Cerita Sex Kepuasan Jasmani – “Dek, ayo buruan… sebelum aku kesiangan…” kata mas Andri, suamiku. Dia berdiri di samping meja makan yang telah bersih dari peralatan makan, sambil mengurut perlahan batang penisnya. “Iya… aku datang…dasar tikus hutan ….” Candaku sambil tertawa.
Aku letakkan piring dan gelas kotor di dapur, lalu aku kembali kearah ruang makan. Aku lepas cd yang membungkus vaginaku dan aku lempar ke atas tumpukan cucian kotorku. Cd itu adalah cd terakhirku, karena semua cd yang aku miliki belum sempat aku cuci.
Sekarang, satu-satunya baju yang masih menempel di tubuhku adalah daster batik berbelahan dada rendah yang menggantung sepanjang separuh pahaku. Adalah suatu rutinitas, hampir setiap pagi aku harus melayani nafsu suamiku yang menggebu-gebu. Nafsu seks yang seolah-olah tak pernah ada habis-habisnya.
Sepertinya, yang ada diotaknya ketika ada aku, hanyalah tentang seks…ngentot…make love…ngewe. Hanya itu saja. Aku, sebagai istrinya hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala saja melihat tingkat yang aku anggap lucu ini.
Ngocoks Aku mendekat, sambil menurunkan tali pundak daster miniku. Daster itu meluncur turun dengan cepat, dan langsung menampakkan kepolosan tubuh putihku. Putingku telah ereksi, dan vaginaku juga mulai basahr.
Dikecupnya kening, pipi, hidung, leher dan bibirku.
Karena aku mudah sekali terbakar nafsu birahi, tak perlu menunggu terlalu lama untuk pemanasan. Langsung saja lidah kami bergulat. Tangan kiri mas Andri mulai memelintir dan meremas putting payudaraku, dan tangan kanannya merogoh vaginaku dari depan.
Aku pun tak mau tinggal diam, aku raih batang penisnya yang sudah menegang dengan kedua tanganku dan aku kocok penis mas Andri, naik turun dengan cepat.
“Memek kamu cepet sekali basah dek… Kamu dah sange ya sayang?” tanyanya sambil tersenyum.
“Ya iyalah…. Syapa coba yang ga sange klo jari mas mengobok-obok memek adek kayak gitu..” Mas Andri tersenyum, ia menatap wajahku yang sudah mulai memerah sayu.
Mas Andri mendadak menghentikan gulat lidahnya, dan mengarahkan mulutnya ke payudaraku. HAP. Dia langsung mencaplok dada kananku. Disedotnya kuat-kuat, lidahnya menari lincah diatas putingku. Geli. Tak lama, mulutnya pun pindah ke payudaraku yang kiri. HOP. “Annnnggg…” kali ini giginya ikut bermain, dengan menggigit perlahan puttingku yang mulai mengeras.
“Owhh… sssshh” Aku hanya bisa mendesis menerima semua perlakuannya.
“Mas, sekarang ya….” Bisikku lirih. “Aku sudah tak tahan”. Mas Andri mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tubuh telanjangku dibalik menghadap kearah meja makan dan ia mendekap tubuh mungilku dari belakang. Walau sudah berubah posisi, kedua tangannya masih saja menggerayangi tubuhku. Tangan kiri meremas perlahan payudaraku, dan tangan kanan mencolokkan beberapa jemari gemuknya ke dalam vaginaku.
Aku merasakan penisnya berada tepat di belahan bokongku, digesek-gesekkannya penis itu dengan penuh perasaan. “Mas.. ayo…. Dimasukkin … Adek udah nggak kuat lagi….” rengekku memelas.
Mengerti akan hasratku yang tak bisa aku tahan lagi, mas Andri lalu mendorong pundakku ke depan dan bertumpu pada meja makan.
“Lebarin kakimu dikit dek…. Nah gitu” aku terperanjat ketika merasakan, tangan kanan suamiku mencoblos perlahan vaginaku dari arah pantat. “Pemanasan…” katanya menenangkanku. Disodok-sodokkan jemari gemuknya beberapa kali di vaginaku.
Cairanku membanjir. Dengan perlahan, mas Andri mulai mengarahkan kepala penisnya kearah vaginaku. Digesek-gesekkan batang penis itu diluar bibir kemaluanku. Ia berusaha melumasi seluruh batang penisnya dengan cairan vaginaku.
Mas Andri mengambil ancang-ancang. Kurasakan kepala penisnya diantara bulatan bokongku. Perlahan ia mulai mendorong batang penisnya dan mulai menyeruak masuk. Benda itu begitu hangat, kenyal namun keras. Sambil tetap meremas-remas kedua dadaku dengan satu tangan, mas Andri mendorong sedikit demi sedikit kepala penisnya.
“CLEP” kepala penisnya telah masuk.
