Ketika aku mulai gencar mengentot Bu Laila, diam – diam kucari di mana lekuk yang sangat sensitif di tubuhnya. Ternyata daun telinganya sensitif sekali. Ketika aku menjilatrinya, terasa pelukannya jadi makin erat. Maka semakin lama juga kujilati telinganya, yang membuat Bu Laila semakin klepek – klepek dalam entotanku.
Namun ternyata bukan cuma daun telinganya yang sensitif itu. Lehernya pun sensitif sekali. Terutama di bagian bawah telinganya itu. Maka kujilati pula lehernya, disertai dengan gigitan – gigitan kecil seperti yang sering kubaca dari sebuah media internasional tentang titik – titik peka di tubuh wanita.
“Waaaaan… duuuuuuuh Waaaan… kamu pandai sekali membuatku enak Waaaan… ooooooh Waaaan… kontolmu luar biasa enaknya Waaaan… belum pernah aku merasakan kontol seenak ini Waaaan… “rintih Bu Laila sambil memejamkan matanya, sementara lehernya mulai basah oleh keringat bercampur dengan air liurku.
Aku pun ingin melengkapinya dengan meremas – remas toketnya secara lembut. Membuat pinggul Bu Laila mulai menghempas – hempas ke kasur, sementara tangannya meremas – remas rambutku. Terkadang dia menjambak rambutku, bukan sekadar meremasnya. Namun aku bahkan semakin bergairah untuk menggencarkan entotanku.
Entah kenapa, aku ingin sekali jadi lelaki yang sangat memuaskan di hati wanita yang 11 tahun lebih tua dariku itu. Maka bukan hanya leher dan telinga Bu Laila yang kujadikan sasaran jilatanku. Ketika tangan wanita muda itu sedang meremas – remas rambutku, ketiaknya terbuka. Dan dengan sigap kujilati juga ketiak Bu Laila yang tercium harum parfum mahal itu.
Bu Laila pun menggelepar sambil melontarkan suara, “Hihihiiiii… geli Wan… tapi… ooooohh… geli – geli enak Waaan… iyaaaaaa… jilatin terus ketiakku Waaan… ooooh… aaaaaa… aku mau lepas Waaaan… entot terus Waaaan… entooot teruuuusssss… entoooootttthhhhh…”
Suaranya terputus sampai di situ. Tubuhnya pun mengejang tegang… tegang sekali. Sementara mulutnya ternganga dan matanya terpejam erat – erat. Nafasnya tertahan beberapa detik… lalu terdengar desahan, “Aaaaaaaaahhhhh… nikmat sekali Waaaaan…”
Aku pun menghentikan entotanku, karena ingin menghayati indahnya detik – detik orgasmenya wanita yang sedang kusetubuhi ini.
Memang benar kata para lelaki yang sudah berpengalaman, bahwa aura kecantikan seorang wanita akan terbit setelah mencapai orgasmenya. Bu Laila pun jadi tampak seperti bersinar… kecantikannya jadi semakin cemerlang… sehingga aku tak bisa menahan diri lagi. Kucium bibir sensual dan hangatnya, lalu berkata setengah berbisik, “Bu Laila semakin cantik di mata saya.
Bu Boss membuka kelopak matanya. Bibir sensualnya pun menyunggingkan senyum manis. Manis sekali. Lalu ia berkata perlahan, “Terima kasih Wan. Aku merasakan getaran baru di dalam batinku sekarang. Getaran cintaku padamu, Sayang…”
Kubiarkan Bu Laila mengelus rambutku dengan lembut.
Lalu aku mengecup sepasang pipinya yang kemerahan, disusul dengan bisikan, “Saya pun merasakan hal yang sama Bu…”
Bu Laila mengepit sepasang pipiku dengan kedua telapak tangan hangatnya. Lalu mencium bibirku, yang kjusambut dengan lumatan, dibalas lagi dengan lumatannya. Bahkan ketika lidahku dijulurkan sedikit, ia menyedot lidahku dan menggelutkan lidahnya dengan lidahku. Aku pun melakukan hal yang sama. Ketika lidahnya terjulur, kusedot ke dalam mulutku.
Dalam keadaan seperti itulah aku mulai menggerakkan penisku kembali, bermaju mundur kembali di dalam liang kewanitaan Bu Laila. Awalnya ayunan penisku perlahan – lahan dulu. Makin lama makin kupercepat, sampai pada kecepatan normal.
Bu Laila pun tampak bergairah kembali, untuk meladeni entotanku yang mulai gencar lagi ini. Ia mulai menggeol – geolkan pantatnya, memutar – mutar… meliuk – liuk dan menghempas – hempas. Dengan sendirinya liang memek Bu Laila terasa membesot – besot batang kemaluanku, yang membuat nafasku mendengus – dengus kembali.
Tapi Bu Laila justru tampak senang menjilati keringat yang membasahi leherku ini. Tanpa mempedulikan lagi statusnya sebagai bossku dan aku sebagai anak buahnya. Hal ini membuatku yakin bahwa Bu Laila sudah benar – benar mencintaiku. Dan kalau harus bicara sejujurnya, aku pun mulai mencintainya.
