“KEPLAK…KEPLAK……KEPLAK” hembusan angin pagi menggoda helai pakaian basah yang terjemur rapi di halaman belakang rumahku. Semerbak aroma bunga dari pewangi pakaian beterbangan terbawa angin keseluruh penjuru ruang. “PLUK…PLUK…PLUK” suara lembut tetesan air yang jatuh dari ujung mulut keran kedalam bak mandi.
“TENG…TENG…TENG” dentang jam terdengar nyaring sebanyak sepuluh kali.
Hari ini, langit terlihat jauh lebih bening daripada biasanya, membuat matahari bersinar dengan teriknya. Beberapa awan kecil dengan malu-malu melayang lucu, ditemani layang-layang yang berjoget riang.
“Benar-benar pagi yang sempurna” Kulihat bayangan senyum bibirku terpantul dari peralatan masak yang tergantung rapi di dinding. Pandanganku menebus beningnya kaca nako jendela dapur. Kutatap bak cuci pecah yang bertengger manis di sudut dinding balakang rumahku, bersebelahan dengan 2 buah bak cuci baru berwarna merah tua. Senyumku semakin mengembang lebar jika mengingat kejadian konyol beberapa waktu lalu.
Kejadian dimana awal perkenalan, pertemanan, dan perselingkuhan dengan tetanggaku dimulai. Semua gara-gara bak cuci yang pecah. Entah kenapa akhir-akhir ini, hari terasa begitu cepat berlalu. Siang datang dengan tiba-tiba, dan tak lama kemudian, malam pun menampakkan keanggunannya. Semua hari seolah berlomba-lomba untuk mengabsenkan dirinya.
Kulihat kembali bayangan seksi diriku terpantul dari peralatan masak yang tergantung rapi di dinding. Kuputar-putar pinggangku, mencoba melihat kemolekan lekuk tubuhku sendiri.
“Ternyata badanku masih tampak sangat seksi” Batinku. “Nggak kalah lah dengan badan muda anak-anak SMA” kembali aku tersenyum.
Dengan proporsi 165cm/50 kg, tubuhku terlihat begitu semok. Ditunjang kulit putih tak berbulu, kaki jenjang panjang, pantat bulat, dan payudara 36C yang besar membusung, aku yakin mampu membuat mata para pemuda serasa mau loncat dari kelopaknya jika melihatku dalam kondisi bugil seperti ini. Kuraih celemek kecil yang tergantung di sisi pintu dapur, dan langsung kukenakan guna menutupi tubuh polosku.
Kupecahkan sebuah cangkang telor ayam dengan sudip. Cairan bening lengket beserta gumpalan bulat bewarna kuning meluncur turun dengan manjanya. Mendarat diatas besi licin, dan langsung mendidih kepanasan.
“SREEEENNGG”. Dua kali kulakukan hal yang serupa. Jemariku bergerak lincah, mengambil sejumput garam, dan menaburkannya diatas genangan telor yang bergejolak. Tak lama, aroma wangi makanan memenuhi dapur kecil ini, membuat perut yang lapar semakin meraung-raung.
Kubiarkan beberapa saat, sampai tiba waktunya 2 telor itu pindah dari panasnya besi penggorengan ke atas nasi merah yang masih mengepulkan asap. Telor itu tersenyum manis kearahku dan kemudian terlentang dengan genitnya. Tak lama, kubawa sajian pagiku ke kamar tidur.
Kondisi kamar tidur terlihat begitu berantakan. Sebagian bantal dan guling beserta selimut telah jatuh ke lantai. Kain sprei tertarik kesana kemari, tak mampu lagi membungkus kasur dengan sempurna. Gumpalan kertas tissue yang basah tercampur sperma berserakan dimana-mana. Kaos, rok, kolor, sarung, celana dalam dan bra, teronggok di hampir setiap sudut ruangan. Benar-benar berantakan.
Kusapu seluruh sudut kamar tidur mas Osman dengan mataku. Aku baru sadar, jika sebenarnya udara dalam kamar ini benar-benar pengap. Gelap, panas, dan berbau amis. Walau kipas angin yang berada di sudut ruangan telah disetel semaksimal mungkin, namun, angin yang dihembuskannya masih terasa panas dan lengket.
Kubuka tirai dan jendela kamar tidur mas Osman membiarkan udara pengap dalam kamar ini tergantikan oleh udara baru yang segar. Kilau sinar matahari langsung membutakan mataku, terang sekali. Karena terbiasa dengan kondisi temaram kamar mas Osman beberapa saat tadi, perlu sedikit waktu bagi mataku untuk dapat beradaptasi dengan terangnya pagi itu. Hembusan segarnya udara pagi langsung menyapa wajahku. Kuhirup dalam-dalam dan kubiarkan jendela kamar tidur itu terbuka lebar-lebar.