“Uhh…” aku mendesah sambil memejamkan mataku rapat-rapat. Walau aku sudah terbiasa dengan ukuran penis mas Andri, namun tetap saja, ada sedikit rasa nyeri yang timbul.
Mas Andri menggeser-geser posisi tubuhku, mencoba membuatnya menjadi lebih mantap ketika kami bersetubuh. Perlahan, batang penisnya mulai ia dorong masuk ke vaginaku. Aku merasakan denyut-denyut pelan yang membuat organ kewanitaanku semakin membanjir basah. Sedikit demi sedikit, sampai batang sepanjang 16 cm itu benar-benar hilang ditelan organ kewanitaanku.
“Mmm…mas….” Suaraku gemetar menahan nafsuku.
“Kenapa dek…? Enak…?” mas Andri mengecup punggungku ketika melihat aku mengangguk-anggukkan kepalaku.
Saking nafsunya, cairan vaginaku menjadi tak terbendung, karena aku merasakannya mulai turun, mengalir kearah pahaku.
“CLEP… CLEP… CLEP… “ mas Andri mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur. Mengaduk dan menusukkan batang penisnya dalam-dalam. Semakin lama semakin cepat.
“PLAK… PLAK… PLAK…” Suara tubuh kami ketika saling bertabrakan.
“SREEK…SREEK…SREEK…” Meja makan yang aku buat sebagai tumpuan tubuhku juga perlahan mulai bergerak, tiap kali pinggul mas Andri menabrak pantatku. Kaki mejanya berderit-derit, tergeser oleh gerakan liar kami berdua. “DUG… DUG… DUG…” Suara bibir meja ketika menabrak tembok dan desahan suara kami memenuhi ruang makan yang sempit ini.
“Enak dek…?” tanyanya dari arah punggungku sambil terus meremas payudaraku.
Saking enaknya, aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, tersenyum mendesis sambil mengangguk-anggukan kepalaku. Mulut mas Andri tak henti-hentinya mengucapkan kata “Aku sayang kamu dek” tiap kali ia memompa penisnya diliang vaginaku. Terkadang ia mengecup dan menjilat punggungku. Aku hanya bisa menundukkan kepala sambil melenguh keenakan, merasakan tusukan-tusukan tajam penis mas Andri.
“Pagi hari yang berisik… “ pikirku tiap kali kami bersetubuh. Karena memang benar, kami adalah pasangan yang tidak bisa diam, selalu bercinta tiap kali ada kesempatan. Tak peduli akan waktu, tempat ataupun situasi.
Oleh karenanya aku panggil suamiku tikus hutan, karena nafsunya mirip dengan aktivitas makhluk kecil itu, hanya bercinta dengan pasangannya sampai dia mati.
Gelombang kenikmatan itupun perlahan datang. Jantungku bercetak semakin cepat, nafasku memberat, siap menyambut orgasme pertamaku di pagi hari ini.
“Shhhh… Aku mau keluar mas…ayo… tusuk memek adek lebih dalam…” kataku menyemangatinya.
Tanpa menunggu perintahku untuk yang kedua kalinya, mas Andri semakin mempercepat sodokannya. Tubuhku terhentak-hentak dengan keras, tiap kali menerima sodokan penis mas Andri.
Penisnya terasa begitu cepat, keluar masuk dengan ritme yang semakin cepat. Meja makan tempat aku menyandarkan tubuhku pun sepertinya ikut merasakan dorongan brutal mas Andri, berderit dengan keras dan menabrak tembok seiring desahan kenikmatan kami berdua.
“Shhh…ayo mas… aku sudah dekat.. aku mau keluar …. Ssshhhh…” erangku kepada suamiku. Dengan tangan kiri yang masih menopang badanku, aku pegang pantatnya dengan tangan kanan. Aku gerak-gerakan pantat semok itu kearahku, berharap mas Andri semakin mempercepat goyangannya.
“Mas…ayo…. sodok aku dengan keras… tusuk aku dengan tititmu… aku mau keluar mas…”
Ditengah-tengah pendakian kami keatas gunung kenikmatan. Tiba-tiba mas Andri menghentikan sodokannya. Dia terdiam, menusukkan penisnya dalam-dalam ke arah vaginaku, dan….
“Aaahhhhhhkkkkk……… ahhhh… ahhhh… “ mas Andri berteriak lirih. Gumpalan cairan hangat langsung memenuhi rongga rahimku. Tak begitu banyak, namun cukup membuat liang rahimku agak sedikit penuh. Mas Andri mendorong tubuh gemuknya ke arahku dengan brutal tiap kali penisnya memuntahkan lahar panasnya. Sampai aku merasa sakit pada bagian paha depanku yang terkena bibir meja.
