Beberapa minggu kemudian, tidak terlalu banyak yang dapat aku ceritakan. Memang hal ini disebabkan mulai seringnya kujalani aktivitas dinas luar yang cenderung padat jika kantor mendapat job dari investor, tapi tetap setidaknya seminggu sekali aku pulang dan kusetubuhi pembantu tuaku yaitu Bi Lastri. Entah karena suka sama suka, kebutuhan rohani (mungkin) atau karena nafsu.
Yang jelas beberapa hari setelah awal aktivitas normalku, Bi Sri sudah aku pekerjakan melalui bantuan dari Pak RT karena kupikir Bi Lastri pasti kesepian karena dirumah sendiri dan bisa mambantunya mengurus rumah, tidak terlepas pula masalah umur/tenaga Bi Lastri yang pasti menurun dan Bi Sri yang sedikit lebih muda pasti bisa mengatasinya.
Untuk masalah gaji, Bi Sri ini memang tergolong rendah atau dibawah gaji yang aku berikan kepada Bi Lastri, kemampuannya jauh dibawah Bi Lastri dan hanya bermodal “ingin kerja dapat uang untuk menikmati masa tua nya nanti” yang dia pakai alasan untuk bekerja. Jadi hal ini tidak membuatku terlalu pusing memikirkannya.
Suatu hari di Kota L tempatku berdinas dengan beberapa rekan, ada satu orang yang dekat denganku sebut saja namanya fajar, umur dibawahku 2 tahun, perawakannya 175cm/80 (bongsor lah gan). Fajar inilah yang membantu mencarikan prt dirumahku, yak benar Bi Lastri. Intensnya pekerjaan dan penat dalam pikiran maka kami putuskan untuk “refreshing” sejenak dari padatnya kegiatan dan beranjak ke suatu tempat hiburan malam.
Fajar :“mas broooo, kenapa kok enggak semangat gitu? lupain dulu lah laporan kantor..!”, sahutnya sambil menenggak minuman.
“eee… iya jar, enggak tau juga kenapa ini kok moodku hilang…”, sahutku sambil mengambil sebatang rokok
Fajar :” eh… iyaa, gimana pembokatmu mas bro? enggak rewel kan…?”, tanyanya.
(rewel??!) sontak aku berfikir, ini apa jangan-jangan dia sudah tahu sejak awal kalau Bi Lastri ini ternyata (maaf) agak binal.
Entah pula, apa karena aku mabuk atau capek+mabuk (hhehe), akhirnya kita berdua memutuskan untuk kembali ke rumah dinas yang memang disediakan dari kantor. Sepanjang perjalanan kami berdua ngobrol tidak ada habisnya (maklum mabuk gan.. pasti ngoceh tanpa batas).
Kuceritakan semua yang pernah aku lakukan dengan Bi Lastri kepadanya (tetapi bagian detail tiap prosesi jelas tidak aku perjelas gan), diapun cukup terkejut mendengarkan hal itu (entah terkejut atau pengen ikutan nyoba berLastrin seks dengan perempuan yang lebih tua dari umurnya).
Fajar :“adduhhh… berdiri kan kontolku denger ceritamu mas. kira-kira aku boleh nyoba gak? tidur dirumahmu gitu maksudnya..? hehehe”, tanyanya sambil tertawa.
“yaa… lihat sikon nanti saja jar…”, jawabku sembari bersiap untuk tidur dan memejamkan mata.
Fajar :“ssiiippppp dahhh…”, sahutnya.
Hanya itu yang kudengar terakhir dari mulut sahabatku, sambil lalu kita kembali ke aktivitas normal.
Suatu malam, aku kembali ke rumah… dengan dibantu oleh Bi Lastri yang selalu siap untukku, kami berjalan ke kamar dan masuk…
Bi Lastri :“gimana mas kerjaan dikantor?”, tanyanya sembari membersihkan alat kerja dan baju-baju kotorku.
“yaa… gitu lah bi (sambil menghela nafas), biasa saja. eh, Bi Sri gimana kerjanya bi?”, lanjut tanyaku.
Bi Lastri :“gpp mas, mas adi tenang saja. Urusan rumah biar bibi sama sri aja yang beresin.”, jawabnya.
“gitu ya bi, syukur deh kalau gitu.”, jawabku sembari melihat Bi Lastri.
Setelah minum segelas air yang ada di meja belajarku, kuhampiri Bi Lastri dan kuelus pantatnya yang memang sedikit nungging karena merapikan baju yang kulepas diatas kasur tadi. Sedikit kusibakkan dasternya sehingga terlihatlah bongkahan pantat dan memek hitam kemerahannya yang memang sengaja tidak dipakaikan CD kalau aku dan si otong sedang berkeliaran dirumah.
