tapi digunting rapi dengan model “cepak”.
“Katanya mau mandi…” ucap Yuniar tanpa menoleh padaku.
Tak kujawab. Bahkan bertanya, “Ini jembutnya dicukur di mana? Di salon?”
“Aaaah… guntingin sendiri aja. Masa ke salon cuma buat nyukur jembut.”
“Zaman sekarang kan musim di-waxing.”
“Iya sering denger. Malah sekarang ada yang baru lagi, pakai laser. Gak ada kerjaan, jembut – jembut aja diurusin.”
“Sepertinya kamu masih perawan Yun.”
“Ya iyalah. Bona lihat sendiri waktu masih kuliah, kapan aku suka dekat dengan cowok?”
“Kebayang enaknya… “gumamku.
“Apanya yang enak?”
“Memekmu ini… pasti enak sekali… masih perawan pula.”
“Iiih… kirain apaan…”
Aku ketawa kecil sambil melepaskan celana dalamku. Kemudian memutar keran shower air hangat.
Shower di atas kepala kami pun memancarkan air hangat ke kepala dan tubuh kami.
Yuniar berkali – kali memandang serius ke arah kontolku yang sudah ngaceng ini. Bahkan lalu seperti penasaran, digenggamnya kontol ngacengku sambil bertanya, “Nanti malam mau nemenin aku di sini kan?”
“Upahin sama memekmu ya,” sahutku bercanda.
“Sekujur tubuhku akan kupasrahkan padamu, asalkan kehadiranku di sini dirahasiakan dan dilindungi. Daripada dijadikan mangsa lelaki tua itu, mendingan kukasihkan pada teman lamaku yang sekarang sudah jadi bossku ini,” kata Yuniar sambil mendekap pinggangku, sehingga kontolku terasa bertempelan dengan memeknya.
Setelah selesai mandi, kubawa Yuniar ke dalam kamar yang biasa kupakai.
Kebetulan aku punya burger yang kusimpan di dalam kulkas. Lalu kukeluarkan burger – burger itu dan kupanaskan di dalam microwave. Seolah memberi contoh kepada Yuniar, bagaimana caranya kalau dia sedang lapar nanti. Karena di kamarku ada kulkas dan microwave. Di dalam kulkas pun banyak makanan dan soft drink yang bisa dinikmati pada saat lapar dan malas ke luar rumah.
Yuniar tampak senang melihat fasilitas sederhana yang bisa dimanfaatkan dalam masa persembunyiannya.
“Kalau berduaan terus begini, pasti akhirnya akan terjadi sesuatu di antara kita,” kataku sambil rebahan setelah menyantap burger bersama Yuniar.
Yuniar yang sudah mengenakan kimono wetlook putih, merebahkan diri di sampingku. Dan menyahut, “Aku sudah siap untuk diapakan juga. Bahkan untuk hamil pun aku siap.”
“Wah, jangan hamil dulu.”
“Kenapa?”
“Kalau kamu hamil, aku harus menikahimu. Sedangkan aku sudah punya calon istri,” ucapku berbohong. Padahal aku belum tahu siapa yang akan kujadikan calon istriku.
“Nikah siri kan bisa. Pokoknya dijadikan simpananmu juga aku mau.”
“Terus pekerjaanmu gimana? Mau resign?”
Yuniar menghela nafas panjang. Lalu berkata lirih, “Sebenarnya aku sangat mencintai tugas yang diberikan padaku itu. Apalagi sekarang, tanah ibumu itu sudah tertata dengan rapi. Dalam tempo singkat saja akan kelihatan menghijau. Sekarang sudah mulai musim hujan pula. Tanpa disirami pun pepohonan yang kutanam akan berkembang subur.
“Kalau kamu mengaku sudah punya pacar, orang tuamu bisa menerima?”
“Entahlah. Otakku masih blank. Tapi kalau mengaku sedang hamil, mungkin mereka akan menerima.”
Sebenarnya aku sudah semakin tertarik pada Yuniar, karena setelah diperhatikan dari dekat, dia itu cantik. Tapi aku belum bisa memutuskan apa – apa sebelum membuktikan keperawanannya.
Hal ini penting. Meski aku tidak perjaka lagi, tapi lelaki itu bersifat “membuang”. Sementara wanita bersifat “menyimpan”. Karena itu tidak mengherankan kalau ada kata – kata mutirara yang berbunyi
“Lelaki berbuat nista seribu kali, dunia masih tersenyum. Tapi wanita berbuat nista sekali saja, dunia akan menangis dibuatnya”.
Ya… karena wanita bersifat “menyimpan” itu.
Dan kini aku ingin membuktikan siapa sebenarnya Yuniar ini. Dia memang teman seangkatan denganku. Tapi aku belum tahu banyak mengenai kepribadiannya.
“Seandainya aku menjadi milikmu, aku merasa bangga, meski tidak menikah secara sah,” kata Yuniar pada suatu saat, sambil memegang tanganku dan meremasnya dengan lembut. Saat itu aku pun mengenakan kimono, yang terbuat dari bahan handuk berwarna biru muda.
“Kenapa merasa bangga meski cuma kujadikan simpanan?” tanyaku sambil merayapkan tanganku ke balik kimono Yuniar yang aku tahu tidak mengenakan beha maupun CD di balik kimono
“Aku mau jujur ya,” ucapnya sambil menatap langit – langit kamarku, “Sebenarnya sejak kita masih sama – sama kuliah, aku sudah punya perasaan suka padamu Bon.”
“Ohya?” cetusku pada saat tanganku mulai menyentuh jembut Yuniar.
“Iya. Tapi kamu kan seperti tidak mau didekati cewek. Mungkin karena sudah punya calon istri itu.”
“Terus?”
Yuniar malah memejamkan matanya sambil berkata, “Ooooh Bona… kalau memekku dijamah dan dicolek – colek gini… aku jadi pengen merasakan di… disetubuhi olehmu…”
“Kan memang juga aku akan menyetubuhimu. Tapi kalau kontolkju langsung dimasukkan ke dalam tempikmu, pasti kamu kesakitan. Makanya harus pelan – pelan dulu,” ucapku sambil melepaskan tali kimono Yuniar dan merentangkan kedua sisinya, sehingga bagian depan tubuh teman seangkatanku itu terbuka sepenuhnya.
Aku berpikir sesaat. Kemudian turun dari bed, mengambil lotion dari atas meja kertjaku. Dan kembali lagi ke arah Yuniar.
“Buat apa lotion itu Bon?” tanya Yuniar sambil menanggalkan kimononya.
“Buat pelumas… supaya liang memekmu licin,” sahutku sambil mendekatkan lotion itu ke memek Yuniar yang sudah celentang lagi.
“Memekmu banyak jembutnya. Kalau dicukur habis atau digunting pendek – pendek, dijilatin dulu juga bisa,” kataku sambil menyemprotkan lotion itu ke memek Yuniar.
“Kalau mau plontos, besok deh kucukur habis jembutnya,” ucap Yuniar sambil tersenyum.
“Kamu kalau sedang tersenyum, kelihatan cantiknya. Kenapa sih kamu jarang sekali tersenyum?” tanyaku.
“Gak tau Bon… sejak kecil aku terbiasa serius. Jadi nyaris gak ada yang bisa membuatku tersenyum, apalagi ketawa. Tapi untuk Bona… akan kuusahakan sering tersenyum deh,” sahutnya sambil tersenyum manis. Manis sekali senyum Yuniar itu.
“Naaah… kalau begitu kan kelihatan sekali cantiknya kamu ini,” ucapku yang kulanjutkan dengan menyemprotkan lotion sebanyak mungkin ke memek Yuniar. Bahkan celah menuju lubang sanggamanya pun kusemprot dengan lotion sebanyak mungkin.
Dalam tempo singkat aku yakin bahwa memek Yuniar sudah siap untuk dipenetrasi oleh kontolku yang sudah ngaceng berat ini.
Lalu kudorong sepasang paha Yun agar merenggang selebar mungkin. setelah mengusap – usap memeknya, agar lotion merata di setiap yang akan dimasuki kontolku, maka kuletakkan moncong kontolku tepat di belahan memeknya yang kelihatan sudah merah itu. Tanganku juga ikut campur meraba – raba memek bagian dalam Yun.
Lalu aku mengumpulkan tenaga dengan menarik nafas panjang beberapa kali. Dan kudorong kontolku sekuat tenaga. Langsung masuk sedikit demi sedikit…!
Aku pun merapatkan dadaku ke dada Yuniar. Yang disambutnya dengan pelukan di leherku diiringi bisikan, “Kalau Bona tau… sudah lama aku memimpikan hal ini Bon…”
Lalu dipagutnya bibirku ke dalam lumatannya, sementara kontolku mulai kugerakkan sedikit demi sedikit, dengan hati – hati pula agar jangan sampai terlepas dari liang memek Yun yang luar biasa sempit menjepitnya ini.
Awalnya gerakan kontolku terasa seret sekali. Tapi lama – lama liang sempit itu menyesuaikan diri dengan ukuran kontolku, sehingga aku pun mulai lancar mengentotnya.
