Hari ini adalah hari yang telah ditunggu-tunggu oleh seluruh keluargaku. Hari pernikahanku dengan seorang yeoja cantik dan baik bernama Yoo Hye Won. Ibuku sangat menyukainya. Hingga memaksaku untuk segera menikahinya.
Sebenarnya awal pertemuan kami juga tak disengaja. Dia adalah teman dari salah satu temanku. Seperti kebanyakan para teman-teman wanitaku yang lain, awalnya aku hanya bermain-main dengannya. Bukan hal baru dijagat tanah industri hiburan jika aku dikenal sebagai seorang yang playboy.
Entah bagaimana aku merasa sosok Hye Won dimataku sangatlah berbeda. Dan itulah yang membuatku tertarik padanya. Hari demi hari kami lalui dengan mengobrol-ngobrol ringan sampai menumbuhkan rasa nyaman dihatiku.
Aku merasa banyak kecocokan diantara kami berdua. Sampai akhirnya aku mencoba memulai suatu hubungan khusus dengannya.
Sengaja aku tak begitu mengumbar kemesraan kami selain karena aku tak ingin seseorang mengetahuinya terlebih dahulu, aku mungkin juga masih belum memiliki keyakinan tentang hubunganku dan Hye Won ini mau seperti apa.
Main-main seperti sebelum-sebelumnya atau bagaimana. Entahlah… Hatiku terus mengatakan bahwa aku memiliki hati yang harus terus kujaga.
Mungkin karena itulah mengapa hatiku selalu memperingati diriku sendiri bahwa aku tak ingin menyakitinya dan apa yang aku lakukan ini salah terhadapnya.
Tapi disisi lain hatiku berontak selalu meneriakkan pada logikaku bahwa kami tak memiliki ikatan apapun yang harus membuatku merasa bersalah tentang hubunganku dan Hye Won.
Lagi pula kami sama-sama namja, mau dibawa kemana memangnya hubungan seperti itu. Terus saja hatiku bergelut dengan pro dan kontra sampai akhirnya orang tuaku mengetahui hubunganku dengan Hye Won ini.
Terutama ibuku, tanpa sepengetahuanku beliau sudah menyelidiki latar belakang Hye Won. Dari situlah, ibu memaksaku untuk segera menikahinya. Dengan berderai air mata dia menjelaskan keinginannya.
“Nak, semua orang tua pasti menginginkan anaknya bisa hidup bahagia. Begitu juga ibu. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu. Dan ibu yakin Hye Won adalah wanita yang tepat untuk mendampingimu. Ibu yakin dia mampu menjadi istri dan ibu yang baik untukmu dan anak-anakmu kelak.
Nak, kami, ibu dan ayahmu sudah tua. Umur kami tidaklah panjang. Kami ingin segera menimang cucu sebelum kami dipanggil. Hanna adikmu masih sekolah, perjalanan masa depannya masihlah panjang, kami tak tahu sanggupkah umur kami menunggunya sampai waktu itu tiba.
Disini harapan kami untuk mewujudkan impian kami ini hanyalah kamu. Kami harap kamu bersedia mempertimbangkannya…” Anak mana sih yang tidak merasa trenyuh ketika mendengar permohonan orang tuanya seperti itu??
Begitu pun denganku. Berdasar dari itu dan perasaan yang saat ini kumiliki pada Hye Won juga pertimbangan norma sosial, aku mulai membulatkan tekadku mengambil keputusan.
Aku tahu keputusanku ini pastinya akan sangat menyakitkan seseorang yang selama belasan tahun ini bersamaku, mendampingiku dalam suka duka, berkorban dan memberi segalanya untukku. Memang tidak mudah dan tidak adil. Tapi inilah keputusanku. Ku enyahkan segala pikiranku yang semakin semrawut. Semoga aku tak salah langkah.
Ku langkahkan kakiku mantap menuju altar. Berdiri diam menunggu wanita pujaanku. Aku tak berani mengedarkan pandanganku ke jajaran para tamu.
Kenapa??
Mungkin karena aku takut menemukannya disana. Atau mungkin aku takut melihat wajah terlukanya. Karena bagaimanapun kami sudah hidup bersama sekian lamanya. Naif jika sampai aku tak memiliki perasaan untuknya.
Tapi hatiku tak bisa berbohong bahwa aku membutuhkan kehadirannya saat ini. Kehadirannya adalah sumber kekuatan bagiku. Egois memang.