Enam kali sodokan keras aku terima pada vaginaku ketika suamiku ejakulasi, sebelum akhirnya ia merubuhkan tubuhnya kearahku. Berat sekali. Nafasnya tersengal-sengal.
“Aku sayang kamu dek…” ucapnya sambil mengecup bagian belakang leherku.
“Iya.. Aku juga sayang kamu mas” jawabku lirih. Kesal, karena aku masih belum mendapatkan orgasmeku.
Sekali lagi, mas Andri gagal memberiku kenikmatan yang telah lama aku inginkan. Tidak sampai 5 menit dia sudah terpuaskan, mas Andri selalu saja begitu, terlalu cepat ejakulasi.
“Mas… aku masih pingin… ayo ngewe lagi… ayo mas…” kataku.
“Aduh… mas dah terlambat dek… ntar malem ya kita sambung lagi…” elaknya.
Selalu saja, kata-kata itu yang menjadi alesan.
Mas Andri memeluk tubuh telanjangku sambil tersenyum penuh kepuasan. Sebagai istri yang harus selalu patuh, aku harus menyembunyikan rasa ketidakpuasanku. Aku harus bisa ikut tersenyum melihat kepuasan yang terpancar dari wajahnya, dan membiarkan kehausan nafsuku hilang dengan sendirinya.
“PLOP” Aku masih merasakan kedutan pelan di dinding vaginaku ketika batang penis mas Andri yang telah lemas, jatuh keluar dengan sendirinya. Sekarang penis itu menggelatung tak berdaya di luar bibir vaginaku. Meneteskan lendir kenikmatan kami berdua di belakang paha dan betisku.
“Dek, aku berangkat dulu, khawatir ketinggalan angkutan… dah siang nie” kata mas Andri sambil mengangkat badan lebarnya dari punggungku. Dia menepuk pantat semokku dan balikkan badanku yang masih tengkurap diatas meja makan,
Aku sekarang dalam posisi telentang, menatap langit-langit rumah kontrakanku. Dengan kaki yang menjuntai di tepi meja makan. Mas Andri tiba-tiba mencium vaginaku dan menyeruput cairan yang keluar dari vaginaku.
“Hayo… kamu lupa ya dek?” tanyanya sambil tertawa.
“Hahaha.. geli mas… geli…iya iya…adek inget….” Jawabku berusaha menjauhkan mulutnya dari selangkanganku.
Memang sudah menjadi kebiasaan, jika setelah kami bersetubuh, aku selalu membersihkan seluruh batang penisnya dengan mulutku.
Aku segera bangun, turun dari meja makan dan langsung berjongkok di depan selangkangan suamiku. Aku raih batang penisnya yang menggelantung lemas itu, dan aku jilat perlahan. Kuhirup dalam-dalam aroma kewanitaanku yang bercampur dengan spermanya.
Sejak pertama kali kami bersetubuh, aku memang suka sekali meminum sperma, teksturnya mirip dawet, minuman khas dari pulau jawa yang terbuat dari campuran gula merah dan santan kelapa, terlebih lagi aromanya, mirip aroma daun pandan.
Kubuka mulutku lebar-lebar, lalu aku masukkan seluruh batang penisnya. Aku kecap, hisap dan urut batang penis lemasnya dengan mulutku. Berharap penis itu bisa tegang kembali. Namun setelah beberapa menit aku oral, sama saja, penis itu tetap menggelayut lemas.
“Nah…..Dah bersih mas…” kataku. “Dah… sana berangkat kerja…”
Mas Andri menyuruhku berdiri, dan sekali lagi, ia kecup keningku. “Kamu yakin? Nggak mau menunggu besok Minggu buat mengerjakan semua pekerjaan rumah ini…? Kamu mau mengerjakannya semua ini sendirian? Jangan terlalu capek ya istriku sayang” tanyanya begitu mengkhawatirkanku.
“Iye baweeeeel… aku yakin… dah ah… jangan menganggap aku cewek manja seperti dulu… aku dah berubah… sana buruan berangkat” kataku pada suamiku tercinta.
Dengan tubuh telanjang bulat dan vagina yang masih meneteskan cairan kenikmatan kami berdua, lalu aku antar mas Andri ke pintu depan sambil bergelayutan manja dipundaknya.
“Dah ah… sana buruan pakai dasternya… ntar ada orang yang ngliat loh…” kata suamiku.
“Ah.. kagak ada yang bakalan ngeliat mas… khan rumah kita paling tertutup…”
“Berani yaaaa……. “ Kata mas Andri sambil mencubit pantatku..
“He he he… Iyeeeee….”
Diciumnya kening dan bibirku tuk terakhir kali, dan tak lupa salam berangkat kerja andalannya. Meremas kedua belah dadaku, memelukku dari depan dan menepuk keras-keras kedua bongkahan pantat semokku.
“Salam sayang buat mimi imutku… jaga baik-baik ya dek” katanya sambil tersenyum manja.