“Bona… oooh… obsesiku jadi kenyataan… luar biasa indahnya Boon… sekarang sekujur tubuh dan batinku sudah menjadi milikmu Bona… oooooh… Booonaaa… ini luar biasa indahnya Booon…”
Mulutku pun mulai aktif menjilati lehernya disertai gigitan – gigitan kecil yang tidak menyakitkan. Sehingga Yun semakin menggeliat, mendesah dan merintih – rintih histeris, “Booonaaaa… aaaaa… ssuuuhhhh… faaahhhh… Booonaaaa… ternyata lu… luar biasa indahnya sssseee… semua ini Booon…
Aaa… aku… aku… mencintaimu Booon… jangan buang aku nanti ya Booon… aku cinta kamuuu… cintaaaa Booon… cintaaaa kamuuuu… sudah bertahun – tahun aku kagum padamu… dan sekarang bukan kagum lagi… sekarang aku cintaaaa… cinta padamu Booon… dengan segenap jiwakuuuu… dijadikan budak cintamu juga aku maaaauuuu …
Aku mendengarkan semua ocehan histerisnya itu. Namun mulutku sedang berpindah sasaran. Mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya.
Yuniar pun semakin klepek – klepek dibuatnya. Terlebih ketika aku mencium bibirnya, Yun langsung melumat bibirku dengan lahapnya.
Diam – diam aku membanding – bandingkan Yuniar dengan perempuan – perempuan lain yang pernah kugauli. Dan aku yakin… bahwa Yuniar ini yang paling enak di antara semua perempuan yang pernah kugauli. Sehingga aku merasa harus menyayanginya. Dan harus mempertimbangkan ke depannya kelak. Bukan sekadar melampiaskan nafsu birahi semata.
Dan… pada waktu aku sedang gencar – gencarnya mengentot, aku menarik kontolku sampai terlepas. “Uff… lepasss… gak disengaja,” ucapku pura – pura tak sengaja mencabut kontolku. Padahal aku ingin menyelidik sesuatu di bawah memek Yuniar. Darah perawan itu… Ya… setelah menyaksikan darah perawan itu, perasaanku jadi semakin luluh.
Kemudian kubenamkan lagi kontolku ke dalam liang memek Yuniar yang luar biasa enaknya ini.
“Kamu benar – benar masih perawan sebelum kumasukkan kontolku ke dalam liang memekmu,” ucapku sambil merapatkan pipiku ke pipi Yuniar.
“Ya iyalah… pacaran aja aku belum pernah. Mana bisa hilang virginitasku…” sahut Yuniar disusul dengan ciuman mesranya di bibirku. “Ini juga kalau bukan sama Bona sih takkan kuserahkan kesucianku.”
“Memangnya aku sebegitu istimewanya bagimu Sayang?” tanyaku sambil mencolek bibirnya yang sebenarnya sensual itu.
“Sangat penting… karena baru sekali ini aku merasakan cinta. Jadi… Bona adalah cinta pertamaku… semoga jadi cinta terakhir juga… ooooo… oooooohhhhh… Boooon… ini jadi enak lagi… ooooo… ooooooh…” ucapan Yuniar dilanjutkan dengan rintihan – rintihan histerisnya, karena kontolku sudah mulai mengentot liang memeknya lagi.
Mulutku pun mulai beraksi. Ketika tangan Yuniar direntangkan, kuserudukkan mulutku ke ketiaknya. Lalu menjilati ketiak yang harum deodorant itu, disertai dengan gigitan – gigitan kecil dan sedotan – sedotan kuat.
Yuniar pun semakin menggelepar – gelepar bersama rengekan dan rintihan histerisnya. “booon… ooooohhhhh… Boooon makin lama makin indah dan nikmat Booon… mungkin inilah yang disebut surga dunia Booon… oooo… ooooohhhhh… Boooon…”
“Ya, kita memang sedang berada di surga dunia Sayang,” sahutku terengah, tanpa menghentikan entotanku.
“Oooo… oooo… oooooh… benarkah Bona sayang padaku?”
Kucium bibir sensual Yuniar, lalu berkata terengah, “Aku… harus… menyayangi dsn melindungi cewek yang… telah menyerahkan kesuciannya padaku…”
“Ooooh… aku bahagia sekali mendengarnya…” ucap Yuniar disusul dengan ciumannya yang bertubi – tubi di pipi dan di bibirku.
Aku pun menggencarkan entotanku kembali. Maju mundur dan maju mundur terus di dalam jepitan liang memek Yuniar yang luar biasa sempitnya ini.
Aku bisa memperpanjang durasi entotanku. Tapi aku tak mau menyiksa Yuniar yang baru sekali ini merasakan disetubuhi. Karena itu ketika Yuniar berkelojotan sambil mendesah – desah… aku pun semakin mempercepat entotanku, dengan tujuan agar ejakulasiku berbarengan dengan orgasmenya Yuniar.
Maka pada suatu saat, ketika Yuniar mengejang tegang, kontolku pun menancap di liang memekya tanpa kugerakkan lagi.
Lalu kami seperti kerasukan. Saling cengkram dan saling remas dengan nafas sama – sama tertahan.
Lalu nafasku berdengus – dengus dengan kontol mengejut – ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku di dalam liang memek Yuniar yang juga tengah berkedut – kedut.
Croooottttt… crottt… crooootttt… croootttttt… crotttttt… croooooootttt… crooootttt…!
Kami pun terkapar dengan tubuh bermandikan keringat.
Lalu sama – sama terkulai di pantai kepuasan.
Ketika malam semakin larut, Yuniar merengek ingin disetubuhi sekali lagi. Aku pun mengabulkannya. Karena nafsuku memang sudah bangkit lagi.
Tapi dalam ronde kedua ini durasiku lumayan panjang. Sehingga Yuniar lebih dari dua kali orgasme. setelah dia tampak kepayahan, barulah aku berejakulasi.
Setelah bersih – bersih di kamar mandi, kami pun tertidur nyenyak sambil berpelukan.
Esoknya aku bangun kesiangan.
Ketika aku terbangun, aku tertegun melihat Yuniar sudah berubah 180 derajat. Memang dia masih mengenakan baju kaus dan celana pendek yang serba biru muda. Baju dan celana pendek yang dikenakannya waktu tidur semalam. Tapi wajahnya sudah bermake-up, meski cuma make-up tipis. Bibir sensualnya pun sudah dipolesi lipstick, juga cuma polesan tipis.
“Nah… kalau sedang tersenyum begitu, kamu cantik sekali Yun, “pujiku sambil membiarkan bibir sensualnya mencium sepasang pipiku.
“Sebenarnya aku ini anak broken home sejak ibuku meninggal dunia, pada waktu usiaku baru sepuluh tahun. Kemudian ayahku menikah lagi dengan seorang gadis yang usianya hanya lebih tua enam tahun dariku. Mungkin sejak saat itulah aku sangat jarang tersenyum,” kata Yuniar sambil menunduk.
“Berarti sekarang ibu tirimu baru berusia tigapuluh tahun?” tanggapku.
“Iya.”
“Apakah ibu tirimu galak seperti anjing boxer?” tanyaku.
“Galak sih nggak. Mmm… dia baik kok. Bahkan terkadang dia lebih baik daripada Papa. Tapi sebaik – baiknya ibu tiri, tentu takkan sebaik ibu kandung. Yah, minimal aku tidak bisa merasakan lagi pelukan hangat seorang ibu…”
Lalu Yuniar menceritakan pengalaman masa kecilnya. Bahwa ketika pulang dari sekolah, ia ikut ke rumah temannya. Begitu temannya tiba di rumah, temannya disambut dengan pelukan dan ciuman ibunya. Sering Yuniar melihat temannya diperlakukan sepoerti itu oleh ibunya. Sementara Yuniar sendiri?
Yuniar tidak pernah dimarahi apalagi dipukul oleh ibu tirinya. Tapi Yuniar tidak pernah dipeluk dan diciumi seperti perlakuan ibu kandung terhadap teman Yuniar itu. Padahal waktu ibu kandungnya masih hidup, Yuniar selalu disambut dengan pelukan dan ciuman sayang juga, seperti temannya itu.
Itulah sebabnya Yuniar menganggap sebaik – baiknya ibu tiri, takkan sebaik ibu kandung.
Selain daripada itu, ada hal yang tidak disukai oleh Yuniar. Pada waktu ibunya masih hidup, ayah Yuniar selalu dominan sebagai pemimpin di rumahnya. Tapi setelah ibunya meninggal dan ayahnya kawin lagi, keadaan menjadi sebaliknya. Ibu tirinya yang kelihatan berkuasa di rumahnya. Dalam hal apa pun ayahnya selalu mengalah.
Semua itu diamati oleh Yuniar sejak kecil sampai dewasa.
“Mungkin hal itulah yang membuatku jarang tersenyum, apalagi ketawa,” ucap Yuniar di akhir penuturannya. “Tapi sejak saat ini aku akan berusaha berubah, karena aku sudah jadi milikmu… cowok yang kudambakan sejak semester pertama waktu masih kuliah dahulu.”
“Apakah kamu merasa bahagia setelah menjadi milikku sekarang.” tanyaku sambil mendekap pinggang Yuniar.
“Sangat bahagia. Nih lihat… apa yang Bona inginkan sudah kulakukan,” kata Yuniar sambil melepaskan celana pendeknya. Lalu berlutut di lantai sambil melepaskan celana dalamnya.
‘Sudah bersih sekarang kan?” Yuniar menatapku dengan senyum manis. Sementara aku terlongong setelah memperhatikan memeknya yang sudah bersih dari jembut. Bersih sekali.
“Hahahaaaa… “aku tergelak – gelak ketawa, sambil mendekap pinggangnya. Lalu mengangkatnya ke atas bed.
