Entah kenapa aku ingin sekali membahagiakan hati Euis dengan apa pun yang bisa kulakukan. Karena itu keesokan harinya, setelah menyantap sarapan pagi yang dibuatkan oleh Euis, aku mengajaknya ke toko pakaian yang di kotaku suka disebut FO (factory outlet). Kupilih FO yang harganya tidak murah, tapi mahal pun tidak.
Sengaja kuajak Euis ke FO pilihanku itu, agar dia bisa cepat adaptasi dengan pakaian kelas sedang – sedang saja. Euis menurut saja ketika kupilihkan selusin gaun dan tiga helai daster untuk pakaian sehari – harinya. Bahkan salah satu gaun kuminta dipakai langsung di FO itu.
Kemudian kubawa dia ke toko sepatu. Kupersilakan dia memilih sendirik sepatu yang cocok dengan seleranya, sekalian sandal wanitanya juga untuk keseharian pada waktu sedang bekerja di rumahku. Kemudian kubawa dia ke sebuah perumahan, tanpa memberitahu dahulu mau dibawa ke mana.
Sebenarnya aku akan membawanya ke sebuah rumah, yang kuterima sebagai bonus (di luar fee) setelah sukses menjual tanah seluas 275 hektar milik sebuah PT, yang lalu dibekli oleh pihak lain (tentu PT juga buyernya, karena kalau perseorangan takkan diijinkan membeli tanah seluas itu). Selain mendapatkan fee yangv sangat banyak menurutku, janji owner lama dipenuhi.
Rumah itu murni hasil jerih payah pribadiku, sama sekali tiada hbubungannya dengan p[erusahaan Bu Laila. Tadinya rumah itu akan kupakai sendiri. Karena aku pun sering punya pikiran ingin menyendiri untuk memusatkan pikiran bisnisku di perusahaan punya Bu Laila itu.
Tapi kini aku punya pikiran lain. Ada yang lebih membutuhkan rumah berikut segala isinya itu, yakni Euis. Dia belum punya rumah dan masih tinggal di rumah kontrakan. Entah kenapa setiap kali mendengar kata rumah kontrakan, aku selalu merasa prihatin. Kalau aku jadi konglomerat, ingin kuhadiahkan ribuan rumah untuk orang – orang yang belum punya rumah dan masih tinggal di rumah kontrakan.
Terlebih lagi kata rumah kontrakan itu terlontar dari mulut wanita muda yang sudah memberiku 1001 nikmat di kamarku tadi malam. Karena itu aku ingin menghadiahkan rumah itu untuk Euis yang sudah dan akan tetap memberiku 1001 nikmat dalam permainan birahi kami.
Setibanya di depan rumah type 54 yang sudah diupgrade dan isinya sudah lengkap itu, Euis tampak heran. “Ini rumah siapa Den?”
Aku menjawabnya sambil melingkarkan lenganku di pinggang rampingnya, “Tadinya rumah ini punyaku. Tapi mulai sekarang, rumah ini menjadi hak milikmu, Sayang.”
“Den… apakah saya gak salah dengar? Rumah secantik dan sekokoh ini akan menjadi milik saya?”
“Sudah menjadiu milikmu. Bukan cuma akan. Nanti sertifikat hak miliknya akan atas namamu, Sayang,” sahutku sambil membuka kunci pintu depan. Kemudian kubawa Euis memasuki rumah yang sudah kuhadiahkan ini padanya.
“Wah… di dalamnya sudah lengkap semua… !” seru Euis sambil memeluk pinggangku dari belakang.
“Tadi malam aku kan menawarkan Euis untuk menjadi simpananku. Nah… di rumah inilah Euis akan kusimpan.”
“Siap Den. Tapi ibu saya boleh dibawa ke sini, agar tidak tinggal di rumah kontrakan lagi?”
“Tentu saja boleh. Asalkan ibumu tidak mengganggu hubungan kita nanti.”
“Nggak akan mengganggu Den. Pada waktu saya masih gadis saja, Ema sih tidak pernah mencampuri urusan pribadi saya. Apalagi sekarang, saya kan sudah janda.”
“Kalau begitu, sekarang aja kita ke rumahmu. Untuk mengajak ibumu ke rumahmu ini. Gimana?”
“Iya Den… iyaaa… hihihihiii… Ema pasti seneng banget.”
(Mohon dibedakan antara Ema untuk ibu dalam bahasa Sunda E nya dibaca seperti E di kata “perang”. Sedangkan Ema untuk nama orang E nya dibaca seperti E dalam kata “sore”. Panggilan Ema untuk ibu, tidak pakai hurup K di ujungnya. Jadi kata Emak, pasti bukan berasal dari tatar Pasundan).
Beberapa saat kemudian Euis sudahg berada di dalam mobilku kembali, untuk menjemput ibunya. Euis sudah menelepon ibunya dulu, agar siap – siap akan dijemput olehnya dengan majikannya. Tapi Euis tak mengatakan bahwa ia akan memperlihatkan rumah yang sudah menjadi miliknya itu. Mungkin Euis ingin membuat surprise pada ibunya.
Ternyata rumah kontrakan Euis dan ibunya kecil sekali. Ada di dalam gang kecil pula. Tapi ibunya Euis itu… gede sekali! Ia tampak sudah berdandan, mengenakan celana legging hitam yang sangat ketat (mungkin ukuran XXXL), dengan baju kaus tebal berwarna hitam pula. Sehingga pakaian ibunya Euis itu seolah sudah memamerkan bentuk tubuh yang sebenarnya.
Ia menyambut kedatanganku dengan sangat ramah. Dan ketika berjabatan tangan denganku, terdengar suaranya menyebut nama, “Mimin…”
“Wawan,” kataku memperkenalkan namaku juga.
“Sudah siap Ma?” tanya Euis kepada ibunya.
“Sudah,” sahut ibunya Euis yang chubby habis itu, “Tapi masa Den Wawan gak disuguhi minum – minum acan? Kan pertama kalinya Den Wawan bertamu ke rumah ini.”
“Tak usah bikin minum Bu,” sahutku, “mending langsung berangkat mumpung masih siang.”
Setelah berada di dalam mobilku, ibunya Euis yang bernama Mimin itu bertanya, “Ini mau ke mana Is? Mau ngajak piknik ke luar kota?”
“Nggak Ma. Masih di dalam kota kok,” sahut Euis yang duduk di belakang juga, di samping ibunya.
“Ohhh…”
Lalu Bu Mimin terdiam. Tidak bertanya apa – apa lagi. Mungkin Euis sudah memberi isyarat agar jangan bertanya lagi.
Setibanya di depan rumah yang sudah kuberikan kepada Euis itu, kami bertiga turun dari mobil. Pada saat itulah Euis berkata kepada ibunya, “Ma… Den Wawan itu saeorang majikan yang baik hati. Beliau mengerti keadaan kita yang setiap tahun harus menyediakan uang untuk kontrakan rumah. Karena itu Den Wawan menghadiahkan rumah ini untuk Euis.
“Hadiah untuk Euis? Ema gak salah denger Is?”
Aku yang menjawab. Kutempelkan telapak tanganku di punggung Bu Mimin, “Benar Bu. Rumah ini hadiah untuk Euis. Tinggal surat – suratnya aja yang belum dikasihkan. Rumah ini sudah dibayar lunas. Jadi tidak ada bayar cicilan dan macem – macem lagi. Hanya rekening listrik dan ledeng saja yang harus dibayar tiap bulan.
Bu Mimin merangkul anaknya sambil berkata, “Kamu sangat berunbtung punya majikan yang sedemikian baiknya. Baru bekerja beberapa bulanb sudah dikasih rumah segala Is.”
“Bukan cuma rumah Ma. Perabotannya pun sudah lengkap semua. Yuk kita lihat ke dalam,” ucap Euis sambil mengeluarkan seikat kunci – kunci rumah itu dari dalam tas kecilnya. Kunci – kunci yang tadi sudah kuserahkan padanya, sebagai tanda bahwa rumah itu sudah menjadi miliknya.
Rumah itu memiliki dua kamar tidur yang masing – masing ada kamar mandinya. Di belakang ada kamar yang lebih kecil, berdampingan dengan dapur dan kamar mandi yang bisa dipakai oleh pembantu. Tapi kamar mandinya bisa juga dipakai oleh tamu yang ingin buang air dan sebagainya. Ruang makannya pun lumayan besar, karena bersatu dengan ruanbg keluarga.
Di situ sudah ada televisi LED layar lebar. Di dapour pun sudah ada kulkas dua pintu. Di belakang sudah ada mesin cuci juga. Semua barang – barang elektroinik itu masih 100% baru. Begitu juga semua furniture-nbya masih 100% baru semua, terdiri dari lemari pakaian di kamar masing – masing, lemari makanan di dapur.
Bu Mimin tampak ceria sekali menyaksikan semuanya itu. Bahkan aku dapat menangkap karakter ibunya Euis itu. Dia sangat ceria, sementara Euis agak pendiam, tidak seperti ibunya yang tiap sebentar ketawa ketiwi.
Mereka merencanakan untuk menempati rumah itu mulai besok.
Maka kataku kepada Euis, “Kalau begitu hari ini dan besok libur aja Is. Kan mungkin banyak barang yang harus diangkut ke sini juga.”
“Iya, terima kasih Den,” sahut Euis.
Kemudian mereka kuajak makan di sebuah rumah makan yang tak jauh letaknya dari perumahan itu. Kemudian kuberikan uang secukupnya kepada Euis, untguk biaya angkutan barang – barang yang akan dipindahkan dari rumah kontrakan ke rumah baru itu.
Zaman sekarang memang zaman serba mungkin. Karena segala kemungkinan bisa terjadi, baik hal – hal yang positif mau pun yang negatif. Orang miskin bisa mendadak kaya, orang kaya pun bisa mendadak jatuh miskin.
Dengan beredarnya handphone sampai ke pelosok – pelosok, membuat tatanan moral berubah dengan cepatnya. Baik di kota – kota besar mau pun di pedesaan. Karena dengan adanya televisi, orang kampung pun mulai “melek mode”.
Di sisi negatifnya, dengan hadirnya handphone sampai ke pelosok – pelosok, seorang istri yang setia bisa berubah, ingin coba – coba berselingkuh, yang lalu menjadi ketagihan. Manakala Sang Suami berangkat ke kantor, Sang Istri pun berangkat ke “pasar”, laporannya pada orang di rumah. Padahal istri itu ketemuan dengan seorang PIL (pria idaman lain) di tempat yang sudah dijanjikan, lalu ena – ena di tempat yang dirahasiakan.
Perselingkuhan antara ibu tiri dengan anak tiri, seolah sudah menjadi trend yang dirahasiakan. Begitu pula ayah tiri dengan anak tirinya. Bahkan skandal mertua dengan menantu pun bisa terjadi di zaman ini. Meski semuanya itu off the record.
Banyak lagi jenis perselingkuhan yang terjadi di zaman ini. Termasuk ibu dengan anak kandung atau ayah dengan anak kandung. Begitu pula adik dengan kakak kandung bukan tidak pernah terjadi di negeriku tercintga ini.
Kuakui bahwa aku salah seorang di antara mereka.
Godaan demi godaan berdatangan ke dalam kehidupanku. Dan godaan itu justru kuanggap sebagai tantangan. Dan sebagai seorang lelaki yang belum p;unya istri, aku pantang menghindari tantangan.
Begitulah… beberapa hari kemudian aku mendatangi rumah yang sudah diberikan kepada Euis itu. Tadinya aku sekadar ingin tahu apa saja yang masih kurang. Dan aku harus menanyakannya kepada ibunya Euis yang bernama Bu Mimin itu.
Saat itu baru jam sepuluh pagi. Tentu saja Euis sedang bekerja di rumahku. Tidak berada di rumah yang sudah menjadi miliknya itu.
Ketika melihat aku datang, Bu Mimin yang cuma mengenakan daster katun berwarna coklat muda, tampak kaget dan memegang kedua pipoinya. “Aduuuuh… Den Wawan datang… kenapa Euis gak ngasih tau kalau Aden mau datang yaaaa…”
“Euis tidak tau aku mau ke sini Bu,” sahutku sambil mencium tangannya, karena aku punya hubungan dengan Euis, jadi aku harus memperlakukannya seperti dengan calon mertua (walau pun aku belum punya niat menikahi Euis).
Lalu aku dipersilakan duduk.
“Maaf saya baru selesai mandi, jadi dasteran gini. Gak apa – apa?” tanyanya yang sudah duduk di sofa berhadapan dengan sofa yang kududuki.
“Nggak apa – apa Bu,” sahutku, “Nggak usah resmi – resmian lah. Aku datang ke sini cuma ingin tau apakah di rumah ini masih ada kekurangan yang Bu Mimin rasakan?”
“Wah… sudah lengkap semua Den. Cuma ada satu hal yang kurang…” sahut Bu Mimin sambil tersenyum – senyum centil.
“Apa yang kurang Bu?”
“Hihihi… malu ah nyebutinnya, “sikap Bu Mimin mendadak centil.
“Lho… sama aku terbuka aja Bu. Katakan aja apa yang masih kurang itu. Gak usah disimpan di dalam hati.”
“Anu yang belum ada teh… calon suami… hihihihiiii…”
Aku tersentak sambilk menahan tawaku. “Bu Mimin masih pengen kawin lagi?” tanyaku sambil memperhatikan sosok wanita STW di depan mataku. Memang kecantikannya kalah oleh kecantikan Euis. Tapi bodynya… maaaak… chubby sekali…!