Lamunanku buyar ketika sang MC mengumumkan kedatangan calon mempelaiku bersama ayahnya.
Tuhann!! Betapa indahnya hasil karyamu ini. Dia berjalan begitu anggun dengan gaun putihnya bak bidadari turun dari langit berjalan kearahku. Sungguh mempesona. Taburan bunga dan tepukan tangan yang sangat meriah mengiringi langkah mereka.
Sampailah kami diupacara sakral kami. Aku begitu bahagia memilikinya. Senyum bahagia tak pernah lepas menghiasi bibirku begitupun dia. Sorakan dan tepuk tangan yang meriah berkumandang seperti merestui perhelatan kami ini.
Dan saat kami berbalik menunjukkan wajah bahagia kami dan rasa terima kasih kami pada para tamu yang menyaksikan uparaca kami barusan, saat itu lah aku melihatnya. Dia berdiri dijajaran meja tamu paling belakang, bertepuk tangan seperti tamu yang lainnya melihat kearahku.
Deg!
Jantung dan dadaku rasanya sakit dan sesak sekali.
Aku melihatnya berjalan menuju altar dengan langkah penuh percaya diri. Saat dia berdiri didepan altar menunggu mempelainya tiba, aku melihatnya tertegun sejenak. Aku tahu dia sedang memikirkan keputusannya ini. Setitik harapanku bahwa dia akan menyadari perasaannya dan segera membatalkan pernikahannya saat ini juga.
Namun naasnya ini adalah dunia nyata, bukan seperti kisah dongeng fairy tale yang mana sang pemeran utama akan berlari kepada cintanya setelah menyadari perasaannya dan berakhir berbahagia bersama. No fuckin’way ini akan seperti itu. Wake up mennn, ini lah fakta. Terima aja woe!!
Tak terasa lonceng altar nyanyian penyambutan sang mempelai tiba berbunyi. Kulihat raut wajah sosok namja terkasihku yang sedari tadi kuamati perlahan mulai merona bahagia, terlihat jelas terpesona dengan wanita yang saat ini berjalan menghampirinya.
Sakiiittt. Teramatt menyakitkan.
Sampai detik ini aku masih belum bisa berhenti bertanya-tanya pertanyaan yang sama berulang-ulang.
Kenapa kau lakukan ini padaku baby??
Apa salahku padamu??
Semakin hancur ketika kamu mengikrarkan sumpah setiamu dan berkata “I do” padanya dialtar itu dengan lantang tanpa keraguan sedikitpun.
Apakah sebenarnya sejak awal tak ada artinya diriku bagimu selama ini??
Sehingga kamu tak memikirkan perasaanku begini. Aku pun sekarang juga menyangsikan adanya keberadaanku di pikiran dan hatimu selama ini.
Aku terus berpikir. Kesalahan apa yang telah kuperbuat padamu hingga kamu menyakitiku seperti ini. Tidak puas hanya dengan memintaku merelakanmu, kamu pun memintaku menyaksikan pernikahanmu. Sebenarnya sebesar apa kesalahanku sehingga aku pantas mendapatkan hukuman darimu seperti ini??
Selama ini aku tak pernah mempermasalahkan gaya hidupmu yang glamour berbranded, sering berpesta, bermain-main dengan banyak wanita. Aku malah memfasilitasimu dengan kesenanganmu tersebut.
Kamu mau apapun aku tak pernah mengatakan “No” padamu. Kamu ingin membangun usaha, label DJ, dan lain sebagainya aku dukung penuh memberikan yang kupunya padamu. Aku tak memikirkan untung ruginya apapun itu asal kamu bahagia.
Mereka bilang kamu memanfaatkanku, kamu memeletku, guna-guna lah segala macem aku tak peduli. Kututup kudua mata dan telingaku pada itu semua.
Kugunakan mataku hanya untuk melihatmu seorang, kugunakan telingaku hanya untuk mendengarkanmu seorang. Aku tak peduli mereka mengatai cintaku padamu adalah cinta buta. Karena yang kurasakan adalah perasaan tulus benar-benar sangat mencintaimu. Sungguh mencintaimu.
Kutelan mentah-mentah rasa sakit yang kurasakan saat kamu bermain-main dibelakangku selama ini. Tapi kali ini, aku tak sanggup melakukannya. Aku memang tak peduli kamu menginjak-injak hati dan harga diriku sampai seperti itu selama ini. Karena bagiku yang terpenting kamu masih ada disampingku, menyayangiku.