“Ini sarapan paginya mas” Kuletakkan nampan berisikan nasi goreng telor setengah matang, air putih dan kopi pahit kegemaran suamiku di meja rias yang ada di sudut kamar tidur.
Aku duduk ditepi tempat tidur, disamping kanan tubuhnya yang masih polos tanpa mengenakan sehelai pakaian pun. Ia menatapku dalam-dalam sambil tersenyum. Tangan kirinya diletakkan dibelakang kepala tuk dijadikan bantal. Dan tangan kanannya selalu dalam kondisi siaga, mengurut penisnya yang mulai kembali tegang secara perlahan.
Kukecup pelan pipinya dan kupeluk perlahan tubuh kekarnya. Dadanya yang bidang terlihat sudah bergerak normal, naik dan turun dengan teratur. Begitu pula dengan hembusan nafasnya yang sekarang terlihat begitu tenang. Dengan sigap, ia segera bangkit dari posisi tidurnya dan bergeser ke kiri, mempersilakan aku untuk semakin mendekat ke arahnya. Punggung lebarnya disandarkan ke kepala ranjang.
“Makasih dek” suamiku tersenyum dan mengecup keningku ”Kamu baik banget…setiap pagi selalu menyediakan ‘sarapan’ paling enak sedunia…bahkan mungkin sarapan yang paling enak se-jagat raya”
“Aaaah mas bisa aja…khan memang ini tugas seorang istri mas” kukecup dada bidang suamiku dan kukenyot putting yang berwarna hitam itu “Untuk selalu bisa memuaskan lelaki pilihannya…lahir dan batin”
“Kamu memang bidadari dek” Ditariknya kedua pundakku maju kearahnya dan dipeluknya erat-erat. Sangat erat sampai aku merasakan sedikit kesakitan pada kedua payudaraku yang tertekan ke dada bidang suamiku. Dielusnya belakang kepalaku sambil mengusap-usap punggung putihku dengan tangannya yang kasar. “Aku sayang kamu dek”
“Hmmm…udah udah…nih dimakan makanannya…ntar keburu dingin” aku berusaha melapaskan diri dari pelukan suamiku. Sekuat tenaga kudorong tubuhnya, tapi sia-sia, ia begitu kuat. “Udah ah mas…nie adek mo ngambil makanannya dulu”
Sambil tersenyum, ia akhirnya mengendurkan pelukannya. Namun ketika aku membalikkan badan dan beranjak mengambil makanan di meja disudut kamar, kembali suamiku menarik pinggangku yang kecil dan memelukku dari belakang.
Tak lama kedua tangannya mulai jahil, menelusup dari sisi-sisi celemek dan meremas payudaraku yang bergelantungan bebas “Bentaran ah dek…mas masih kangen kamu”
“Shhh…Aduuuuhhhh…udahan donk mas…sarapan dulu”
“Tapi mas nggak kepingin makan sarapannya dek” diremasnya kedua payudaraku lagi dan mulai mempermainkan putingku yang mulai tinggi mencuat “Mas kepingin makan kamu”
“Aduh…khan baru 20 menit tadi mas makan adek…masa mau nambah lagi?”
“Hahahaha” tawanya lantang “Kalo makan kamu mah mas nggak bakalan kenyang dek”
“Ssssshhh” Erangku mulai terhanyut arus birahi ”Iya deh iya…ntar adek kasih lagi…tapi shhhh…sekarang mas makan dulu yak”
Seperti keasyikan bermain balon berisi air, diguncang-guncangkannya payudaraku sembari mengecup tengkukku. Membuatku semakin merinding mendapat perlakuan seperti itu.
“Makasie ya dek Lianiku sayang” masing-masing payudaraku ditarik jauh-jauh kearah samping dan diplintirnya puting payudaraku keras-keras . “Mas sayang banget ma kamu”
“Aawwwhhh…aduh…mas Osman tega deh” kutampikkan kedua tangan nakalnya keras-keras, mengusirnya supaya tak menggoda putting dan payudaraku lagi. “Khan sakit” kataku sambil mengernyitkan hidungku kearahnya, lalu beranjak bangun.
Kuambil nasi goreng yang ada di atas meja rias mbak Narti dan kuserahkan kepada mas Osmanku. Diambilnya piring nasi goreng itu dengan satu tangannya, lalu ia kembali duduk sambil menyandarkan punggungnya di kepala tempat tidur. Ia hanya tersenyum lalu tertawa lantang. Dan sekali lagi, aku terbuai oleh senyum yang menawan.
Tak terasa, perselingkuhanku dengan mas Osman telah memasuki bulan kedua. Dan selama itu pula aku merasakan bagaimana indahnya hidup. Bukannya aku tak mensyukuri akan apa yang telah diberikan oleh mas Andri, suamiku asliku, namun jika bersama mas Osman, aku merasakan bagaimana rasanya menjadi wanita yang sebenarnya. Karena dari mas Osman, aku bisa mendapatkan kepuasan yang tak pernah aku dapatkan dari mas Andri.