Kata para tokoh terkenal, hubungan seks yang dilakukan berdasarkan cinta, akan jauh lebih nikmat rasanya.
Itu kuakui sekarang, ketika aku sedang mengayun penisku di dalam liang kemaluan Bu Laila ini. Sekujur tubuhku laksana dialiri arus dari ujung kaki sampai ke ubun – ubunku. Arus birahi yang indah tiada tara.
Lalu bagaimana dengan perasaanku terhadap Ibu? Itu lain jalannya. Sampai kapan pun aku akan tetap menyayangi Ibu. Karena beliau yang mengandungku selama sekian bulan, beliau pula yang melahirkanku ke dunia ini. Dan yang pasti, kalau tidak ada Ibu takkan ada aku sampai kapan pun. Itulah bedanya perasaan sayangku kepada Ibu dan perasaan cintaku kepada Bu Laila ini.
Aku tidak tahu persis seperti apa perasaan Bu Laila padaku saat penisku mulai gencar mengentot liang memeknya yang agak becek karena habis orgasme ini. Namun yang jelas rintihan demi rintihan berlontaran terus dari mulutnya.
“Waaaaan… aaaaaah Waaaaan… ini luar biasa enaknya Waaaan… entot terus Waaaan… iyaaaa… iyaaaaaaa… iyaaaaaaaaa… entot teruuuussss… entoooootttttt… entoooooootttt… gila… kontolmu luar biasa enaknya Waaaaan… aku benar – benar merasa telah menjadi milikmu Waaaan…
Rintihan itu baru berhenti kalau aku sudah menyumpal mulutnya dengan ciuman dan lumatan hangatku. Dan Bu Laila semakin bergairah untuk menyambutnya dengan lumatan yang begitu hangatnya.
Bahkan pada suatu saat, ia berkata terengah, “Waaaan… aku mau lepas lagi… ayo entot terus yang kencang Waaan… usahakan agar kita lepasin bareng – bareng… biar nikmaaaat…”
Sebenarnya aku masih bisa mengulur detik – detik klimaks (ejakulasi). Tapi aku berusaha untuk mengikuti keinginan Bu Laila. Karena itu aku konsen ke arah kenikmatan yang sedang kurasakan, sehingga akhirnya aku bisa menancapkan batang kemaluanku tepat pada saat Bu Laila sedang terkejang – kejang di puncak orgasmenya.
Lalu kami seperti sepasang manusia yang sedang kerasukan. Saling cengkram dan saling lumat. Sementara penisku seolah tengah dililit oleh seekor ular kecil, oleh dinding liang memek Bu Laila yang bergerak seperti spiral… disusul dengan kedutan – kedutan kencangnya… dibalas oleh kejutan – kejutan penisku yang tengan memuntahkan lendir kenikmatanku…
“Ooooh… aku lupa… harusnya spermamu dilepaskan di dalam mulutku Wan… karena aku ingin menelan sperma bujangmu sampai habis… “keluh Bu Laila sambil menepuk – nepuk pantatku yang sedang dicengkramnya.
“Maaf… Ibu gak ngingetin tadi…” sahutku sambil menciumi pipi Bu Laila yang sudah basah oleh keringat.
“Gak apa – apa deh. Kita kan bakal dua hari dua malam berada di villa ini. Nanti kalau aku lupa lagi tolong ingetin ya Wan…”
“Iya Bu Laila Sayaaaang…”
“Emang beneran kamu sayang sama aku?” tanya Bu Laila sambil mengelus rambutku.
“Sangat… sangat sayang Bu.”
“Tapi kalau kita sudah punya anak nanti, aku juga harus manggil Ayah padamu Wan…”
“Sekarang juga dipanggil Ayah gak apa – apa.”
“Hihihi… ayah masih muda banget… harusnya sekarang sih aku manggil Dong aja padamu.”
“Kenapa harus manggil Dong?”
“Karena kamu jauh lebih muda dariku. Jadi kamu laksana brondong bagiku.”
“O.. Dong itu dari brondong?! Hehehehe… terserah Bu Laila aja deh.”
“Nggak. Aku akan manggil kamu Honey. Dan kamu harus manggil Cinta padaku ya. Jangan pakai ibu – ibuan lagi. Kamu pun jangan saya – sayaan lagi. Karena kitasejajar sekarang. Kamu sudah menjadi milikku dan aku pun sudah menjadi milikmu Honey.”
“Iya Cinta…” sahutku sambil menarik batang kemaluanku yang sudah lemas ini dari liang memek Cinta alias Bu Laila. Terdengar bunyi unik waktu penisku dicabut dari liang memek Cinta… plokkkh… membuat Bu Laila tersenyum dan berkata, “Kayak tutup botol gabus yang dicabut dari botolnya ya… hihihiiii…
Badan kita penuh keringat gini, mendingan mandi dulu yuk, “ajak wanita cantik yang sudah minta dipanggil Cinta itu.
Tapi aku menarik pergelangan tangannya. “Nanti saja. Setelah selesai main ronde kedua,” kataku sambil menunjuk ke arah batang kemaluanku yang sudah ngaceng lagi ini.
