Rayhan terduduk lesu di depan meja makan. Sesekali ia melihat Zaskia yang tengah mencuci piring di wastafel. Semenjak subuh tadi Zaskia tidak juga menegurnya, membuat Rayhan merasa semakin bersalah. Ia tau kalau Kakaknya saat ini tengah marah kepadanya.
Untuk ke sekian kalinya Rayhan menghela nafas. Ia bingung bagaimana caranya untuk mencairkan suasana yang terjadi diantara mereka berdua.
Andai saja ia tidak menerima undangan dari Ustadza Dewi, mungkin ia bisa pulang tepat waktu. Tapi apa mungkin dia bisa menolaknya? “Arrrttt… Sial!” Gerutu Rayhan di dalam hati, ia merasa ajakan Ustadza Dewi semalam sangat tidak tepat. Walaupun ia juga sangat menginginkannya.
Sadar kalau tidak ada gunanya menunggu Zaskia menegurnya, Rayhan mengambil inisiatif untuk menegur lebih dulu.
Ia beranjak menghampiri Kakaknya yang tengah mencuci piring, sisa sarapan mereka beberapa menit yang lalu. Sesekali Zaskia menyeka keringat yang ada di keningnya, tanpa menyadari sosok Rayhan yang menghampirinya dari belakang.
“Biar aku bantu ya Kak!” Ujar Rayhan.
Zaskia sempat melihatnya, lalu kembali acuh. “Gak perlu, Kakak bisa sendiri.” Tolak Zaskia ketus.
Kedua tangan mulusnya tampak sibuk mencuci piring kotor. Sementara raut wajahnya memancarkan atmosfer negatif yang membuat Rayhan bergidik ngeri. Ia takut kalau nanti sampe salah ngomong.
Zaskia sendiri juga tidak mengerti kenapa ia bisa se-emosi seperti ini. Ada rasa sakit yang menyeruak di hati kecilnya yang sulit ia sembuhkan.
“Aku pamit dulu ya Kak!” Rayhan hendak menyaliminya tapi lagi-lagi Zaskia memilih diam.
Karena tidak ada perubahan dari sikap Zaskia, Rayhan segera meninggalkan Kakaknya dengan langkah gontai. Hatinya menjerit sedih karena merasa di campakkan oleh Kakaknya sendiri. Tidak biasanya Zaskia semarah itu kepada dirinya.
Tanpa di ketahui Rayhan, di sudut matanya, Zaskia melihat kearah punggung adiknya yang perlahan menghilang di balik pintu rumahnya.
“Kamu jahat Dek!” Lirih Zaskia sembari menyapu air matanya yang mengalir dari kelopak matanya.
******
Sementara itu di tempat yang berbeda….
Aziza, Aurel, Adinda dan Asyifa tampak tengah bersiap-siap berangkat ke sekolah. Sembari mengobrol ringan, mereka sibuk merapikan pakaian mereka di dalam kamar Aziza. Tetapi diantara mereka tampak Adinda lebih banyak diam. Kejadian semalam sangat mengganggunya.
Ingin rasanya ia memberi tau teman-temannya apa yang terjadi barusan, tapi ia takut akan membuat sahabatnya Aziza merasa sedih.
Anak mana yang tidak sedih, kalau tau Ibunya sudah menjadi korban pemerkosaan. Pikir Adinda.
Adinda menghela nafas perlahan, sembari memasukan satu buah buku pelajaran ke dalam tasnya.
“Aku ke toilet dulu ya!” Izin Adinda.
Ia segera keluar dari dalam kamar sahabatnya. Setibanya di dapur ia sempat melihat Ustadza Dwi yang tengah menyiapkan sarapan pagi.
Kembali ia teringat dengan kejadian semalam, di mana Ustadza Dwi di perkosa oleh kolor ijo. Tapi anehnya, tadi malam Adinda merasa Ustadza Dwi seperti orang yang tidak sedang di perkosa tapi melainkan seperti seorang yang tengah memadu kasih.
“Dinda, kemari sebentar.” Panggil Ustadza Dwi.
