Detik – detik berganti jadi menit dan menit pun silih berganti.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Eh sudah pulang nak.”
“Iya. Aduh…”
“Kenapa sayang?”
“Cepet berlutut mah?”
“Berlutut?”
“Iya, sudah, jangan banyak tanya dulu.”
Saat Rina berlutut, Erna melepas rok birunya hingga kini terlihat cd putihnya, yang meski tak seputih salju namun tetap sedap dipandang. Erna berdiri agak jauh dari mama yang berlutut sambil melihatnya. Setelah itu Erna ngompol. Cairan urin merembes menuruni kakinya. Ada juga yang menetes langsung ke lantai.
“Diam dulu ya mah, jangan ngapa – ngapain sebelum Erna bilang.”
“Iya sayang.”
Hidung Rina begitu dekat dengan selangkangan putrinya, namun tidak mengenai. Terasa elusan sayang di rambutnya dari tangan putri kecilnya itu.
“Ayo mah, hirup saja, tapi jangan kena ya.”
Rina menurut. Rina menghirup tanpa terasa waktu berjalan.
“Sekarang hisap mah, puas – puasin mama.”
Rina menghisap cd putrinya hingga urin yang ada masuk dan ditelan. Rina tetap menghisap dan menjilat cd putrinya meski kini sudah tak ada lagi cairan urinnya.
“Masih ingin mah?”
“Iya sayang.”
“Kalau begitu, jilatin saja yang tadi mengalir di kaki Erna.”
Tanpa menjawab, Rina langsung menjilati kaki putrinya.
“Geli mah…” namun Erna tak menghentikan jilatan mama. “Sudah mah, Erna gak tahan kalau berdiri.” Kini tangan Erna sedikit menjambak rambut mama. Saat mulai melangkah, Erna merasa mama akan berdiri.
“Mama jangan berdiri, majunya berlutut aja, atau merangkak sekalian. Kan biar Erna pandu ini pake rambut mama.”
Rina hanya mampu menurut saat dibimbing merangkak hingga ke ruang tv. Di sana, putrinya duduk dan kepalanya kembali di arahkan ke selangkangan putrinya.
“Lepasin dong celana Erna mah.”
Erna memegang cd anaknya, namun tangannya langsung ditampar oleh putrinya.
“Jangan memakai tangan. Gigit saja mah!”
Erna menggigit cd anaknya, pelan dan perlahan, hingga lepas.
“Jilatin lagi mah!”
Jilatan dan jilatan kembali dilancarkan oleh Erna.
“Enghh… terus…” rintih Rina sambil menggerakkan selangkangan hingga turut menggesek hidung mamanya. Rintihannya berubah jadi lolongan saat kepalan tangannya menjambak rambut mama dan menekannya.
“Enak mah,” ritih Rina sambil terengah – engah.
***
Detik – detik bergant jadi menit dan menit pun silih berganti.
Aktifitas Erna dan anaknya berlanjut tanpa sepengetahuan yang lain. Bagi Erna, menikmati urin putrinya serasa menikmati obat pengharmonis rumah tangga. Karena, suami makin sering menjamah dirinya, bahkan pernah suatu ketika mengatakan kalau dia merasa istrinya makin bernafsu.
Tentu saja segala hasrat yang ditimbulkan putrinya harus mendapat pelampiasan. Dan dalam kasusnya, suamilah yang menjadi pelampiasannya.
Erna pun melihat putrinya lebih riang. Suatu ketika, Erna melihat putrinya sedang nonton tv sambil nungging.
“Kamu kenapa sayang, kok nonton tvnya sambil begitu?”
“Iya mah, nunggu mama. Sengaja.”
“Sengaja?”
Erna melihat putrinya menepuk – nepuk pantatnya sendiri.
“Sini mah, bukain celana Rina!”
“Hah, digigit lagi?”
“Boleh, tapi terserah mama saja.”
Erna menurut. Erna mendekat. Erna melorotkan celana pendek lantas cd putrinya. Saat sudah mencapai lutut, satu lutut Rina diangkat sehingga bagian kirinya bisa dilorotkan lagi. Pun dengan bagian kanan, hingga akhirnya tidak bercelana, pendek maupun dalam.
Erna mengelus pantat putrinya, melebarkan hingga anusnya terpampang jelas.
“Cantiknya…” Erna menghirupnya “hm… segar…”
“Masa sih mah?”
“Iya sayang.”
“Duh rasanya mau kencing nih. Mama mau gak?”
Erna menganggukan kepala?