“Hihihiii… penismu sudah ngaceng lagi Honey?” cetusnya sambil memegang batang kemaluanku.
“Iya Amore…”
“Amore?” Bu Laila tercengang.
“Cinta di dalam bahasa Italia kan Amore.”
“Oooohhh… iya… kekasihku kan amore mio…”
“Iya… amore della mia vita…” sahutku sambil merengkuh leher Bu Delia ke dalam pelukanku.
“Anggap aja kita sedang berbulan madu ya. Kan pasangan yang sedang berbulan madu bisa tiga sampai empat kali bersetubuh. Bahkan ada yang sampai delapan kali bersetubuh di malam pertama mereka,” ucapnya disusul dengan ciuman mesranya di bibirku.
“Cinta ingin seperti itu?” tanyaku setelah ciumannya terlepas dari bibirku.
“Nggak usah seperti itu benar ah. Kita kan masih banyak waktgu untuk mengulanginya nanti. Bahkan setelah kita pulang pun bisa melakukannya di kantor atau di rumahku.”
“Di rumah? Nanti ketahuan sama suami Cinta kan gak enak.”
“Rumahku banyak Honey. Kita bisa melakukannya di salah satu rumahku nanti.”
Aku terhenyak. Putri tunggal owner perusahaan besar itu pasti punya rumah lebih dari satu.
Namun pikiran itu langsung hilang ketika Bu Laila sudah mendorong dadaku sampai celentang, lalu menangkap batang kemaluanku yang sudah ngaceng lagi ini. Dan memasukkan alat kejantananku ke dalam mulutnya.
Padahal penisku sudah ngaceng berat. Tapi Bu Laila mulai menyelomotinya sambil mengurut – urut bagian penisku yang tidak terkulum olehnya?
Namun hanya beberapa detik ia menyelomoti penisku yang lalu jadi berlepotan air liurnya. Lalu dengan sigap ia berlutut, dengan kedua lutut berada di kanan kiri pinggulku. Ia memegang penisku yang lalu mengarahkan moncongnya ke arah mulut vaginanya.
Kemudian bokong indahnya itu diturunkan, sehingga penisku melesak masuk ke dalam liang tempiknya. Aaaah… rasanya indah sekali diperlakukan seperti ini oleh Bu Laila yang cantik itu. Terlebih setelah ia mengayun pinggulnya naik turun dan naik turun. Sehingga penisku keluar masuk di dalam liang kewanitaan Bu Laila yanbg membuatku terpejam – pejam saking nikmatnya ini.
Namun di tengah aksinya itu Bu Laila masih sempat berkata, “Kalau udah mau lepas kasihtau ya… aku ingin menelan spermamu…”
“Iya Cinta…” sahutku sambil terus – terusan memperhatikan kiemaluannya yang seolah menelan penisku lalu memuntahkannya lagi… menelannya lagi… memuntahkannya lagi…!
Pada suatu Saat Bu Laila bahkan menghempaskan dadanya ke atas dadaku sambil melenguh. Ternyata dia sudah orgasme. Dan meminta agar aku yang di atas lagi. Memang menurut orang – orang yang sudah berpengalaman, bersetubuh dalam posisi WOT itu membuat pihak wanita akan lebih cepat orgasme.
Maka kembalilah aku berftindak selaku “nakhoda” dalam persetubuhan ini. Setelah berhasil menggulingkan badan tanpa mencabut batang kemaluanku dari liang memeknya, aku berada di atas perut Bu Laila lagi.
Lalu kuayun penisku sambil mencium dan melumat bibir Bu Laila. Dan mulailah penisku bergerak seperti pompa manual. Maju mundur dan maju mundur terus, sementara Bu Laila mendekap pinggangku erat – erat. Dengan sepasang mata indahnya yang terkadang menatap langit – langit kamar villa, kadang – kadang terpejam erat – erat.
Desahan dan erangan erotisnya pun mulai berkumandang lagi di dalam kamar villa ini.
“Oooo… oooooh… dirimu sudah menjadi sosok yang lengkap bagiku Honey… ya ganteng ya masih sangat muda… memuaskan pula dalam hasrat birahiku Sayang… aku tak mau berjauhan lagi denganmu Honey… oooo… ooooohhhhhh… oooooohhhhh… oooo… ooooohhhhhh… oooooo… ooooohhhhh…
Sebenarnya aku masih bisa mengulur durasi entotanku. Tapi karena mendengar keinginan bossku yang cantik itu, aku pun memusatkan pikiranku pada nikmat dan nikmat terus… nikmatnya liang kewanitaan Bu Laila yang tengah kuentot habis – habisan ini.
Akibatnya… tak lama kemudian aku merasakan detik – detik krusialku datang. Detik – detik menjelang ejakulasi.
Maka dengan sigap kucabut batang kemaluanku dari liang memek Bu Laila. Dan cepaty kuangsurkan penisku ke dekat mulut bossku yang jelita itu.
Bu Laila menangkap penisku dan langsung mengulumnya disertai dengan sedotan kuat… kuat sekali.
Pada saat itulah nafasku tertahan, karena penisku akan memuntahkan lendir kenikmatanku.