Adinda segera menghampiri Ustadza Dwi. “Ada apa Ustadza?” Tanya Adinda heran, entah kenapa ia merasa ada beban ketika berada di dekat Ustadza Dwi.
Wanita berkerudung hitam itu tersenyum tipis. “Duduk dulu, ada yang ingin Ustadza omongkan.” Pinta Dwi.
Di dalam hati, Adinda bertanya-tanya tentang apa yang akan di bicarakan oleh Ustadza Dwi kepadanya. Ia segera duduk di kursi makan bersebrangan dengan Ustadza Dwi yang terlihat santai. Adinda dapat merasakan aura Ustadza Dwi yang begitu anggun Dengan balutan gamis berwarna hitam.
“Ada apa Ustadza?” Tanya Adinda tidak sabar.
Ustadza Dwi tersenyum tipis. “Ini soal semalam!” Ucap Ustadza Dwi memulai pembicaraan. Wajah Adinda mendadak pucat pasi, perasaannya semakin tak enak ketika melihat Ustadza Dwi yang mulai serius.
“Maksudnya?”
“Ustadza tau, kalau kamu sudah melihat semuanya.” Ustadza Dewi meraih tangan Adinda. “Tolong kejadian semalam untuk di rahasiakan.” Pinta Ustadza Dwi, bukan tanpa alasan kenapa ia ingin kejadian semalam di rahasiakan.
“Ja-jadi Ustadza tau kalau aku melihat semuanya?” Kaget Adinda. Ia merasa bersalah karena semalam ia tidak mencoba menolong Ustadza Dwi.
Ustadza Dwi mengangguk pelan. “Iya, dan Ustadza berharap kamu bisa melupakan kejadian semalam.” Ujar Ustadza Dwi.
“Maafkan aku Ustadza!”
Ustadza Dwi kembali tersenyum. “Ustadza mengerti, kamu tidak perlu merasa bersalah.” Kata Ustadza Dwi, ia menggenggam tangan muridnya semakin erat.
“Terimakasih Ustadza.”
“Kamu maukan, menjaga rahasia semalam.” Ulang Ustadza Dwi.
Adinda menghela nafas perlahan. “Iya Ustadza, ana mengerti!” Jujur Adinda, walaupun ia tidak tau pasti di balik alasan Ustadza Dwi memintanya untuk merahasiakan kejadian semalam. Tapi ia yakin, Ustadza Dwi pasti punya alasan yang kuat.
“Alhamdulillah! Ustadza senang kalau kamu mau menjaga rahasia semalam.”
Setelah itu Ustadza Dwi tidak lagi membahas tentang kejadian semalam, ia lebih banyak menanyakan tentang sekolah mereka. Dan sedikit memberi nasehat kepada muridnya agar rajin belajar. Dan Adinda mengaminkan setiap nasehat yang di berikan Ustadza Dwi.
Setelah mengobrol cukup lama, Adinda permisi untuk pergi ke toilet. Ada sedikit rasa lega yang di rasakan Adinda, setelah obrolan mereka barusan.
*****
Sementara itu di kediaman KH Umar, tampak pemilik yayasan tersebut terlihat begitu sibuk. Ia memakai pakaian terbaiknya, membuat Ustadza Laras sedikit heran dengan Suaminya yang terlihat begitu rapi, seakan ingin berpergian jauh.
“Abi mau kemana?” Tanya Ustadza Laras.
KH Umar merapikan kemejanya. “Mau ke kantor polisi bareng KH Hasan.” Jawab KH Umar, selaku pemilik pesantren, ia di minta pihak berwajib untuk memberikan keterangan prihal kejadian yang akhir-akhir terjadi di pesantren.
“Apa pelakunya sudah di temukan Abi?” Tanya Laras penasaran. Ia sangat berharap, pelaku yang menyamar menjadi kolor ijo itu segera di tangkap.
“Belum Mi!” Desah KH Umar. “Umi gak perlu takut, insyaallah keluarga kita akan aman.” Sambung KH Umar menenangkan Istrinya.
“Nanti hasilnya kasih tau Umi ya.”
KH Umar mengangguk, sembari melangkah keluar dari dalam kamar mereka. Sementara Ustadza Laras mengekor di belakangnya. Di ruang tamu, tanpa Daniel terlihat santai, ia buru-buru bangun saat melihat KH Umar terlihat begitu rapi.