Kepuasan lahiriah sebagai seorang wanita. “Kenikmatan ketika mendapatkan ORGASME, benar-benar tak terkatakan”
Semenjak tragedy pecahnya bak cuciku beberapa waktu lalu, aku menjadi seolah terhipnotis untuk menjadi istri kedua mas Osman. Menjadi budak pelampiasan nafsu binatang suami mbak Narti, tetangga sebelah rumah kontrakanku.
Peranku sebagai istri mas Osman berlaku semenjak mas Andri berangkat kerja di pagi hari sampai ia pulang di sore harinya. Semenjak saat itu pula, aku jadi sering menginap dirumah mas Osman ketika siang. Setelah istri mas Osman berangkat kerja juga tentunya.
Mungkin karena jadwal mas Andri dan mbak Narti yang terlalu mudah diprediksi, kami menjadi benar-benar merasa tenang dengan perselingkuhan yang terjadi selama ini. Pagi hari sekitar pukul 8, suamiku berangkat ke kantor.
Tak lama, sekitar 30 menit kemudian, mbak Narti juga kepasar untuk bekerja di toko. Sore harinya, mbak narti pulang lebih dahulu, sekitar pukul 6 sore. Dan suamiku, juga baru sampai rumah sekitar pukul 8 malam.
Otomatis dari pukul 9 pagi sampai 5 sore, tak ada lagi pasangan masing-masing yang bakal memergoki kami berdua untuk berbuat mesum. Sehingga ada sekitar 8 jam waktu untuk kami berdua guna menikmati perzinahan ini.
“Enak bener dek masakanmu…sempurna” katanya memuji masakanku sambil tersenyum lebar.
“Syapa dulu donk istrinya…??” kataku sambil berkacak pinggang dan menepuk-nepukkan tanganku dipayudaraku. “Liani…sang istri super”
“Haahahahaha…mas bangga dek bisa mendapatkan kesempatan untuk menjadi suamimu”
“Bangga sih boleh bangga…tapi mbok ya kontolnya diajarin supaya sedikit hormat“ kataku sambil menunjukkan daguku kearah kemaluan mas Osman yang telah berdiri tegang dengan sempurna ”Kok kayaknya nantangin gitu”
“Liani yang kalem, sopan dan berperilaku terpelajar berubah menjadi Liani yang liar, binal dan berlaku bak pelacur murahan” Kugeleng-gelengkan kepalaku, takjub akan stamina penis mas Osman. Tak peduli sebanyak, sebrutal dan secapek apapun persetubuhan yang telah kami lakukan, penis itu dapat dengan mudah bangkit dari tidurnya.
Tanpa banyak basa-basi, segera saja aku loncat ketengah-tengah kasur lalu kuraih batang berurat yang tumbuh diselangkangan suami baruku itu. Kubuka paha dalam mas Osman lebar-lebar dan mulai kukocok penis beruratnya perlahan.
“Bentar dek…bentar” mas Osman berusaha meletakkan piringnya dan menjauhkan tanganku dari selangkangannya. Namun buru-buru aku cegah.
“MAKAN…!!!” Kubelalakkan kelopak mataku, dan kutatap mata mas Osmannya dalam-dalam.
“Ampuuunnnnn…iya deh…iya”
Denyutan batang penis mas Osman begitu hebat. Sampai aku bisa merasakan kedutan aliran darahnya ketika melewati rongga urat-urat yang berwarna hijau kehitaman. Ukuran penis mas Osman mirip tongkat kasti, begitu besar dan panjang.
Sekilas jika aku bandingkan antara penis mas Osman dengan penis milik suamiku, terlihat sungguh jauh berbeda. Panjang penis mas Andri hanya sekitar 16 cm “Digenggam dengan dua kepalan tanganku pun, batang dan kepala penis mas Andri sudah habis”.
Berbeda dengan penis mas Osman, walau sudah dibungkus dengan dua kepalan tanganku, masih ada lebih dari sepertiga bagian penisnya yang tersisa. Jengkalan tangankupun tak mampu untuk menyamai panjang batang penisnya.
Belum lagi dengan diameternya. Jika diameter batang penis mas Andri mampu aku genggam penuh dengan mudah, tak begitu dengan batang penis mas Osman. Batang penis mas Osman terlihat jauh lebih besar, bahkan saking besarnya, ketika kucengkeram, hanya ujung ibu jariku yang mampu menyentuh ujung jari tengahku, tak peduli sekeras apapun aku mencengkeram batang itu.