Lalu… croootttt… crooooooootttttt… crotttcroooootttt… crooooooottttttttt… croooottttt… crooootttt…!
Air maniku berlompatan di dalam mulut Bu Laila. Dan wanita cantik itu menelannya tanpa ragu… glllleeeeekkkkk…!
Tak disisakan setetes pun…!
Aku terharu diperlakukan sejauh ini oleh Bu Laila.
Tapi aku tak mau mengekspose terlalu jauh mengenai beliau. Karena takut salah kata dan bisa menimbulkan masalah di kemudian hari.
Yang jelas, setelah mandi bareng, kami mengenakan pakaian lengkap lagi. Karena beliau mengajakku mencari makan di salah satu restoran yang paling terkenal di Puncak.
Di restoran itulah Bu Laila sempat bertanya padaku, “Kamu tentu punya kebutuhan yang mendesak yang mungkin tidak terjangkau oleh kemampuanmu. Apa yang paling mendesak sekarang ini?”
“Tidak mengucapkannya. Karena dana yang dibutuhkan besar sekali,” sahutku sambil menunduk.
“Sebutkan aja. Kalau masuk di akal, aku akan membantumu. Yang penting prestasimu di perusahaan harus ditingkatkan nanti,” kata Bu Laila sambil memegang tanganku.
“Aku ingin merenovasi rumah. Tidak muluk – muluk sih, hanya ingin agar dua kamar yang ada di rumahku dibuat kamar mandi masing – masing. Itu saja,” sahutku.
“Sekarang kamar mandinya di luar kamar tidur?”
“Iya, “aku mengangguk sambil menunduk.
“Kalau kukasih rumah baru yang tinggal huni aja gimana?”
“Bukannya mau menolak. Tapi rumahku itu peninggalan almarhum ayahku. Jadi aku akan berusaha mati – matian untuk tidak meninggalkan rumah itu.”
Bu Laila hanya mengangguk – angguk sambil tersenyum.
Setelah makan siang selesai, Bu Laila bertanya lagi, “Memangnya kamu gak mau punya mobil, supaya kamu lebih bergengsi di kantor nanti? Kan kamu sudah kuangkat sebagai aspri, Honey.”
Aku cuma menjawabnya dengan senyum datar di belakang setir mobil bossku yang cantik itu.
Tapi setelah berada di dalam villa kembali, Bu Laila menyerahkan tiga helai cek padaku sambil berkata, “Ini untuk membeli pakaianmu, supaya kamu kelihatan lebih ganteng nanti. Ini untuk merenovasi rumahmu. Dan ini untuk membeli kendaraan roda empat, agar kamu lebih disegani di kantor nanti Honey.”
Aku terbelalak setelah melihat nominal yang tertera di ketiga helai cek itu. Kalau dijumlahkan semua… woooow… besar sekali… bahkan mungkin terlalu besar bagiku…!
“Cinta… ini besar sekali jumlahnya. Apa Cinta tidak salah tulis?”
“Tentu saja tidak salah tulis. Sebelum berangkat dari rumahku pun cek itu sudah kutulis dan sudah kupertimbangkan sebelumnya. Karena kamu sangat berharga bagiku, jauh lebih berharga daripada nominal yang tertulis di ketiga helai cek itu.”
Dengan tangan gemetaran kubolak – balik ketiga helai cek itu. Dan tganpa terasa, air mataku pun merembes dari kelopak mataku dan mengalir ke pipiku.
“Lho kok malah menangis?” tegur Bu Laila sambiul menyeka air mata yang mengalir ke pipiku.
“Aku terharu Cinta. Dirimu seolah bidadari yang diturunkan dari langit, hanya untuk membahagiakan hatiku. Terima kasih Cinta. Hadiah ini adalah kado yang terindah buat harfi ulang tahunku yang jatuh pada hari ini.”
“Ohya?! Jadi kamu pas duapuluhsatu tahun pada hari ini?” Bu Laila memelukku sambilmerapatkan pipinya ke pipiku.
“Iya Cinta. Silakan aja lihat di biodataku kalau sudah di kantor nanti.”
Begitulah. Ketika hari mulai malam, kami makan malam di restoran yang berbeda. Karena Bu Laila ingin makan chinese food yang halal, katanya. Kebetulan restoran yang diinginkannya ada, meski agak jauh untuk mencapainya.
Sepulangnya dari restoran itu, aku menyetubuhinya lagi untguk ketiga kalinya.
Tapi keesokan harinya kami habiskan waktu untuk jalan – jalan di kebun teh yang tak jauh dari villa itu.
Hari itu pun kami tidak melakukan hubungan sex. Keesokan harinya lagi, hari Senin, aku mengantarkan Bu Laila ke Jakarta. Untuk mengurus bisnisnya.
Dan kami pulang dari Jakarta ketika hari mulai sore. Langsung menuju kotaku.
“Cek itu bertanggal besok semua. Jadi besok gak usah masuk kerja dulu. Cairkan saja cek – cek itu dulu. Mau diambil cash atau mau ditmasukkan ke buku tabunganmu?” tanya Bu Laila ketika sedannya sudah meninggalkan daerah Puncak.