“Jaga juga dedenya… jangan diapa-apain sampai ntar malam kamu pulang ya mas” sambungku. Mimi dan
Dede adalah panggilan sayang kepada alat kelamin kami masing-masing.
Mas Andri melambaikan tangan, dan melangkah menjauh meninggalkan aku sendirian di rumah kontrakan baruku ini.
Mas Andri, suamiku, berumur 32 tahun, berpostur agak gemuk, 170cm/90kg, dan berkulit putih mirip denganku. Dia baru saja diangkat jabatan menjadi seorang pengawas lapangan disebuah Perusahaan Pengeboran Minyak Internasional. Mas Andri adalah seseorang yang bijaksana dalam pengambilan keputusan, pandai dan penuh dengan perhitungan.
“Bukannya pelit dek… tapi khan lumayan… kita bisa menghemat uang jutaan rupiah perbulan loh kalo tinggal di rumah ini… daripada aku harus menyewa rumah mewah dekat kantor… toh beda jaraknya cuma 1 jam…” itulah kalimat yang selalu di ulang-ulang ketika aku sedikit ngambek karena keputusannya mengambil rumah yang “jauh dari peradaban ini”.
Rumah kontrakanku adalah rumah petak, yang terbagi menjadi beberapa bagian, teras, ruang tamu, ruang tidur, dapur, kamar mandi dan halaman belakang untuk cuci dan jemur. Aku dan suamiku kebagian rumah paling ujung. Rumah yang paling jauh dari pintu masuk komplek kontrakan, namun memiliki ukuran paling besar diantara rumah kontrakan yang lain.
***
“Hari yang cerah untuk memulai aktifitas” kataku dalam hati. Aku ambil daster kecilku yang teronggok di kaki meja makan lalu aku mulai mengenakannya lagi melalui atas kepalaku. Malas sekali rasanya ketika aku mulai mengenakan dasterku. Sepertinya sangat nyaman jika bisa hidup seperti kaum nudis yang tak perlu repot-repot menggunakan selembar bajupun ketika beraktifitas.
Kubawa piring dan gelas kotor ke dapur, aku letakkan di dalam bak pencucian. Aku pandang tumpukan cucian kotor yang sudah lama teronggok dan mulai mengeluarkan bau tak sedap di sudut kamar mandi.
“Sabtu ini akan menjadi hari yang melelahkan. Ayo Liani, kamu pasti sanggup menjalani ini semua” aku menyemangati diriku sendiri dan mulai mengerjakan pekerjaan rumahku itu. Aku harus bisa menjadi istri yang bisa diandalkan oleh suamiku.
Menyapu, mengepel dan mencuci piring bisa aku lakukan dengan cepat. Namun ketika aku akan memulai mencuci tumpukan baju kotor, langsung terbayang betapa lelahnya tubuhku nanti malam.
Ternyata menyeret bak cucian basah itu begitu susah, berat, dan licin. Perlu tenaga ekstra untuk bisa memindahkannya ke dari kamar mandi ke halaman belakang.
“Lagi mau nyuci mbak?” Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara seorang pria. Celingukan aku mencari asal suara itu.
“Banyak juga cuciannya mbak… dah berapa minggu tuh baju-baju nggak dicuci?” tambahnya lagi.
Ternyata suara itu berasal dari penghuni rumah kontrakan di samping tempat aku tinggal. Mas Osman, begitu tetanggaku biasa memanggilnya, adalah seorang satpam yang bekerja di perumahan dekat komplek kontrakan tempat aku tinggal.
Selama aku tinggal disini, baru pertama kali ini aku melihat seperti apa bentuk suami mbak Narti sebenarnya. Mas Osman berumur sekitar 40 tahunan. Posturnya mirip dengan suamiku namun agak kurus 170cm/60kg dengan kumis tipis yang dipotong rapi diatas bibir tebalnya.
Kulitnya coklat kehitaman dengan rambut kriting pendek. Sedangkan istrinya, Mbak narti, berusia 35 tahunan, berperawakan gemuk dengan payudara yang meluap-luap, khas badan ibu-ibu, adalah seorang pelayan toko yang juga bekerja pasar dekat komplek rumah kontrakan kami.
“Iya…” jawabku sekenanya. “Dah hampir 2 minggu nie belum diapa-apain….” tambahku lagi.
Sebenarnya aku sudah mengenal siapa mas Osman, karena hampir setiap hari aku melihatnya berangkat kerja, tapi selama aku dan suamiku tinggal di rumah kontrakan ini, belum pernah sekalipun aku bercakap-cakap. Hanya kenal sebatas sapa dan cerita saja.
“Saya Osman mbak…suami si Narti..” katanya lagi sambil menjulurkan tangan.
“Mmm… Nama saya Liani… “ jawabku sambil menyalami tangannya.