“Ampuuunnn deeekk”
Semakin cepat aku naik turunkan tanganku pada penis mas Osman, dan semakin merah pula batang penis itu menderita. Sesekali, kepala penis mas Osman aku cekik, sampai bagian kepala penisnya menggelembung besar, penuh dengan darah berwarna merah kehitaman. Sesekali pula aku gigit keras-keras batang penisnya, sampai membekas cetakan gigiku. Berderet merah bak jahitan kemeja kerjanya.
“HAP…sluuurrrrpp” kumasukkan batang penisnya kemulutku. Sesaat, tercium aroma pesing selangkangan yang langsung menusuk hidungku. Tak mau ketinggalan, aroma anyir sisa-sisa sperma juga kembali aku rasakan menjalar keseluruh bagian lidahku.
Kujilati semua permukaan kulit penis yang bertonjolan urat-urat itu. Kukecup kepala penis mas Osman yang semakin memerah dan kukelitik lubang kencingnya yang mulai mengeluarkan air mani. Aku urut batang berurat itu dengan kencang dan keras, berharap dari lubang kencingnya segera muncrat benih-benih kejantanannya. Benih kehidupan yang tersimpan di kantung zakar hitamnya.
“Uuuuhhhhhh…Shhh” mas Osman memejamkan mata dan mendesah lirih, berusaha menikmati jilatan brutal lidahku diantara sakitnya cengkeraman jemari tanganku. “Ammpuun dek…ampuuunnn” katanya sambil berusaha meletakkan piring makannya.
“Hiiiieeeemmmm hhaaajjaaa hhiiissiiihhuuu…(diem saja disitu)” perintahku tegas.
“Dek…bentar dek…mas naruh piring makan dulu ya” katanya sambil memegang kepalaku, berusaha menjauhkan dari penisnya yang telah memerah tegang.
“Mmmmhh bodo” jawabku enteng. Kulepaskan batang mas Osman dari kuluman mulutku. “Slllrruup…syapa suruh tadi mas melintir-melintirin puting adek…khan adek jadi pengen ngewe lagi…Mmmmnnhh ” kataku sambil menegakkan penisnya, berusaha menjilat dan memakan biji zakarnya.
Biji zakar sebesar buah duku itu juga tak kalah sangarnya. Terlihat begitu bulat, hitam dan terbungkus kulit tipis yang ditumbuhi ratusan helai rambut. Menggelambir turun dan ikut terombang-ambing kesana kemari seiring kocokan jemari lentikku.
“Rambut jembut yang lebat sekali” batinku, sembari terus mengurut batang besar itu dengan mulutku. Sesekali, aku kunyah rambut rambut kemaluan mas Osman sambil menggigit buah zakarnya…
“Ammppuuunnnn deeekk…Mas ga kuat lagi…ampunn” rintih mas Osman keenakan. Diletakkannya piring nasi goreng itu disamping tempatnya duduk, dan sambil mengejan keenakan, mas Osman memegang kepalaku.
Melihat ketidak berdayaan suami baruku, aku menjadi semakin gemas dan brutal. Dengan dua tangan, kupercepat kocokan penisnya, sambil terkadang kupelintir batang penis itu, bak memeras cucian basah.
“Dek Liani…bentar dek sssshhh…aduuhh deekk…kalo kontol mas kamu plintir-plintir gitu…mas bisa cepet keluar lagi…ssshhh” desisnya.
“Ya udah…sok…Mnnmmhhh” Tantangku sambil kembali memasukkan kepala penisnya lebih dalam ke mulutku. Kuhisap kepala penis mas Osman sekuat tenagaku, sampai kurasakan pipi putihku kempot. Aku ingin kembali merasakan benih kejantanannya.
“Deekk…Dekk”
“Uhhaaahhh…huurruuaann hiihheelluuaahhiinnn…(Udah buruan dikeluarin)”
“Ammppuunnn deeekkk…ampun” digerakkannya kepalaku naik turun. Mas Osman sepertinya berusaha menjadikan bibir, mulut dan lubang tenggorokanku sebagai sarana pengocok penisnya. Walau mas Osman tahu, hanya setengah dari total panjang penisnya yang mampu aku telan, namun hal itu tak juga mengurungkan niatnya untuk memperkosa mulutku.
Dengan posisi tubuhku yang menungging, terkadang tangan mas Osman menggapai-gapai vagina dan payudara 36Cku yang bebas bergelantungan. Terkadang pula ia menusuk vaginaku dengan jari-jemarinya atau memuntir dan menarik-narik putingku. Aku hanya bisa memejamkan mata, mencoba menikmati permainan kasar suami baruku.
3 kali sodokan pendek, 2 kali sodokan dalam. Tempo yang dilakukan mas Osman ketika menaik turunkan kepalaku. Mas Osman memang selalu bermain dengan tempo.