“Supaya aman, mungkin akan kumasukkan ke rekening tabunganku aja,” sahutku.
“Itu lebih baik,” kata Bu Laila.
Dan sedan mewah yang kukemudikan meluncur terus di jalan aspal. Dengan keceriaan menyelimuti batinku…
Aku pulang dengan batin penuh semangat. Karena aku telah memetik kemenangan pertama dalam perjuanganku untuk membahagiakan Ibu.
Seperti biasa, ketika aku pulang di hari yang sudah malam begini, aku selalu membuka pintu depan dengan kunci cadangan yang selalu kusimpan di dalam dompetku. Lalu aku masuk ke dalam rumah dan langsung menuju pintu kamar ibuku. Tapi malam itu pintu kamar Ibu dikunci. Mungkin karena aku tidak ada, sengaja ia mengunci kamarnya supaya aman.
Tapi apa yang kulihat? Ibu sedang celentang dengan daster yang disingkapkan sampai perutnya. Sementara tangannya tampak sedang bermasturbasi…!
Ah… Ibu… Ibu…! Baru ditinggal dua malam saja sudah tak kuasa menahan nafsu, lalu bermasturbasi lagi seperti tempo hari sebelum aku menyetubuhinya.
Tapi aku tersenyum sendiri, karena teringat benda yang berada di kantong oleh – olehku ini. Bahwa salah satu oleh – olehku buat ibu adalah sebuah dildo…!
Ya, aku sengaja membelikan dildo buat Ibu. Karena aku sudah membayangkan bakal sibuk dalam mengemban tugas sebagai aspri Bu Laila kelak. Terlebih lagi kalau aku ditugaskan untuk melanjutkan kuliahku sampai S1 kelak. Dan juga aku harus menggauli Bu Laila secara rutin seperti yang diharapkan oleh bossku yang cantik dan murah hati itu.
Bukan cuma itu. Aku pun membeli parfum mahal yang biasa dipakai oleh Bu Laila, supaya kalau parfum Bu Laila “terbawa pulang” olehku, Ibu takkan merasa aneh lagi kelak.
Seperti malam itu juga. Pasti pakaianku beraroma harum parfumnya Bu Laila. Dengan adanya parfum yang sama dengan parfum Bu Laila, ibuku takkan menanyakan harum parfum siapa nanti.
Lalu kuketuk pintu kamar Ibu.
Terdengar suara Ibu dari dalam kamarnya, “Siapa??”
“Wawan Bu!” sahutku.
“Owh… tunggu sebentar… !”
Tak lama kemudian pintu dibuka oleh Ibu, yang kelihatan seperti salah tingkah. Mungkin karena merasa sedang melakukan “kesalahan” pada waktu pintu kamarnya masih terkunci tadi.
Aku pun langsung memeluk ibuku dan menciumi bibirnya berkali – kali. Sampai terdengar pertanyaannya, “Kamu kok harum sekali. Pakai minyak wangi siapa sih?”
Spontan akumenyahut, “Ini aku beliin parfum impor buat Ibu. Tadi dicobain dulu di jalan.”
“Owh.. mana parfumnya?” tanya Ibu sambil meraba – raba tanganku.
Kukeluarkan botol parfum itu dari kantong plastik, sekalian kukeluarkan juga dildo yang akan kuhadiahkan kepada Ibu itu.
“Ini parfumnya dan ini juga buat Ibu.”
“Yang ini apaan?” tanyanya sambil menunjuk ke kotak dildo yang belum dibukanya.
“Ayo sini deh,” kataku sambil menuntun Ibu agar duduk di atas bednya. Lalu kukeluarkan dildo itu dari kotaknya.
“Nih… pegang deh sama Ibu… apaan coba?” kataku sambil menyerahkan dildo itu ke tangan ibuku.
Ibu meraba – raba dildo itu seperti sedang menyelidik benda apa yang sedang dipegangnya itu. “Iiih… kok kayak kontol Wan?!”
“Iya… kalau mau dimasukin ke dalam memek Ibu, harus dikasih lotion dulu, supaya licin dan tidak ada kumannya. Sebentar pinjam dulu,” kataku.
Ibu menyerahkan dildo itu padaku. Kemudian kulumuri dildo itu dengan lotion yang kubeli toko penjualnya.
Ibu menurut saja ketika kuminta celentang sambil menyingkapkan dasternya.
Lalu kucolokkan dildo itu ke dalam liang memek Ibu. “Aaaaaaaah… dimasukkan ke memek ibu Wan?”
“Iya Bu. Sekarang nyalakan vibratornya,” sahutku sambil memijat on untuk vibratornya. Drrrr… dildo itu bergetar. Dan Ibu malah memekik tertahan, “Waaaaan… ooooohhhh… kok rasanya seperti dibor gini Waaaan…?!”
“Tapi enak kan Bu?! Tahan gelinya ya… vibrator ini justru akan membuat Ibu keenakan…” sahutku sambil menggerak – gerakkan dildo yang sedang bergetar itu, dengan gerakan penis sedang mengentot. Maju mundur di dalam liang memek Ibu.