“Kalau sudah bersih begini, enak jilatinnya,” kataku sambil mengusap – usap memek Yuniar yang sudah bersih plontos itu. “Tapi aku mau mandi dulu ya. Kamu sudah mandi?”
“Sudah dari tadi, begitu bangun langsung mandi. Ohya… itu ada toaster dan rotinya juga. Mau dibikinin roti bakar buat sarapan?”
“Boleh,” sahutku, “tapi yang terpenting harus ada kopi. Kopi hitam aja, jangan pakai apa – apa lagi.”
“Gula sih pakai kali ya?”
“Jangan. Aku senang kopi pahit Sayang.”
“Mmmm… bahagianya hatiku kalau sudah dipanggil sayang sama kamu Bon… “Yuniar memejamkan matanya sambil mengelus – elus telapak tanganku.
“Ya udah aku mau mandi dulu ya,” ucapku sambil turun dari bed.
“Iya, aku mau nyiapkan sarapan buat pangeranku,” sahut Yuniar sambil turun dari bed juga.
Sementara aku langsung masuk ke dalam kamar mandi.
Pada waktu sedang mandi, aku memikirkan masalah Yuniar itu. Sebenarnya dia sudah memenuhi kriteriaku untuk menjadi calon istriku. Terlebih lagi kalau aku mengingat pepatah, “Carilah pasangan yang mencintaimu, jangan hanya sekadar yang kamu cintai…”
Dan aku percaya bahwa Yuniar sangat mencintaiku. Tapi aku tak mau terburu – buru. Aku belum tahu karakter dia yang sebenarnya. Latar belakang keluarganya pun harus kuselidik dahulu lebih jauh. Karena sekalinya aku melangkah maju, pantang untuk surut lagi ke balakang.
Selesai mandi dan berpakaian casual, aku duduk di atas sofa ruang keluarga. Karena roti bakar keju dan secangkir kopi panas sudah dihidangkan di situ.
Tak lama kemudian Yuniar pun muncul dan duduk merapat ke samping kiriku, dengan senyum manis di bibir sensualnya lagi. Mungkin dia sedang melatih untuk tersenyum terus manakala berdekatan denganku.
Lalu ia merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku, sambil berkata setengah berbisik, “Abis sarapan, main lagi ya.”
“Main apa? Pengen dientot lagi?” tanyaku sambil menggelitik pinggangnya.
“Iya. Kan jembutku sudah dicukur abis. Harus dicobain apa bedanya berjembut dengan tidak.”
“Buatku sih yang berjembut dan yang botak punya kelebihan masing – masing. Jadi… sama aja enaknya.”
“Pasti ada bedanya lah.”
“Mmm… kalau digundulin, memang enak ngejilatinnya. Kalau gondrong kan bisa ada jembut bisa nyangkut di gigi.”
“Hihihiiii… pengen nyobain kayak apa sih memek dijilatin…”
“Dahulu orang bule banyak yang pelihara anjing, lalu dilatih untuk menjilati memek majikannya. Tapi sekarang manusia yang jilatin memek,” kataku sambil menarik pinggang Yuniar, agar dia duduk di atas kedua pahaku.
Setelah Yun duduk di atas pangkuan, tanganku langsung menyelinap ke balik celana pendeknya yang longgar dan… langsung menyentuh memeknya yang baru habis dicukur itu.
“Bekas kemaren sore, sakit nggak?” tanyaku.
“Nggak, “Yuniar menggeleng.
“Hebat. Kamu memang bukan cewek cengeng.”
Lalu aku bangkit sambil membopong tubuh Yuniar, menuju ke dalam kamar.
Ketika aku mulai menjilati memeknya, Yuniar pun mulai menggeliat – geliat. Sambil meremas – remas kain seprai yang baru diganti olehnya dengan kain seprai bersih pada waktu aku sedang mandi tadi.
Terlebih ketika aku mulai menjilati itilnya, Yuniar pun mulai mengusap – usap rambutku sambil mendesah – desah, “Booon… aaaaaa… aaaaah… Booon… dijilatin gini… fantastis sekali Booon… sama aja enaknya dengan dientot… aaaaa… aaaaah… Booonaaaa… aku… aku jadi semakin dalam mencintaimu Booon …
Aku semakin gencar menjilati itilnya sambil sesekali kusedot – sedot bagian yang cuma sebesar kacang kedelai itu.
“Adududuuuuhhh… Boooon… kok rasanya aku… aku mau orgasme Booon… gimana Boon?’ ri ntih Yuniar pada suatu saat.
“Lepasin aja… kalau mau orgasme… lepasiiin…” ucapku sambil menghentikan jilatanku. Tapi lalu menjilati itilnya kembali lebih lahap… juga kusedot – sedot, sampai itilnya kelihatan agak “mancung”.
“Boonaaaaa… Bonaaaaa… aaaaaaaaah… Booonaaaa… “Yuniar memekik – mekik tertahan, sambil mengepak – ngepak kasur, seperti burung patah sayapnya, ingin terbang tapi tak bisa.
Yuniaar berkelojotan. Sampai akhirnya ia mengejang tegang. Pada saat yang sama, kubenamkan kontol ngacengku ke dalam liang memeknya… blesssss… aku memang ingin merasakan nikmatnya menghayati liang memek yang sedang orgasme.
Pada saat itulah Yuniar meremas p- remas bahuku sambil menahan nafasnya. Kemudian kurasakan liang memeknya berkedut – kedut erotis. Nikmat… nikmat sekali merasakan liang memek yang tengah bergerak – gerak spontan seperti ini.
“Oooooh… Booonaaaa… kok baru dijilatin aja luar biasa enaknya Bon…”
“Terus, gak pengen dientot sama kontolku?” tanyaku sambil mempermainkan pentil toket Yuniar.
“Maaauuu… tapi sebentar… istirahat dulu… masih pada ngilu – ngilu nih… mmm… sekujur tubuhku sudah menjadi milikmu… hatiku juga sudah menjadi milikmu. Tapi… bisakah Bona menjadi milikku?”
“Bisa… tapi aku punya banyak perempuan yang menyangkut bisnisku. Sehingga aku harus membagi waktu dengan semuanya.” Ngocoks.com
“Perempuan menyangkut bisnismu?”
“Iya. Aku takkan seperti ini kalau tidak ada mereka. Kamu mengerti apa maksudku kan?”
“Iya, iya, iyaaa… gak apa – apa. Aku hanya ingin nikah siri denganmu, lalu hamil… aaaah… betapa bahagianya hatiku kalau bisa mengandung anakmu kelak.”
“Bisa… itu bisa. Memangnya kamu sudah siap untuk menjadi seorang istri dan seorang ibu?”
“Kalau sama kamu… aku sangat siap menjadi seorang istri Bon.”
“Meski pun kamu bukan satu – satunya istriku?”
“Iya. Yang penting aku bisa ikut memilikimu seumur hidupku…”
Tiba – tiba handphone Yuniar berdering, sehingga memutuskan percakapan kami berdua.
Dengan susah payah Yuniar meraih hanphone yang tergeletak di atas meja kecil dekat bed, sementara kontolku masih menancap di liang memeknya dan belum digerakkan sama sekali.
Begitu melihat layar ponselnya, Yuniar berseru perlahan, “Dari Mama…!”
“Dari mama tirimu?” tanyaku.
“Iya. Gimana ya? Angkat jangan?” tanya Yuniar tampak bimbang.
“Terima aja. Keluarin suaranya biar aku bisa ikut dengar,” kataku, “Bilang aja kamu sedang bersama calon suamimu.”
Sambil celentang, dengan memek masih menjepit konyolku, Yuniar membuka call dari ibu tirinya itu.
“Hallo Mam…”
“Yun… kamu sebenarnya di mana sekarang?”
“Jauh dari kampung Mam.”
“Iya di mana? Kamu gak sayang ya sama mama dan papamu? Sekarang Papa sakit tuh, gara – gara kamu kabur dari rumah.”
“Iya, tapi kalau Papa dan Mama berkeras mau menjodohkanku dengan lelaki tua bangka itu, aku takkan mau pulang. anggap aja aku sudah mati Mam.”
“Sayang… kamu gak boleh ngomong gitu. Soal rencana perjodohanmu itu, biar nanti mama yang desak Papa supaya jangan memaksamu. Sekarang katakan dong, di mana kamu berada? Mama akan menyusulmu, karena mama kuatir… takut terjadi apa – apa padamu.”
“Aku di rumah calon suamiku Mam.”
“Calon suami siapa? Kok tiba – tiba kamu mengaku punya calon suami segala?”
“Iya Mam. Dia siap untuk menikah denganku, asalkan lewat nikah siri dulu. Karena dia juga sudah dijodohkan oleh orang tuanya, tapi dia inginnya menikah denganku.”
“Kalau mama boleh tau, siapa calon suamimu itu? Apa pekerjaannya?”
“Dia bossku Mam. Pemilik perkebunan yang sedang kugarap itu.”
“Ohya?! Bisa mama ngomong sama dia sekarang?”
Yuniar menatapku sambil memberi isyarat, seolah bertanya apakah aku mau menerima keinginan mama tirinyua untuk berbicara denganku?
Aku mengangguk sambil menengadahkan telapak tanganku. Yuniar pun meletakkan hapenya di telapak tanganku. Lalu aku berkata di dekat handphone Yuniar, “Selamat pagi Bu.”
“Pagi. Maaf ya… apa benar yang berbicara ini pemilik perkebunan tempat Yuniar bekerja?”
“Betul. Ada yang bisa kubantu?”