“Ya masih Den… saya kan belum tua – tua benar. Tapi ingin punya calon yang setampan Den Wawan…”
Mendengar ucapan itu, spontan batinku merasakan sesuatu yang lain dari biasanya. Ada desir nakal di dalam batinku. Bahkan pikiranku langsung ngeres. Bertanya – tanya seperti apa tubuh wanita setengah baya yang chubby itu kalau sudah telanjang ya? Aku bangkit dari sofa. Melangkah dan duduk di samping Bu Mimin.
“Den Wawan kan punya Euis,” sahutnya sambil mengerlingkan matanya yang masih tampak bening itu.
“Euis kan kerja di rumahku Bu. Hanya seminggu sekali dia bisa pulang ke sini kan? Jadi yang enam hari dalam seminggu, aku bisa sering nemenin Bu Mimin di sini.”
Wanita itu menatapku dengan senyum malu – malu tapi lumayan centil sikapnya itu.
“Den Wawan jangan PHP ah. Memangnya saya yang ndut ini menarik bagi Aden?” tanyanya, tau bahasa gaul segala ini ibunya Euis.
“Aku gak PHP. Bu Mimin sangat seksi di mataku. Cuma soal rasanya sih perlu dibuktikan dulu. Setelah dirasakan, nanti ketahuan enak nggaknya. Hihihihiii…” kataku sambil memperhatikan daster yang dikenakannya. Daster yang membuatku semakin yakin bahwa toket Bu Mimin jauh lebih gede daripada toket Euis.
“Jadi Ibu suka pada cowok seperti aku ini?” tanyaku setengah berbisik di dekat telinga Bu Mimin.
“Peremnpouan mana pun pasti suka sama Den Wawan yang begini tampannya. Saya sampai gemes melihatnya juga. Pengen cium bibirnya. Hihihihiiii… maklum saya sudah duapuluhlima tahun tidak merasakan sentuhan lelaki Den.”
“Duapuluhlima tahun tidak disentuh lelaki?”
“Iya. Kan suami saya meninggal pada saat Euis baru berumur setahun. Sejak saat itu saya tidak mau didekati lelaki secara serius. Tapi sekarang ini, begitu melihat Den Wawan secara seksama tadi, semangat saya jadi bangkit Den.”
“Jadi gemes dan pengen mencium bibirku?” tanyaklu sambil melingkarkan lengan di lehernya, lalu mendekatkan bibirku ke bibirnya.
“Iya… tapi saya tidak berani mencium bibir Aden…”
Aku tersenyum. Lalu merapatkan bibirku ke pipinya. Dan perlahan – lahan bergerak ke arah bibirnya. Dan… ia memagut bibirku duluan. Lalu terasa lumatannya yang sangat agresif. Membuatku terlupa bahwa wanita yang tengah melumat bibirku ini ibunya Euis.
Pada saat Bu Mimin sedang enjoy – enjoynya melumat bibirklu, tanganku pun tak mau berdiam pasif. Mulai memegang lututnya yang terbvuka di bawah dasternya, kemudian langsung nyelonong ke balik daster katun berwarna coklat muda itu. Merayapi paha gempalnya dan menyelinap ke balik celana dalamnya.
Kusentuh memek yang lebih tembem daripada memek Euis. Memek berjembut tapi terasa tipis sekali jembutnya.
Begitu jemariku menyentuh memeknya, Bu Mimin spontan memelukku erat – erat. Lumatannya pun semakin lahap. Sementara tubuhnya terasa mulai menghangat.
Tentu saja jemariku tak sekadar meraba – raba permukaan memek Bu Mimin. Melainkan juga menyelinap ke dalam celah memek tembem itu.
Tiba – tiba Bu Mimin melepaskan lumatannya dan berkata, “Oooooh… saya gak kuat lagi nahan nafsu Den. Kalau memek saya sudah digerayangi gini, gak nahan.”
“Ya ayo kita lanjutkan terus sampai tuntas,” sahutku dengan nafsu birahi yang sudah bergolak dan membutuhkan pelampiasan ini.
“Di dalam kamar saya aja yuk,” ucap Bu Mimin sambil bangkit dari sofa, sambil memegang pergelangan tanganku.
Aku pun mengikuti langkah Bu Mimin masuk ke dalam kamarnya.
Di dalam kamarnya itulah BU Mimin melepaskan dasternya, sehingga tinggal beha dan celana dalam serba hitam yang masih melekat di tubuhnya.
Gila… baru melihat tubuh yang masih berbeha dan bercelana dalam saja itu kontolku langsung ngaceng.
Terlebih setelah Bu Mimin melepaskan beha dan celana dalamnya.
Aduhai… dia benar – benar menggiurkan di mataku. Sepasang toket gede dan bokong yang super gede pula. Aku belum pernah mendapatkan pasangan seksual semontok dan semenggiurkan itu. Maka aku ingin merasakannya, tak peduli apa pun akibatnya kelak.
Tubuh Bu Mimin ini sangat menggoda dan menggiurkan. Sepasang toket gede dan bokong yang extra large. Pinggang yang ramping dan kulit yang putih mulus. Membuatku gemas dan spontan memeluknya dari belakang sambil berkata setengah berbisik, “Tubuh montok seperti Bu Mimin ini sejak lama kuinginkan. Dan kini, pucuk dicinta ulam tiba.
Bu Mimin menyahut, “Saya justru sampai lupa daratan melihat ketampanan Aden. Sampai lupa bahwa Den Wawan ini punya Euis… punya anak kandung saya sendiri.”
“Tapi aku gak pernah berjanji untuk menikahi Euis. Jadi kita bebas – bebas aja saling bagi rasa,” ucapku sambil mempererat dekapanku di pinggang Bu Mimin.
“Iya, Euis juga pernah bilang begitu. Gak apa – apalah. Yang penting Aden bisa memenuhi kebutuhan Euis sehari – hari. Den Wawan sudah sering menggauli Euis kan?”
“Euis cerita begitu?”
“Dia sih gak pernah cerita apa – apa. Tapi saya sudah punya dugaan kuat aja.”
“Iya… Euis sudah sering kugauli… dan aku menjamin masa depannya takkan terlantar.”
“Nanti bandingin ya… enak mana memek Euis dengan memek saya.”
“Hahahaaa… mau bersaing dengan anak sendiri?”
“Bukan bersaing. Saya hanya ingin tau keadaan saya sendiri, masih enak apa nggak. Maklum sudah duapuluhlima tahun memek saya nggak pernah dipakai,” sahut Bu Mimin sambil memutar badannya. Untuk melepaskan baju kausku, kemudian menarik ritsleting celana denimku.
Dan ketika ia berjongkok di depanku sambil memelorotkan celana dalamku, ia berseru tertahan, “Waaaaw…! Panjang gede gini punya Adeeen… !”
“Kenapa? Gak suka kontol panjang gede?” tanyaku sambil memegangi kepala Bi Mimin yang masih berjongkok di depan kakiku.
“Iiiih… justru terangsang, kebayang enaknya dirodok sama zakar sepanjang dan segede ini. Mwuaaaah… mwuaaaaaah…” ucap Bu Mimin yang diakhiri dengan ciuman – ciuman hangatnya di moncong zakarku. Lalu ia bangkit sambil meraih pergelangan tanganku, “Ayo Den ah… jangan buang – buang waktu…
Aku pun naik ke atas bed sambil tersenyum – senyum. Lalu menerkam tubuh tinggi montok itu dengan gairah menggebu – gebu. Dia pun menyambut terkamanku dengan gumulan agresif.
Memang mengasyikkan bergumul dengan wanita STW bertubuh tinggi gempal ini. Hatiku pun berkata, “Ngentot perempuan semontok ini sih pasti kenyang… !”
Tanpa harus kebanyakan foreplay, beberapa menit kemudian aku sudah meletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek Bu Mimin yang sudah ternganga basah. Dan dengan sekali dorong… blessssssss… batang zakarku melesak separohnya ke dalam liang memek Bu Mimin, meski aku harus mengerahkan segenap kekuatanku untuk membenamkannya.
Wanita itu pun menyambut dengan pelukan hangat di leherku disertai ringisan histerisnya, “Masuuuk… aaaaa… aaaaaaahhhh… akhirnya saya bisa merasakan lagi enaknya titit Deeen…”
“Titit sih buat anak kecil. Kalau orang dewasa sih bilang aja kontoool…” sahutku sambil mulai mengayun batang kemaluanku di dalam liang memek Bu Mimin yang ternyata enak sekali rasanya.
Bu Mimin terpejam – pejam sambil mendekap pinggangku erat – erat, diiringi rengekan manjanya yang terdengar erotis di telingaku, “Dudududuuuuuuhhhh… Deeen… kontol Den Wawan ini… enak sekali Deeeeen… aaaaaaaah Deeen… aaaaaaaah… luar biasa enaknya Deeeen… aaaaaaaah… uuuuuuuh…
“Memek Bu Mimin juga enak sekali… licin tapi legit… sekali – sekali Euis harus diajak bareng sama kita… biar sambil belajar sama kita…”
“Masa mau ngajak Euis segala. Malu dong… dilihat sama anak sendiri selagi beginian…”
“Tapi memek Bu Mimin bakal bikin aku ketagihan nih. Bisa tiap pagi nanti aku ke sini. Khusus buat ngentot Bu Mimin.”
“Iiii… iiiyaaaa… kapan pun Aden mau, saya siap buat ngeladeni Den Wawan… oooooh Deeeen… kontol Den Wawan ini terlalu enak buat saya… ini… ini… saya udah mau lepas Deeen…”
“Ayo lepasin aja, biar becek memeknya. Aku suka kok sama memek yang becek setelah orgasme.”
“Adududuuuh… Deeeeen… ini… sa… saya… mau… mau lepas Deeeen… “Bu Mimin gedebak gedebuk. Lalu mengejang tegang sambil menahan nafasnya. Lalu terjadilah sesuatu yang sangat indah itu. Liang memek Bu Mimin berkedut – kedut kencang, disusul dengan membasahnya liang sanggama legit itu.
Bu Mimin langsung terkulai sambil menghela nafas. Lalu ia menatapku dengan sorot wanita yang baru mencapai puncak kenikmatannya.
Kubiarkan ia memulihkan gairahnya kembali.
Dan setelah wajahnya tak pucat lagi, aku pun melanjutkan aksiku, mengayun kontolku bermaju mundur di dalam liang memek Bu Mimin yang legit ini. Memang terasa basah liang memek ibunya Euis ini. Tapi tidak becek. Padahal dia sudah orgasme. Dan biasanya kalau sudah orgasme, liang memeknya jadi becek.
Mungkin hal itulah yang membuatnya ingin membandingkan “rasa” memeknya dengan memek anaknya.
Dan aku harus mengakui, bahwa liang memek Bu Mimin… lebih enak…!
Karena itu, dengan sepenuh gairah aku mengentotnya lagi. Dalam kecepatan standard. Bahkan sempat juga aku membisiki telinganya sambil berkata, “Memek Bu Mimin memang lebih enak daripada memek Euis. Kenapa bisa begini ya?”
“Betul begitu Den? Syukurlah kalau Den Wawan merasa lebih enak. Jadi biar nanti ketagihan. Saya siap kok untuk meladeni Den Wawan tiap hari sekali pun,” sahutnya sambil mendekap pinggangku lagi.
Makin l;ama makin asyik juga rasanya mengentot wanita setengah baya ini. Maka sambil mempergencar entotanku, tanpa merasakan jijik sedikit pun lidahku mulai menjilati leher Bu Mimin yang sudah keringatan. Dengan lahap sekali.
Sehingga Bu Mimin mulai merintih – rintih histeris lagi, “Deeen… aaaaahhhh… Deeeen… aaaaaaah… aaaaaaah… Deeeeen… ini luar biasa enaknya Deeeeen… aaaaaaah… entot terus Deeen… enak sekaliiii… aaaaaaah… Deeeen… enak Deeeeeen… entot terus Deeeen… entooooooottttt…
Entooooottttt… entooooooootttt… aaaaaaahhh… Deeen… enak Deeen… enaaaaak… entooootttttt… iyaaaaa… iyaaaaaa… entotttt teruuussss Deeeen… enak sekali Deeeen… oooooohhhhh… luar biasa enaknyaaaa… Deeeen… aaaaaah… kontol Den Wawan enak sekaliiiii… enaaaaak…
“Ka… kalau aku ma.. mau buceng.. le… lepasin di mana Bu?” tanyaku terengah.
“Di dalem aja Den. Biar nikmat. Me… memangnya Den Wawan udah mau ngecrot?”
“Iii… iyaa…”
“Ayo Den… saya juga mau lepas lagi… ooooohhhhh… barengin aja Den… biar nikmaaaat…”
Lalu aku dan wanita setengah baya itu seperti sepasang manusia yang sedang kesurupan. Aku mengentotnya habis – habisan. Sementara dia pun menggoyang – goyangkan pinggulnya gila – gilaan. Sambil saling cengkram dan saling remas.
Dan akhirnya kami sama – sama berkelojotan di puncak kenikmatan ini.
Liang memek Bu Mimin terasa kedut – kedutan lagi, tepat pada saat kontolku mengejut – ngejut juga sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.
Jrooooooottttt… jrotttt… jrottt… jrooooottttttttt… jrottt… jrooooottttttttt… jroooooooottt!
Lalu kami sama sama terkapar di pantai kepuasan birahi kami.
Sebenarnya Bu Mimin bukan satu – satunya perempuan setengah baya yang kujadikan sasaran pelampiasan nafsu birahiku. Meski tidak memperlihatkan diri, aku ini memang penggila wanita setengah baya.
Aku masih ingat benar bahwa karyawan di kantorku boleh dibilang 80% cewek muda. Tapi aku malah mengincar Mbak Erma, manager keuangan di perusahaan punya Ibu Laila itu.
Mbak Erma memang chubby. Tapi entah kenapa aku jadi penasaran terus, ingin tau seperti apa rasanya wanita setengah baya yang tinggi montok itu.