KH Umar tersenyum melihat keponakan yang kini terlihat berbeda dari yang ia kenal dulu.
Daniel kini lebih sopan, dan caranya berbicara juga terkesan sangat dewasa, membuat kepercayaan KH Umar terhadap Daniel semakin besar.
“Mau kemana Kiai?” Tegur Daniel.
“Saya mau ke kantor polisi dulu, mau ngurus masalah pemerkosaan kemarin.” Jelas KH Umar.
“Mau saya temani.” Tawar Daniel.
KH Umar menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu biar saya sendiri saja! Tapi kiayi titip rumah ya, tolong jaga Tante dan sepupumu selagi kiayi pergi.” Ujar KH Umar, yang di sambut anggukan oleh Daniel.
Sungguh salah besar jika KH Umar mempercayakan keluarganya kepada Daniel. Karena pada dasarnya Daniel punya rencana jahat untuk keluarganya. Pemuda tidak tau di untung itu berencana ingin merebut Istrinya.
Kepergian KH Umar tentu saja di sambut gembira oleh Daniel, karena dengan begitu ia hanya tinggal berdua saja dengan Ustadza Laras.
“Insyaallah akan saya jaga amanah Kiayi.” Ujar Daniel.
KH Umar tersenyum senang mendengarnya. Ia merasa lega karena ada Daniel yang akan menjaga Istri dan kedua anaknya ketika ia sedang tidak ada di rumah.
Setelah pamit kepada Daniel, KH Umar segera pergi untuk bertemu dengan KH Hasan. Selanjutnya mereka akan kantor polisi untuk memberikan keterangan yang di butuhkan oleh pihak berwajib, agar lebih muda menangkap sang pelaku pemerkosaan.
*****
Rayhan berjalan gontai menuju kelasnya yang ada di wilayah santri. Saat melihat rumah Ustadza Dewi, ia kembali teringat dengan sikapnya semalam yang begitu saja meninggalkan Ustadza Dewi. Ia merasa, kalau dirinya harus meminta maaf.
Langkah kakinya berbelok ke rumah Ustadza Dewi, dan sempat berlintasan dengan Nikita yang baru saja keluar dari rumah.
Tok… Took… Tookkk…
“Assalamualaikum!” Sapa Rayhan.
“Waalaikumsalam! Siapa…”
“Ini aku Ustadza, Rayhan!” Jawab Rayhan.
Tidak lama kemudian Ustadza Dewi keluar menyambut Rayhan. “Oh kamu Ray!” Ujarnya terlihat tidak begitu senang dengan kehadiran Rayhan. “Ada perlu apa?” Tanya Ustadza Dewi sedikit ketus.
Rayhan mendesah pelan. “Cuman mau ngobrol! Kalau Ustadza Dewi tidak keberatan.” Ujar Rayhan, entah kenapa Rayhan merasa canggung di hadapan Ustadza Dewi.
“Masuk!” Ajak Ustadza Dewi.
Walaupun ia marah dengan sikap Rayhan semalam, tapi ia tidak bisa mengabaikan sosok Rayhan yang semalam telah memberinya sebuah kenikmatan dunia yang belum pernah ia dapatkan.
Rayhan duduk di sofa, di mana ia semalam sempat menelanjangi Ustadza Dewi.
“Ustadza buatkan minum dulu ya.” Ujar Ustadza Dewi.
Tapi Rayhan buru-buru menghentikannya, ia menarik tangan Ustadza Dewi. “Tidak usah Ustadza! Sebenarnya aku ke sini cuman mau meminta maaf soal semalam.” Jujur Rayhan.
“Minta maaf karena kamu sudah meniduri Ustadza?” Tembak Dewi.
Rayhan berdiri, ia mengerti kenapa Ustadza Dewi marah kepada dirinya. Bagaimanapun juga Ustadza Dewi pasti merasa kalau ia telah mencampakkannya, setelah ia merenggut kenikmatan tubuh Ustadza Dewi.
Perlahan Rayhan memeluk Ustadza Dewi dari belakang, tangannya melingkar di atas perut Ustadza Dewi.