“Adududuuuuuh… Waaaan… memang enak… tapi… adududuuuuuh… bergetar – getar gini… oooo… ooo… ooooh… Waaaan… Wawaaaan… memang enak Waaan… enak sekali… Waaaaan… aaaa… aaaaaaaah… tapi… ooooooh… ibu jadi cepat lepas Waaaaaan…”
Ibu mengejang tegang, lalu terkulai lunglai.
“Malah bagus kan? Biar cepat selesai., Hihihihi…”
Tiba – tiba terdengar bunyi pintu diketuk berkali – kali.
“Haaa?! Siapa itu?” gumamku sambil meninggalkan Ibu dan bergegas menuju pintu depan.
Setelah pintu kubuka, aku terkejut karena yang mengetuk pintu itu ternyata dua orang polisi…!
“Silakan masuk Pak. Ada apa nih malam begini bapak- bapak polisi datang ke sini?” tanyaku.
“Nanti kami masuk kalau sudah jelas. Apakah benar di sini rumah Ibu Hayati?” tanya salah seorang polisi yang belum mau masuk ke dalam rumah.
“Betul. Bu BHayati itu ibu saya.”
“Ooo… jadi Anda yang bernama Wawan Darmawan ya?”
“Betul Pak. Ada apa ya?”
“Anda punya saudara yang tunanetra bernama Wati?”
“Betul Pak. Dia itu kakak kandung saya. Ada apa dengan dia Pak?”
“Nggak ada apa – apa. Kami hanya melanjutkan tugas dari kepolisian Kalimantan Timur, untuk mengantarkannya pulang,” sahut salah seorang polisi itu yang lalu menoleh ke arah temannya sambil berkata, “Kalau begitu turunkan saja dia dari mobil. Alamatnya sudah kita temukan.”
“Siap komandan,” sahut polisi yang berpangkat lebih rendah, yang lalu bergegas menuju mobil polisi yang terparkir di seberang jalan.
“Jadi… kakak saya ada di dalam mobil itu Pak?”
“Iya. Dia baru saja datang ke kantor kami, diantarkan oleh rekan polri dari Kaltim. Untuk jelasnya nanti saja tanyakan langsung kepada kakak Anda.”
Dengan gugup aku bergegas menuju kamar Ibu. “Bu…! Kak Wati pulang… !” seruku.
“Masa?! “Ibu tampak kaget, lalu kutuntun ke ruang tamu sambil dibisiki, “Jangan tanya apa – apa ya Bu. Dia diantarkan oleh polisi yang merasa kasihan, takut nyasar di jalan mungkin.”
“Iya… iyaaa…”
Sementara di depan tampak kedua anggota polri itu membimbing Kak Wati yang tampak jadi lebih montok, memasuki ruang tamu. Aku pun langsung memeluk Kak Wati, “Kak Wati… ke mana aja selama ini Kak?” tanyaku sambil menciumi pipi kakakku.
“Ini… Wawan ya?”
“Iya Kak…”
“Panjang ceritanya Wan. Mana Ibu?”
“Ini Ibu,” sahutku sambil menarik Ibu agar bersentuhan dengan anak sulungnya.
Mereka lalu berpelukan sambil menangis.
Sementara aku mempersilakan kedua anggota polri itu untuk duduk di ruang tamu.
Ibu dan Kak Wati masih berpelukan sambil berdiri di ruang tamu. Lalu kubimbing mereka agar duduk bersamaku di atas sofa tua ruang tamu.
Setelah mengucapkan terima kasih pada kedua anggota polri itu, aku menyerahkan amplop berisi uang sebagai tanda terima kasih. Tapi dengan simpatik mereka menolak dan berkata, “Kami hanya terdorong oleh rasa kemanusiaan saja. Makanya kami langsung antarkan Mbak Wati itu ke sini, karena kalau disuruh nginep dulu di kantor polisi kan kasihan.
Kemudian kedua anggota polri yang baik hati itu berpamitan pulang. Sementara amplop berisi uang itu kumasukkan lagi ke dalam saku celanaku.
“Aku mau mandi dulu Wan. Sejak dari Kalimantan sampai detik ini aku belum mandi,” kata Kak Wati sambil berdiri, “Letak kamar mandinya masih tetap seperti dahulu?”
“Masih Kak,” sahutku, “Perlu kuantar?”
“Gak usah,” sahut Kak Wati, “Aku masih hafal letak kamar mandi itu kalau belum dirubah sih… mudah – mudahan aja masih ingat. Ohya, tolong handuk, sabun, sikat gigi dan odolnya keluarin dari tasku Wan. Minta tolong nih, bukan nyuruh.”
“Iya Kak,” sahutku sambil berdiri dan me;langkah ke arah tas pakaian Kak Wati yang masih tergeletak di lantai ruang tamu.
“Hihihi… tumben kamu mangil aku Kak segala. Dulu kita kan saling panggil nama aja Wan,” kata kakakku yang mulai melangkah ke kamar mandi sambil meraba – raba ke depannya.
“Kamu kan memang juga kakakku,” sahutku.