Langsung saja tubuhku merinding begitu menyentuh tangan mas Osman. Tangan itu begitu dingin, hitam, dan keriput, sangat kontras dengan tanganku, putih, mulus. Entah kenapa, begitu aku melihat wajah dan postur tubuh mas manto.
Aku langsung terbayang akan cerita-cerita pemerkosaan sadis yang menimpa kepada para perantau di tanah orang. Apalagi saat itu aku hanya mengenakan daster pendek tanpa baju dalam sama sekali. Memamerkan kaki panjang dan belahan dadaku.
“Mas Andri kerja mbak?” tanyanya lagi, membuyarkan lamunanku.
“I… Iya… baru saja berangkat”
“Oooowwwh….. saya permisi ya mbak… gerah habis mencuci…mau mandi dulu” jawabnya sambil tersenyum.
“Iya….silakan” kataku sambil melihat deretan cucian mas Osman yang masih meneteskan air sabun.
“Sopan juga dia…” ternyata aku salah pikir terhadap mas manto. Walau hanya dari perkenalan singkat tadi, aku merasa kalau mas Osman tak seperti orang-orang kebanyakan. Sopan, tak seperti orang yang berpandangan jahil terhadap wanita berbusana seksi sepertiku barusan.
Aku berpostur badan sedang, malah aku kadang merasa sedikit gemuk, 165cm/50kg, berkulit putih dengan ukuran buah dada yang cukup besar. Yang membedakan aku dengan wanita lain adalah pinggangku sangat kecil dan kakiku agak lebih panjang dari kebanyakan teman-temanku.
Mata bulat lebar, bibir merah dan rambut panjang hitamkulah yang selalu aku banggakan. Sebenarnya aku kurang begitu suka dengan baju seksi, tapi aku lebih memilih baju yang berukuran kecil, karena merasa nyaman aja ketika digunakan untuk beraktifitas.
“PRAK….” Bak cucianku pecah, ketika aku mencoba menggesernya kehalaman belakang. Pecah karena tak kuat menahan beban rendaman baju kotor kami. Air cucian kotorpun langsung keluar dari sela-sela bak cuci pecahku, menggenang, disertai bau apek yang cukup menyengat.
“Sialan… belum juga mencuci…” emosiku langsung meninggi…” sabar Liani… sabar…”
Aku diam sejenak, memikirkan apa yang harus aku lakukan.
“Daripada beli, mungkin lebih baik aku pinjam saja sebentar.” Pikirku
“Mas Osman..” Walau pintu halaman belakang rumahnya terbuka begitu saja, tapi aku berusaha tuk sopan. Aku ketuk pintu rumahnya beberapa kali.
Tak ada jawaban.
“Mas Osman..” aku panggil namanya lagi dengan suara lebih lantang.
“Iya sebentar…” jawabnya dari dalam rumah. “maaf tadi saya masih mandi… ada apa ya mbak??” tanyanya sambil mengikatkan handuk kecil berwarna hijau yang sudah lusuh dan sedikit berlubang di pinggangnya yang ramping. Badannya basah kuyup, dengan rambut yang juga masih meneteskan air..
“Ada apa ya mbak? Kok kayaknya kebingungan gitu? Tanyanya.
Aku tak menjawab, aku masih terkesima melihat postur tubuhnya, badannya begitu hitam, kekar, dengan bongkahan dada dan lengan yang menonjol disana-sini.
“Mbak?” tanyanya lagi. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Eeh…maaf…anu….. bak cuci aku pecah” kataku terbata-bata. “Apa boleh aku pinjem bak cucinya? Ntar begitu sel………..”
“Boleh-boleh… bentar ya saya ambilin dulu” potongnya sebelum aku menyelesaikan kalimat. Mas manto buru-buru masuk, dan mengambil bak mandi yang tergeletak di sudut lantai kamar mandinya.
Ketika dia membalikkan badan, kembali aku terkesima melihat otot-otot kekar badannya. Punggungnya lebar dan pantat yang hanya ditutupi handuk merah lusuh itu begitu semok. Aku sedikit tertawa ketika melihat kaki mas manto. Pahanya besar tapi betisnya kecil. Mirip badan tokoh film kartun yang memang hanya badan bagian atasnya saja yang besar, namun bagian bawahnya kecil
Dan dari disinilah cerita itu dimulai.
Ketika dia membungkuk tuk mengambil bak cuci miliknya, bagian belakang handuk itu otomatis meninggi, mengikuti gerak badannya. Dan dari sela-sela paha belakang mas manto, aku melihat barang yang tak seharusnya tak liat.
Hitam, panjang menjuntai, dengan ujung besar berwarna merah kehitaman.
DEG….
Detak jantungku terasa berhenti sejenak.