“Bukan! Saya mau meminta maaf karena semalam pergi begitu saja dari rumah Ustadza Dewi.” Ujar Rayhan jujur, dan berharap Ustadza Dewi mau memaafkan kesalahannya semalam.
Ustadza Dewi mendesah pelan. “Kenapa?” Lirihnya.
Dengan perlahan Rayhan menjelaskan alasannya kenapa ia harus segera pulang, bahkan sampai lupa berpamitan dengan Ustadza Dewi.
Sebagai seorang wanita dewasa, Ustadza Dewi sangat mengerti dengan kekhawatiran Rayhan terhadap keselamatan Kakak kandungnya, dan ia merasa sangat egois karena sempat berfikiran negatif tentang Rayhan yang semalam telah menidurinya.
Ustadza Dewi memutar tubuhnya menghadap Rayhan, dia menyentuh kedua pipi Rayhan.
“Hmmmpss…. Slllppsss…. Srruupsss…” Entah siapa yang memulai duluan, bibir mereka berdua telah menyatu satu sama lain.
Rayhan memanggut bibir merah Ustadza Dewi, menghisap lidahnya, dan menelan air liurnya. Setelah beberapa menit mereka melepas ciuman panas tersebut. Cukup lama mereka saling pandang satu sama lainnya.
“Ustadza maafkan kamu, tapi dengan satu syarat.”
“Apa?”
“Setubuhi Ustadza sekarang juga! Hari ini kamu tidak usah sekolah, temani Ustadza sebagai penebus kesalahan kamu kemarin.” Pinta Ustadza Dewi.
Rayhan tersenyum tipis. “Oke!” Jawab Rayhan singkat.
******
Kediaman KH Umar.
Selepas kepergian KH Umar, Laras lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bersantai. Ia meletakan kedua kakinya diatas meja, sementara tangannya berulang kali mengganti channel televisi berukuran 41 inc. Entah kenapa, ia merasa kosong.
Melihat mangsanya kini sendirian, tentu saja Daniel tidak akan membuang kesempatan yang ada. Ia membuatkan segelas jus jeruk yang sudah ia campur dengan obat perangsang yang baru ia beli dari online shop.
Daniel segera menghampiri Laras dan meletakan segelas jus di samping kaki Laras.
Laras yang baru sadar dengan kehadiran Daniel, buru-buru menurunkan kakinya. Ia merasa tidak sopan, menaikan kedua kakinya diatas meja, sementara di dekatnya ada seorang pria. Apa lagi dirinya adalah seorang Ahkwat yang harus menjaga sopan santunnya.
“Silakan di minum Tante.” Ujar Daniel.
Laras melihat senang kearah jus yang baru saja di berikan Daniel untuknya. “Tau aja kamu Dan, kalau Tante lagi haus.” Ujar Laras.
Laras mengambil gelas tersebut dan tanpa merasa curiga ia meminum jus tersebut cukup banyak.
“Ahkk… Lega sekali rasanya.” Gumam Laras.
Daniel cukup senang melihatnya. “Oh ya Tante, gimana kakinya? Apa masih sakit?” Tanya Daniel, membuat Laras terdiam sejenak
Wanita berusia 39 tahun tersebut sempat melupakan kejadian kemarin, di mana ia di buat orgasme oleh pemuda yang ada di sampingnya. Sebagai seorang wanita, ia merasa malu setiap kali mengingat kejadian malam itu, untunglah Azril tidak menyaksikannya secara langsung.
Tetapi ia juga tidak bisa memungkiri kalau beberapa kali ia terangsang setiap kali mengingatnya. Bahkan jauh di dalam dirinya ia ingin kembali mengulanginya.
“Sepertinya sudah agak mendingan Dan!” Jawab Laras pelan, ia sangat malu sekali.
Daniel mengangguk pelan. “Biar aku periksa Tan!” Daniel berlutut di depan Laras, lalu memegangi pergelangan kaki Laras yang memang sudah tidak bengkak lagi seperti saat pertama kali ia terjatuh.
“Eh…” Laras tersentak kaget.