“Mau gak mah? Kok gak jawab?”
“Iya.”
“Iya apa?”
“Iya mau.”
“Iya mau apa?”
“Iya, mama mau minum kencing kamu.”
“Oh, kalau begitu, coba berbaring mah. Mulutnya taruh dibawah selangkangan Rina!”
Erna melakukan apa kata putrinya. Erna berbaring di, kepalanya ada di bawah selangkangan putrinya. Sementara itu, putrinya kini jongkok lantas.
“Buka mulutnya mah. Tapi jangan dulu ditelan, meski nanti mungkin penuh.”
Erna merasakan urin putrinya mulai membasahi wajah, mengisi mulutnya hingga penuh dan luber.
Setelah selesai kencing, Rina melihat mulut mama penuh dengan urinnya. Rina lantas menutup hidung mama dengan jemarinya.
Erna bingung saat tangan putrinya menutup hidungnya.
“Kalau Rina tutup hidung mama, berarti mama harus menelan kencing Rina.”
Setelah mendengar penjelasan putrinya, Erna lantas menutup mulut dan minum hingga tegukannya terdengar oleh putrinya.
“Udah habis mah? Sekarang tolong jilatin memek Rina hingga bersih ya mah?”
Tanpa menunggu jawaban, Rina menurunkan memek hingga mengenai lidah mamanya. Memeknya kini dijilati.
“Bagus mah. Hayati, kalau gini kan Rina jadi punya toilet pribadi.”
Erna menjilati tetesan urin di paha putrinya, lantas di memeknya. Setelah itu di bagian jembut tipisnya.
Setelah merasa cukup, Rina berdiri dan duduk di kursi.
“Sudah mah, bersihin lantainya sekalian.”
Erna menurut dan membersihkan lantai, dengan mulutnya.
***
Detik – detik berganti dengan menit dan menit pun silih berganti. Keakraban ibu dan anak terus berlanjut. Rasa penasaran sang anak membuatnya menyentuh dan memainkan memek ibu. Seiring berjalannya waktu, sang anak akhirnya bisa mengetahui saat – saat sang ibu akan orgasme.
Setiap ada kesempatan, jemari lentik sang anak selalu bermain di memek sang ibu, permainannya begitu cekatan sehingga saat sang ibu akan orgasme, jemari lentik itu dicabut, meninggalkan sang ibu perasaan sange yang berlebih.
“Terus sayang, mama udah mau enak nih…”
“Emang enak. Udah, sekarang bikin Erna enak dulu,” kata Erna sambil membimbing kepala mama ke memeknya. Memek Erna lantas dimainkan oleh mulut mama hingga Erna orgasme.
“Nanti mama main aja sama papa!”
“Iya deh.”
Rina hanya bisa pasrah. Malamnya ketika suaminya meminta, Rina memberikan tubuhnya dengan senang hati. Mendapati Rina yang bergairah membuat suaminya menggebu – gebu hingga adegan ranjang pun tak bertahan lama.
***
Kejadian terus berulang. Rina dibawa ke puncak, namun saat akan orgasme, putrinya menghentikan permainan. Pelampiasan Rina otomatis hanya dengan suaminya.
Kejadian terus berulang. ketika suaminya meminta, Rina memberikan tubuhnya dengan senang hati. Mendapati Rina yang bergairah membuat suaminya menggebu – gebu hingga adegan ranjang pun tak bertahan lama.
Kehidupan ranjang yang bahagia membuat karir suami Rina cemerlang hingga mendapat posisi strategis. Kenaikan pangkat berimbas pada kenaikan penghasilan. Kenaikan penghasilan berimbas pada kenaikan tugas. Suami Rina mulai jarang di rumah.
***
“Papamu mulai jarang belai mama.”
“Lho, emang kenapa Mah?”
“Biasa, sibuk dengan pekerjaannya.”
“Ntar deh Erna bantu. Pokoknya, apa pun yang terjadi, mama diam saja. Pura – pura bego dan tak tahu apa – apa.”
“Oke deh.”
Setelah percakapan itu, Erna mulai memakai baju babydoll, dengan celana dalam yang berbeda warna sehingga terlihat mencolok.
“Sayang, kok bajunya kayak gitu sih?”
“Gerah sih pah.”
“Kan malu kalau dilihat orang.”
“Iyalah malu. Tapi kan lagi gak ada siapa – siapa. Pokoknya kalau lagi ada tamu, Erna ganti deh.”
“Ya, terserah kamu saja.”