Aku dapat merasakan kepala penisnya menyundul-nyundul didalam tenggorokanku. Maju mundur dengan tempo yang sangat cepat. Tak jarang tenggorokanku merasa sampai tersekat dan tak bisa bernafas. Namun, entah mengapa, dari kebrutalan gaya bermain mas Osman, aku semakin terlena dibuatnya.
“Tiduran terlentang dek…mas juga pengen ngobel memek kamu” Perintahnya singkat.
Karena aku juga sudah terbawa nafsu jasmani, segera saja aku ambil posisi terlentang. Mas Osman segera merangkak ke atas kepalaku, dan mengatur posisi penisnya supaya tepat di mulutku.
Kami memposisikan tubuh seperti angka 69, saling mengoral satu dengan yang lain. Jika aku menyedot sambil memintir batang penis mas Osman yang berukuran ekstra ini, mas Osman pun memperlakukan vaginaku dengan hal yang serupa. Ia menyibakkan bibir vaginaku lebar-lebar, menusuk dengan jemarinya dan menjilat setiap mili bagian vaginaku.
“Ohhh…Mas…Sshh…enak banget mas” desahku ketika mas Osman mempermainkan clitorisku. Geli, nikmat dan sedikit ngilu. Sampai-sampai, terkadang aku merasa vaginaku seperti tersengat arus listrik dan tubuhku menggelijang tak menentu arah. Sebenarnya aku tak perlu bertingkah macam-macam ketika dalam posisi 69 ini, karena posisiku berada di bawah. Berbeda dengan mas Osman yang berada diatas, harus lebih aktif lagi.
“Enak bangets dek…mas mo keluar nih” Katanya sambil mempercepat goyangan pinggulnya dan menyodok-nyodokkan penisnya dimulutku. Tak lupa, ia pun menjilat dan menusuk-nusukkan dua jari tangannya dalam-dalam ke vaginaku.
Selagi merasakan kenikmatan pendakian ke puncak birahi, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara dari balik jendela.
“Tumben mas To… olahraganya agak siangan? hakhakhak” teriak suara itu lantang sambil terkekeh “Gorong-gorongnya mampet lagi ya?”
“Pak Tarjo…” bisik mas Osman kepadaku sambil mendekap mulutku “Habis turun mesin pak…lagi ngetes” teriak mas Osman, menjawab pertanyaan pak Tarjo dari dalam kamar. Seketika kami menghentikan aktifitas birahi ini dan berusaha memperhatikan kondisi sekitar.
Pak Tarjo adalah tetangga yang tinggal di komplek perumahan kami juga. Rumahnya bersebelahan dengan rumah mas Osman. Pak Tarjo, seorang pegawai negeri sipil yang sedang menanti masa pensiunnya. Berusia sekitar 60 tahun dan memiliki seorang istri dan dua orang anak yang masih sekolah.
Memang sudah seperti hal yang biasa saja, mas Osman dan pak Tarjo saling bercanda seperti ini. Bercanda mengenai sex yang kurang lazim jika dilakukan oleh tetangga normal. Namun semenjak aku menjadi budak nafsu mas Osman, akupun mulai terbiasa mendengar mereka saling canda dan ejek. Ya, hanya sebatas saling ejek.
“JGREEEK…JGREEK…JGREK” Distaternya Honda WIN bututnya “BRUUMMM….”
“Oowwh…jadi sekarang baru dapat kendaraan baru nieh…hakhakhakhak” timpalnya lagi sambil memutar gas motornya berulang-ulang.
“Tau aja nie pak’e…hahahaha” jawab mas Osman sekenanya, sambil tersenyum kearahku.
Pak Tarjo selalu saja muncul di saat yang benar-benar tak bisa diprediksi. Tubuh polos kami dan pak Tarjo, hanya dipisahkan oleh dinding dan jendela kaca bertirai tipis yang sesekali terbuka ketika tertiup angin.
Diantara rumah mas Osman dan rumah pak Tarjo terdapat teras dan jalan kecil selebar 3 meter yang mengarah ke halaman belakang. Teras tersebut ada disetiap sisi rumah, dan biasanya digunakan sebagai tempat menaruh barang atau motor.
Seandainya pak Tarjo iseng mengintip kedalam kamar tidur mas Osman, ia pun dapat langsung melihat kami yang sedang bertumpuk-tumpukan ini, karena posisi ranjang mas Osman sejajar dengan letak jendela kamarnya. Namun, menurut pengalaman kami berdua selama ini, pak Tarjo tak akan melakukan hal seperti yang aku khawatirkan.
“Pak Tarjo hanya manasin motor dek…tunggu ya…bentar lagi dia juga jalan”
Dan benar, tak lama kemudian, “Mas To…saya berangkat dulu ya” ucap suara dari ballik jendela. “Udah buruan dikelarin…kasihan mbak Narti ntar klo telat…bisa dimarahin bosnya…”
“Mbak Narti?” kami berdua berpandangan heran.