“Iya, ini sudah agak mendingan Tan!” Lirih Daniel, sembari memijit lembut pergelangan kaki Laras.
Sentuhan jemari Daniel, membuat tubuh Laras merinding. Ia merasakan sensasi yang sebelumnya juga pernah ia rasakan, hanya saja kali ini terasa berkali-kali lipat dari sebelumnya. Bahkan belum apa-apa, vaginanya sudah terasa basah.
Laras yang tadinya hendak menghentikan aksi Daniel, mendadak diam seribu bahasa, ia membiarkan pemuda itu menyentuh pergelangan kakinya.
]”Astaghfirullah! Ada apa denganku?”Gumam Laras di dalam hati, sembari menggigit bibir bawahnya.
Pijitan Daniel naik keatas, sedikit menyingkap gamis Laras hingga ke betisnya. Dengan lincahnya, jemari Daniel yang kasar memijit betis Laras, sembari melirik wajah Laras, melihat perubahan ekspresi wajah Laras yang mulai tidak tenang, karena obat perangsang yang mulai bekerja, membangkitkan birahi Istri dari pemilik pesantren.
Daniel semakin berani, ia menyingkap labih banyak gamis berwarna merah yang di kenakan oleh Laras hingga melewati lututnya.
“Dan!”
“Tahan ya Tan! Biar kakinya sembuh total.” Ujar Daniel beralasan, sementara tangannya masuk semakin dalam menyentuh paha mulusnya.
Tubuh Laras menggeliat, merasakan geli di sekujur tubuhnya. “Daniel! Aaahkk… Tante gak tahan!” Lirih Laras, ia sudah tidak sanggup menahan gejolak birahinya yang semakin terbakar.
“Nanti juga enak kok Tan!” Ujar Daniel penuh arti.
Laras menatap sayu kearah Daniel, dan nafasnya terdengar makin memburu ketika jemari Daniel menyentuh selangkangannya. Ia yakin sekali, kalau Daniel juga menyadari kalau dirinya saat ini sudah sangat terangsang karena sentuhan Daniel.
Dadanya naik turun mengikuti irama nafasnya, tatkala jari Daniel menyentuh tepat di bagian gundukan vaginanya. Tidak ingin hanyut akan kenikmatan semu yang di berikan keponakannya, Laras berusaha menahan pergelangan tangan Daniel.
Bukannya berhenti, Daniel malah menyingkap gamis Laras lebih tinggi lagi, dan tampaklah kain segitiga berwarna putih berenda yang di kenakan Laras.
“Daniel! Kamu…” Lirih Laras.
Daniel tersenyum tipis, ia dengan sengaja membelai gundukan vagina Laras. “Saya tau, kalau Bu Haja juga menginginkannya.” Ujar Daniel, sembari membuka kedua kaki Laras.
“Jangaaaaan Dan! Astaghfirullah.”
Daniel menangkap tangan Laras yang mencoba menghalangi aksinya. Sementara tangan kirinya, mengusap-usap kemaluan Laras.
Tubuh Laras menggelinjang, seiring dengan celana dalamnya semakin membanjir. Pinggulnya tersentak-sentak seiring dengan orgasme yang tiba-tiba saja datang tanpa di harapkan.
“Oughkk…” Lenguh Daniel.
Seeeeeeeeeerrrr….
Daniel tersenyum puas melihat tubuh Laras yang terkulai lemas setelah orgasmenya barusan.
Ia berdiri dan membuka celananya, mengeluarkan senjata andalannya di hadapan Laras, Istri dari seorang Kiayi yang sangat di hormati di lingkungan pesantren itu. Laras bergidik ngeri melihat penis Daniel yang berukuran sangat besar. Kepala penisnya yang berbentuk jamur terlihat sangat lebar sekali.
“A-apa-apaan kamu Dan!” Protes Laras.
Daniel naik keatas sofa, dia menyodorkan penisnya kearah Laras. “Hisap kontol saya Nyonya Haja Laras Umar.” Ujar Daniel, menyebut gelar dan nama suami Laras.
“Jangan gila kamu Daniel.” Bentak Laras.