Awalnya biasa, namun lama – lama Rina mulai melihat lirikan suaminya pada putrinya semakin lama.
Rina menyadari ayahnya mulai sering memperhatikannya. Kini Rina bahkan tidak memakai BH.
Perubahan cara berpakaian anaknya kembali memanaskan ranjang Rina. Namun, setelah beberapa minggu, panasnya ranjang mulai berkurang. Bahkan kini terasa kembali dingin.
Seolah dibuat secara tidak sengaja, Erna mulai dekat, secara fisik, dengan ayahnya. Saat menonton tv, Erna sengaja duduk di samping ayahnya. Ayahnya merasa risih, lantas bangkit dengan alasan minum. Setelah minum, duduk di tempat lain. Erna biarkan. Namun, di hari yang lain, ketika ada kesempatan, Erna kembali melancarkan aksinya.
Saat tidur, siang maupun malam, Erna mulai jarang menutup pintu. Erna membeli sebuah kamera mata – mata lantas memasangnya di tempat yang dia kira strategis.
***
Suatu sore, Erna sedang menonton acara tv sambil menikmati geli – geli yang diakibatkan oleh tangan dan lidah mama. Telinga Erna menjadi tempat bermain bagi lidah dan mulut mama, sedang tangan Erna sibuk mengarahkan tangan mama agar bermain di susu dan atau memeknya. Jilatan dan sentuhan itu baru berhenti setelah Erna orgasme.
“Mama jangan dulu ngentot sama ayah!”
“Emang kenapa?”
“Pokoknya, Erna punya rencana.”
***
Sudah dua bulan sang ayah tidak orgasme. Sebuah pertengkaran biasa membuat istrinya tak ingin disentuh. Melihat kemolekan tubuh putrinya membuat sang ayah tidak tahan lagi. sumber Ngocoks.com
Suatu malam, sang ayah melewati kamar putrinya. Pintu yang tidak tertutup membuatnya bisa melihat sang putri tidur memakai kaos, hanya bercelana dalam dan selimut yang tidak menutupi tubuhnya.
Sang ayah masuk, mengelus paha putrinya lantas melorotkan celana dalam. Setelah itu, sang ayah melepas pakaiannya dan mulai menaiki tubuh putrinya. Karena ada yang menindih, sang putri bangun lantas berontak.
***
“Diam, diam,” hanya itu yang keluar dari mulut sang ayah.
Menyadari siapa yang sedang berada di atasnya membuat Erna sadar. Erna tetap berontak, namun hanya formalitas saja. Saat keperawanannya diambil sang ayah, Erna mengeluarkan air mata. Namun tidak jelas, apakah air mata itu keluar karena rasa sakit ataukah karena bahagia semua berjalan sesuai rencananya.
Puas melampiaskan nafsu, sang ayah lantas keluar dari kamar putrinya dan kembali ke kamarnya.
***
Rina terkejut dan marah mendengan cerita putrinya. Namun ia juga merasa aneh mendapati Erna yang bereaksi menenangkannya.
“Sudah mah, diam saja. Mama pura – pura tidak tahu. Erna sudah tahu dan bahkan berharap seperti ini.”
“Seperti ini bagaimana?”
“Pokoknya mama jangan bertindak apa – apa tanpa izin Erna.”
***
Detik – detik berganti jadi menit dan menit pun silih berganti. Sang ayah kembali mengulangi perbuatan bejatnya, dengan sedikit ancaman. Erna menuruti kemauan sang ayah, dengan sedikit meronta.
***
Karena memiliki niat, maka Erna mengoperasikan perangkat lunak pembuat dan atau perubah video. Hasil rekaman diam – diam saat dirinya dinikmati sang ayah dirubah sedemikian rupa sehingga terlihat jelas adegan rudapaksa.
Film tersebut diperlihatkan kepada sang ayah.
“Nah, apabila ayah mau menuruti semua kata – kata Erna, maka ayah tidak akan masuk bui. Namun, apabila ayah ingin mencoba masuk bui, ya silakan saja.”
“Iya nak, ayah akan menuruti kamu,” kata sang ayah gemetar melihat akibat dari perbuatannya.
“Nah, kalau ayah mau nurut, ayah boleh tiduri Erna. Bilang dulu kalau mau, ntar Erna kasih. Asal jangan kasih tahu siapa – siapa.”
“Iya.”
***
Erna merasa tentram. Nafsunya terpuaskan. Belajarnya terfokuskan. Dan bahkan karir ayahnya pun lancar.
Bersambung…