“Tapi beda umur kita cuma setahun Wan. Panggil namaku aja, gak usah pakai kak kik kuk kek kok. Hihihiii…”
Memang benar, sejak kecil aku dan kakakku itu saling panggil nama saja. Tanpa istilah Kak, meski pun dia kakakku.
Aku sengaja melambatkan diri mencari peralatan mandi kakakku dari tasnya, karena ketika Wati sudah dekat kamar mandi, aku berbisik ke telinga Ibu, “Barang – barang yang tadi itu umpetin dulu Bu. Jangan sampai ketahuan sama Wati.”
“Iya. Nanti suruh dia tidur di kamarmu aja Wan. Ibu mau kunci pintu kamar ibu. Takut ada rahasia kita yang terbongkar sama dia.”
“Iya. Dia memang harus tidur di kamarku, karena aku mau mengorek pengakuannya, ke mana saja selama lima tahun menghilang itu.”
Lalu Ibu masuk ke dalam kamarnya. Dan langsung menutup serta menguncikan pintu kamarnya.
Sementara aku pun bergegas menuju pintu kamar mandi, untuk menyerahkan peralatan mandi kakakku yang sudah duluan masuk ke dalam kamar mandi.
Begitu masuk ke dalam kamar mandi, aku terlongong melihat kakakku sudah telanjang bulat… yang anehnya menggetarkan batinku tidak seperti biasanya.
Ya… sejak kecil aku dan Wati sering mandi bareng. Sambil mengawalnya di kamar mandi, karena takut salah injak atau terpeleset dan sebagainya.
Tapi saat – saat seperti itu tak pernah membuatku ada yang istimewa. Karena waktu masih kecil Wati itu kurus.
Aku bahkan sjudah hafal seperti apa bentuk kemaluan kakakku itu. Dia pun sudah hapal bentuk penisku saat itu, meski hanya lewat sentuhan belaka.
Setelah kemaluan kami sama – sama berjembut, kami tidak pernah mandi bareng lagi.
Tapi setelah lima tahun tidak berjumpa, ternyata banyak perubahan yang terjadi pada diri kakakku itu. Kini tubuhnya tidak kurus lagi, bahkan sebaliknya… jadi montok dan seksi…!
Dan terus terang saja, desir birahi mulai timbul di dalam batinku setelah memperhatikan bentuk sekujur tubuh Wati (yang tidak mau disebut Kak itu) dalam keadaan telanjang bulat begitu.
Maka setelah memutar otak, aku pun berkata, “Aku juga mau mandi ah. Hitung – hitung bernostalgia pada masa kecil kita dahulu.”
“Iya,” sahutnya, “Sekalian sabunin punggungku ya Wan.”
“Iya,” sahutku yang sedang melepaskan seluruh busana yang melekat di tubuhku. Kemudian kusirami tubuh Wati dari bahu ke bawah, membuatnya menggigil kedinginan karena hari memang sudah malam. Maka secepatnya kusabuni punggungnya sambil berkata setengah berbisik, “Dulu waktu aku berumur limabelas, Wati pernah ngajak bersetubuh kan sama aku…
“Iya. Tapi kamu gak mau. Malah bilang takut aku hamil dan sebagainya.”
“Waktu itu aku kan masih belum mikirin yang gitu – gituan. Cuma mikir nyari duit buat sekolah dan buat makan kita sehari – hari. Kalau sekarang sih aku mau… soalnya kamu jadi seksi begini Wat.”
“Tapi… sekarang aku gak perawan lagi Wan.”
“Gak masalah. Memangnya siapa yang ngambil keperawananmu.”
“Yang menculik aku ke Kalimantan itu.”
“Emangnya kamu diculik Wat?”
“Iya… tapi menculiknya secara halus. Ngajak aku makan – makan di restoran. Lalu dibawa masuk ke mobilnya. Aku gak tau dibawa ke mana saat itu. Eee… makan – makannya sudah jauh di luar kota. Ternyata saat itu aku mau dibawa ke Jakarta dengan janji akan dikasih pekerjaan di Kalimantan.”
“Terus?”
“Bujukannya memang halus sekali. Sedangkan aku ingin merasakan seperti apa naik pesawat terbang itu. Ah… panjang ceritanya. Nanti aja kuceritain setelah mandi. Ini aku kedinginan Wan. Cepetan mandinya ya.”
Setelah selesai menyabuni punggung Wati, aku pun buru – buru menyelesaikan mandiku. Memang terasa dingin sekali airnya. Tapi dalam tempo singkat aku sudah siap untuk membuat tiga kamar yang lengkap dengan mandi masing – masing. Kamar mandi yang dilengkapi dengan shower dan water heater, tanpa menggunakan gayung plastik lagi.
Ketika Wati sudah membalut badannya dengan handuk, aku pun sudah selesai mandi. Dan membelitkan handuk juga di badanku.
Kemudian kutuntun kakakku menuju kamarku.
“Ibu sudah tidur ya?” tanyanya waktu sedang melewati pintu kamar Ibu.
“Iya. Wati mau tidur di kamarku kan?”
“Iya. Biar bisa ngobrol dulu sebelum tidur. Lagian tidur sama Ibu suka ngorok, suka bikin aku terbangun karena berisik oleh suara ngoroknya.”