“Anda kan tadinya teman kuliah Yuniar. Betul?”
“Betul.”
“Bisakah Anda menjawab secara gentleman, di mana sekarang Anda dan Yuniar berada?”
“Di Jogja Bu.”
“Bisa aku ke tempat Anda untuk menemui Yuniar besok?”
“Kalau niat Ibu baik, silakan. Kami akan menerima kedatangan Ibu dengan kedua tangan terbuka.”
“Tentu aja dengan niat baik. Besok aku akan ke Jogja. Bisa Anda dan Yuniar menjemput di stasiun kereta api?”
“Bisa. Telepon aja kalau keretanya sudah dekat Jogja.”
Sepertinya aku sudah bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Yuniar. Tapi Yuniar malah menatap langit – langit kamar sambil berkata, “Kalau mau jemput ke stasiun, bisa Bona sendiri aja yang jemput?”
“Lho kenapa gitu?” tanyaku heran.
“Aku takut Papa datang… bawa teman – temannya yang biasa mendukung di belakang. Lalu aku dibawa dengan paksa ke Madiun. Kalau bisa, aku sih dimunculkan setelah keadaan benar – benar udah clear aja Bon.”
“Kalau mau clear sekali, kamu ngumpet di kantorku aja. Di ruang kerjaku ada bed dan kamar mandi segala. Gimana?” tanyaku.
“Iya, itu lebih baik. Nanti kalau sudah benar – benar clear, call aku aja. Dan aku akan secepatnya ke sini.”
“Iya. Nanti bilang aja kamu lagi ada tugas yang harus diselesaikan dulu di luar kota. Terus kasihkan nomor hapeku ke ibu tirimu. Ohya… nama ibu tirimu itu siapa?”
“Fience. Kalau Papa sih manggilnya Fien aja.”
Obrolan serius itu, membuat kontolku melemas sendiri di dalam liang memek Yuniar. Tapi kupaksakan juga agar ngaceng kembali.
Memang berhasil tegang dan siap tempur lagi. Tapi suasana perasaan masih galau, sehingga aku tidak bisa menikmati persetubuhan ini secara sempurna.
Biarlah, yang penting sudah ngecrot. Lalu aku turun dari tempat tidur, dengan pikiran masih bercampur aduk.
Keesokan harinya, pagi – pagi sekali Yuniar mendapat call dari ibu tirinya, mengatakan bahwa sang Ibu Tiri sudah berada di jalan menuju Jogja. Pada saat itulah Youniar berkata, bahwa ada masalah pekerjaan yang mendadak dan membuatnya harus ke luar kota. Lalu nanti yang akan menjemput ke stasiun adalah aku.
Kemudian kuantarkan Yuniar ke kantor.
“Nah di balik partisi itu ada bed buat istirahat. Kamar mandi dan toilet juga ada. Kalau mau makan, suruh pelayan kantor menyediakannya,” kataku setelah berada di ruang kerjaku.
“Bona mau pergi sendirian ke stasiun?”
“Aku akan bawa beberapa orang petugas security. Tapi mereka pakai mobil lain. Mereka hanya ditugaskan mengawal di stasiun aja. Kalau kelihatan aman, mereka akan kusuruh meninggallkan stasiun lagi.”
Setelah berunding sebentar dengan Yuniar, aku pun kembali ke sedan hitamku dan menjalankannya ke arah stasiun Tugu. Diikuti oleh mobil security di belakang.
Seolah mau “show of force”, sengaja aku membawa 12 orang security berseragam hitam – hitam semua. Jadi seandainya ayah Yuniar datang dan membawa teman – temannya, aku pun sudah siap dengan membawa “pasukan”ku.
Tapi ternyata semuanya itu seperti komedi belaka. Karena kebetulan penumpang yang keluar dari pintu kedatangan hanya beberapa orang. Kebanyakan wanita tua semua. Hanya seorang wanita muda di antara mereka, yang mengenakan blazer dan rok span biru tua, dengan blouse putih di dalamnya. Cocok seperti laporan Yuniar tadi, bahwa ibu tirinya mengenakan blazer dan spanrok biru tua dengan blouse putih di baliknya.
Spontan aku menghampirinya dan bertanya, “Maaf… Ibu Fience?”
“Iya,” sahut wanita 30 tahunan itu sambil tersenyum, “Ini Bona?”
“Betul Bu,” sahutku sambil menjabat dan mencium tangannya, sebagaimana layaknya seorang calon menantu kepada calon mertuanya, meski calon mertua itu terlalu muda.
“Waduuuuh… pantesan Yuniar gak mau dijodohkan. Ternyata pacarnya begini gantengnya… “Bu Fien merangkul dan menciumi sepasang pipiku. Membuatku jadi salah tingkah. Apalagi kalau mengingat adanya para petugas security yang berderet di belakangku.
Kemudian salah seorang petugas security kuperintahkan untuk membawa kopor pakaian yang dibawa oleh ibu tiri Yuniar itu ke dalam bagasi sedan hitamku.
Bu Fience yang berkulit sawomatang dan berbibir sensual itu terlongong melihat para pengawalku dan sikap mereka sedemikian hormatnya padaku.
Namun setelah koper Bu Fience sudah dimasukkan ke dalam bagasi sedan hitamku, kusuruh para petugas security itu kembali ke kantor. Sementara aku membukakan pintu sedan hitamku yang di depan sebelah kiri, kemudian kupersilakan Bu Fience masuk ke dalamnya.
Setelah ibu tiri Yuniar duduk di dalam mobil, bergegas aku masuk ke belakang setir.
Begitu mobil kujalankan, ibu tiri Yuniar itu mulai berkicau. “Pantesan Yuniar dibelain lari dari rumah setelah mendengar akan dijodohkan dengan orang. Ternyata pacarnya ganteng sekali. Hihihihiiii… makanya kamu harus berbaik – baik sama mama ya. Karena papanya Yuniar bisa mama kendalikan. Kata mama hijau, ya hijau pula dia.
“Iya,” sahutku, “aku akan berusaha untuk sebaik mungkin kepada Ibu.”
“Panggil mama aja, jangan ibu – ibuan ah.”
“Iya Mam,” sahutku.
“Duh dipanggil Mam sama kamu… kalau lagi berdua begini sih aku juga mau manggil Pap sama kamu ya Bon.”
“Hahahaaa… ya suka – suka Mama lah,” sahutku dengan perasaan yang ganjil menyelinap ke dalam batinku. “Mama mau makan dulu?”
“Nggak ah masih kenyang. Tadi makan di kereta api. Ohya… Yuniar pulang ke Jogja lagi kapan?”
“Paling juga besok pagi baru pulang mam.”
“Terus di rumah ada siapa aja?”
“Nggak ada siapa – siapa. Rumah itu belum lama kubeli. Sebenarnya rumahku di sebelah utara Solo, masih jauh lagi. Rumah di Jogja sih hanya untuk tempat istirahat aja Mam.”
“Berarti nanti hanya kita berdua aja di rumah itu?”
“Iya Mam. Sampai besok pagi hanya kita berdua di rumah itu.”
“Asyik dong… kamu bisa nemenin mama tidur kan?”
“Takut Mam.”
“Takut apa?”
“Takut nggak kuat nahan nafsu. “ “Hihihihiiii… emwuaaaaah… “Mama Fien ketawa yang berujung dengan kecupan hangat di pipi kiriku, “Memangnya mama masih menarik di matamu?”
“Masih menarik. Mama item manis dan seksi,” sahutku nyeplos begitu saja.
“Syukurlah. Kirain mama gak menarik lagi di mata cowok semuda dan seganteng kamu. Jadi mama bisa menjalankan rencana.”
“Rencana apa?”
“Rencana agar kita kompak. Sementara masalah papanya Yuniar, mama yang jamin. Pernikahan kalian akan berjalan lancar.”
“Tapi aku hanya bisa nikah siri Mam. Soalnya aku…”
“Sudah dijodohkan sama orang tua?” potong Mama Fien, “Kan Yuniar juga udah ngasih tau masalah itu.”
Aku tidak menanggapi karena sedang membelokkan mobil ke depabn garasi rumahku.
“Ini rumahmu?” tanya Mama Fien.
“Iya Mam. Masih banyak yang harus direnovasi, tapi belum sempat.”
“Waaaah… rumah segede dan semegah gini, mau direnovasi apanya lagi?”
“Di lantai dua, direnovasi oleh pemilik lamanya. Belum selesai keburu butuh duit lalu dijualnya padaku. Tapi di lantai bawah sih sudah lumayan rapi.”
Lalu wanita bertubuh tinggi langsing berkulit sawomatang itu masuk ke dalam rumahku.
“Nanti setelah nikah Yuniar akan tinggal di rumah ini?” tanyanya sambil memandang ke sekeliling ruangan demi ruangan yang dilewatinya.
“Proyeknya kan di Jawa Timur. Jadi mungkin hanya hari – hari weekend aja dia bisa tinggal di rumah ini. Nah… ini kamar untuk Mama tempati selama tinggal di Jogja.”
“Berarti kalau mama mau ke sini, harus di hari – hari yang bukan weekend ya. Supaya tidak bentrok waktunya dengan Yuniar. Hihihihiiii… “Mama Fien ketawa cekikikan sambil mendekap pinggangku dari belakang.
Aku semakin mengerti apa yang dipikirkan oleh ibu tiri Yuniar yang manis dan lincah itu.
“Jadi Mama ingin ketemu sama aku secara rutin?”