Tapi kurasa pikiranku salah, aku terlalu naif dengan semua perlakuanmu padaku. Kamu yang kupikir peduli padaku, nyatanya tega menyakitiku. Kamu yang kupikir menyayangiku ternyata tega menghianatiku. Kamu yang kupikir mencintaiku ternyata tega melakukan ini semua padaku tanpa memikirkan perasaanku sedikitpun.
Sebenarnya kurang apa aku padamu??
Dan ketika rasa sakit, kecewa dan marah kembali melingkupiku kamu perlahan menatapku. Aku tahu itu dalam moment ketidaksengajaan. Karena memang dari awal kamu tak berniat melihat sekelilingmu.
Kamu terlihat fokus diacaramu ini dan istrimu kini. Dan saat tanpa sengaja arah pandangmu jatuh padaku, aku bisa dengan jelas menangkap wajah terkejutmu.
Kenapa jagi?
Apa kamu tak menyangka aku datang ke acaramu?
Apa kamu terkejut melihatku yang dengan tenang menyaksikan siksaan yang kau berikan padaku ini?
Apa dengan begini kini kamu sudah benar-benar bahagia jagi?
Sudah puaskah dirimu menyakitiku seperti ini?
Tahukah kamu jagi? Rasanya aku sudah tak mampu lagi menahan tubuhku agar tak ambruk saat ini karena kakiku tak mampu lagi rasanya menopang hatiku yang hancur lebur seperti butiran debu begini.
Wajahku sudah kram mempertahankan tampang datar nan tenang. Namun aku terus mencoba bertahan hingga sesi kedua acaramu. Kamu dan dia terlihat bahagia memakai pakaian baru dengan bergandengan memasuki altar kembali. Iring-iringan nyanyian romantis, tepuk tangan dan sorak sorai riuh menyambut kalian.
Sesi foto-foto dan ucapan selamat sudah mulai digelar. Kuperhatikan semua dari kejauhan sambil menikmati wine yang kusambar dari nampan salah satu waitress yang kebetulan berjalan didepanku.
Kulihat orang tuamu dan dia berpose sangat bahagia dengan kalian dipodium. Menerima ucapan selamat dengan suka cita tiada tara. Ahh… Sungguh potret yang sangat indah. Ngocoks.com
Akupun jadi berpikir, akankah orang tua kita akan berekspresi seperti itu jika itu kita yang menikah??
Hahaha.. Aku hanya bisa tertawa miris.
Kulangkahkan kakiku menuju tempatmu berada. Kusalami keluargamu seperti biasanya. Aku tak mendengarkan basa basi dari ibumu, aku hanya mampu memberinya senyum simpul dan pelukan seperti biasa. Saat aku tiba dihadapanmu, aku bisa melihat gerak gerikmu yang canggung. Tapi maaf jagi, aku sudah muak dengan semua ulahmu.
Dan layaknya seorang yang profesional aku memberimu ucapan selamat beserta jabat tangan seperti rekan kerja. Aku tahu kamu terkejut dengan sikapku. Mau bagaimana, ini adalah resikonya jagi.
Kamu yang mengakhirinya jagi. Jangan salahkan aku. Dan aku tak sebodoh itu jika sampai kamu berharap setelah ini semua perlakuanku padamu akan tetap sama. Kita sama-sama tahu jagi.
Kamu yang membuatku kembali dingin bertambah semakin dingin. Berharap saja aku tak akan berubah menjadi jahat. Karena apa jagi? Karena luka yang kamu torehkan teramat sangat.
Kulangkahkan kakiku dengan tegap menjauhimu. Tanpa keraguan sedikitpun seperti yang kau lakukan tadi, aku berjalan dengan penuh harga diri kembali dengan sorot mata penuh kemantapan dan keyakinan penuh.
Aku mungkin memang tak mampu memunguti serpihan hatiku yang sudah lebur tertiup angin. Tapi aku tak akan tunduk padamu lagi. Ataupun pada apa itu yang namanya cinta.
Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu. Dan ku harap kamu jangan sampai memancingku menjadi jahat setelah ini. Karena jika sampai itu terjadi, aku tak yakin jika aku mampu menahan diriku untuk tak berlaku kejam pada siapapapun, termasuk kamu, bahkan keluargamu sekalipun.
Ingat jagi, apapun dan bagaimana aku setelah ini adalah hasil perbuatanmu sendiri.
Bersambung…