Langsung saja aku tinggalkan pintu rumahnya dan masuk kedalam rumahku. Aku tutup pintu dapur, dan langsung saja aku duduk terjatuh. Lututku lemas dan dadaku berdebar-debar mengingat hal yang baru saja aku lihat. Aku melihat barang yang seharusnya tidak boleh aku lihat, barang yang menjadi symbol kejantanan dan kebanggaan kaum pria.
Ya, barang itu biasa disebut penis, titit, atau kontol.
Walau sekilas, seumur-umur, baru saja aku melihat barang yang bukan milik suami aku sendiri. Walau sekilas, tapi aku bisa membayangkan bagaimana bentuk keseluruhan dari barang milik mas Osman itu. Hitam, besar, dengan urat-urat yang mengelilingi sekujur batangnya, berkepala merah kehitaman dengan mulut kemaluan yang lebar menganga, bau amis asam selangkangan yang menusuk hidung dan rambut kemaluan yang lebat.
“Mbak… loh… kemana orangnya….?” Suaranya terdengar pelan dari sebelah rumah.
“Mbak…ini bak cucinya……” panggilnya dari samping rumahku. Mas manto pun akhirnya mengantarkan bak cuci miliknya ke halaman rumahku. Karena melihat aku yang tak langsung keluar, mas Osman mendekat kearah pintu dapur, mengintip kedalam dari jendela dapur, dan mengetuknya perlahan.
“Mbak Liani… ini bak cucinya…” panggilnya.
Andai saja mas Osman agak menunduk dan melihat kebawah, mungkin saja ia bisa melihatku yang meringkuk di balik pintu dapur rumahku. Meringkuk menahan malu yang seharusnya tak aku rasakan. toh yang terlihat adalah bukan aurat tubuhku.
Detak jantungku masih berdetak begitu kencangnya sampai aku sama sekali tak berani untuk bergerak. Susah rasanya aku berdiri dengan kedua kakiku. Lemas, tak bertenaga. Dengan gerak super pelan, aku mencoba berdiri, memasang telinga, untuk mendengarkan, mungkin saja ia masih ada di dekat jendela.
Tenagaku perlahan pulih, setelah melihatnya berdiri tak jauh dari pintu dapur. Membelakangiku sambil berkacak pinggang. Dari balik korden tipis jendela dapur, aku amati gerak-geriknya.
Dengan muka kebingungan, mas Osman hanya bisa celingukan ke arah rumah kontrakanku lalu mengamati banyaknya cucian kotor yang terhampar di depannya. Karena mungkin merasa iba, diapun membantu memindahkan cucian kotor yang ada di bak cuciku yang telah pecah, ke bak cuci miliknya.
Sekali lagi, ketika mas Osman memindahkan baju-baju kotorku, aku pun kembali melihat barang hitam miliknya. Handuk kecilnya naik turun. Memperlihatkan barang yang ada dibaliknya setiap kali ia membungkukkan badan untuk memindahkan cucian kotorku.
Ketika sedang dalam posisi membungkukkan badan tuk mengambil baju-bajuku, tiba-tiba mas manto terdiam. Masih dalam posisi menungging. Lama sekali. Dan selama itu pula aku menatap tajam ke arah benda yang bergelatungan di balik handuk kecilnya. Bergoyang goyang seiring gerakan pantat mas Osman.
“Apa yang dia lakukan” tanyaku dalam hati.
Ternyata hal yang membuatnya terdiam adalah…. Tumpukan baju dalam kotor milikku. Iya, benar sekali, mas manto mengamati baju dalam kotorku.
Tiba-tiba mas manto berdiri, membalikkan badannya dan melihat kearah rumahku, matanya celingkuan mencari dimana aku gerangan. Dia berpindah posisi, memutari bak cucian kotorku, mengawasi segala gerakan dari dalam rumah. Matanya sangat tajam, mengamati setiap sudut rumahku dengan seksama.
Namun aku yakin dia tak bisa mengetahui posisiku, karena terhalang oleh korden tipis jendela dapurku. Karena menurutnya aman, diapun membungkukkan badannya kembali dan dengan tangan kirinya, dia mengambil salah satu cd kotorku. Cd putih dengan pinggiran berenda.
Dengan mata yang masih celingukan penuh rasa was-was, dia mengamati dalam-dalam cd kotorku itu. Diamati bercak lendir lengket berwarna putih yang menepel di bagian depan cdku. Dan dengan jemari tangan kanannya, disentuhlah bercak lendir itu, dikorek-korek.
Lalu, apa yang sama sekali tak pernah aku bayangkan terjadi. Mas Osman, tanpa rasa jijik sedikitpun, menjilat jemari tangan bekas mengkorek cd kotorku. Karena kurang puas, dia menghirup, menjilat dan mengecapnya, seolah-olah itu adalah makanan paling enak sedunia. Gila. Dia lakukan itu semua dengan tanpa rasa jijik sedikitpun.