Bi Lastri :“sssshhhhh… sshh.. aahh, masss… ssshh, bibi kangen… ahhhh.”, jawabnya sembari menikmati jariku dalam memeknya.
Dengan tenaga seadanya dan persiapan si otong yang minim, kumasukan si otong ke dalam liang senggamanya. Sleepppp… sleeppp… sleepppp…(agak susah+keset sih gan sebenernya)
“aaahhhh… biiii… ahhhhhh…”, kataku sambil menggoyang pinggul maju mundur dan meremas kedua buah dada bentuk pepaya gantung milik Bi Lastri.
Bi Lastri :“aahhh… mas… aahhh, iyaa mas… shhhh, teruss mas.. ad.. ii.. aahhh..”, sahutnya saat kuremas lalu kupilin pentil dari buah dadanya.
Tidak lama, rasa pegal di persendianku mulai kian terasa dan kami berganti posisi dengan gaya kesukaanku yaitu WOT. Bersamaan dengan goyangan lambat pembantu tuaku, kubuka dasternya hingga terlepas tapi tetap menggantung didaerah sekitar perutnya. Giliran si otong dengan tenangnya mendapat service dari memek hitam kemerahan milik Bi Lastri.
Sleepppp… sleppp.. sleeppppp.. plookkk… plokkk… genjotan dari Bi Lastri serta remasan kedua tanganku di buah dadanya yang menggantung membuat Bi Lastri semakin tidak terkontrol (teriakannya). Tanpa kami berdua sadari, pintu kamarku tidak terkunci dan sedikit terbuka. Dicelah itulah Bi Sri melihat kami sedang asyik bergumul dan bersetubuh.
Prosesi WOT sengaja kubiarkan agak lama, karena aku masih ingin menikmati tubuh pembantu tuaku ini. beberapa menit berlalu…
Bi Lastri :“aahhh… aahhhh.. aahh.. ahhhhhhh (dengan nada yang terus meninggi)… sshh.. mas.. aahh.. ahhhh… EHH SRIII!”, sahutnya kaget sewaktu menatap kearah pintu kamarku.
Bukannya berhenti dan menyudahi prosesi persetubuhan kami, dengan tempo yang melambat tapi pasti (naik turun) Bi Lastri tetap memompa si otong. Pun juga Bi Sri tidak beranjak dari tempatnya berdiri dan tetap menyaksikan adegan tidak senonoh yang tengah kami berdua lakukan dengan satu tangan menutup mulutnya dan tangan lainnya (seperti gerakan) mengelus memek dari luar dasternya seakan turut pula ikut dalam kenikmatan sesaat itu.
“aahhh… ahhhhh (suara beratku menyeruak), biii… aku mau.. aahh.. keluarr…”, kataku dengan tenaga seadanya dan tetap memacu si otong berLastrin di memek tua Bi Lastri.
Bi Lastri :“aaahh.. ahh.. a.. yoo.. ahh.. mas adi.. ahhh”, jawabnya sambil tetap melihat ke arah Bi Sri.
Kututup prosesi ini dengan menyuruh Bi Lastri berganti posisi dengan sedikit berjongkok dan bersandar di sebalah kasur tidurku, kedua tangan Bi Lastri memegang serta mengelus-elus kedua pangkal pahaku yang sedikit berbulu sedangkan diriku menyiapkan posisi paling nyaman (horny dan berdiri melebarkan kaki)
Untuk si otong mengeluarkan cairan gantengnya dengan cara tangan kiriku (sedikit) mencekik leher perempuan tua budak nafsuku ini dan tangan kananku mengocok si otong dengan cepat.
“aaahhhh… biiii, buka mulutmu… ahhhh…”, sahutku pada injury time (klimaks). creeetttt… crettt.. cretttt… crettt… suurr…!
Peluh air manikupun tercecer di sebagian muka yang mulai mengeriput itu dan menetes mengenai salah satu buah dada yang besar nan menantang menggantung milik Bi Lastri.
Sejenak kemudian, kupalingkan wajahku ke arah Bi Sri dengan tangan yang masih memegang si otong dan sedikit senyum simpul pada mukaku yang berkeringat setelah dibuat kalang kabut oleh memek tua budakku ini.
“Trus bagaimana ini bii…?”, tanyaku
Bi Lastri :“udaah mas, biarin aja…”, jawabnya cuek
“kok biarin bi..?!”, tanyaku penasaran
Bi Lastri: “iyaaa mas adi… biarin aja toh bibi sudah cerita sama si sri.,” jawabnya sembari mengecup kepala si otong yang (masih) agak berdenyut dan basah itu.