Aku sering menggodanya di ruang kerjanya. Tentu saja hal itu hanya kulakukan jika tidak ada orang lain di ruang kerjanya kecuali aku dengan Mbak Erma.
Aku tahu dia senang kalau kugodain seperti itu. Tapi ketika aku semakin intensif menggodanya, ia menyahut, “Sayangnya saya sudah punya suami Boss.”
Sampai pada suatu hari, Mbak Erma kuajak ke Bogor, untuk mengaudit cabang perusahaan yang ada di kota hujan itu.
Sengaja aku tidak memakai sopir kantor, karena aku ingin sebebasnya menggoda Mbak Erma.
Dalam perjalanan menuju Bogor, aku mulai membuka percakapan, “Auditnya banyak sekali. Mungkin Mbak takkan bisa menyelesaikan hari ini.”
“Iya Boss. Saya sudah minta ijin sama suami, kalau – kalau harus nginep di Bogor nanti,” sahut mbak Erma.
“Baguslah. Kita check in di hotel yang bagus, lalu… nanti malam aku bisa mewujudkan apa yang kukhayalkan selama ini,” ucapku.
“Hihihiii… apa yang Boss khayalkan selama ini?”
“Pengen ikut memiliki Mbak. Hmmm… pasti indah sekali nanti malam… bisa melukin Mbak sebelum tidur.”
“Saya kan punya suami Boss. Biar pun suami saya sudah tua, saya gak pernah nyeleweng.”
“Jadi Mbak menolak ajakan bagusku nih? Ya gak apa – apa kalau gak mau sih, aku juga gak bakalan maksa.”
“Saya kan sudah tua Boss. Tahun depan usia saya pas empatpuluh tahun. SUdah tuda kan?”
“Itu usia yang paling menggiurkan bagiku Mbak. Karena pada dasarnya aku ini penggila wanita setengah baya.”
“Masa sih?!”
“Iya. Mbak kan bisa buktikan sendiri. Di kantor banyak cewek muda. Tapi aku tetap mengincar Mbak. Ingin berbagi rasa dengan Mbak.”
Mbak Ermi terdiam. Mungkin membenarkan ucapanku. Bahwa aku tak pernah menggoda cewek – cewek muda di kantorku. Hanya Mbak Erma ini yang sering kugoda.
“Nanti kita check ini di hotel yang terdekat aja sama kantor cabang itu. Silakan Mbak audit, sementara aku mau istirahat aja di hotel. Sambil nungguin Mbak datang.”
“Seharusnya kita berangkatnya besok pagi – pagi sekali. Sekarang sudah mulai sore Boss. Mungkin kita tiba di Bogor, kantor cabangnya pun sudah tutup.”
“Gak apa – apa. Kita langsung check in aja di hotel yang terdekat dengan kantor cabang. Auditnya dilaksanakan besok pagi juga gak apa – apa.”
“Terus kita mau ngapain aja Boss?”
“Kita… ena – ena aja.”
“Hihihi… saya… saya takut Boss.”
“Takut apa?”
“Takut ketagihan. Memangnya Boss mau ena – ena lagi kalau saya lagi kepengen?”
“Ya mau lah. Masa gak mau. Jadi kita sepakat nih… kita check in aja di hotel yang terdekat dengan kantor cabang kita. Lalu auditnya besok pagi aja. Oke?”
“Terus… kita mau ngapain aja di hotel itu Boss?”
“Pengen ngerasain apa yang belum pernah kurasakan dari Mbak.”
“Ngerasain apa?”
“Pengen jilatin bibir yang di bawah perut Mbak…” sahutku perlahan tapi tajam.
“Duh Boss… saya jadi merinding nih…”
“Kenapa merinding? Takut apa horny?”
“Boss tentu tau apa yang sedang terjadi pada saya saat ini.”
“Mbak bisa kuat lama begituan dengan suami?”
“Wah, suami saya udah letoy Boss. Usianya kan limabelas tahun lebih tua dari saya. Tapi dia sangat sayang pada saya. Itulah yang membuat hati saya berat. Kalau dia nggak sayang sih sama saya, udah lama saya pisah sama dia.”
“Kalau begitu, silakan pertahankan rumah tangga Mbak sama dia. Tapi kalau untuk kepuasan birahi… minta padaku aja yaaa…”
“Hihihihiii… Boss bisa aja. Saya sampai merinding – rinding nih dengarnya. Karena sudah membayangkan apa yang bakal terjadi di hotel nanti.”
Sambil tetap nyetir mobilku, diam – diam kuturunkan ritsleting celana panjangku, lalu kusembulkan kontolku yang sudah tegang ini dari balik celana dalamku. Lalu kupegang tangan kanan Mbak Erma dengan tangan kiriku, “Aku udah ngaceng berat nih Mbak… coba pegang…” ucapku sambil menarik tangan kanan Mbak Erma sampai menempel di kontolku…
“Waaaw…! Ini penis apa belalai gajah Boss?!” seru Mbak Erma tertahan. Namun ia memegang kontolku dengan tangan gemetaran.
“Nanti kan Mbak bisa rasain sendiri apa yang sedang Mbak genggam ini.”
“Hihihiiii… berarti Boss serius nih mau nyobain punya saya?”
“Tentu aja serius Mbak. Masa main – main?!”
“Meski pun saya ndut begini, punya saya kecil Boss. Saya kan belum pernah melahirkan.”
“Ohya?! Mbak belum punya anak?! Asyik dong. Pasti memek Mbak enak banget.”
“Gak tau. Nanti kan Boss sendiri yang ngerasainnya. Wah… udah masuk Bogor Boss,” ucapnya sambil melepaskan kembali kontol ngacengku dari genggamannya.
Aku mengangguk sambil memasukkan kembali kontolku ke balik celana dalam, kemudian membetulkan lagi ritsleting celana denimku.
Lalu aku fokus nyetir lagi.
Belasan menit kemudian, kubelokkan mobilku ke pekarangan sebuah hotel bintang empat, yang letaknya tak begitu jauh dari kantor cabang perusahaan.
Kebetulan hari itu bukan hari – hari weekend. Sehingga dengan mudah kudapatkan kamar di lantai 5.
Di dalam mlift menuju lantai 5, tidak ada orang lain kecuali aku dengan Mbak Ermi. Sehingga aku sempat memeluk dan mencium bibirnya yang tebal tapi sensual itu.
“Sudah siap untuk ena – ena?” tanyaku.
Mbak Ermi mengangguk sambil tersenyum. Lalu kami keluar dari pintu lift, menuju pintu kamar bernomor five O five alias 505.
Setelah berada di dalam kamar, Mbak Ermi bergegas masuk ke dalam kamar mandi sambil membekal sehelai kimono putih yang dikeluarkan dari tasnya. Mau pipis dulu, katanya.
Mungkin dia mau bersih – bersih dulu, bukan kebelet pengen kencing.
Aku pun melepaskan busanaku dan menggantinya dengan celana pendek putih dan baju kaus hitam. Tanpa mengenakan celana dalam. Biar gampang nanti… hahahaa…!
Tak lama kemudian Mbak Ermi muncul dari ambang pintu kamar mandi. Dalam keadaan sudah mengenakan kimono putih. Tapi aku yakin di balik kimono putih itu tidak ada beha mau pun celana dalam. Karena tonjolan pentil toketnya
Dengan nafsu bergejolak dahsyat, kusambut Mbak Erma dengan pelukan di lehernya. Lalu kucium bibir sensualnya sepuasku.
Setelah ciumanku terlepas, Mbak Erma berjongkok di depan kakiku, sambil memelorotkan celana pendekku yang memang elastis di bagian pinggangku ini.
Ternyata Mbak Erma pun sudah sangat bernafsu. Setelah menanggalkan celana pendekku, ia memegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini. Dan happpp… ia mengulum dan menyelomoti kontolku dengan lahapnya.
Kubiarkan ia beraksi beberapa menit. Sampai akhirnya ia melepaskan kontolku dari mulutnya, kemudian menariknyha ke atas bed…
Tanpa harus disuruh lagi, ia melepaskan ikatan tali kimononya, kemudian menanggalkan kimono putih itu.
Dan sekujur tubuhnya sudah telanjang bulat di depan mataku kini…!
Aku jadi teringat ibuku dan Wati yang masih dirawat di rumah sakit. Lalu terbayang olehku, seandainya mereka sudah bisa melihat kelak, mereka tidak kalah seksinya dengan Mbak Erma ini. Terutama Wati yang belakangan ini tubuhnya semakin montok saja.
Tapi aku harus melupakan mereka dahulu. Biarkan mereka tetap tenang menjalani pemeriksaan dalam rangka persiapan untuk dilakukan operasi pada mata mereka.
Dan kini wajahku sudah berhadapan dengan kemaluan Mbak Erma, ingin membuktikan benar tidaknya pengakuan dia tadi. Bahwa meski pun tubuhnya montok gempal, tapi liang memeknya kecil.
Seperti tahu apa yang akan kulakukan, Mbak Erma merenggangkan sepasang paha gempalnya selebar mungkin.
Ternyata benar. Setelah bibir luar memeknya (labia mayora) kungangakan, tampak jelas bagian dalamnya yang berwarna pink itu. Memang kelihatannya liang memek Mbak Erma kecil. Itu terbukti setelah jari tengahku diselusupkan ke dalamnya… betul pengakuannya itu. Bahwa liang memeknya sempit.
Maka dengan lahap kujilati bagian yang berwarna pink itu, membuat Mbak Erma menggeliat sambil meremas – remas kain seprai. Terlebih lagi setelah aku memfokuskan jilatanku ke clitorisnya, terasa Mbak Erma mengejang – ngejang dibuatnya.
Cukup lama aku menjilati labia minora (bibir dalam) dan clitoris Mbak Erma.
Sampai akhirnya aku merasa sudah saatnya untuk melakukan penetrasi.
Mbak Erma cuma terpejam ketika aku mulai meletakkan moncong kontolku di mulut memeknya yang empuk hangat dan basah.
Lalu kudorong kontol ngacengku tanpa tenaga, asalkan kepalanya masuk saja dulu. Duuuh… terasa “pulen”nya memek Mbak Erma ini ketika kepala kontolku sudah membenam ke dalam liang memeknya yang memang sempit tapi sudah basah dengan air liurku.
Lalu kukerahkan tenagaku untuk membenamkan kontolku semakin dalam. Uuuuugh… memang sempit sekali liang memek Mbak Erma ini. Tapi sedikit demi sedikit akhirnya kontolku membenam juga, sampai lebih dari separohnya.
“Ooooooh… penis Boss luar biasa gedenya… sampai seret gini masuknya… ooooooh… kok ada ya penis segede punya Boss ini… ooooh… dorong terus Boss… ooooh …“rintih Mbak Erma sambil mendekap pinggangku.
Empuk, hangat, licin tapi sempit liang kewanitaan Mbak Erma ini. Hal itu kurasakan setelah mengayun kontolku perlahan – lahan dulu. Makin lama makin cepat, sampai pada kecepatan normal.
Mbak Erma pun merintih dan merengek manja, yang malah terdengar erotis di telingaku. “Dudududuuuuhhhh… Bosss… ini… ini luar biasa enaknya Boss… oooooh… Boooosssss… penis Boss ini… terasa sekali gesekannya… lu… luar biasa enaknya Boss… oooooohhhhh… entot terus Boss…
Aku pun menanggapi rintihannya tanpa menghentikan entotanku, “Liang memek Mbak juga luar biasa legitnya… aku suka sekali… aku pasti ketagihan nanti…”
“Sama Boss… saya juga pasti ketagihan… dudududuuuuuh… sampai merinding – rinding gini saking enaknya Boss… ooooohhhhh… ooooooh… entot lebih keras lagi Boss… iyaaaa… iyaaaaa… entot terus Boss… entot teruuuuussss… oooooohhhh… nikmat sekali Boss… oooooh… ooooohhhhhhh…
Aku tak cuma mengentot liang memeknya. Mulutku pun mulai beraksi, untuk menjilati leher Mbak Erma yang mulai lembab oleh keringat. Sementara tanganku pun tak kubiarkan nganggur. Karena masih bisa meremas toket gedenya, sambil sesekali mengelus – eluskan ujung jariku ke pentil toketnya.
Karuan saja Mbak Erma semakin meraung – raung hsiteris. “Bossss… ooooohhhhh ini semakin nikmat Boss… kayaknya saya takkan lama lagi juga orgasme Boss… entot terus yang kencang Boss… saya mau lepas… mau lepassss…”
Tubuh sintal itu pun berkelojotan. Lalu mengejang tegang, dengan perut terangkat sedikit. Dan… liang memek legit itu pun mengedut – ngeduit kencang, disusul dengan gerakan seperti ular melilit kontolku.
“Aaaaaaaaaahhhhh… “Mbak Erma melepaskan nafasnya yang barusan tertahan selama beberapa detik.
Kubiarkan kontolku terendam beberapa saat di dalam liang memek yang luar biasa enaknya itu.
Setelah wajah Mbak Erma kemerahan lagi, barulah aku mengayun kembali kontolku sambil mencium dan melumat bibir tebal yang sensual itu.
Maka rintihan dan rengekan Mbak Erma pun berkumandang lagi di dalam kamar hotel ini.
Bahkan pada suatu saat Mbak Erma menatapku sambil bertanya, “Boss mau nyobain posisi lain?”
Kuhentikan entotanku sambil menyahut, “Boleh. Posisi doggy yok.”
“Iya,” sahut Mbak Erma sambil menarik kontolku sampai terlepas dari liang memek legitnya. Kemudian ia merangkak dan menunggingkan bokong gedenya, sehingga memeknya mudah dicapai oleh moncong kontolku.