“Iya… entah kenapa… begitu melihat Bona, mama jadi kesengsem Bon… sambil membayangkan betapa indahnya kalau… ah… malu mengatakannya…”
“Kalau apa Mam?”
“Kalau didekap dan digumuli oleh anak muda seganteng Bona…” sahutnya agak bergetar.
Aku pun berpikir dengan cepat. Bahwa tiada salahnya kalau aku dekat dengan ibu tirinya Yuniar ini, meski mungkin mengandung resiko kalau ketahuan oleh Yuniar nanti.
Dan aku tak mau munafik, bahwa sejak melihatnya di stasiun Tugu tadi, aku sudah tertarik pada Mama Fien ini. Terutama kulitnya yang berwarna kecoklatan itu, memang sudah lama kuidam – idamkan. Karena perempuan – perempuan yang punya hubungan rahasia denganku, termasuk Mama dan Mamie, berkulit putih bersih semua (putih untuk ukuran bangsaku).
“Kalau diizinkan, mama pengen mandi dulu, boleh?”
“Tentu aja boleh. Apa mau kutemani mandinya biar bisa gantian menyabuni.”
“Aaaaaw… ayoooo… justru mama seneng kalau Bona mau mandi bareng… biar bisa saling selidik sekujur tubuh kita… bisa saling menyabuni dan aaaah… ayo Bon… di mana kamar mandinya?”
“Kamar yang kuberikan untuk tempat istirahat Mama itu ada kamar mandinya Mam. Ohya… kopernya ketinggalan di mobil ya. Sebentar… kuambilin dulu… !”
Aku bergegas menuju mobilku, membuka tutup bagasi dan mengeluarkan koper pakaian Mama Fience. Lalu membawanya masuk ke dalam rumah dan menghampiri Mama Fien yang sudah berada di kamar yang sudah kuperuntukkan baginya itu.
“Ini kopernya Mam,” kataku sambil meletakkan koper berwarna orange itu di atas meja kecil yang fiapit oleh dua sofa.
“Oh, iya… terima kasih Bona ganteng,” sahut Mama Fien yang disusul dengan kecupan hangat di pipiku. Maka kali ini aku yang merengkuh lehernya, untuk memagut bibir sensualnya ke dalam ciuman dan lumatan hangatku.
Mama Fien pun bereaksi, dengan meremas – remas bahuku sambil balas melumat bibirku.
“Jadi kita udah sepakat nih?” tanya Mama Fien sambil menanggalkan blazer dan spanroknya yang serba biru tua.
“Bahwa kita akan menjalin hubungan rahasia?”
“Iya… cerdas sekali bossnya Yuniar yang bakal jadi calon mantuku ini,” ucapnya sambil menanggalkan blouse putihnya. Maka tinggal celana dalam dan beha yang serba putih masih melekat di badannya.
Pada saat itulah aku bergerak ke belakang Mama firn, lalu mendekapnya dari belakang. Terasa hangat pinggang ibu tiri Yuniar ini. Tapi tujuanku bukan hanya sekadar ingin mendekap pinggangnya, karena tanganku dengan cepat menyelusup ke balik celana dalam putihnya.
‘Aaaaw… langsung megang tempik… !” seru Mama Fien yang tidak berusaha menepiskan tanganku dari balik celana dalamnya. Berarti dia juga ingin agar aku menyentuh memeknya yang ternyata tidak berjembut sama – sekali ini.
Yuniar kalah sama ibu tirinya ini. Waktu pertama kali aku menyentuh memeknya, masih ditumbuhi jembut. Baru besoknyalah jembut itu dicukur bersih.
Rambut di kepalanya pun Yuniar kalah satu langkah. Yuniar masih mempertahankan warna rambut aslinya yang hitam legam. Sementara rambut Mama Fience ini, diselang – seling warna hitam dengan warna cokelat.
“Ayo ah sambil mandi mendingan juga. Nanti di kamar mandi tempik mama mau diapain juga silakan…” kata Mama Fien sambil mengeluarkan tanganku dari balik celana dalamnya. Kemudian ia membuka koper pakaiannya. Dan mengeluarkan peralatan mandinya, kemudian melangkah masuk ke dalam kamar mandi. sementara aku sudah melepaskan segala yang melekat di tubuhku di luar kamar mandi.
Lalu aku ikut masuk ke dalam kamar mandi yang bersatu dengan kamar tidur untuk ibu tiri Yuniar itu.
Begitu aku masuk ke dalam kamar mandi, Mama Fien langsung memamerkan memeknya sambil berkata, “Nih tempikku sing arep tak kei karo sampeyan… ‘
“Mboten ngertos Mam. Kulo sanes tiang jawi,” sahutku.
“Nah itu bisa ngomong halus.”
“Yah… belajar sedikit – sedikit, karena aku lahir dan besar di Jogja. Tapi aku memang bukan orang sini Mam.”
“Sama dong. Mama juga bukan orang Jawa. Papa dan almarhumah ibu kandungnya Yuniar juga bukan orang Jawa. Semuanya berasal dari seberang, tapi pada besar di pulau Jawa.”
Pada waktu Mama Fien ngomong itulah, diam – diam kulepaskan celana dalamku. Kemudian kutarik tangan wanita itu dan kutempelkan telapaknya di kontolku yang langsung ngaceng begitu melihat memek Mama Fien barusan.
“Wooooow…! “Mama Fien memegang kontolku dengan mata terbelalak, “Kok ada ya kontol yang segede dan sepanjang ini…?! Kebayang kalau sudah dimainkan di dalam memekku nanti… !”
“Ayolah kita mandi. Setelah mandi kita mau ngewe kan?”
“Iya Sayang… iyaaa… hihihiiiii… senengnya hati mama punya calon mantu yang pengertian gini… “Mama Fien memutar kan shower utama yang lalu memancarkan air hangat dari atas kepalanya. Aku pun ikutan berdiri di bawah pancaran air hangat shower, sambil memeluk dan menciumi bibirnya yang benar – benar sensual itu.
Rasanya aku merasa bisa “sambil menyelam minum air”.
Sambil bertualang, akan mendapatkan dukungan Mama Fien untuk dijadikan menantunya kelak.
Dan yang jelas, setelah mandi dan mengeringkan badan kami, Mama Fien duluan keluar dari kamar mandi, dengan hanya membelitkan handuk di tubuh seksinya.
Goresan baru akan mengisi lembaran kehidupanku yhang memang senang bertualang ini…
Mama Fience memang eksotis. Hitam manis dengan bibir yang sensual, membangkitkan gairahku untuk sering – sering mencium bibirnya.
Dan ketika aku yang sudah telanjang lagi ini baru naik ke atas bed, Mama Fien menyambutku dengan rangkulan hangatnya, dengan senyum manis di bibir sensualnya.
Aku pun menerkamnya dengan sepenuh gairahku. Menciumi bibir sensualnya sambil meremas toketnya yang tidak sekencang toket Yuniar, tapi masih sangat enak untuk diremas.
Mama Fien pun mendekap pinggangku erat – erat, seolah takut kalau aku menjauh. Namun target utamaku kali ini adalah ingin menjilati memeknya yang masih tampak “terkatup” itu. Masalahnya, aku sudah sering menjilati memek yang putih dan “isian”nya berwarna pink. Dan aku ingin merasakan sejauh apa bedanya dengan memek wanita yang warna kulitnya lebih gelap daripada kulit Yuniar ini.
Maka tak lama kemudian aku melorot turun. Mengemut pentil toketnya sejenak, lalu melorot lagi untuk menjilati pusar perutnya.
Dan akhirnya mulutku sudah berada tepat di atasa memeknya yang berwarna lebih gelap namun masih terkatup rapat. Ketika kedua tanganku mengangakan bibir luar memek Mama Fien, tampak bagian dalamnya seperti merah darah… merah membara yang sangat merangsang birahiku.
Lalu ujung lidahku mulai menjilati bagian yang merah membara itu dengan sepenuh gairah birahiku.
Mama Fien pun mulai menggeliat – geliat sambil meremas – remas kain seprai.
Ini membuatku semakin bergairah, ingin agar mama Fien klepek – klepek, lalu ketagihan dan jadi kompak denganku untuk meluluhkan hati suaminya. Agar menyetujui pernikahan siriku dengan Yuniar.
Jadi, sebenarnya aku melakukan semua ini demi ketenangan Yuniar juga. Agar dia bisa bekerja kembali sebagai manager pelaksana replanting perkebunan di lahan punya Mamie itu.
Dan kini aku sudah fokus untuk menjilati dan menyedot – nyedot itil Mama Fien, membuat wanita hitam manis itu semakin mengeliat – geliat disertai dengan desahan dan rengekan erotisnya, “Aaaa… aaaaah… Booonaaaaa… ini luar biasa enaknya Booon… ternyata kamu jauh lebih pandai daripada papanya Yuniaaar …
Mama Fience sudah bukan perawan lagi. Karena itu aku tak perlu berlama – lama menjilati memeknya. Yang penting mulut memeknya sudah basah.
Maka aku pun meletakkan moncong kontolku di mulut memek ibu tiri Yuniar itu.
Spontan Mama Fience merenggangkan sepasang pahanya. Sehingga aku pun langsung mendorong kontol ngacengkusekuat mungkin. Dan… kontolku mulai amblas ke dalam liang memek ibu tiri Yuniar… blessss… disambut dengan rengkuhan di leher dan ciuman yang nyelepot di bibirku.