Setibanya di dalam kamar aku berbisik ke telinga kakakku. “Aku mau ngentot memekmu ya.”
“Hihihi… kayak yang iya aja.”
“Serius, aku pengen nyobain memekmu Wat,” kataku sambil menutup dan menguncikan pintu kamarku. Lalu mengajak kakakku duduk di sofa hitam yang tak jauh dari ranjangku.
“Beneran kamu mau menyetubuhiku?” tanya Wati sambil memegang tanganku.
“Iya… ingin merasakan enaknya memekmu.”
“Harusnya dari dulu – dulu kamu menerima ajakanku,” kata Wati sambil memegang pahaku, lalu menyelinapkannya ke balik handuk yang belum kulepaskan dari tubuhku, “Segede apa sih kontolmu?”
“Pegang aja sendiri,” sahutku sambil melakukan hal yang sama. Menyelinapkan tanganku ke balik handuk yang masih membeliti tubuh kakakku.
“Anjriiiittt… kontolmu panjang gede gini Wan…! Sudah ngaceng pula… !” seru Wati tertahan.
“Sttt… jangan keras – keras ngomongnya. Nanti kedengaran sama Ibu,” kataku sambil menempelkan telapak tanganku di mulut kakakku.
Tapi aku tidak takut kedengaran oleh Ibu. Karena di antara kamarku dengan kamar Ibu, ada ruangan kecil yang kami pakai untuk ruang makan. Lagian bunyi radio di kamar Ibu terdengar agak nyaring. Biasa dia suka nyetelin radio kalau sudah mau tidur. Tapi… mungkin juga Ibu sedang menggunakan dildo yang kukasih tadi dengan leluasa.
Tanpa kusuruh, Wati melepaskan belitan handuknya, sehingga menjadi telanjang bulat di depan mataku. Maka aku pun melepaskan belitan handukku, sehingga jadi sama – sama telanjang seperti kakakku.
Yang menggiurkan pada diri kakakku itu adalah toketnya itu, pentilnya gede – gede. Wajahnya pun keindia – indiaan. Hmmm… seandainya dia bisa melihat seperti aku, pasti sudah banyak cowok yang naksir sama kakakku satu – satunya itu.
Dan kini, dalam keadaan telanjang, kakakku merebahkan diri di sofa, dengan kaki dikangkangkan.
Aku menyambutnya dengan pelukan seorang lelaki kepada seorang perempuan. Bukan pelukan adik kepada kakaknya.
Tentu saja pusat perhatianku ke arah kemaluannya, yang lalu kusentuh dengan tanganku. Kuperhatikan dari dekat… dekat sekali. Memang kelihatan kalau kemaluan kakakku sepoerti sering “dipakai” oleh lelaki, Tapi aku tak peduli hal itu. Aku bahkan sudah sangat terangsang ketika bagian dalam kemaluannya yang kemerahan itu sudah ternganga di depan mataku.
Wati mulai menggeliat – geliat sambil mendesah – desah. Terlebih setelah aku menemukan kelentitnya, lalu kujilati bagian yang sebesar kacang kedelai itu dengan lahap.
Namun Wati pun tak mau kalah. Beberapa saat berikutnya, justru dia yang menangkap penisku yang sudah ngaceng ini. Lalu mengoralnya dengan trampil sekali.
Begitu trampilnya Wati menyhelomoti dan mengurut – urut penisku, sehingga akhirnya aku takut kalau keburu ngecrot di mulut kakakku, karena permainan oralnya luar biasa enaknya. “Sudah Wat… nanti keburu buceng di dalam mulutmu…”
Wati pun melepaskan selomotannya, lalu menelentang di sofa, sambil mengusap – usap memeknya yang bibir luarnya berwarna coklat gelap dan bagian dalamnya merah membara.
Tanpa ragu lagi kubenamkan penisku ke dalam liang memek kakakku. Blessssss… dengan mudahnya aku bisa membenamkan penisku sampai ambles semuanya…!
Disambut dengan lontaran suara kakakku, “Oooohhh… gilaaaa… kontolmu gede dan panjang sekali Wan…! Pasti nikmat dientot sama kontol segede dan sepanjang ini sih… ayo entotin Wan…!”
Aku pun mulai mengayun batang kemaluanku, seolah gerakan pompa manual, maju mundur di dalam liang memek kakakku.
Maka rintihan demi rintihan Wati pun mulai terdengar. Tapi suaranya perlahan sekali, karena aku sudah memperingatkan agar jangan sampai terdengar oleh Ibu.
“Waaaan… kontolmu enak skeali Waaaan… kenapa gak dari dulu – dulu kamu entot aku Waaaan… kalau tau begini, aku takkan jauh – jauh meninggalkan rumah… karena kontolmu ini justru jauh lebih enak daripada kontol XXX…”
“Siapa XXX?” tanyaku sambil mengurangi kecepatan entotanku.(XXX = nama yang sengaja sangat disamarkan).
“Yang membawaku ke Kalimantan dan membuatku jadi tukang pijit di sana…”
Bersambung…