Sambil berlutut kudorong batang kemaluanku dan langsung terbenam ke dalam liang surgawi Mbak Erma… blesssssss…
Lalu dalam posisi berlutut ini aku mulai mengentotnya lagi sambil berpegangan ke buah pantat Mbak Erma yang gede tapi masih sangat kencang ini.
Sambil mengayhun penisku, kucoba menepuk kedua buah pantat Mbak Erma. Plaaaak… plooook…!
“Iya Boss… tamparin bokong saya sepuas Boss. Malah enak rasanya.”
Kuikuti permintaan Mbak Erma itu. Mengentot liang memek legitnya sambil menampar – nampar sepasang buah pantat gedenya.
Plaaaak… plaaaaakkkk… plaaaaakkkkk… plaaaaaakkkk… plaaaaaakkkkk… plaaaaaakkkkk… plaaaaaakkkkkkkk… plaaaakkkkk… plaaaaaaakkkk… plaaaaaaakkkkk…
Hampir setengah jam aku melakukan semuanya ini. Sehingga keringatku semakin membanjir. Begitu juga dengan keringat Mbak Erma.
Sampai pada suatu saat, terdengar suara Mbak Erma yang sedang menungging itu, “Bosss… dudududuuuuuh… bossss… sa… saya mau orgasme lagi Boooossssss…”
Lalu wanita setengah baya itu ambruk. Kontolku pun terlepas dari liang memeknya.
Padahal aku sedang menikmati detik – detik di ambang pintu ejakulasiku. Karena itu, setelah Mbak Erma celentang lagi, aku langsung membenamkan kembali kontolku yang masih ngaceng berat ini ke dalam liang memek legit itu.
Sesaat kemudian aku sudah mulai mengentot Mbak Erma lagi, dalam posisi missionary kembali.
Dengan gencar kugenjot kontolku untuk “memompa” liang memek legit itu.
Mbak Erma cuma mendesah dan merintih dan membiarkanku meremas sepasang toket gedenya, mencium dan melumat bibir sensualnya, menjilati lehernya yang sudah basah oleh keringat dan bahkan menjilati ketiaknya yang basah oleh keringat dan harum dedodorant.
“Mbak… lepasin di mana nih?” tanyaku pada suatu saat, karena detik – detik puncak kenikmatanku sudah di ambang pintu.
“Mau di dalam memek boleh. Mau di dalam mulut saya juga boleh. Nanti saya telan air mani Boss, takkan disisakan setetes pun,” sahut Mbak Erma.
Maka dengan penuh gairah kugenjot kontolku segencar mujngkin. Lalu kucabut dan bergerak cepat menuju dada Mbak Erma. Kuletakkan kontolku di antara sepasang buah dada Mbak Erma. Dan langsung ditanggapi oleh Mbak Erma… ia menjepit kontolku dengan sepasang toketnya. Aku pun melanjutkannya, mengayun kontolku yang berada di dalam jepitan sepasang toket gede itu.
Dan ketika terasa sudah hampir ejakulasi, kutarik kontolku dari jepitan toket gede itu. Lalu cepat-cepat kumasukkan kontolku ke dalam mulut Mbak Erma.
Hanya sebentar Mbak Erfma menyedot – nyedot kontolku. Lalu lendir kenikmatanku pun berlompatan di dalam mulut Mbak Erma.
Crooottttt… croooooottttt… crotcrotttt… croooooootttttttt… croooottttttttt…!
Mbak Erma membuktikan kata – katanya. Air maniku ditelannya semua sampai tak tersisa setetes pun… glek.. glekkkk…!
Aku pun terkapar lunglai di samping Mbak Erma.
Beberapa saat kemudian…
“Mbak Erma masih punya orang tua?” tanyaku yang masih rebah di samping Mbak Erma.
“Tinggal ibu yang masih ada Boss. Sudah tua. Sudah enampuluh tahunan,” sahutnya.
“Ayah Mbak sudah meninggal?”
“Iya. Tapi ayah saya meninggalnya di rumah istri barunya. Bukan di rumah ibu saya. Karena ibu saya diceraikan, gara – gara tergoda oleh gadis tunanetra.”
Mendengar kata “tunanetra” itu aku agak kaget. Lalu bertanya, “Boleh aku tau siapa nama ayah Mbak itu?”
“Zaelani Boss.”
Kembali aku tersentak. Lalu bertanya lagi, “Mbak tau siapa nama wanita tunanetra yang dinikahi oleh ayah Mbak itu?”
Mbak Erma tampak seperti mengingat – ingat sesuatu. Lalu menyahut, “Mmmm… kalau tidak salah, nama wanita tunanetra itu Hayati. Kalau masih hidup, mungkin wanita itu sebaya dengan saya.”
Aku kaget lagi. Karena Hayati itu nama ibuku.
Lalu kuambil handphone dan kutampilkan foto almarhum ayah di layar handphoneku. “Mbak kenal dengan lelaki tua ini?” tanyaku sambil memperlihatkan layar hanphoneku padanya.
“Iii… ini foto ayah Boss,” sahut Mbak Erma sambil memegang handphoneku, “Kenapa foto almarhum ayah saya bisa ada sama Boss?”
“Karena beliau itu ayahku,” sahutku dengan batin melemah, “Dan wanita tunanetra itu adalah ibuku.”
“O my God! Jadi kalau begitu Boss ini adik saya…”
“Iya. Adik seayah berbeda ibu. Mmm… jangan dendam kepada ibuku ya Mbak.”
Mbak Erma malah memelukku. Menciumi pipiku sambil berkata dengan suara sendu, “Tidak Boss. Karena seorang gadis tunanetra takkan mungkin menggoda ayah. Pasti semua itu atas keinginan almarhum ayah sendiri. Aku malah merasa bahagia, karena ternyata saya punya adik… yang sekarang menjadi atasan saya pula di kantor.
“Masih ada dua orang lagi adik Mbak. Yang satu tunanetra juga seperti Ibu. Yang satulagi belum kutemukan, karena sejak kecil diadopsi oleh seorang pengusaha. Ohya, almarhum Ayah pernah curhat padaku. Bahwa beliau menikahi Ibu atas dasar perasaan kasihan kepada Ibu yang tidak bisa melihat.”
“Te… terus sekarang ibunya masih ada?”
“Masih. Sekarang Ibu sedang dirawat di rumah sakit mata. Masih menunggu saat yang tepat untuk menjalani operasi matanya. Kakakku juga sama, tidak bisa melihat seperti Ibu. Dia juga sama – sama sedang dirawat di rumnah sakit mata. Jadi anak – anak Ibu yang bisa melihat hanya aku dan adikku yang belum kutemukan itu.
“Terus… bagaimana dengan kita Boss?”
“Panggil namaku aja. Sekarang kan udah jelas bahwa aku ini adikmu Mbak.”
“Tapi biar bagaimana kan Boss ini atasanku. Karena di dalam kedudukan eksekutif, Boss ini orang nomor satu di perusahaan.”
“Kalau di kantor, boleh manggil boss. Seolah – olah kita ini bukan saudara. Lagian peraturan di kantor kita kanb sudah jelas. Tidak boleh ada dua orang yang punyha hubungan darah bekerja sebagai karyawan. Salah seorang harus resign. Jadi sebaiknya jangan ada yang tau kalau kita ini kakak beradik seayah berlainan ibu.
“Iya… tapi kita sudah melakukannya… padahal kita ini saudara,” kata Mbak Erma.
“Biar aja. Aku bahkan semakin bernafsu setelah tau masalah ini,” sahutku sambil meletakkan moncong kontolku di ambang mulut vagina Mbak Erma.
Lalu kudorong sekuatnya. Dan melesak masuk lagi ke dalam liang memek legit itu… blessss…
Lalu rintihan rintihan Mbak Erma pun terdengar lagi. Bahkan kali ini kami merasa lebih bebas melakukannya…
“Ya udah Mbak ke hotel aja langsung. Jalan kaki juga bisa kan?”
“Iya Boss. Ini juga sambil jalan kaki menuju hotel. Memang deket banget kok.”
Tak lama kemudian Mbak Erma sudah muncul di ambang pintu kamar bernomor 505 ini.
“Sekarang mau pulang Boss?” tanyanya.
“Ziaaaah… boss lagi boss lagi.”
“Mmm… manggil Dek Wawan boleh gitu?”
“Iya. Manggil nama langsung juga boleh.”
“Jangan ah. Dek Wawan kan manggil Mbak sama aku. Jadi aku manggil Dek, sebagai tanda saling menghormati, meski pun kita kakak beradik.”
“Iya, iya. Terus kita mau ngapain sekarang?” tanyaku sambil melingkarkan lenganku di leher Mbak Erma.
“Nggak tau ya. Terserah Dek Wawan aja.”
“Kalau aku sih inginnya nginep semalam lagi aja. Rasanya aku belum kenyang menggauli Mbak.”
“Iya, aku juga punya perasaan masih ingin berdekatan dengan Dek Wawan. Rasanya seperti baru menemukan sesuatu yang hilang dari diriku selama ini.”
“Mbak… jujur aja ya… memek Mbak luar biasa enaknya. Makanya aku ingin habis – habisan dulu di sini sebelum pulang.”
Mbak Erma pun mendekap pinggangku. Mencium dan melumat bibirku. Lalu berkata perlahan, “Sama Dek. Perasaanku juga seperti itu. Pokoknya selama aku berumahtangga, aku tak pernah merasakan senikmat disetubuhi seperti dengan Dek Wawan. Bahkan setelah tau bahwa Dek Wawan ini adekku, birahiku malah tambah bergejolak.
“Iya… sama aku juga begitu. Setelah tau Mbak ini kakakku, aku malah merasa Mbak semakin bernilai bagi kebutuhan perasaan dan birahiku. Ohya, Mbak udah makan siang?”
“Udah. Tadi di kantor cabang disuguhi makan sama direktur cabang.”
“Aku juga udah makan siang di resto hotel tadi. Sekarang kita ena-ena lagi aja ya, ya, ya?”
“Tadi malem udah dua kali ngecrot. Sekarang masih bisa maen lagi?”
Kugeluti bibir sensual dan lidahnya yang terjulur ke luar dengan mulutku.“Bisa lah. ini udah ngaceng lagi Mbak.”
“Ayo deh… nafsuku memang gede Dek. Makanya di rumah sih gak pernah bisa puas. Tapi dengan Dek Wawan… puas sekali,” ucap Mbak Erma sambil melepaskan segala yang melekat di tuibuhnya, sampai telanjang bulat lagi seperti tadi malam.
Entah kenapa, begitu menyaksikan tubuh sintal yang sudah telanjang itu, nafsu birahiku langsung meronta dan menggejolak.
Maka kugumuli tubuh sintal tapi padat itu dengan segenap gairahku. Kucium dan kulumat bibir sensualnya dengan penuh nafsu.
Sementara tanganku mulai bermain di permukaan memek tembemnya. Bahkan sesekali jemariku menyelusup ke dalam celah memeknya yang terasa sudah basah, sehingga aku tak perlu main jilat lagi rasanya.
Maka dengan cekatan kuletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek tembem Mbak Erma. Rasanya aku suidah mulai hafal bentuk memek kakak seayah berbeda ibu itu. Maka dengan sekali dorong kontolku mulai melesak ke dalam liang memek Mbak Erma. Lalu kudorong sedikit demi sedikit sampai masuk separohnya.
“Ooooooh… sudah masuk Dek… memang kontol Dek Wawan ini lain rasanya… terasa sekali gede dan panjangnya… “sambut Mbak Erma sambil melingkarkan lengannya di leherku. Lalu mencium dan melumat bibirku dengan lahapnya, sementara aku sudah mulai mengayun batang kemaluanku di dalam jepitan liang memek Mbak Erma yang sempit tapi licin dan legit ini.
Mbak Erma pun mulai merintih – rintih histeris lagi, “Deeeek… duuuuuh… penis Dek Wawan ini… oooooh… memang terasa sekali… luar biasa enaknya Deeeek… oooooohhhhh… ooooohhhhh… ooooohhhhhhh entot terus Deeeek… entot teruuuusssss… aku sudah tergila – gila padamu Deeeek…
Biarlah dosanya kita tanggung berdua ya Deeek… soalnya aku sudah telanjur merasakan enaknya dientot sama Dek Wawan… iyaaaaa… iyaaaaa… entot teruuuuss… entoooot… entoooottttttttt… enaaaak Deeek… enak sekaliiiii… entot terus… jangan mandeg – mandeg Deeeek… entot terussssss…
Aku memang sudah mulai melakukan hardcore. Mengentot memek Mbak Erma dengan sangat massive, sementara mulutku menancap di lehernya yang sudah mulai keringatan. Terkadang mulutku terbenam di ketiaknya yang juga sudah keringatanb. Di situlah lidahku menjilat – jilat disertai dengan sedotan sedotan kuat.
Tak cukup dengan itu. Pada suatu saat Mbak Erfma ingin main di atas. Kukabulkan saja. Lalu kami bertukar posisi. Mbak Erma seperti penunggang kuda jadinya. Bokongnya naik turun dengan cepatnya. Sehingga selangkangannya terus – terusan bertabrakan dengan selangkanganku. Menimbulkan bunyi unik… plokkk…
Sambil celentang begini, aku jadi bisa melihat jelas kontolku terkadang “lenyap ditelan” memek Mbak Erma. Terkadang “dimuntahkan” lagi. Lalu ditelan lagi dan dimuntahkan lagi.
Sepasang toket gedenya yang bergelantungan dsi atas dadaku pun tak kubiarkan nganggur. Kedua tanganku meremasnya dengan lembut, tapi terkadang meremasnya dengan kuat juga.
Dalam posisi WOT inilah Mbak Erma mencapai orgasme pertamanya.