“HAHAHAHAHA…” spontan kami berdua tertawa terbahak-bahak.
Ternyata pak Tarjo masih mengira, saat itu mas Osman sedang menyetubuhi mbak Narti. Seandainya ia tahu siapa gerangan musuh birahi mas Osman saat itu, tentunya akan menjadi berita yang menghebohkan komplek perumahan kami.
Seandainya Pak Tarjo tahu apa yang hampir setiap pagi mas Osman perbuat kepada istri tetangganya, mungkin ia tak jadi berangkat ke kantor, bahkan mungkin, bisa saja ia ikut nimbrung dan bergabung dengan kami berdua. Seandainya saja……..
Perasaan aneh itu muncul lagi. Tiba-tiba, perasaanku menginginkan supaya pak Tarjo dapat mengetahui keberadaanku disini. Aku ingin pak Tarjo sadar jika saat itu wanita yang sedang dizinahi mas Osman adalah bukan istri syahnya. Aku ingin pak Tarjo menyaksikan persetubuhan kami berdua.
“Mas…ayo terusin kocokannya…adek udah gak tahan” pintaku sambil mulai menggerak-gerakkan pinggulku.
“Bentar dek…masih ada pak Tarjo…ntar dia bisa tau kamu ada disini” bisiknya.
“BODO AHHkk…AYO MASSSsshh…cepetaann” sedikit kunaikkan volume suaraku supaya pak Tarjo sadar akan keberadaanku disini.
Tepat seperti perkiraanku, sekilas, pak Tarjo menatap tajam ke jendela kamar mas Osman. Namun karena ada tirai putih tipis yang menghalangi pandangannya, ia tak begitu mengetahui kondisi di dalam kamar saat itu. Karena merasa asing akan suara barusan, pak Tarjo celingukan, mencoba mengenali siapa pemilik tersebut.
“Tuh dek…Pak Tarjo bisa tahu loh” bisiknya sambil sesekali melihat ke arah pak Tarjo yang masih menatap tajam kearah kami.
“BODO” tambahku “Makanya BURUAN KOCOK…adek udah bener-bener nggak tahan” ujarku semakin sewot “BURUANnn…”
“Iye..iyeee…” jawab sambil mulai menjilat dan mengocok jemari gemuknya di vaginaku.
“Ouuggghhh…gitu mas…enak bener… terusin mas…” desahku lantang.
Kembali kulihat pak Tarjo dari dalam kamar gelap ini. Ia berdiri menatap tajam kearah jendela kamar mas Osman dengan raut muka penasaran. Kepalanya miring dan alisnya saling bertautan. Beruntung aku akan teriknya sinar matahari diluar sana, sehingga membuat pandangan dari luar sedikit terhalang. Sebaliknya, aku yang ada di dalam kamar, mampu dengan leluasa mengawasi keadaan diluar kamar.
“Sepertinya enak banget nih…weleh-weleh…yang lagi nyobain mesin baru…” kata pak Tarjo lagi “Tumben dek Narti diem saja…hahahaha”
“Ssshhh…Abis keenakan sih pak” teriakku lantang menirukan suara mbak Narti.
Dengan sigap, mas Osman langsung membekap mulutku.
“Gila kamu dek…suara kamu khan beda dengan suara Narti”
“Biarin ahhhhjaahhh…” jawabku genit “Biar kamu nurut semua kata-kataku” tambahku lagi sambil mengernyitkan hidungku.
Entah dari mana kenekatanku, menjawab pertanyaan pak Tarjo. Aku tahu, memang type suaraku berbeda dengan suara mbak Narti. Tapi toh pak Tarjo mungkin tak menyadarinya.
“Mas To… aku berangkat dulu ya… “ ujar pak Tarjo sambil menengok terus kearah jendela kamar mas Osman.
“Iya pak…hati-hati ya” teriakku lagi menjawab salam pak Tarjo.”Kapan-kapan kalo ada waktu …gabung kesini aja pak”
Kaget, pak Tarjo kembali menatap tajam kearah kamar.
“Dasar tetangga edan…hakhakhakhak…” Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa “Yowes…aku berangkat dulu…ati-ati To…nyodoknya pelan-pelan…kasihan mbak Narti…khawatir lecet-lecet” akhirnya tak lama kemudian, iapun berangkat.
Mungkin karena jengkel, mas Osman langsung mengobok-obok vaginaku dengan buas. Dengan cepat dan memburu mas Osman menusuk dan mencabut jemari gemuknya kedalam vaginaku.
“Mulai nakal kamu ya…nie…rasain hukumanku…”
“Oouuggghhh… enak banget mas…terusin…aku suka banget mas…mas…terus” Menerima tusukan tajam dan cepat jemari mas Osman, aku merasa gelombang orgasmeku akan datang lagi.