Daniel memegangi kepala Laras, dan memaksanya menghisap penisnya. Laras menggerakan kepalanya, menghindari kemaluan Daniel yang berulang kali menempel di bibir merahnya.
Tidak kehabisan akal, Daniel memencet hidung Laras hingga Istri dari KH Umar itu tak bisa bernafas.
Dengan satu dorongan, penis Daniel masuk kedalam mulut Laras. “Hmmmpss…” Daniel menekan kepala Laras hingga penisnya masuk hingga ke dalam tenggorokan Laras.
Wajah cantik Ustadza Laras memerah, karena kesulitan bernafas. Apa lagi rambut kemaluan Daniel menusuk hidungnya. Tapi anehnya, Laras malah merasakan sensasi nikmat didalam dirinya.
Setelah yakin kalau mangsanya semakin tidak berdaya, barulah Daniel menggerakan pinggulnya maju mundur menyodok mulut Ustadza Laras, yang biasanya selalu mengucapkan Kalam Tuhan. Tapi kali ini di gunakan untuk memuaskan hasrat birahinya.
“Nikmat sekali Haja Laras! Oughkk… Terus.” Erang Daniel.
Dia membelai kepala Laras yang tertutup jilbab berwarna merah, sewarna dengan gamisnya.
Semakin lama, Laras mulai melemah, ia semakin pasrah menerima kemaluan Daniel di dalam mulutnya. Laras sendiri juga tidak mengerti kenapa ia begitu mudah menyerah menghadapi syahwatnya. Dan jujur saja, wanita alim itu mulai menikmati penis Daniel.
Daging kemaluan Daniel terasa begitu keras dan asin. Ada sensasi yang sulit di gambarkan ketika kepala penis Daniel menyodok tenggorokannya.
Plooopss…
Daniel mencabut kemaluannya dari dalam mulut Laras. “Oughkk… Nikmat sekali!” Racau Daniel.
“Houks… Houks… Houks…” Berulang kali Laras batuk.
“Buka pakaiannya Bu Haja!” Suruh Daniel.
Laras menggelengkan kepalanya ketika Daniel memaksa membuka pakaiannya. Dengan sedikit harga diri yang masih menempel di hatinya, ia berusaha meronta minta di lepaskan.
Tetapi Daniel tidak kalah cekatannya, ia merobek gamis yang di kenakan Laras, hingga bagian depan gamisnya terbuka dan memperlihatkan sepasang gunung kembar yang berukuran 36E. Sangat besar untuk ukuran wanita normal pada umumnya.
“Besar sekali Bu Haja!” Ujar Daniel.
Laras menggelengkan kepala. “Jangan Dan! Tante mohooon.” Melas Laras. Ia merasa malu di lihat Daniel dalam keadaan setengah telanjang, apa lagi Daniel berulang kali memanggilnya dengan nama gelarnya
“Ternyata masih ada rasa malu, setelah di buat orgasme kemarin!” Ejek Daniel.
Wajah Laras merona merah, ia merasa sangat terhina, tapi ia mengakui apa yang di katakan Daniel memang benar. Apa dia masih punya rasa malu? Laras menggigit bibirnya, menahan gemuruh di dadanya.
Daniel menangkap payudara Laras, dan merobek behanya hingga putus.
“Auuuww…” Laras terpekik kencang.
Kedua tangan Daniel mengepal payudara Laras. Dia meremasnya dengan sangat kasar, hingga meninggalkan bekas merah di kedua payudara Laras.
Sembari mendekap tubuh Laras, dia melumat bibir Laras. Memaksa wanita berusia 39 tahun itu untuk membalas lumatan bibirnya. Dengan setengah terpaksa Laras membalas lumatan Daniel, dan harus diakui, ciuman Daniel membuat Laras terasa melayang.
Sejenak Laras lupa kalau dirinya saat ini tengah di perkosa oleh keponakannya sendiri. Sentuhan Daniel terlalu nikmat untuk di abaikan.
“Gimana Bu Haja, enak?” Goda Daniel.
Laras diam sejenak tak tau harus mengatakan apa. “Ini dosa Dan! Oughkk…” Tubuh Laras tersentak ketika ia merasakan jari tengah Daniel menyeruak masuk ke dalam vaginanya.