Aku pun mulai mengentotnya perlahan – lahan dulu… menimbulkan erangan perlahan dari mulut Mama Fience, “Ooooohhhh… akhirnya bisa juga mama merasakan enaknya kontol sekeras dan segede ini… kontol anak muda yang masih sempurna ngacengnya… entotlah selama mungkin ya Booon…”
Sambil meremas toketnya yang berukuran sedang dan masih sangat kenyal untuk kuremas, aku pun mulai mempercepat entotanku. untuk mulai membuktikan bahwa memek wanita berkulit sawomatang ini legit sekali rasanya.
Mama Fience pun menyambut entotanku dengan goyangan pinggulnya, yang begitu lincah memutar – mutar dan meliuk – liuk. Sehingga kontolku serasa dibesot – besot dan diremas – remas oleh liang memek legitnya.
“Mama… ughhhh… memek Mama legit banget…” ucapku terengah.
“Kontolmu juga luar biasa enaknya… ereksinya sempurna… maklum kontol anak muda… entot teruys Bon… entooooooottttttt… entoooooottttttt… iyaaaaa… iyaaaaaa… baru sekali ini mama merasakan dientot yang begini enaknya Booon… entoooottttt… entooootttttt…”
Goyangan pinggul Mama Fien pun semakin lincah, memutar – mutrar dan meliuk – liuk. terkadang bokongnya menghempas – hempas ke atas kasur, sehingga itilnya seolah disengaja untuk bergesekan dengan badan kontolku. Dan mungkin memang disengaja. Agar bagian yang terpeka di kemaluannya itu senantiasa bergesekan dengan kontolku.
Namuin hal itu membuatnya cepat orgasme.
Ya, baru belasan menit aku mengentot liang memek legit Mama Fien ini, tiba – tiba dia berkelojotan sambil berdesah – desah. Dan… dia mengejang sambil menahan nafasnya, sambil mencengkram sepasang bahuklu dan meremasnya kuat – kuat. Disusul dengan geliat liang memeknya yang sedang berkedut – kedut kencang, pertanda sedang melepaskan lendir libidonya.
Namun aku seolah tak mau memberi ampun padanya. Kontolku tetap kuayun. Maju mundurt dengan gencarnya di dalam liang memek yang sudah becek itu. Sementara Mama Fience terkapar lunglai, sambil memejamkan matanya. Goyangan pinggulnya pun terhenti beberapa saat.
Namun pada suatu saat Mama Fience membuka kelopak matanya. Sepasang mata bundar bening itu pun menatapku sambil menyunggingkan senyum di bibir sensualnya.
“Mama udah orgasme barusan. Tapi kamu belum apa – apa ya. Ayolah mama ladeni. Sekarang udah hilang ngilu – ngilunya,” kata Mama Fience sambil menggeolkan kembali pantatnya, laksana penari perut dari Timur Tengah yang jauh lebih hot daripada penari di negaraku.
Tapi Mama Fience tidak tahu kemampuanku yang sebenarnya. Dia juga tidak tahu bahwa aku akan memamerkan keperkasaanku yang semoga jauh melebihi lelaki mana pun yang pernah menggaulinya.
Aku mengentotnya habis – habisan. Sampai badanku mulai bercucuran keringat. Mamie Fien orgasme dan orgasme lagi, dalam bermnacam – macam posisi, dengan tubuh yang sudah basah oleh keringatnya bercampur aduk dengan keringatku. Namun aku masih teguh mengentot ibu tiri Yuniar itu tanpa ampun.
Sampai pada suatu saat, aku mendengar bunyi denting handphoneku… triiiing…!
Aku tahu bahwa itu bunyi WA dari Yuniar. Karena tone notifications-nya kubedakan dengan WA dari yang lain.
Maka aku pun konsentrasi pada legit dan nikmatnya liang memek Mama Fience meski sudah becek karena sudah berkali – kali orgasme dalam entotanku.
Maka pada suatu saat aku pun mulai tiba di detik – detik krusialku. Dan bertanya, “Lepasin di mana Mam?”
“Udah mau n gecrot? Owhhh… lepasin di dalam aja. Barengion sama mama… ini mama juga udah mau orgasme lagi… ayo barengin Bon… biar nikmat…”
Lalu pinggul Mama Fience pun bergoyang gila – gilaan, untuk menyambut datangnya puncak nikmat yang ingin kami capai secara bersamaan itu.
Ketika puncak nikmat itu kami capai secara bersamaan, kami jadi seperti sepasang manusia yang sedang kerasukan. Mata sama – sama melotot, sambil saling cengkram dan saling remas, seolah ingin saling meremukkan tulang di dalam tuibuh kami.
Lianbg memek Mama Fien berkedut – kedut lagi, disambut dengan tembakan lendir kenikmatan dari moncong kontolku yhang mengejut – ngejut juga… croooottt… crooottttt… croootttt… crooootttt… crotttt… croooottttt…!
Lalu kami sama – sama terkulai lunglai. Perahu birahi pun terdampar di pantai, bernama pantai kepuasan…
Mama Fien tampak tepar. Seolah tgak peduli lagi apa yang sedang terjadi selanjutnya. Sementara aku sudah sangat penasaran ingin membaca WA dari Yuniar itu.
Setelah mencabut kontolku dari liang memek Mama Fience, bergegas aku menuju kamar mandi setelah mengambil handphoneku dari atas meja kecil di depan sofa.
Di kamar mandi, sambil kencing kubuka WA dari Yuniar itu. Ternyata isinya agak panjang :- Bona Sayang, bagaimana suasananya? Baik – baik aja? Aku punya saran, agar Mama berpihak kepada kita, gauli aja dia Bon. Kalau sudah kamu gauli, pasti dia akan bergabung dengan kita untuk melunakkan hati Papa. Lagian dia sangat dominan menguasai Papa. Apa pun yang dikatakannya kepada Papa nanti, pasti disetujui oleh Papa. Rayu aja dia Bon. Rayu sampai kamu bisa menggaulinya ya Sayang –
Aku tersenyum sendiri. Ternyata Yuniar punya pikiran yang sama denganku. Tapi aku masih berpura – pura bego. Lalu kubalas WA itu dengan :
– Memangnya kamu tidak cemburu kalau aku sampai bisa menggauli Mama? –
Yuniar :-Nggak Bon. Kita kan punya tujuan untuk melicinkan jalan kita ke depannya –
Aku: -Kalau kelak dia ketagihan gimana?-
Yuniar :- Ya kasih aja. Gakpapa. Demi lancarnya rencana kita, aku harus berkorban kan? –
Aku :- Oke deh. Aku akan berusaha merayunya ya. Mudah – mudahan aja dia mau. Kamu mau pulang kapan? –
Yuiniar: – Terserah instruksi darimu. Kapan pun aku siap pulang, asalkan situasinya sudah aman dan terkendali. Hihihihi… kayak polwan aja –
Aku :- Oke, kalau gitu kamu pulang besok pagi aja ya –
Yuniar :- Siap Boss. Selamat ena – ena sama mama tiriku yang item manis itu yaaa. Aku bakal bangga kalau kamuj berhasil mendapatkan Mrs. V Mama. –
Aku tersenyum sendiri. Karena aku berhasil mengelabuinya. Aku seolah – olah belum menyetubuhi Mama Fien. Padahal sejak dua jam yang lalu aku telah membuat Mama Fien klepek – klepek dan membuatnya berkali – kali memekik di puncak orgasmenya.
Dan aku menyuruh Yuniar pulang besok pagi, karena aku punya rencana untuk mengentot Mama Fien menjelang fajar menyingsing nanti…
Tapi ketika aku mendapatkan panggilan dari Tante Tari, aku harus mengesampingkan segalanya. Karena meski pun tidak ada tulisan hitam di atas putih, Tante Tari itu adalah bossku dalam bisnis yang sedang kutekuni sekarang ini.
Karena itu, setelah yakin bahwa di antara Yuniar dan ibu tirinya baik – baik saja, aku pun melarikan mobilku menuju rumah Tante Tari, sambil membawa laporan bulanan dari bank – bank di mana dana Tante Tari kusimpan dan kukembangkan.
Tante Tari senang sekali ketika kuperlihatkan jumlah dana yang mengendap di beberapa bank. Yang nominalnya sudah dua kali nominal saldo awal, yakni ketika Tante Tari menyerahkan semua saldo di 5 bank pilihannya. Berarti dalam setahun aku sudah berhasil meraih 100% keuntungan. Dana Tante Tari sudah jadi dua kali lipat jumlahnya.
“Aku sudah menduga bahwa prestasimu luar biasa. Makanya aku menyerahkan sepenuhnya padamu Bon. Uruslah semuanya, aku sudah seratus persen percaya padamu. Kalau ada keperluan apa – apa, pakailah dana itu. Karena sekarang dana itu sudah milik kita bersama,” kata Tante Tari.
“Iya Tante,” sahutku, “Tapi selama ini Tante kok belum pernah minta duit padaku. Kan Tante juga banyak kebutuhan.”
“Kan aku sudah bilang, bahwa sebelum bercerai, mantan suamiku berjanji untuk tetap mentransfer duit untuk kebutuhanku. Itu akan dilakukannya terus sampai aku menikah lagi. Sampai saat ini aku kan belum menikah secara resmi. Padahal… heheheee… kasitau jangan yaaaa…?”
“Soal apa Tante?” tanyaku heran.
Tante Tari membisiki telingaku, “Kemaren aku memeriksakan diri ke dokter. Hasilnya… aku mulai hamil. Sekarang sudah lima minggu kandungannya.”