Lalu kami kembali ke posisi missionary. Memang posisi klasik ini paling sempurna di antara posisi – posisi seksual yang ada. Karena dalam posisi missionary ini aku bisa mencium bibir Mbak Erma sepuasnya. Biusa mengemut pentil toketnya, bisa menjilati lehernya, bisa menjilati telinganya dan bahkan bisa juga menjilati ketiaknya.
Memang aku senantiasa berprinsip bahwa aku harus “take and give” dengan pasangan seksualku. Aku ingin agar jangan aku sendiri yang merasa puas, tapi pasangan seksualku pun harus merasa puas.
Dalam posisi missionary ini aku bisa menyentuh titik – titik sensitif di tubuh Mbak Erma. Sehingga rintihan dan rengakjan manjanya terdengar terus di kamar hotel ini.
Dan… ketika terasa aku mau ejakulasi, ternyata Mbak Erma pun mau orgasme untuk kedua kalinya.
Aku berhasil menciptakan sesuatu yang paling indah di dalam hubungan seks. Bahwa ketika liang memek Mbak Erma mengejut – ngejut di puncak orgasmenya, kontolku pun mengejut – ngejut sambil memuncratkan lendir kenikmatanku.
Crotttt… croooottttt… crolttt… crooootttt… crooootttttttt… croooottt… crooootttt…!
Lalu kami sama – sama terkapar di pantai kepuasan kami.
Kami habis – habisan melampiaskan nafsu birahi kami yang seolah tiada kenyangnya di hotel itu. Malamnya kami ulangi lagi persetubuhan kami. Bahkan menje;lang fajar menyingsing pun kami ulangi lagi saling melampiaskan nafsu birahi kami.
Bahkan setelah kami pulang ke kota kami dan sama – sama bekerja kembali di kantor kami, keindahan itu kureguk kembali.
Mbak Erma kupanggil ke ruang kerjaku. Lalu kusetubuhi dia di ruang rehat yang biasanya dipakai untuk istirahat olehku.
Mbak Erma selalu mengiyakan setiap kali kuajak bersetubuh. Karena pada dasarnya dia seorang wanita yang haus sex. Laksana kafilah dahaga di tengah padang pasir. Lalu diriku seolah oase baginya. Lalu direguklah kenikmatan dariku dengan lahapnya.
Aku laksana berada di surga… maksudku surga dunia. Karena kebutuhan material tercukupi, kebutuhan batin pun terpuasi.
Terlebih ketika pada suatu hari aku diajak ketemuan oleh Bu Laila di sebuah restoran paling bergengsi di kotaku.
Pada saat itulah Bu Laila berkata setengah berbisik padaku, “Aku mulai hamil Sayang. Sudah empat minggu hamilnya.”
“Ohya?! “aku terkejut bercampur girang, “Mengandung benihku kan?”
“Tentu saja. Memangnya siapa lagi kalau bukan dirimu Cinta.”
“Bahagia sekali mendengarnya langsung dari mulut bidadariku. Lantas apa yang bisa kulakukan untuk menyambut berita gembira ini?”
“Aku ingin merawat kandujnganku sebaik mungkin. Jadi… kamu harus puasa dulu sampai aku hamil tua. Setelah kandunganku berumur tujuh bulan sih, kamu bisa gauli aku lagi sepuasnya. Sekarang puasa dulu, bisa kan?”
“Iya Cinta. Demi kesehatan anak kita, aku akan berpuasa sampai bisa melakukannya lagi.”
“Syukurlah kalau pangeranku bisa mengerti,” ucap Bu Laila sambil meremas tanganku yang terletak di atas meja restgoran.
“Suami Cinta gimana reaksinya setelah tahu Cinta sudah hamil?”
“Nggak kenapa – kenapa. Dia malah kelihatan senang. Tapi pada waktu dia bertanya siapa yang menghamiliku, aku tidak menjawabnya. Pokoknya adalah seseorang, jawabku saat itu.”
“Jadi sampai sekarang dia tidak tau kalau aku yang menghamili Cinta?”
“Sampai kapan pun dia tak boleh tau. Karena aku ingin agar hubungan kita terjalin terus sampai kapan pun.”
“Iya… “aku mengangguk – angguk.
“Ohya… ini ada hadiah dariku, sebagai ungkapan rasa bahagiaku saat ini,” ucap Bu Laila sambil mengeluarkan amplop dari dalam tas kecilnya.
“Apa ini?” tanyaku heran sambil membuka amlop itu.
“Baca aja sendiri,” sahut Bu Laila sambil tersenyum.
Ternyata isi amplop itu tanda pembelian sebuah mobil mahal built up Jerman (bukan bulit up Thailand yang tekniknya tidak lebih baik dari negaraku). Dan aku tahu harfga mobil itu mahal sekali.
“Besok mobil itu sudah bisa kamu ambil Honey. Ini remote controlnya, karena sedan itu sudah berteknologi keyless,” ucap Bu Laila sambil menyerahkan dua buah remote control. Berarti salah satunya untuk cadangan.
“Aku jadi speechless Cinta. Sedikit pun aku tak pernah membayangkan bakal memiliki mobil semahal itu.”
“Sudah saatnya dirimu memakai sedan yang keren, karena jabatanmu sekarang sudah menjadi direktur utama kan?”
“Iya Cinta. Terima kasih yaaa,” ucapku disusul dengan kecupan di pipinya. Tanpa peduli kalau ada yang melihat di dalam restoran ini.
Bu Laila menyahutku dengan bisikan, “Kembali kasih. Tapi nanti setelah kandunganku berumur tujuh bulan, kamu harus sering menggauliku ya Honey.”
“Siap Cinta. Mau tiap hari juga siap !”
“Tiap hari sih jangan. Kasihan babynya.”
Begitulah. Akhirnya malam itu kami berpisah, tanpa hubungan sex. Karena Bu Laila ingin agar kandungannya jangan tergoncang – goncang dulu. Maklum masih hamil muda.
Esok paginya aku memakai taksi untuk mendatangi dealer sedan mahal itu. Sengaja aku pakai taksi, karena akan membawa mobil yang sudah dibayar lunas berikut asuransinya oleh Bu Laila. Surat – suratnya atas namaku. Seolah – olah aku yang membeli mobil mahal itu.
Sebuah sedan hitam yang sangat keren di mataku.
Setelah pihak dealer menerangkan beberapa hal tentang cara penggunaan sedan mahal itu, aku pun mengemudikan sedan hitam itu. Meninggalkan kantor dan showroom dealer dengan hati berbunga – bunga.
Aku seolah sudah menggenggam salah satu kemenangan di dalam mengarungi kehidupan ini. Dan aku sjudah membayangkan betapa tambah kerennya diriku pada waktu mengemudikan mobil mewah ini.
Namun kehidupan di dunia ini selalu ada pasangannya. Ada siang ada malam. Ada pria ada wanita. Ada keuntungan ada kerugian. Ada kemanisan ada kepahitan. Ada kemenangan ada kekalahan.
Aku sudah memperoileh salah satu kemenangan di dalam mengarungi kehidupan ini. Dengan mendengar berita menggembirakan bahwa Bu Laila mulai hamil, lalu menerima hadiah yang sangat mahal ini darinya.
Tapi kemenangan itu disusul dengan suatu kekalahan. Bahwa dokter hanya mampu membuat Wati bisa melihat, tapi tidak mampu membuat Ibu bisa melihat seperti manusia bermata normal.
Banyak alasan yang dokter kemukakan. Sehingga sampai pada suatu kesimpulan, bahwa ibuku takkan mungkin bisa melihat, karena jaringan syaraf yang menunjang untuknya agar bisa melihat, sudah tidak berfungsi semua.
Wati tampak bahagia sekali karena ia tidak buta lagi. Tapi bagaimana dengan ibuku?
Sedih hatiku mnenerima kenyataan pahit ini. Tapi sepulangnya dari rumah sakit, Ibu berkata, “Biar sajalah, ibu sih jangan terlalu dipikirkan Wan. Karena kalau dipikir – pikir, ibu ini sudah tua. Bisa melihat pun untuk apa? Toh ibu sudah terbiasa dalam keadaan tunanetra begini. Yang penting Wati itu.
“Iya Bu. Ternyata tidak semua orang buta bisa ditolong dokter agar bisa melihat. Aku sudah berusaha untuk menormalkan mata Ibu. Tapi apa daya… para dokter pun tidak berdaya menghadapi kenyataan pahit ini.”
“Iya sudah. Jangan bahas lagi masalah itu. Sekarang pusatkan saja pikiranmu untuk membahagiakan Wati. Bahkan kalau bisa, carilah jodoh untuknya. Supaya dia juga merasakan berumahtangga seperti perempuan lain.”
Kemudian aku keluar dari kamar Ibu dan membuka pintu kamar Wati, lalu masuk ke dalamnya. Kamar ini sudah dibangun dengan cara semodern mungkin. Pasti Wati senang sekali melihat bentuk kamarnya yang tidak kalah dengan kamar – kamar mandi orang kaya di sekitar rumah peninggalan almarhum ayahku ini.
Ternyata Wati sedang mandi. Aku pun langsung membuka pintu kamar mandi.
Tampak kakakku itu sedang berendam di dalam bathtub. Memang pada saat Ibu dan Wati sedang berada di rumah sakit, kutambahkan bathtub ke kamar mandi mereka.
“Enak kan pakai bathtub gitu?” tanyaku.
Wati agak kaget karena baru sadar ada orang lain di dalam kamar mandi ini.
“Enak Wan. Makasih yaaa… akhirnya aku bisa merasakan juga enaknya berendam di dalam bathtub.”
Mata jalangku memperhatikan bentuk kakakku dalam keadaan telanjang bulat itu. Kelihatannya toket Wati jadi ngegedin sedikit. Bokongnya juga ngegedein. Maka bisalah aku menilai kakakku itu manis dan seksi.
“Kamu masih butuh kontolku gak?” tanyaku sambil menjawil toket gedenya.
“Ya maulah. Selama dirawat di rumah sakit, tak sekali pun aku bisa melihat yang namanya kontol. Apalagi menyentuhnya. Hihihiiii… !”
“Jadi sekarang mau kuentot gak?”
“Mauuuu… tapi sebentar kuselesaikan dulu mandinya ya Wan.”
“Kirain setelah bisa melihat, kamu gak butuh kontolku lagi. Ayo cepetan dong mandinya.”
Aku keluar dari kamar mandi. Lalu kututup dan kukuncikan pintu kamar Wati ini, agar aku leluasa main dengannya tanpa gangguan siapa pun.
Tak lama kemudian Wati pun muncul dari kamar mandi, dengan membelitkan handuk di badannya.
Handuk itu pun kutarik sampai terlepas dari tubuh Wati. Dan ternyata benar dugaanku. Di balik handuk itu tiada apa – apa selain tubuh Wati yang seksi abis itu.
Wati tidak marah. Malah mendekap pinggangku sambil menatapku dengan bola mata bergoyang perlahan. “Kamu kangen kan sama aku?”
“Kamu sendiri gimana?”
“Iiih… orang nanya malah balik nanya.”
“Iya kangen Wat. Apalagi sekarang, kamu jadi tampak benar – benar hidup.”
“Emangnya pada waktu aku masih buta kayak mayat gitu?”
“Nggak kayak mayat sih. Tapi sekarang kamu memang jadi lebih seksi. Kulitmu juga jadi lebih bersih sekarang.”
“Di rumah sakit kan cuma makan – tidur makan – tidur selama lebih dari sebulan. Makanya jadi lebih montok dan bersih.”
“Jadi lebih seksi pula,” ucapku sambil mengusap – usap toket gedenya.
“Kalau memang jadi seksi, cariin cowok buat calon suamiku Wan.”
“Terus aku mau dilupakan begitu aja?”
“Ya nggak lah. Tapi biar gimana kita kan gak bisa menikah Wan. Makanya cariin aku calon suami. Yang udah tua juga gak apa – apa, asalkan tajir. Soal hubungan kita sih bisa aja dilanjutkan secara rahasia.”
“Ya nanti kalau sudah bosan sama kamu, kucariin cowok tua tapi tajir,” sahutku sambil menelanjangi diriku sendiri.
Wati terlongong. Mengamati batang kemaluanku. Lalu memegangnya sambil berkata, “Inilah pertama kalinya aku bisa melihat bentuk kontol. Lucu ya… kepalanya seperti helm… seperti jamur kancing juga… hihihiii…”
Tak cuma memegangnya, Wati pun lalu menjilati leher dan moncong penisku. Bahkan kemudian mengulum dan menyelomotinya dengan lahap.
Cukup lama kubiarkan Wati mengoral kontolku. Setelah kontolku benar – benar ngaceng, cepat Wati menelentang sambil berkata, “Jangan jilati memekku. Langsung aja masukin kontolmu. Aku ingin merasakan nikmatnya gesekan kontolmu dalam keadaan belum becek.”
Aku menurut saja. Lalu meletakkan moncong kontolku di ambang mulut vagina kakakku.
Wati pun ikut memegang leher klontolku, sambil mengarahkan moncongnya agar berada di posisi yang pas menuju mulut liang memeknya.
Lalu kudorong kontol ngacengku sekuat tenaga. Dan melesak masuk sedikit demi sedikit.
“Oooooohhhhhh… kalau gak dibecekin dulu kan enak sekali Wan… terasa sekali kontolmu bergerak masuk begini… ooooohhhhh… kontolmu memang enak sekali Wan. Sayangnya kita bersaudara ya… kalau kamu bukan adikku, pasti aku ingin dijadikan istrimu… ayo entotin Wan… !”
Dengan penuh nafsu aku pun mulai mengayun kontolku perlahan – lahan. Setelah liang memek Wati terasa licin, barulah aku bisa mempercepat entotanku, sampai pada kecepatan standard.