Tiba tiba, perlahan namun pasti, ada sesuatu yang bergerak dari dalam handuk kecilnya. Penisnya mulai ereksi. Naik, sedikit demi sedikit, semakin menggembung, mengembung dan mengeras. Ereksi dengan diiringi kedutan denyut nadi yang ada di batang penisnya.
Handuk kecilnya tersingkap, terdorong ke atas, oleh batang kejantanan seseorang yang sama sekali belum aku kenal dekat. Penis hitam yang sempurna, keras, berurat, dengan ujung berwarna merah pekat.
Buah zakarnya mengelantung pasrah, ukuran zakarnya pun tak kalah hebohnya, sebesar jeruk nipis. Penis itu terlihat begitu gagahnya, mulai meninggi keatas disertai dengan kedutan yang berirama. Naik, naik, naik dan terus naik. Berkedut naik, sampai melewati pusarnya.
Sekarang yang ia lakukan sungguh nekat. Sama sekali tak khawatir akan adanya orang yang melihat. Dia berdiri dihalaman belakang rumahku, menghadap tepat kearahku dengan penis yang tegak mengacung sambil menjilat dan mengecap cd kotorku dengan rakus.
Merasa tak cukup hanya mengecap satu cd kotorku, dengan tangan kanannya yang masih bebas, diapun kembali mengambil cd kotorku. Kali ini yang berwarna hijau muda dengan gambar bunga bunga di bagian vagina.
Sekarang di kedua tangannya, ia memegang cd kotorku. Tapi kali ini ada yang berbeda. Cd hijau yang ada di tangan kanannya tak hanya ia cium dan jilat saja. Melainkan……Ia pakai sebagai sarana masturbasinya. Ia lilitkan cd hijauku ke batang penisnya dan ia mulai menggerakkan tangan kanannya maju mundur.
Makin lama makin cepat, main cepat dan makin cepat. Dia mengocokkan penis yang terbungkus cd hijauku dengan kecepatan tinggi. Dengan sangat bernafsu dan brutal.
Melihat tingkah laku mas Osman, detak jantungku pun semakin berdebar-debar tak karuan. Tubuhku menghangat, nafasku memberat, putingku mengeras dan yang paling tak aku sadari, kemaluanku mulai membasah. Secara reflek, aku sentuh cd yang aku pakai, dan aku raba belahan bibir kemaluanku.
Aku basah. Aku horny.
Aku terhanyut akan tingkah laku kurang wajar yang telah dipertontonkan oleh mas Osman. Bagian depan cdku terasa sangat hangat dan basah oleh cairan kewanitaanku.
Astaga, aku benar-benar dibuatnya mabuk kepayang.
Mas manto. Seseorang yang sama sekali belum aku kenal dengan dekat, berani berbuat hal yang begitu nekat. Begitu gila, yang sama sekali tak pernah aku bayangkan. Dengan tanpa rasa malu sama sekali ia masturbasi dengan menggunakan cd kotorku. Dihalaman belakang rumahku.
Badan kekar berotot, kulit hitam yang basah oleh air bekasnya mandi, ditambah sinar matahari yang menerangi halaman belakangku, membuat apa yang ia lakukan terlihat begitu seksi. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasakan perasan yang berbeda kepadanya. Perasan yang tak bisa aku lukiskan dengan kata-kata. Hanya ada rasa penasaran dan ingin tahu yang begitu menggebu.
Mas manto semakin mempercepat kocokannya. Badannya membungkuk dan membusur. Otot-otot tangan dan lehernya mengejang. Ia merem melek, pupil matanya tak terlihat, hanya putih. Ia terlihat begitu menikmati semua yang sedang ia lakukan
Melihatnya begitu menikmati akan apa yang sedang ia perbuat, aku jadi ikut merasakan kenikmatan. Tiba-tiba, muncul perasaan aneh dari dalam diriku. Perasaan nakal, binal, liarku sepertinya muncul. Ingin rasanya aku membuka pintu dapurku dan mendekap tubuhnya, mencium bibirnya dan meraih penisnya.
Ingin rasanya aku membantu menuntaskan semua hasrat nafsunya. Menjilat batang penis yang begitu besar, hitam, panjang. Ingin sekali aku merasakan tusukan dan sodokan penis dahsyatnya di liang vaginaku. Dan… Aku ingin mas Osman menumpahkan semua spermanya di dalam rahimku.
“Liani…..mbak Liani….terima persembahanku untukmu….. mbak Lianiku…..” bisiknya lirih sembari dia mempercepat kocokannya.
“Mbak Lianiku….?” Tanyaku dalam hati. Heran.
“Ooooooohhhhh…..mbak Liani……………..”
Mas manto tiba-tiba menghentikan kocokan tangan kanannya dan dengan cd di tangan kiri, ia berusaha menampung semua tumpahan cairan kenikmatannya.