“Wooow! Aku bahagia mendengarnya…! “seruku sambil menciumi pipi dan bibir Tante Tari.
“Kamu harus makin sayang padaku ya.”
“Tentu aja.”
“Meski pun sudah kawin dengan Vivi, kamu harus tetap sayang padaku ya. Meski pun Vivi itu cantik sekali. Pasti aku kalah cantik kalau dibandingkan dengan dia sih.”
“Sebentar dulu… Vivi itu siapa? Kok Tante tiba – tiba bicara soal dia mau menikah denganku segala?” tanyaku bingung.
“Lho… memangnya mamiemu belum pernah bicara soal Vivi sama kamu?”
“Belum. Siapa sih Vivi itu Tan?”
“Tante Surtini yang tinggal di Semarang itu sudah kenal kan?”
“Sudah. Tante Surtini sih sudah kenal waktu dia bertamu ke rumah Mamie.”
“Sama Tante Haryati yang tinggal di Surabaya sudah kenal?”
“Belum. Belum pernah ketemu sama Tante Haryati sih. Nanti kapan – kapan aku dan Mamie mau maen ke rumahnya di Surabaya, supaya aku kenal dengan semua adik Mamie. Nanti dulu… kenapa Tante langsung bicara soal Tante Surtini dan Tante Haryati?”
“Vivi itu anak Tante Surtini. Cantik sekali anaknya Bon. Takkan kecewa deh kamu dijodohkan dengan anak Tante Surtini itu. Tapi Vivi masih sekolah, baru naik ke kelas tiga SMA. Umurnya juga baru tujuhbelas tahun. Kalau pun kamu bersedia dijodohkan dengannya, kamu harus mau menunggu dulu sekitar setahun.
Aku sering ngomong kepada Yuniar dan ibu tirinya bahwa aku sudah dijodohkan dengan pilihan ibuku. Padahal saat itu hanya ngomong asal nyeplos saja. Hanya alasan agar aku tidak menikah secara resmi dengan Yuniar dan cukup menikah secara siri saja (secara diam – diam tentunya, tanpa harus mengundang siapa pun).
Tapi mungkin ucapanku tentang “dijodohkan oleh orang tua” itu dicatat oleh malaikat, sebagai doa dari diriku sendiri. Lalu Mamie akan menjodohkanku dengan anak Tante Surtini yang bernama Vivi itu.
Aku jadi penasaran. Maka pada malam itu juga aku pulang ke rumah Mamie, setelah lebih dari sebulan aku tidak pulang – pulang ke rumah beliau.
Seperti biasa, karena tak kutemukan Mamie di lantai dasar, aku naik lift khusus yang menghubungkan kamarku dengan kamar dan ruang keluarga di lantai tiga.
Ketika aku membuka pintu lift, ternyata Mamie sedang berdiri di depan pintu lift. Dalam gaun tidur berwarna merah, sambil tersenyum ceria dan merentangkan kedua tangannya. Aku pun menghambur ke dalam pelukannya.
“Kenapa lama sekali gak pulang – pulang?” tanya Mamie setelah menciumi sepasang pipiku.
“Iya Mam. Banyak sekali yang harus diurus, terutama untuk mnengurus lahan – lahan Mamie itu. Tapi sekarang yang di pulau Jawa dan Sumatra sudah clear. Tinggal yang di Kalimantan dan Papua yang belum diurus.”
“Yang di Papua, kalau ada yang minat sih jual aja Bon. Ngurusnya berat di ongkos berat di tenaga dan waktu juga.”
“Iya Mam. Nanti dicarikan dulu peminatnya, harus yang sudah terbiasa berbisnis di Papua. Ohya Mam… apa benar Mamie mau menjodohkanku dengan anaknya Tante Surti?”
“Siapa yang ngomong? Tari ya.”
“Betul.”
“Mamie memang punya niat mengenalkanmu pada Vivi. Tapi mamie takkan main jodoh – jodohkan seperti di zaman Siti Nurbaya. Kenalan aja dulu. Kalau cocok dengan seleramu, jalanin. Kalau gak cocok ya jangan dipaksain.”
“Tapi Mamie tentu punya alasan kenapa mau menjodohkanku dengan anak Tante Surtini.”
“Tentu ada dasarnya. Mamie ingin agar harta kita tidak jatguh ke orang luar. Lagian Vivi itu cantik sekali Bon. Makanya kapan – kapan kamu main aja dulu ke Semarang. Lihat dulu anaknya.”
“Tante Surti sudah tau kalau Mamie berniat akan menjadikan anaknya sebagai menantu?”
“Tentu aja sudah tau. Tempo hari waktu Surti datang ke sini, mamie sudah berunding dengannya. Tapi dia juga sepoendapat dengan mamie, takkan memaksakan kehendak baik kepada Vivi mau pun kepadamu. Kenalan aja dulu deh. Lagian anaknya juga masih sekolah. Biarkan dia selesaikan dulu SMAnya. Baru kita buat rencana selanjutnya.
“Umurnya berapa tahun sekarang?” tanyaku.
“Sudah hampir delapanbelas tahun.”
“Hampir delapanbelas tahun masih di SMA?”
“Dia itu terlambat dimasukkan ke SD. Karena ayahnya meninggal pada saat Vivi belum sekolah. Kalau nggak salah, umur tujuh tahun baru dimasukkan ke SD.”
“O, pantesan…” ucapku sambil memeluk Mamie dari belakang, “Tapi biarlah soal; itu sih gak usah diseriuskan dulu. Kan anaknya juga masih sekolah. Yang penting… aku udah kangen sama Mamie…”
“Mamie juga udah kangen…” sahut Mamie yang membiarkanku menyelinapkan tangan ke balik celana dalamnya.
“Mamie gak diet lagi ya… perasaan Mamie jadi makin gemuk. Tapi justru seksi di mataku.”
“Kamu belum tau ya kalau Mamie lagi hamil.”
“Haaa?! Mamie lagi hamil?! Berapa bulan?”
“Sudah tiga bulan.”
“Lho… kok Mamie gak cepat ngasih tau aku?” cetusku dengan pikiran melayang – layang ke arah lain. Ke arah Tante Tari yang sedang hamil juga. Bahkan terawanganku jauh ke depan. Bahwa kalau kehamilan Mamie sudah tiga bula, sementara kehamilan Tante Tari baru 5 minggu, berarti kelak Mamie yang akan duluan melahirkan.
“Mamie juga baru tau seminggu yang lalu,” kata Mamie, “Tadinya mamie pikir hanya telat datang bulan biasa. Tapi setelah mamie merasa sering mual – mual, mamie memeriksakan diri ke dokter. Ternyata mamie sedang hamil… jadi perut mamie ini sudah ada janin dari benihmu, Sayang.”
“Iya. Nanti kita atur bagaimana caranya agar Mamie tikdak membuat heboh orang luar. Sembunyi di Jogja aja ya. Gak usah jauh – jauh.”
“Iya, mamie mau mengikuti caramu aja. “
Lalu Mamie melepaskan gaun tidur merahnya, diikuti dengan pelepasan beha dan celana dalamnya yang berwarna merah juga. Kemudian Mamie merebahkan diri di atas bed sambil beretanya, “Mamie masih menarik dalam keadaan sedang hamil begini?”
“Justru Mamie semakin menggiurkan dalam keadaan hamil begini. Ohya… Mamie hamil baru tiga bulan, tapi perutnya keliatan sudah mulai membesar ya Mam?”
“Mamie kan gak hamil juga perutnya agak buncit. Apalagi dalam keadaan hamil begini,” kata Mamie sambil memperhatikanku yuang tenbgah melepaskan segala yang melekatg di tubuhku, sampai telanjang bulat seperti Mamie.
Kemudian aku naik ke atas bed. “Mamie masih boleh disetubuhi kan?”
“Ya masihlah. Dulu waktu kamu masih berada di dalam perut mami juga, sampai usia kandungan mamie delapan bulan, masih digauli oleh ayahmu.”
“Ohya… ayahku itu di mana sekarang Mam?”
“Gak tau. Dengar – dengar sih di Tegal. dekat pantai katanya sih, karena dia jadi nelayan setelah melarikan diri dari Jogja itu.”
“Boleh aku tau siapoa nama ayahku itu Mam?”
“Pramono. Tapi biasa dipanggil Mono aja.”
“Boleh pada suatu saat aku cari dia?”
“Tentu aja boleh. Karena biar bagaimana pun dia itu ayah kandungmu.”
Percakapan tentang ayah kandungku, yang aku belum tahu seperti apa bentuknya, lalu terputus. Karena kontolku sudah melesak masuk ke dalam liang memek Mamie. Bahkan sesaat kemudian aku mulai mengentotnya, dengan kedua siku menahan tubuhku, agar tidak menggencet perut Mamie yang sedang hamil itu.
“Mam… ooooohhhh… waktu hamil gini tempik Mamie kok malah lebih enak Mam…” ucapku terengah.
“Mungkin sudah diciptakan dari sononya, supaya suami makin rajin ngentot istrinya yang sedang hamil. Makanya kamu harus semakin rajin nyetubuhin mamie ya Bon.”
“Iya Mam… kalau perlu aku akan tidur di sini lagi, supaya gak susah kalau lagi kepengen ngentot Mamie.”
“Nggak harus tidur di sini terus. Kan bisnismu juga harus diurus Sayang. Ooooh… Bona Sayaaang… ini mulai enak Booon… entot terus Sayaaang… luar biasa enaknya niiiihhh…”
Aku sendiri tidak mengerti, kenapa tiap kali menyetubuhi Mamie, aku merasakan nikmat yang luar biasa? Apakah karena dibantu setan?