Setelah mendengar pernyataan dari Bi Lastri itu, memang membuatku sedikit berfikir (yaa kalo seks jangan terlalu dipikir gan, dinikmatin aja. Yang aku pikir bagaimana skema eksekusinya, hehe). Akupun hanya menghela nafas berlalu untuk menutup pintu kamar dan Bi Lastri segera menyiapkan tempat tidur untuk kami berdua.
Beberapa hari hampir seminggu setelah tertangkap tangannya prosesi persetubuhanku dengan Bi Lastri, kondisi dan situasi rumah aku akui memang (sedikit) ada perubahan namun perzinahanku dengan Bi Lastri tetap berlanjut di tengah malam. Akupun sadar, akan keberadaan Bi Sri yang kadang mengendap dan melihatku menggauli teman kerja yang lebih tua darinya itu.
Suatu pagi di hari liburku, aku duduk di ruang tamu menikmati rokok dan mencari-cari harga cctv dalam hp androidku (karena rumah sering aku tinggal pergi keluar kota) sembari menunggu budak seks ku (Bi Lastri) pulang dari belanja di pasar. Sambil lalu kulihat dan kuperhatikan Bi Sri sedang membereskan ruang tengah/tv yang memang bersebalahan dengan ruang tamu tempatku duduk.
Bi Sri :“den adi…?”, tanyanya seperti kebingungan
“ehhh… Bi Sri, iya kenapa bi..?”, tanyaku sambil melihatnya atas bawah (devil eyes… yess!)
Bi Sri :“anu den… bibi ini den…”, jawabnya dengan nada terbata
“hadeeee… kenapa toh Bi Sri? sudah lapar ya? sama aku juga Bi..”, jawabku cengengesan
Bi Sri: “mboten (tidak) den.. kalau boleh… itu… bibi pinjam uang den..?,” sahut tanyanya ragu
“haa… buat apa bi? bukannya kemarin sudah aku kasih gaji Bi Sri buat bulan ini?” jelasku
Bi Sri :“enjih, niku sampun den (iya, itu sudah den).”, jawabnya lirih
“laa terus bibi pinjam buat apa lagi?” balas tanyaku
Bi Sri :“niku den, kulo badhe ngirim arto maleh dateng keluarga teng ndeso dipundamel mbangun omah.” (itu den, saya mau ngirim uang lagi buat membetulkan rumah), katanya.
“aduuh Bi Sri, pake bahasa indonesia saja.. aku bingung kalau bibi ngomong gitu.”, jawabku
Bi Sri pun menjelaskan keinginannya dengan bahasa nasional Indonesia (well done, hehe)
Akhirnya untuk pertama kalinya, aku berbicara panjang kali lebar dengan Bi Sri, intinya sebenarnya dia sungkan untuk meminjam uang kepadaku disisi lain belum tentu dia mendapat pekerjaan lain seenak ini dengan keterbatasan kemampuan yang dia miliki.
Kupikir juga enak sih kerjanya gan, toh akupun sering keluar kota jadi rumah isinya perabotan, budak seks eh pembantu, beres-beres ala kadarnya, makan minum tidur gratis yess/kere hore mode on!
Sejenak kupikir mungkin aku bisa melancarkan niat bejatku ke Bi Sri ini dengan cara kupinjami uang (bunga 0% lah dan bayar nya dicicil) tapi dengan syarat mau kusetubuhi layaknya suami istri.
Penjelasan pun kuberikan kepadanya (ngalor ngidul sampai berbusa mulutku) tapi perbincangan kami tetap terarah dan tidak terlepas dari prosesi persetubuhan tadi, bak gayung bersambut Bi Sri mengiyakan dan menyetujui semua syarat yang aku minta.
Namun hp ku berbunyi…
“halo…”, angkatku
Fajar :“haaalooooo… mas broo…”, jawabnya
“iya jar, ada apa? tumben libur-libur telpon?”, tanyaku dengan nada datar
Fajar :“enggaaaa… ini aku sudah otw kerumahmu loo.”, jawabnya senang
“oyaa… jadi ini berarti nginap rumahku?”, balas tanyaku (waaatttdefaaaaaaakkk…), batinku
Fajar :“yo’i mas brooo… kepikiran pembokatmu terus ini…”, lanjutnya
(sudah kuduga anak ini…) “iyaa… oke deh.. aku tunggu, ehh… jar, titip sarapan dong… apa aja lah.. lapar perutku.” balasku, (japrem/jatah preman dulu dong, kampret), batinku
Fajar :“siyaappppp mas brooo… wait for me yaaa.”, jawabnya kecentilan.
Tidak berselang lama setelah kututup HP, Bi Lastri pun datang…
(Bagaimana ini…?), pikiranku berkecamuk…
Bersambung…