Dengan trampilnya Wati pun menggeol – geolkan pinggulnya, sehingga kontolku terasa dibesot – besot oleh liang memeknya yang bergerinjal – gerinjal empuk hangat dan licin itu.
Wati pun mulai merintih – rintih erotis.
“Waaaaan… aaaaaah… Waaaaan… aku udah lebih dari sebulan gak dientot sama kamu… sekarang terasa sekali enaknya kontolmu ini Waaan… iyaaaaa… iyaaaaa… entot terus Waaan… iyaaa… iyaaaaa… entot terus Waaaan… iyaaaa… iyaaaa… entottt… entooooottttt… entooot teruuuuuuusssss…
Sementara itu aku mulai menjilati leher Wati yang mulai lembab oleh keringat, disertai dengan gigitan – gigitan kecil. Aksiku ini membuat Wati semakin merem melek. Semakin berlontaran pula rintihan – rintihan histeris dari mulutnya.
Tapi Wati tetap menggoyangkan pinggul dengan lincahnya. Mungkin pada waktu di Kalimantan dia sudah dilatih oleh lelaki yang pernah memboyongnya ke sana. Dilatih untuk menggoyangkan pinggulnya selincah mungkin.
Cukup lama aku menggenjot liang memek Wati yang terasa licin tapi lumayan sempit ini. Sampai pada suatu saat, ketika Wati berkelojotan aku pun menggencarkan entotanku. Dan ketika ia mengejang tegang, aku pun sudah tiba di puncak kenikmatanku.
Lalu terasa liang memek Wati berkedut – kedut di puncak orgasmenya. Pada saat yang sama kutancapkan kontolku sedalam mungkin, tanpa kugerakkan lagi.
Lalu… kontolku pun mengejut – ngejut sambil memuntahkan air maniku.
Crooooottt… crooootttt… crottt… croooooooootttt… coooottttttttt… crooootttt…!
Aku pun terkapar di atas perut kakakku. Dengan tubuh bersimbah keringat.
“Barusan dibarengin ya?”
“Iya,” sahutku sambil mencabut kontolku dari liang memek kakakku, “Lebih enak dibarengin kan?”
“Iya. Tapi kalau aku tidak ikutan kabe sih bisa hamil.”
“Ogitu ya,” ucapku sambil meraih pakaianku yang berserakan di lantai, “Aku mau bobo sama Ibu ah. Kangen… pengen tidur dalam pelukannya.”
Kemudian, aku melangkah menuju kamar Ibu, dalam keadaan telanjang bulat sambil menggenggam pakaian yang belum kukenakan kembali.
Setelah berada di dalam kamar Ibu, kututupkan kembali pintunya, lalu kukunci sekalian.
Ibu agak kaget mendengar langkah menuju bednya. “Wan !” panggilnya.
“Iya Bu,” sahutku.
“Owh… kirain siapa.”
Lalu aku naik ke atas bed Ibu sambil berkata, “Aku kangen, pengen bobo di dalam pelukan Ibu.”
Ibu meraba – raba kakiku, perutku dan juga kontolku yang masih lemas ini.
“Kok tamu telanjang? Mau nidurin ibu ya? Sekarang mah gak bisa ibunya Wan.”
“Kenapa?”
“Ibu lagi datang bulan.”
“Owh… ya udah… aku mau sabar aja menunggu sampai Ibu bersih.”
“Mungkin lima hari lagi bersihnya Sayang.”
“Kalau Ibu lagi mens sih gak jadi ah tidur sama Ibunya.”
“Hihihiii… kasian anak ibu.”
Akhirnya kutinggalkan kamar Ibu, dengan perasaan kecewa. Lalu masuk ke dalam kamarku. Dan langsung masuk ke kamar mandi pribadiku. Keringat bekas bersetubuh dengan Wati tadi membuat badanku lengket – lengket. Karena itu aku mandi dengan air hangat yang memancar dari shower utama di atas kepalaku. Lalu menyabuni tubuhku sebersih mungkin.
Setelah mandi, badanku terasa segar kembali. Tapi perasaan kecewa masih tersimpan di dalam hatiku. Karena tadinya aku ingin menyetubuhi ibuku. Tapi ternyata ibuku sedang “palang merah”.
Meski pun sudah ngecrot di dalam liang memek Wati tadi, aku yakin masih bisa bersetubuh sekali atau dua kali lagi. Karena dalam beberapa hari belakangan ini aku tidak menggauli siapa pun. Sementara Bu Laila ingin “berpuasa” dulu katanya, agar janin di dalam perutnya tenang.
Lalu siapa yang harus kusetubuhi?
Entahlah. Yang jelas, jangan dengan Wati lagi. Sebaiknya ada sosok lain yang akan kujadikan target.
Kalau ada Euis, pasti aku akan menyetubuhi dia habis – habisan. Tapi Euis sudah pulang tadi sore.
Lalu kenapa aku tidak ke rumahnya saja? Kalau perlu kusikat dengan ibunya sekalian.
Ya, biar bagaimana pun Bu Mimin sudah pernah memberiku kenangan dan kepuasan. Tapi seandainya Euis tahu bahwa aku sudah pernah menggauli ibunya segala, apakah Euis takkan merajuk?
Entahlah. Biar bagaimana nanti saja. Aku akan melihat situasinya saja dulu. Siapa tahu ada salah seorang yang sedang datang bulan pula di antara Euis dan ibunya.
Ketika jam tanganku baru menunjukkan pukul delapan malam, aku mengeluarkan mobil lamaku keluar dari garasi. Sedan hadiah dari Bu Laila hanya akan kupakai untuk ke kantor atau kalau ada meeting dengan para pengusaha relasiku saja.
Tak lama kemudian aku sudah menjalankan mobil lamaku menuju rumah Euis.
Hanya dibutuhkan waktu sejam untuk mencapai rumah yang sudah kuhadiahkan kepada Euis itu. Lalu aku pun turun dari mobilku.
Belum lagi kuketuk pintu depan rumah Euis, pintu itu terbuka dan Bu Mimin berdiri di ambang pintu depan.
“Firasat saya tajam juga ya. Saya barusan sedang mikirin Den Wawan. Eeee, gak taunya Aden datang, “sambut Bu Mimin sambil mempersilakanku masuk.
“Euis mana?” tanyaku.
“Sudah tidur Den,” sahut Bu Mimin yang malam itu mengenakan daster katun berwarna light brown polos alias tanpa corak, “Sejak jam tujuh tadi dia sudah tidur nyenyak. Aden ada perlu sama dia?”
“Nggak,” sahutku sambil menarik pergelangan tangan Bu Mimin dan mengajaknya duduk di sofa ruang keluarga.
Dia menurut saja. Duduk di sampingku sambil merapatkan pipinya ke pipiku. “Aden kangen sama saya atau sama Euis?”
Tanganku langsung merayap ke balik daster coklat mudanya. “Dua – duanya,” sahutku sambil menyelinapkan tanganku ke balik celana dalamnya. Lalu mengusap – usap permukaan memeknya. Dan menyelundupkan jari tengahku ke dalam celah vaginanya yang agak basah… dan semakin basah setelah jemariku mmenggesek – gesek dinding liang memeknya.
“Den… kalau memek saya udah dibeginiin… saya langsung kepengen…” ucap Bu Mimin setengah berbisik.
“Ya udah… kita main di sini aja Bu. Lepasin dulu dasternya dong.”
“Jangan di sini Den. Perasaan saya jadi gak tenang kalau di sini sih. Di kamar saya aja yok.”
Akhirnya kuikuti ajakan Bu Mimin, melangkah di sampingnya menuju pintu kamarnya.
Setelah berada di dalam kamarnya, Bu Mimin langsung melepaskan daster, beha dan celana dalamnya. Sehingga tubuh tinggi montoknya telanjang bulat di depan mataku.
Aku pun cep[at menelanjangi diriku sendiri, kemudian menyergap pinggang Bu Mimin dan meraihnya ke atas bed.
“Duuuh… senengnya hati saya Den… pas lagi kangen, Aden datang,” ucap Bu Mimin setelah celentang di atas bed akibat dadanya kudorong.
Tanpa basa – basi lagi kuserudukkan mulutku ke memek Bu Mimin yang tembem dan sangat merangsang itu.
Buj Mimin tersentak kaget. Mungkin karena tidak mengira kalau aku akan langsung menjilati memek tembemnya. Namun lalu ia mulai mewndesah – desah sambil meremas – remas kain seprai. Karena aku sudah gencar menjilati memeknya, sementara telunjuk dan jari tengahku mulai menyodok – nyodok liang memeknya.
Dalam trempo singkat saja liang memek Bu Mimin sudah basah dibuatnya.
Lalu… dengan sekali dorong saja kontolku mulai melesak masuk ke dalam liang sanggama wanita setengah baya itu.
“Oooooohhhh… sudah masuk Deeeen… “rintih Bu Mimin sambil mendekap kedua pangkal lenganku erat – erat, seperti orang yang takut jatuh dari ketinggian.
Aku pun mulai mengayun batang kemaluanku, bergerak maju mundur seperti sedang memompa liang memek wanita setengah baya yang cantik itu.
Bu Mimin pun mulai mendesah dan merintih, “Aaaaaah… Deeen… aaaaah… Deeeen… aaaaaah… Deeeeen… aaaaah… aaaa… aaaaah… Deeeen… ini… ini… ini luar biasa enaknya Deeen… aaaaah… Den Wawaaaaan… aaaaaah… enak sekali
Deeen… entot terus Deeeen… entooot teruuusssss… entooootttt… entooooottt… !“
Bu Mimin meraung – raung histeris terus. Dan mungkin rintihan histeris Bu Mimin itu terlalu keras dan sulit dikendalikan. Sehingga rintihannya itu terdengar oleh anaknya. Entahlah apa yang menyebabkan Euis terbangun dan membuka pintu kamar ibunya. Entahlah. Yang jelas tiba – tiba aku mendengar suara Euis dari samping kiriku, “Ema…
Tentu saja aku terkejut. Lalu menoleh ke arah Euis yang sudah berdiri di ambang pintu. Dengan sikap malu – malu. Mungkin dia malu sendiri melihat ibunya sedang kusetubuhi begini.
Aku pun menghentikan entotanku dan berkata kepada Euis, “Sini… kita bikin keseruan di dalam kamar ini. Lepaskan seluruh pakaianmu dan naik ke atas bed sini.”
Sambil tersenyum – senyum Euis menghampiri bed yang tengah kami pakai bersetubuh ini.
“Ayo jangan malu – malu. Lepasin semua pakaianmu, “perintahku.
Euis mengangguk dan mengikuti apa yang kuperintahkan.
Wanita setengah baya itu memegang tangan anaknya sambil berkata, “Maafkan ema ya Euis. Ema sudah mencuri kepunyaanmu. Karena ema juga masih sangat butuh, untuk penyemangat hidup ema.”
Euis seperti terharu, lalu mencium pipi ibunya yang sedang berada di bawah himpitanku itu, “Gak apa – apa Ma. Den Wawan kan bukan suamiku. Lagian Ema masih berhak untuk menikmatinya… menikmati hukum alam bahwa seorang wanita membutuhkan pria.”
Kutepuk bokong Euis yang berada di dekat tanganku, lalu berkata, “Pokoknya kita bertiga kompak aja ya Is. Aku memiliki kalian berdua dan kalian berdua memilikiku. Bahkan mulai saat ini setiap kali kita melakukannya pasti lebih sewru daripada biasanya.”
“Iya Den. Saya malah senang kalau Aden berkenan menggauli ema saya. Kasihan Ema… sudah bertahun – tahun tidak merasakan sentuhan lelaki.”
“Berarti kamu bijaksana Is,” ucapku sambil menarik lehernya ke dekatku. Lalu kucium bibirnya. Kemudian kulanjutkan aksiku “memompa” liang memek tembem Bu Mimin di depan mata anak semata wayangnya.
Bu Mimin pun mulai lupa daratan lagi. Ia tak peduli lagi dengan kehadiran anaknya. Lalu merintih – rintih histeris lagi, “Dudududuuuuh… Deeeen… eeeenaaaak sekaliiii… duuuuh… punya Den Wawan memang luar biasa enaknyaaaa… entot terus Den… entot terussss… sampai saya lepas… nanti giliran Euis setelah saya lepas…
Sambil meremas sepasang toket Bu Mimin, kugenjot liang memeknya segencar mungkin. Agar dia cepat orgasme.
“Aaaaah… Deeeeen… aaaaaaah… Deeeeen… ini luar biasa enaknya Deeeen… entot terus Deeeeeen… enaaaaaak… sangat enaaaaaak… aaaahhhhh… enaaaak Deeeen… iyaaaaa… iyaaaaa… iyaaaaa… iyaaaa… ooooooohhhhh… punya Den Wawan luar biasa enaknyaaaaaa… “rintih Bu Mimin sambil menggoyang pinggulnya dengan gerakan menukik – nukik.
Akibatnya… beberapa saat kemudian Bu Mimin berkelojotan. Kemudian mengejang tegang sambil menahan nafasnya, sementara perutnya sedikit terangkat ke atas.
Aku mengerti apa yang sedang terjadi dengan Bu Mimin. Lalu kutancapkan kontolku sedalam mungkin, sampai menyundul dasar liang memek Bu Mimin.
Pada saat itulah liang memek Bu Mimin terasa berkedut – kedut kencang, disusul dengan gerakan seperti spiral yang membelit batang kemaluanku. seolah ingin memuntahkan kontolku dari dalam liang memeknya.
Ini adalah detik – detikm yang sangat indah. Bahwa aku ikut menikmati denyhut – denyut orgasme memek Bu Mimin, sambil memasukkan jari tengahku ke liang memek Euis yang sudah basah (karena dari tadi aku mengentot Bu Mimin sambil memainkan memek Euis).