“Apa Bu Haja, saya tidak dengar.” Ledek Daniel.
“Danieeeel…. Aahkk… Ini dosa…” Jerit Laras ketika Daniel semakin cepat mengocok vaginanya
Tubuh indah Laras melinting seperti ikan yang kehabisan air. Nafasnya tersengal-sengal, sembari mengeluarkan suara erangan erotis dari bibir seksinya.
Sementara di bawah sana, Tidak hanya satu jari, melainkan ada dua jari yang tengah mengobok-obok vaginanya, dan tampak cairan pelumas milik Laras keluar semakin tidak terbendung.
“Ulangi Bu Haja! Saya tidak dengar.”
Pinggul Laras tersentak-sentak menyambut kedua jari Daniel. “Ini dosa Dan… Dosaaa… Aahkk… Aaahkk… Daniel! Hentikaaaan…” Melas Laras, kepalanya terbanting ke kiri dan kanan.
Sloookss…
“Aaaarrrttt….” Jerit Laras.
Creeetsss… creeeeettsss…. creeeeeeetttsssss…..
Daniel mencabut jarinya dari dalam selangkangan Laras. Lalu mengangkatnya dan memperlihatkannya kepada Laras yang menatap sayu kearah jari Daniel yang bermandikan lendir cintanya. Ia tidak menyangkah, kalau rasanya akan senikmat itu.
“Ulangi lagi.” Bisik Daniel.
Dengan nafas terengah-engah Laras berucap. “Ini dosa Dan! Dosa.” Bisik Laras, nafasnya terputus-putus, seakan ia saat ini tengah terjebak oleh kepulan asap yang membuatnya sulit bernafas. Ceritasex.site
Daniel tersenyum puas mendengarnya. Dia kembali turun dari atas sofa, lalu menarik lepas celana dalam yang di kenakan Laras. Tanpa sadar Laras mengangkat pinggulnya, membantu Daniel melepas celana dalamnya yang telah sangat basah. Daniel sempat menjilati kemaluan Laras selama beberapa detik.
Setelah di rasa cukup, Daniel kembali mengangkangkan kedua kaki Laras. Dia memposisikan kemaluannya di depan bibir kemaluan Laras yang telah becek.
“Dan!” Lirih Laras.
Daniel menggesek-gesek kemaluannya di bibir vagina Laras. “Nikmati saja Bu Haja! Buang jauh-jauh iman Bu Haja untuk beberapa waktu kedepan.” Ujar Daniel, seraya tersenyum manis yang memabukan.
“Pelan-pelan.” Kata Laras pasrah.
Daniel sangat senang mendengarnya, dia menekan penisnya menerobos masuk ke dalam senggama milik Istri KH Umar, pemilik ponpes Al-tauhid. Wajah Daniel mengeras, merasakan jepitan dinding vagina Laras yang memeluk ketat batang kemaluannya yang berukuran jumbo.
Hal yang hampir sama juga di rasakan Laras. Ia merasa, kemaluan Danial sangat keras dan hangat.
“Oughkk… Dan! Aaahkk…”
“Memek Bu Haja nikmat sekali! Sempit…” Komentar Daniel.
Dengan gerakan perlahan Daniel menggerakan pinggulnya maju mundur, menyodok vagina Laras. Wajah cantik Laras yang merona merah, menambah suasana menjadi lebih erotis. Daniel menundukkan wajahnya, dan menjilati payudara Laras yang membusung ke depan.
Gesekan kedua kelamin mereka, di tambah dengan hisapan di payudaranya, membuat Laras kembali bergairah. Ia mendesah-desah random, menikmati perzinahannya.
Sejenak Laras benar-benar melepaskan imannya, melupakan pelajaran agama yang pernah ia pelajari, demi mendapatkan kenikmatan duniawi yang hanya sementara, kenikmatan sesat yang hanya akan mengantarkan dirinya menuju jurang neraka.
“Bu Haja keluaaaar Dasan….” Teriak Laras, tanpa sadar memanggil dirinya sendiri dengan gelar yang ia dapat beberapa tahun yang lalu.
Seeeeeeeeeerrrrr…
Bersambung…