Detak jantungku semakin cepat, dan sembusan nafasku memberat. Cairan cintakupun membanjir dan tak terkontrol lagi. Mengalir turun melewati sela-sela bongkahan pantatku. Saking banyaknya, aku tak dapat membedakan, apakah yang keluar dari vaginaku ini murni cairan cintaku, atau sudah tercampur dengan air liur dari mulut mas Osman. Karena yang pasti, aku sudah tak sanggup menahan rasa panas dari gelombang nafsu yang akan datang ini.
“Ooohhh… massshh…adek juga mo keluar…ssshhhh” Kataku “Kita keluar bareng-bareng ya mas”
“Ogah…keluar aja sendiri” ujar mas OsmanI sengit sambil terus mengobok liang vaginaku cepat-cepat. Rupanya ia masih jengkel dengan tingkahku terhadap pak Tarjo barusan.
“Hmmm mas Osman mo main-main ya? Boleh…belum tau dia…gimana kalo Liani beraksi” Batinku sambil membalas kocokannya dengan kenyotan mulutku kebatang penisnya.
“Uuuuhhh…uuhhh…dek…dek… pelan-pelan dek” ujarnya sambil mulai mempercepat sodokan penisnya naik turun ke mulut kecilku.
“Mampus” jawabku singkat” semakin kukencangkan katupan bibirku.
“Yah…yah…yah dek …mas juga sudah nggak tahan lagi dek”
Tiba-tiba, ditekannya dalam-dalam pinggul mas Osman kebawah. Tak sadar akan sakit yang aku rasakan, mas Osman dengan keras mendorong penisnya untuk dapat masuk dan tertelan semua oleh tenggrorokanku..
“Gila…Batang penis sepanjang 22 cm ini ia paksa untuk bisa masuk semua kedalam mulutku” pasrahku dalam hati, sambil berusaha menikmati sakitnya gaya seks brutal mas Osman.
Aku mencoba untuk teriak, namun “Uuuummmgggghhh” hanya itu suara yang keluar dari mulutku. Kurasakan sakit yang luar biasa ketika penis mas Osman berusaha untuk terus masuk lebih jauh lagi, begitu perih sampai seolah-olah batang penis itu merobek tenggorokanku.
Seperti tenggelam, aku tak dapat bernafas. Leherku tersekat dan air mataku pun mulai menetes dari sudut mataku. Saking besarnya penis mas Osman memaksa mulutku tuk terbuka, aku merasakan rahangku sampai mati rasa. Pegal sekali, bahkan aku merasa, rahang mulutku seperti hendak lepas dari engselnya.
Aku hanya bisa mendongakkan kepalaku semaksimal mungkin, berusaha membuat tenggorokan dan leher ini meregang selebar-lebarnya. Tujuanku hanya satu, aku juga ingin merasakan kenikmatan denyut orgasme pada vaginaku seiring sakitnya sodokan batang penis mas Osman pada tenggorokanku.
“AAAAAAAARRRRRGGGGGGHHHHHHH” Hampir bersamaan kami teriak, melepas semua beban birahi yang ada di otak dan alat kelamin kami masing-masing.
“CRET…CREET…CREEETT”
Lima denyutan hebat, aku kurasakan di dinding kerongkonganku, seiring dengan muncratnya ribuan benih sperma mas Osman. Tak sebanyak, dan sekental spermanya beberapa saat lalu, namun masih kurasa kenikmatan benih-benih pria selingkuhanku langsung masuk menyembur dengan kuatnya. Walau tak terasa oleh lidah, namun tekstur lembut sperma itu masih bisa rasakan ketika mengalir turun dari kerongkongan menuju lambungku.
Mas Osman menjatuhkan badannya kebawah, menimpa tubuh rampingku berusaha menikmati ejakulasi yang ia dapatkan dari mulutku sambil sesekali masih mengaduk-aduk mulut dan tenggorokanku naik turun dengan perlahan.
Mas Osman tak memperdulikan tubuh dan tanganku yang menggelepar-gelepar hebat karena orgasme yang juga kurasakan. Karena tak mampu berbuat apa-apa, akhirnya aku hanya bisa pasrah. Membiarkan suami baruku berbuat sesukanya terhadap tubuhku. Toh tubuh ini juga sudah menjadi miliknya.
Entah berapa lama lagi aku harus dalam kondisi seperti ini. Nafasku tersekat dan mataku mulai berkunang-kunang. Tanda kesadaranku mulai menurun. Tanpa mengenal kasihan, mas Osman masih saja membenamkan batang penisnya dengan brutal kearah mulutku.
Mungkin dengan disodokkannya batang penisnya dalam-dalam, mas Osman bisa merasakan denyut gerakan peristaltic tenggorokanku lebih lama lagi. Merasakan tenggorokanku memanjakan penisnya dengan gerakan mengurut yang tiada henti.