“Crut… crut… crut… crut…”
Mas manto orgasme. 8 tembakan sperma menabrak cd putih di tangan kirinya. Semburan benih-benih kejantanan seorang lelaki menyemprot keluar dari mulut penisnya yang lebar. Begitu banyak. Sampai-sampai cd putihku yang ia gunakan untuk menampung tumpahan cairan nafsu mas Osman, tak mampu membendung itu semua.
Cairan itu merembes keluar dari cd hijauku yang ia gunakan untuk melilit penisnya, dan menetes jatuh ke atas cucian kotorku. Sungguh menakjubkan melihat ekspresi wajahnya. Semua terjadi seperti dalam gerakan slow motion. Andai aku punya handycam, pasti aku kan merekam semua kejadian barusan.
Penisnya berkedut dengan hebatnya. Berkedut sambil memuntahkan semua cairan spermanya.
“tiiiiiiiiitt…….. tiiiiiiiiitt…….. tiiiiiiiiitt…….. tiiiiiiiiitt……..”
Kami berdua dikejutkan oleh suara SMS dari HP milikku. Suara yang walau lirih, tapi terdengar begitu lantangnya. Memecah kesunyian yang terjadi selama beberapa menit ini.
Mas Osman terlihat begitu panic, dia bingung, celingukan, mengkira-kira, kapan aku bakal menampakkan diriku dari dalam rumah. Dia juga bingung dengan benda yang sekarang masih ada di kedua telapak tangannya.
Cd putih yang ia gunakan tuk menampung tumpahan sperma dan cd hijau yang ia gunakan tuk membungkus batang penisnya, semua basah karena sperma. Dibuang sayang, di letakkan di bak cucian pun khawatir aku akan curiga.
Karena kehabisan akal, mas manto akhirnya melepas handuk kecil yang melilit pinggang dan meletakkannya di pundak. Astaga, sekarang aku dapat melihat keseluruhan tubuh telanjang beserta penis raksasa mas Osman yang masih menggelatung lemas setelah dikocoknya habis-habisan.
Penis itu telihat seperti buah terong, panjang, besar, berwarna hitam kemerahan dengan ujung kepala yang menggelembung. Dan anehnya lagi, penis itupun masih berkedut dan mengeluarkan sperma.
“Ga ada habisnya tuh peju” pikirku kagum.
Dengan cepat, mas Osman langsung mengenakan cd putihku yang penuh dengan spermanya. Cd tersebut dipaksa untuk dapat masuk, karena mas Osman tak dapat menemukan lokasi tuk menyembunyikan cd tersebut.
Janggal sekali aku melihatnya mengenakan cd wanita. Ujung kepala penisnya tak dapat sepenuhnya tertampung. Masih menjulang keatas, melawati karet kolor cdku. Sampai-sampai ia harus bersusah payah tuk menekuk batang penisnya ke bawah, kearah pantat, supaya tak terlihat lagi.
Biji testisnya pun terlihat tak nyaman, menggelambir keluar dari masing-masing celah celana dalamku. Dan cd hijau, yang juga terciprat spermanya, ia sembunyikan di dalam tumpukan baju kotorku. Setelah itu, ia segera melilitkan kembali handuk kecilnya, dan bertingkah seperti tak ada apa-apa..
“Mbak Liani…” panggilnya. “Mbak…Ini bak cucinya…”
“Eeh iya… sebentar mas….” Jawabku. Aku mencoba mengatur nafas, menyembunyikan deru nafsuku yang juga masih menggebu-gebu ini..
“Maaf mas… tadi mas Andri telpon, jadi mas Osman langsung saya tinggal deh…”
“Oh gapapa mbak…ini baju kotornya sudah saya pindahkan ke bak cuci saya… jadi mbak Liani tinggal meneruskan saja…” mas Osman berkata sambil mengurut-urut telapak tangannya di depan selangkangan, mencoba menutupi gundukan penis yang aku kira mulai menggeliat lagi.
“I….iya…ma kasih mas… jadi ngerepotin nie ceritanya….” Kataku.
“Ah.. gapapa kali mbak…. Lagian aku kasian kalau melihat cewek secantik mbak Liani harus bercapek-capek sendirian gini….” Katanya tersenyum meringis.
“Wah… sepertinya dia mulai merayuku” batinku. Aku hanya bisa tersenyum-senyum mendengar kalimat mas manto.
“Hhmmm… anu mas… kalau boleh… apa saya bisa….….”
“Boleh boleh…mo apa ya?” potongnya.
“Anu… apa bisa saya minta tolong buat …..sekalian penuhin bak cuci dengan…..?”
“Wah bisa banget mbak.. tenang aja… “potongnya lagi. “bahkan kalau mau… saya bisa bantu mbak liani nyuci’in bajunya…”
Bersambung…