Entahlah. Yang jelas, dibandingkan dengan cewek yang masih perawan pun, memek Mamie ini tetap lebih nikmat bagiku.
Ketika aku mulai gencar mengentotnya, aku rasakan liang memek Mamie memang lain dari yang lain. Rasanya kenyal dan legit, ada gerakan mpot – mpotan pula di dalamnya. Ini yang tidak ada di memek perempuan – perempuan yang pernah kugauli. Hanya Mamie yang punya mpot ayam begini. Disebvut mpot ayam, karena kalau pantat ayam ditiup, suka mpot – mpotan.
Karena itu setiap kali aku mengentot Mamie, selalu saja terawanganku dibuat melayang – layang di langit tinggi. Langit yang bertaburkan bunga – bunga surgawi, diiringi bunyi merdu gamelan nirwana.
Kini, dalam keadaan hamil, liang memek Mamie malah semakin enak saja rasanya. Sepasang toketnya yang lebih gede daripada biasanya, juga semakin enak buat ditepuk – tepuk, diremas – remas dan diemut pentilnya.
“Bonaaaa… aaaaaa… aaaaahhhh… ini luar biasa enaknya Booon… sudah lama kamu nggak ngentot mamie yaaaa… ooooh… Boooon… Boooon… entot terus Booon… tapi jangan terlalu lama ya. Kalau bisa barengin sama mamie ntar… kalau terlalu lama kasihan bayinya digoncang – goncang terus sama kontol ayahnya…
Aku mengiyakan sambil tetap mengayun kontolku, bermaju mundur di dalam liang memek Mamie yang kenyal dan legit ini. Sementara keringat pun mulai membasahi tubuhku, bercampur aduk dengan keringat Mamie.
Sampai pada suatu saat… terdengar bisikan Mamie, “Mamie udah mau keluar… ayo barengin Sayang…”
“Iya Mam,” sahutku sambil memacu kontolku secepat mungkin. Sementara Mamie sudah berkelojotan. Dan akhirnya mengejang tegang.
Tapi aku merasa masih jauh dari ejakulasi. Karena itu aku berpura – pura sedang ngecrot, sambil membenamkan kontolku sedalam mungkin, sambil kukejut – kejutkan seolah – olah sedang ngecrot. Padahal aku bvelum apa – apa.
Liang memek Mamie pun terasa mengejut – ngejut, sementara liang memeknya terasa banjir dengan lendir kewanitaannya.
“Duuuuh… luar biasa nikmatnya, “cetus Mamie sambil mengecup bibirku dengan mesra.
Aku malah menyahut lain, “Tante Tari juga sedang hamil Mam.”
“Haaa?! Mmmm… sudah berapa bulan hamilnya?” tanya Mamie yang tampaknya tidak sadar bahwa kontolku dicabut dalam keadaan masih ngaceng.
“Baru lima minggu,” sahutku.
“Artini belum hamil kan?”
“Belum.”
“Kalau begitu, setelah perut mamie mulai membuncit sekali, mamie mau sembunyi di rumah Tari aja. Ayo kita ke rumahnya sekarang Bon.”
“Nggak terlalu malam Mam?”
“Kalau buat orang lain memang sudah malam benar. Tapi kita kanb keluarga. Bukan orang jauh. Ayo kita ke rumah Tari sekarang Bon.”
“Baik Mam. Sebentar, mau pipis dan bersih – bersih dulu,” sahutku sambil bergegas menuju kamar mandi.
Beberapa saat kemudian, aku sudah melarikan mobil ke arah Jogja. Dengan Mamie yang duduk di samping kiriku.
“Bagaimana perasaan Mamie setelah tahu bahwa Mamie sedang mengandung?” tanyaku di tengah kegelapan malam.
“Bahagia. Karena sebenarnya sejak mamie tinggal di Hongkong, mamie ingin sekali punya anak lagi. Tapi mantan suami almarhum memang mandul. Dia sudah nikah kedua kalinya waktu dengan mamie itu. Dari perkawinan pertamanya pun tidak punya anak. Baru sekarang mamie bisa punya anak.”
“Nanti aku bakal punya anak dua orang secara bverturut – turut. Dari Mamike dan dari Tante Tari.”
“Kalau Artini hamil juga, berarti anakmu bakal jadi tiga orang.”
“Kalau Tante Artini hamil juga, siapa yang bakal ngurus Mamie dan Tante Tari?”
“Sebenarnya gampang soal itu sih. Nanti kita kan bisa menggaji zuster. Buat ngurus mamie seorang, buat ngurus Tari seorang.”
“Iya sih. Yapi harus memilih zuster yang bisa menyimpan rahasia kita Mam.”
“Iya. Dengan gaji yang lebih besar daripada gaji perawat pada umumnya, mereka akan bisa menyimpan rahasia kita Bon. Lagian kehamilan seperti yang mamie alami ini, bukan masalah aneh lagi di zaman sekarang.”
“Mam… sebenarnya tadi aku belum ngecrot. Aku terpaksa berpura – pura, m karena takut membuat Mamie tersiksa.”
“Ohya?! Kamu nakal ya… berarti sekaranmg masih ngaceng?” tanya Mamie sambil menarik ritsleting celana jeansku, lalu menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku dan menjamah kontolku yang memang masih ngaceng ini.
“Hihihiii… beneran masih ngaceng nih. Kasian anak mamie… jadi tadi saking sayangnya sama mamie, kamu dibela – belain gak sampai ngecrot?”
“Heheheee… iya Mam. Aku kan gak tega kalau Mamie merasa tersiksa tadi.”
“Ya udah… nanti kita lanjutkan di rumah Tari aja ya. Biar kamu puas, sekalian Tari juga kita ajak main threesome.”
“Iya Mam.”
“Ohya… bukan hanya threesome, kan ada Artini juga. Jadi bisa foursome. Mampu kamu bikin orgasme tiga orang?”
“Tadi sebelum pulang aku sempat ke rumah Tante Tari dulu. Tante Artini lagi pulang dulu ke rumahnya yang akan dijadikan supermarket Mam.”
“Owh… iya ya. Mamie juga belum sempat nengok kegiatan Artini setelah rumahnya dirombak atas dukungan Tari ya. Tapi kalau rumah dan rumah kos itu sih mamie yang modalin.”
“Iya Mam. Tante Artini pernah cerita soal itu. Makanya dia sangat patuh sama Mamie.”
“Ya harus patuh lah. Kalau orang tua sudah tiada, adik harus patuh kepada kakak. Makanya tarti juga patuh sama Mamie, walaupun dia sudah tajir melintir gitu.”
“Tante Tari juga pernah cerita, katanya Mamie paling sayang sama dia. Makanya dia juga sangat sayang kepada Mamie.”
Beberapa saat kemudian mobilku sudah memasuki pekarangan rumah Tante tari. Mamie menelepon sebelum turun dari mobil, “Tari… ini aku di depan rumahmu.”
Kemudian pintui depan dibuka oleh Tante tari sendiri. Dan tampak sumringah ketika melihat kami datang. Dia memeluk Mamie sambil cipika – cipiki. Dan tanpa canggung dia pun cipika – cipiki yang dilanjutkan dengan ciuman mesra di bibirku.
“Kamu cuma sendirian sekarang?” tanya Mamie kepada adiknya.
“Ada pembantu dua orang,” sahut Tante Tari, “Tapi jam segini udah pada ngorok Mbak. Di depan juga ada satpam yang jagain. Mungkin karena melihat mobil Bona, mereka gak mau nyamperin, takut merasa terganggu Bonanya.”
Kemudian Tante Tari mengajak kami ke ruang keluarga yang sudah ditata sedemikikan mewahnya.
“Kamu gak kaget didatangi malam – malam gini?” tanya Mamie yang duduk berdampingan dengan Tante Tari.
Sambil mengusap – usap tangamn Mamie, Tante tari menjawab, “Nggak. Masa didatangi keluarga pakai kaget segala. Mbak dan Bona mau pada nemenin aku kan?”. Mamie membelai rambut Tante Tari, lalu berkata, “Begini… Bona bilang kamu mulai hamil ya?”
“Iya Mbak. Sudah bertahun – tahun aku ingin hamil. Tapi ternyata baru sekarang bisanya.”
“Aku juga sama,” kata Mamie sambil mengusap – usap perutnya sendiri, “Kandunganku malah lebih tua daripada kandunganmu. Jadi kalau sama – sama lancar, aku bakal duluan melahirkan anak Bona nanti. “Ohya?! Kalau begitu, Mbak tinggal di sini aja sampai bayinya lahir. Supaya aku ada temen.”
“Memang tujuanku juga begitu Sayang. Begitu denger kamu hamil, aku langsung ingin tinggal di sini, tapi nanti kalau perutku sudah gede. Makanya malem – malem juga maksain dateng ke sini. Lagian Bona udah kangen juga sama kamu katanya.”
“Tadi siang Bona kan baru ke sini,” kata Tante Tari sambil tersenyum padaku.
“Memang ke sini, tapi gak ngapa – ngapain… karena keburu dengar aku mau dijodohkan itu. Jadi penasaran, ingin dengar dari mulut Mamie langsung.”
“Ya udah… nanti Bona kita keroyok, biar dia puas ya,” kata Mamie sambil menepuk lutut Tante Tari. Tante Tari pun mengangguk sambil tersenyum.