Melihat aku yang sudah lemas dan tak meronta lagi, rupanya mas Osman sadar jika aku mulai kehilangan kesadaran. Dengan segera, dicabutnya batang penis raksasanya dari mulutku dan langsung membiarkanku megap-megap mencari oksigen…
“Huuuuaaaaaahhhh” Kubuka mulutku lebar-lebar dan kuhirup oksigen sebanyak-banyaknya. Kembali tubuhku menggelepar-gelepar, merasakan kembali orgasmeku yang sempat terputus akibat sodokan kasar penis mas Osman di mulutku tadi. Lebih dari 30 detik, dinding vaginaku berkedut dengan hebat.
Tak lama, gelinjang tubuhku mulai sedikit mereda, dan detak jantungku mulai pelan. Terlentang menghadap langit-langit sambil mengatur nafasku yang putus-putus. Ceritasex.site
“Hhhh…gihhla kahhmu mashhh…hhh hhh” kataku dengan nafas yang berat “Tehhga banget…Kalo adek mati gihhhmana?” kataku sambil menatap mas Osman yang sudah kembali bersandar di kepala tempat tidurnya dengan pandangan marah.
Mas Osman hanya tersenyum lebar. Menampakkan deretan gigi-giginya yang kuning sambil mengurut penisnya yang berkilat air liurku.
“Maaf dek…abis sepongan kamu benar-benar enak…mas jadi khilaf”
Mas Osman beranjak dari posisi duduknya dan merangkak kearahku. Gengan posisi kaki yang dilebarkan sejauh mungkin, ia dudukkan pantat hitamnya tepat diatas kepalaku. “Kamu makin cantik sayang kalo marah gitu” katanya sambil tersenyum dan menepuk-nepukkan penisnya yang setengah ereksi ke rambutku.
“Halah gombal” ujarku sambil melirik keatas, memasang muka sejutek mungkin.
Diraihnya tanganku, dan kembali diletakkannya pada batang setengah ereksi milik mas Osman. “Bersihin kontolku dong dek”
Dengan posisi yang masih telentang, akan sulit tentunya membersihkan penis yang ada tepat diatas kepalaku. Kubalikkan badanku dan langsung kucaplok keras-keras penis mas Osman sambil sesekali mengunyah daging kenyal itu dengan gigiku.
Mas Osman mulai meracau tidak jelas “Shhh…Dek…Enak banget”
Mulutku kembali basah oleh Air liur yang bercampur sperma segar mas Osman.
“Lianiku, sang bidadari pecinta peju” julukan sayang yang diberikan kepadaku oleh mas Osman, suami baruku.
Kujilat seluruh permukaan kulit penis mas Osman sambil kuhisap-hisap batang penis yang mulai mengecil itu.
“Seponganmu memang yahud dek…belum pernah aku temui wanita lain dengan sedotan mulut yang maut sepertimu sayang”
“Wanita lain…??”
“Iya…si Narti atau mantan-mantan pacarku dulu…selain kamu…tak satu pun dari mereka yang bisa membuatku moncrot seperti ini…sssshhh”
Walau sedikit jengkel karena dibanding-bandingkan dengan wanita lain, namun sekilas, ada juga perasaan bangga ketika mendengar suami baruku berkata seperti itu.
“Tak ada yang mampu menyamai seponganku” lagi-lagi senyumku mengambang lebar.
Kukecup kepala penis mas Osman “ Kontol berurat…Aku sayaaaang banget ama kamu” ujarku kepada kepala penis mas Osman. Kugoyang-goyangkan batang itu ke kanan kekiri, sambil sesekali menepuk-nepukkan batang itu ke mulut dan pipiku, seolah sedang berbicara dengan manusia.
“Dasar dek Lianiku” kata mas Osman sambil mengacak-acak rambutku.
Melihat penisnya yang sudah benar-benar bersih dari sperma, ia segera turun dari tempat tidur, mengambil piring dan nampan berisi sarapan paginya lalu melangkah ke luar kamar. Kurebahkan tubuhku, kembali tidur terlentang dan menatap tajam langit-langit kamar mas Osman sambil tersenyum. “Hhhh…perzinahan yang benar-benar nikmat”
Masih dalam posisi terlentang, samar-samar aku mendengar mas Osman bersiul. Dari nadanya sepertinya ia dalam kondisi hati yang riang. Terdengar pula bunyi kemresek plastik, dentingan gelas dan botol, serta kucuran air.
“Deekk…Kesini donk” panggil mas Osman dari arah dapur.
“Iya bentar mas”
Kulangkahkan kakiku menuju dapur. Sesampainya didapur kulihat mas Osman sedang asyik menyantap sisa makanan yang belum sempat ia habiskan tadi. Ditangannya, terlihat sendok dan garpu yang sedang beradu dengan piring dan nasi.
Bersambung…