Setelah Bu Mimin terkulai lemas, cepat kucabut kontolku dari liang memeknya. Kemudian pindah ke atas perut Euis yang sejak tadi kelihatan terangsang menyaksikan persetubuhanku dengan ibunya.
Karena liang memek Euis sudah cukup basah, aku tak sulit untuk membenamkan kontolku ke dalamnya… blesssss… melesak amblas sampai menyundul dasar liang memek Euis…!
Sebenarnya ini merupakan persetubuhanku yang ketiga. Karena tadi jam 19.00 aku menyetubuhi Wati. Memang aku belum ngecrot dalam persetubuhanku dengan Bu Mimin barusan. Tapi aku menganggap persetubuhan dengan ibu dan anaknya ini merupakan “ronde kedua”, karena ronde pertamanya bersama Wati.
Dengan sendirinya durasi entotanku pasti akan lama nanti.
Dan kini aku sudah mulai mengayun kontolku di dalam liang memek Euis yang cantik ini.
Tentu saja liang memek Euis lebih sempit dibandingkan dengan liang memek ibunya. Karena Euis belum pernah melahirkan. Tapi kalau aku harus menilainya secara jujur, memek Bu Mimin sedikit lebih enak daripada memek Euis.
Tapi memek Euis tetap enak. Hanya saja memek ibunya lebih merangsang birahiku. Terlebih kalau mengingat ketrampilan Bu Mimin dalam menggoyang pinggulnya, yang seolah ingin memuaskan nafsu birahiku, sekaligus mereguk kepuasan untuk dirinya sendiri.
Maka untuk mencari kepuasan bagiku sekaligus buat Euis juga, aku menarik sepasang kaki Euis dan kuletakkan di bahuku. Sementara aku mengentotnya sambil berlutut dan membungkuk. Sehingga dadaku tidak bisa bertempelan dengan dada Euis, karena terhalang oleh sepasang pahanya yang terangkat dan sepasang lututnya berada di kanan kiri sepasang toketnya.
Kelebihannya dalah, kontolku bisa jauh sekali jangkauannya. Sehingga tiap kali kudorong, moncongnya terasa menyundul dan mendesak dasar liang memek Euis.
Begitulah… kini aku mengentot Euis dalam posisi missionary hardcore.
Kelebihan lain, aku bisa mengentot Euis sambil menggesek – gesekkan ujung jariku ke kelentitnya. Memek Euis pun jadi menengadah ke atas dalam posisi ini.
Tentu saja Euis merem melek dibuatnya. Karena Gspot di kelentit dan Gspot di mulut rahimnya yang terletak di dasar liang memeknya tersentuh dan tergesek terus menerus.
Desahan dan rintihannya pun mulai terlontar dari mulutnya, “Aaaaaaaah… aaaaaah… Deeeen… dududuuuuh Deeeeen… dibeginiin sih saya bisa cepat lepas Deeen… ini… ini terlalu enak Deeen… luar biasa enaknyaaaa… enak sekali Deeeen… aaaaah… Deeen… aaaaaah… Deeeen… terlalu enaaaaaak Deeen …
Aku tidak mempedulikan rintihan Euis itu. Malah melirik ke arah Bu Mimin yang menyaksikan semuanya ini sambil mengusap – usap memek tembemnya. Mungkin dia jadi horny lagi menyaksikannya.
Dugaan Euis benar. Beberapa saat kemudian Euis klepek – klepek dan… orgasme!
Setelah Euis terkulai lemas, aku pun pindah ke atas perut Bu Mimin lagi.
Dengan mudah kontolku bisa amblas ke dalam liang memek Bu Mimin… blessssss…!
Bu Mimin menyambutku dengan dekapan di kedua pangkal lenganku. “Den Wawan kok kuat sekali ya. Saya dan Euis sudah sama – sama lepas. Tapi Den Wawan belum apa – apa,” ucap Bu Mimin sambil menciumi pipi dan bibirku.
Aku tidak menanggapinya. Karena aku tahu alasan sebenarnya. Bahwa tadi aku menyetubuhi Wati dulu sebagai “pemanasan”. Dan kini ngentot yang sebenarnya.
Tapi Bu Mimin pun tampak sudah siap dan sigap lagi untuk meladeni kejantananku.
Maka terjadilah pertarungan dahsyat di antara kontolku dengan liang memek wanita setengah baya itu.
Kami melakukannya dengan berganti – ganti posisi. Sekalian mengajari Euis agar semakin trampil pada saat sedang meladeni kejantananku. Cukup lama kami melakukan semuanya ini.
Setelah posisi missionary, kami lanjutkan dalam posisi WOT. Dalam posisi itulah Bu Mimin orgasme lagi untuk kedua kalinya. Tapi fisiknya masih tangguh. Lalu kami lanjutkan dalam posisi doggy. Ternyata Bu Mimin sangat pandai melakukannya. Dia tak cuma menungging pada waktu kuentot sambil berlutut, tapi juga mampu mengoyang – goyangkan bokong gedenya.
Dalam posisi ini Bu Mimin orgasme lagi. Padahal aku juga sudah kritis. Sudah hampir ngecrot. Maka setelah mencabut kontolku dari liang memek Bu Mimin, kuangsurkan kontolku ke dekat mulut Euis.
Euis mengerti keinginanku. Dan mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia menyelomoti kontolku sambil menyedot – nyedot dan mengurut – urut dengan tangannya.
Maka tak kuasa lagi aku menahan ejakulasiku.
Lendir kenikmatanku pun melompat – lompat dari moncong kontolku ke dalam mulut Euis.
Croooottttt… crooootttt… crottt… croooottttt… croootttttt… crotttttttt… crooootttt…!
Dan… tanpa ragu Euis menelan spermaku semuanya, tak disisakan setetes pun.
Glek… glekkkkkk… glek …!
Lalu kami bertiga turun dari bed dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar Bu Mimin.
Kami bertiga mandi dengan air hangat dari shower. Saling menyabuni sambil bercanda.
Pada saat itu pula kami menyatakan untuk tetap kompak menjalin hubungan rahasia ini.
Setelah mandi badanku terasa segar kembali.
Bu Mimin dan Euis mau membuatkan pisang goreng untukku. Aku dipersilakan duduk di ruang keluarga.
Ketika mereka berada di dapur, sementara aku duduk sendirian di sofa ruang keluarga, pandanganku tertumbuk ke sebuah album foto yang berada di bawah daun meja kaca di depan sofa yang tengah kududuki.
Iseng kuambil buku album foto itu. Mungkin ada foto – foto Bu Mimin semasa mudanya atau foto – foto Euis di masa kecilnya.
Maka kubuka dan kuteliti isi album foto itu. Banyak juga foto Bu Mimin di masa mudanya. Memang cantik ibunya Euis itu di masa mudanya. Foto – foto Euis di masa kecil dan masa remajanya juga ada.
Tapi pandanganku lalu terpusat pada beberapa foto yang memperlihatkan Bu Mimin sedang melaksanakan akad nikah dengan seorang lelaki ganteng. Yang membuatku kaget adalah lelaki ganteng di foto itu. Jelas dia itu… ayahku…!
Ciri khas ayahku adalah tahi lalat di dahinya itu. Dan aku tak mungkin salah lihat, dia memang ayahku di masa mudanya.
Ketika aku sedang mengamati foto – foto itu, Bu Mimin dan Euis muncul di ruang keluarga, sambil membawa baki sebagai wadah sepiring pisang goreng yang masih mengepul panas dan secangkir kopi hitam. “Nih pisang gorengnya sudah siap Den. Ayo disantap mumpung masih panas,” kata Bu Mimin sambil meletakkan pisang goreng dan kopi panas itu di meja kecil depanku.
Aku malah langsung bertanya sambil memperlihatkan foto – foto akad nikah itu kepada Bu Mimin, sambil bertanya, “Bu Mimin… ini foto Ibu waktu nikah ya?”
“Iya Den. Tapi cuma nikah siri. Karena almarhum sudah punya istri saat itu,” sahut Bu Mimin.
“Boleh aku tau nama suami ibu ini?” tanyaku sambil menunjuk ke arah lelaki yang sedang akad nikah dengan Bu Mimin itu.
“Namanya Zaelani Den. Tapi dia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.”
“Nama lengkapnya Zaelani Purnama kan?” tanyaku.
“Kok Aden bisa tau nama lengkapnya? Apakah Den Wawan mengenal almarhum?”
“Dia ayahku Bu. Yang ibu sebut istri almarhum itu ibuku. Apakah Bu Mimin pernah mendengar nama ibuku?”
“Tidak pernah mendengar namanya Den. Waktru itu almarhum hanya bilang sudah punya istri. Jadi pernikahan dengan saya cuma bisa dilaksanakan secara siri. Dari pernikahan dengan almarhum itulah saya punya anak yang duduk di sebelah kiri Den Wawan itu.”
Batinku benar – benar limbung saat itu. Lalu kukeluarkan handphoneku. Dan kuperlihatkan foto – foto ayahku semasa masih hidup dahulu. “Supaya Bu Mimin lebih yakin, ini foto – foto ayahku semasa masih ada dahulu. Tahi lalat di dahi sebelah kanan itu sebagai tanda yang paling meyakinkan Bu.”
Bu Mimin memperhatikan foto – foto di hapeku itu. Lalu berseru dengan suara sendu, “Duuuh Deeeen… ini memang foto – foto suami saya almarhum…! Ja… jadi berarti Den Wawan ini anak tiri saya?”
“Masalah Bu Mimin tidak kupikirkan. Toh sejak zaman dahulu sering terjadi hubungan antara seorang wanita dengan anak tirinya. Tapi Euis ini… kalau dia memang anak dari ayahku, berarti Euis ini kakakku… kakak seayah berlainan ibu. Jadi kalau aku Wawan Darmawan Bin Zaelani, maka Euis pun binti Zaelani…
Aku lalu teringat pada Mbak Erma, yang kisahnya mirip dengan kisahku dengan Euis ini.
O my God! Apakah aku ini ditakdirkan menjadi seorang incest sejati? Kenapa semua ini harus terjadi?
Aku termenung cukup lama. Memikirkan semuanya ini.
Sampai terdengar suara Euis dari samping kiriku, “Jadi Den Wawan ini adik saya?”
Aku mengangguk lesu. Tapi lalu kukuatkan batinku, kemudian berkata, “Semuanya sudah terjadi. Kita tak mungkin bisa menghapusnya.”
“Lalu kita harus bagaimana setelah mengetahui semua ini Den?” tanya Bu Mimin dengan sikap tetap sopan.
Setelah menenangkan diri sejenak, aku berkata, “Kita sudah telanjur jauh melangkah. Aku sendiri sudah telanjur suka kepada Euis dan Bu Mimin. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk menghentikan semuanya. Tapi Euis sebaiknya jangan bekerja di rumahku lagi. Biarlah nanti kucarikan pemecahannya. Yang jelas Euis itu kakakku.
Bu Mimin dan Euis terdiam. Seperti tidak mendengar kata – kataku yang sebenarnya cukup penting itu.
Maka aku pun berkata lagi, “Atau begini… Euis bekerja aja di kantorku. Tapi di kantorku ada peraturan tidak boleh ada dua orang karyawan yang ada hubungan darah. Jadi nanti di kantor Euis harus merahasiakan hubungan darah kita.”
“Itu lebih baik Den,” kata Bu Mimin.
“Bu Mimin dan Euis jangan manggil Den lagi padaku. Panggil namaku aja,” sahutku.
Lalu Euis berkata, “Boleh saya usulkan sesuatu?”
Aku menoleh ke arah Euis. Tampak sikapnya jadi rikuh sekali. Dan anehnya setelah mengetahui asal – usul mereka, aku bahkan semakin sayang kepada mereka.
Tanpa ragu kucium bibir Euis di depan ibunya, lalu bertanya, “Mau usul apa?”
Euis berkata canggung, “Begini mmm… Dek Wawan… ijazah saya kan cuma SMP. Bekerja di kantor Adek juga pasti sulit menyesuaikan diri. Bagaimana kalau saya usaha sendiri aja kecil – kecilan?”
“Mau usaha apa?” tanyaku.
“Usaha apa aja. Misalnya jualan kebutuhan sehari – hari.”
“Mau buka warung? Zaman sekarang usaha seperti itu tergerus oleh minimart yang sudah menjamur di mana – mana. Bagaimana kalau buka warung nasi aja di sini? Euis kan pinter masak. Bakat itu bisa dikembangkan. Siapa tau kelak bisa punya rumah makan besar.“
“Iya… itu jauh lebih baik Den… eh… Nak,” kata Bu Mimin.
Aku mengangguk – angguk kecil. Laluj memegang tangan Euis sambil berkata, “Untuk mencari resep masakan di zaman sekarang tidak sulit. Tinggal cari aja di internet, pakai handphone. mnanti kubelikan handphone yang bagus, supaya bisa browsing ya.”
“Iya Dek.”
“Sekarang aku mau tidur di sini ya. Tapi aku mau tidur sama Ceu Euis, ya Bu.”
“Iya silakan Den,” sahut Bu Mimin, “Itu pisang gorengnya kok gak disentuh sama sekali.”
“Kubawa aja ke kamar Euis ya,” sahutku sambil mengangkat piring pisang goreng dan kopinya yang sudah dingin.”
“Mau diganti kopinya sama yang panas Dek?” tanya Euis.
“Boleh.”
Euis bangkit dari sofa lalu melangkah ke dapur.
“Jadi ternyata Bu Mimin ini ibu tiriku ya?” ucapku sambil mengusap – usap lutut Bu Mimin.
“Iya. Bagusnya jangan manggil Bu Mimin lagi sama saya. Panggil ema aja Den. Biar sama seperti Euis,” sahut Bu Mimin.
Aku tersenyum. Lalu berbisik di dekat telinga wanita setengah baya itu, “Memek Ema sangat enak. Aku gak rela kalau hubungan kita diputuskan begitu aja.”
“Iya Nak… ema juga udah telanjur ketagihan sama punya Nak Wawan.”
“Tapi malam ini udah kenyang kan?”
“Udah Nak. Mungkin Euis yang belum kenyang sih. Kasihan dia… jatahnya diganggu sama ema.”
“Tapi malam ini sih gak mungkin. Aku cuma ingin nyobain aja tidur bersama Euis.”
Tak lama kemudian Euis muncul di ruang keluarga, dengan secangkir kopi panas. “Mau langsung dibawa ke kamar saya?” tanyanya.
“Iya Ceu Euis,” sahutku.
“Hihiiihiii… awalnya manggil Bibi, kemudian manggil nama… sekarang ditambah dengan Ceu…” ucap Euis sambil melangkah menuju kamarnya.
Aku pun bangkit dari sofa. Mencium bibir Ema disusul bisikanku, “Aku mau istirahat dulu ya Ema Sayang.”
“Iya silakan,” sahut Ema sambil tersenyum.
Kemudian aku melangkah ke arah kamar Euis.
Ketika aku masuk ke kamar Euis, kulihat dia sedang mengenakan daster weetlook kuning mudanya.
Sambil menutupkan kembali pintu kamar Euis sekaligus menguncinya, aku berkata, “Ngapain pakai daster? Kalau kita mau tidur bareng, mendingan sama – sama telanjang.”
“Kalau Dek Wawan perlu kan tinggal singkapin aja daster ini,” sahutnya sambil menyingkapkan dasternya. Ternyata ia tidak mengenakan celana dalam, sehingga memeknya langsung “nyengir” di depan mataku.
Aku ketawa kecil. Lalu duduk di atas satu – satunya sofa yang ada di dalam kamar Euis.
“Udah ngantuk?” tanyaku.
“Belum lagi. Tadi kan waktu Dek Wawan datang, saya lagi tidur. Lalu terbangun karena mendengar rintihan Ema. Kirain Ema lagi sakit. Gak taunya… hihihihiii…”
Kutarik pergelangan tangan Euis sampai terduduk di atas sepasang pahaku.
“Meski pun ternyata kita ini saudara seayah, aku tak rela kehilangan Ceu Euis dan Ema.”
“Sama… saya juga begitu.”
“Pakai aku aja deh, jangan pakai istilah saya lagi,” ucapku sambil merayapkan tangan ke balik daster Euis.
“Kok megang – megang memek lagi? Emangnya belum kenyang tadi?”
“Sama Ema udah kenyang. Sama Ceu Euis belum.”
“Di sana aja yuk,” ucap Euis sambil menunjuk ke bednya.
Aku melepaskan segala yang melekat di tubuhku, sampai telanjang bulat.
Lalu aku naik ke atas bed. Menerkam Ceu Euis yang baru saja melepaskan dasternya, sehingga kami jadi sama – sama telanjang bulat.
“Dek Chepi kuat banget. Tadi kan udah habis – habisan sama Ema dan aku. Tapi sekarang udah tegang lagi nih penisnya,” kata Ceu Euis sambil memegang kontolku yang memang sudah ngaceng lagi ini.
“Aku kan masih muda. Duapuluhlima juga belum. Makanya masih kuat maen semalam dua atau tiga kali aja sih. Nanti kalau umurku sudah di atas empatpuluh, pasti staminaku akan menurun,” sahutku sambil meletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek Ceu Euis.
Sesaat kemudian kontolku sudah membenam sepenuhnya di dalam liang memek Ceu Euis.
Lalu permainan surgawi ini pun dimulai.
Kontolku mulai maju mundur di dalam cengkraman liang memek Ceu Euis. Maju mundur maju mundur… blesssss… sssssretttttttt… blessss… ssssretttttt… blessssss… sretttt… blesssss… sretttt… blesssssssss… srettttttttt… blessss… sretttt…
Entah kenapa. Kali ini aku ingin habis – habisan menyetubuhi Ceu Euis, karena aku tidak rela kalau sampai kehilangan dia. Meski pun aku sudah tahu bahwa sebenarnya Ceu Euis itu kakak seayah berlainan ibu, aku akan tetap melanjutkan hubunganku dengannya. Begitu juga Ema Mimin yang memeknya gurih dan legit itu, harus tetap menjadi milikku…
Ceu Euis p[un mulai mendesah – desah disertai rintihannya yang seakan curhat padaku. “Aaaaaah… Deeeek… aaaaaaah… aaaaah… walau pun Dek Wawan ini adekku, aku tak mau kehilangan Dek Wawan… aaaah… aaaaah… aku… aku bahkan ingin mengandung anak Dek Wawan… hamili aku ya Deeek…
Mendengar ocehan Ceu Euis itu, aku jadi ragu. Kuatir juga kalau ia benar – benar hamil nanti.
Karena itu aku diam – diam mengintai… kalau Euis sudah orgasme, aku akan pura – pura ejakulasi, kemudian persetubuhan ini akan kuhentikan.
Cukup lama gejala akan orgasme itu terjadi. Lebih dari duapuluh menit aku mengentot Ceu Euis. Tapi dia malah asyik menggoyang pinggulnya mengikuti goyangan ibunya tadi.
Mungkin tadi Ceu Euis diam – diam menyimak cara – cara Ema meladeni entotanku. Dan kini Ceu Euis mempraktekkannya denganku. Pinggulnya meliuk – liuk dan memutar – mutar dengan lincahnya. Tapi memang Ceu Euis belum setrampil ibunya dalam hal goyang pinggul waktu sedang bersetubuh.
Bahkan akhirnya Ceu Euis ngos – ngosan melontarkan suara, “Dek Wawaaaan… aku mau lepas… ayo barengin Deeek… biar jadi anak… ayo Deeek… barengiiiin… !”
Lalu Ceu Euis berkelojotan. Pada saat yang sama kugenjot kontolku seedan mungkin. Dan ketika Ceu Euis mengejang tegang, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin. Lalu aku mengejut – ngejutkan kontolku seolah – olah sedang ejakulasi.
Liang memek Ceu Euis pun berkedut – kedut kencang. Lalu ia terkapar lunglai. Ketika kucabut kontolku dari l, iang memek yang sudah becek itu, Ceu Euis membuka matanya.
“Barusan dibarfengin ya?” tanyanya.
Aku menjawabnya dengan anggukan kepala doang. Lalu mengambil celana dalam dan celana pamnjangku. Dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi pribadi Ceu Euis.
Sebenarnya batang kemaluanku masih ngaceng berat, karena barusan aku hanya pura – pura ngecrot. Karena takut Ceu Euis benar – benar hamil nanti.
Di kamar mandi aku hanya membersihkan alat vitalku yang berlepotan lendir libido Ceu Euis. Kemudian kukenakan kembali celana dalam dan celana panjangku.
Agak lama aku berada di kamar mandi.
Dan ketika aku keluar dari kamar mandi, kulihat Ceu Euis sepertinya sudah tidur nyenyak. Tanpa mengenakan sehelai benang pun. Mungkin dia mengira aku ejakulasi di dalam memeknya tadi. Sehingga ia sengaja tidak bergerak – gerak, agar “sperma”ku terserap oleh rahimnya.
Aku malah mengambil baju kausku, kemudian keluar dari kamar Ceu Euis. Menuju pintu kamar Ema. Ternyata pintunya tidak dikunci. sehingga dengan mudah aku masuk ke dalam kamar ibunya Ceu Euis itu.
Apa lagi urusanku dengan Ema alias Bu Mimin itu?
Ini kontolku masih ngaceng, karena tadi cuma berpura – pura ejakulasi di dalam liang memek Ceu Euis. Inspirasi pun muncul di benakku.
Entot Ema lagi aja. Nanti spermaku akan kumuntahkan di dalam liang memek Ema…!
Kebetulan Ema sudah tertidur, dengan mengenakan kimono lagi.
Ketika kusingkapkan kimono itu, ternyata Ema tidak mengenakan beha mau pun celana dalam. Maka dengan hati – hati kuselundupkan jariku ke dalam liang memek Ema. Dan setelah tahu bahwa liang memeknya masih basah, aku pun menyelundupkan kontol ngacengku ke dalam liang memek Ema…!
Ema terkaget – kaget setelah sadar bahwa aku sudah membenamkan kontolku ke liang memeknya lagi.
“Deeen… aiiih… Nak Wawaaan… kok balik lagi ke sini?” tanyanya setengah berbisik. Namun sorot wajahnya kelihatan ceria, pertanda hatinya senang.
“Iya… setelah tau Ema ini ibu tiriku, nafsuku malah semakin menjadi – jadi. Pengen ngentot Ema lagi, “kilahku.
“Begitu ya? Hihihihiii… ayo deh. Biar sampai pagi Nak Wawan akan ema ladeni.”
Maka begitulah… dengan gencar aku mulai mengentot Ema Mimin lagi.
Tapi ketika ia merintih – rintih lagi, cepat kusumpal mulutnya dengan ciuman dan lumatan. Karena takut suaranya bisa membangunkan Ceu Euis lagi…
Esok siangnya aku pulang ke rumahku. hari ini adalah hari Sabtu. Jadi aku tidak ngantor.
Setibanya di rumah, ketika aku mau memasukkan mobilku ke dalam garasi, kulihat ibuku sedang mengelus – elus sedan baruku, hadiah dari Bu Laila itu.
Aku pun menghampiri Ibu. Mencium tangan dan sepasang pipinya.
“Ini mobil barumu Wan?” tanya Ibu sambil mengusap – usap sedan hitamku.
“Iya Bu. Hadiah dari bossku,” sahutku.
“Kata Wati, ini mobil mahal sekali harganya. Kenapa bossmu ngasih hadiah mobil semahal ini?”
“Mungkin karena prestasi kerjaku bagus aja Bu.”
“Baik hati bossmu itu ya. Bossmu itu laki – laki apa perempuan?”
“Perempuan.”
“Owh… siapa namanya?”
“Laila Bu.”
“Laila? “Ibu mengerutkan dahinya, “Nama lengkapnya apa?”
“Kenapa nanya nama lengkapnya? Mau didoain sama Ibu agar dia makin baik padaku?”
“Nggak. Mau tau aja.”
“Nama lengkapnya Laila Qodrati Bu.”
“Haaa?! “Ibu tampak kaget, “Ayahmu juga punya adik seibu berlainan ayah, yang namanya Laila Qodrati. Tapi sudah lebih dari duapuluh tahun tak pernah datang ke sini lagi. Entah marah atau kenapa.”
“O, begitu? Ibu tau nama ayahnya Laila yang adik berlainan ayah dengan ayahku itu? Nanti akan kuperiksa dalam data di kantorku.”
“Nama ayahnya itu Yahya bin Syahroni. Kalau bapaknya ayah namanya Mahmud bin Syamsuddin.”
“Waduh… Ibu sampai hafal nama binnya segala ya.”
“Orang buta sih kalau udah inget sesuatu, akan inget selamanya.”
“Iya. Hari Senin lusa akan kucek di data yang ada di kantorku.”
“Iya Wan. Orang yang bernama Laila Qodrati mungkin banyak. Tapi siapa tau dia itu bibimu sendiri.”
“Iya Bu.”
“Seandainya pun bossmu itu memang adik ayah, diem – diem aja. Gak usah membukanya.”
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Takut mengganggu kariermu. Soalnya Laila itu gak mkau lagi nginjek rumah ini, entah kenapa. Mungkin dia marah atau malu punya saudara nikah sama perempuan buta.”
“Nanti aku periksa dulu datanya di kantor. Siapa tau Bu Laila bossku bukan adik almarhum Ayah.”
Biar bagaimana pembicaraan dengan Ibu itu membuat batinku tersentak kaget. Karena seandainya Bu Laila itu adi almarhum Ayah… bagaimana dengan kandungan yang berada di dalam perutnya itu?
Mungkin Ibu ada benarnya. Andai pun Bu Laila itu adik almarhum Ayah berlainan ayah, sebaiknya aku tidak membuka apa – apa di depan Bu Laila. Minimal aku harus menunggu sampai anakku yang berada di dalam perut Bu Laila itu lahir.
Tapi aku jadi tak sabaran. Aku harus mengetahuinya hari ini juga. Dan setelah melihat data di komputer kantor, seandainya pun Bu Laila memang adik almarhum Ayah… aku mau diam – diam saja.
Aku hanya masuk ke dalam rumah sebentar. Lalu cuci muka di washtafel kamar mandiku. Dan mengeluarkan lagi mobil lamaku.
Beberapa saat kemudian mobilku sudah kularikan menuju kantorku.
Dua orang satpam membuka pintu gerbang yang tertutup, karena hari Sabtu Minggu kantorku tutup.
Setelah turun dari mobilku, aku bergegas menuju lantai 5 dengan lift.
Kemudian aku masuk ke dalam ruang kerjaku dan langsung mengaktiokan PC yang meyimpan data – data semua orang yang memimpin dan bekerja di perusahaan ini.
Tentu saja nama Bu Laila ada di urutan paling atas.
Aku hanya membutuhkan nama ayahnya.
Setelah mengamati layar monitor, ada tulisan yang baru sekali ini kuperhatikan baik – baik. Bahwa nama lengkap boss sekaligus kekasihku itu adalah Laila Qodrati Yahya.
Berarti yang ibu katakan itu memang benar.
Bahwa Bu Laila itu adik almarhum Ayah…!
Lalu apa yang akan terjadi seandainya Bu Laila tahu siapa aku ini sebenarnya? Apakah dia akan membenciku. Karena seperti kata Ibu tadi, Bu Laila tak pernah lagi menginjak rumahku lebih dari duapuluh tahun?
Bersambung…