Jika mereka bilang aku bahagia dengan kehidupan rumah tanggaku, mereka tak sepenuhnya salah. Aku memang bahagia, terutama melihat betapa bahagianya ibuku. Meski sebagian hatiku hampa, aku berusaha untuk tak mempedulikan itu.
Tapi rupanya cukup sulit kala apapun yang ada disekitarku mengingatkanku padanya. Jalan yang kulewati, makanan kesukaannya yang sudah menjadi favoritku juga. Barang yang kumiliki sebagian besar adalah dari Jiyong.
Bahkan bisnisku sekalipun. Tidak mudah melepaskan diri dari bayang-bayangnya. Sebenarnya aku punya apa?? Adakah yang benar-benar murni dariku sendiri??
Namun lagi-lagi aku memilih egoku. Kutepis segala pikiran apapun tentangnya. Rasa bersalah, menyesal dan lain sebagainya ku kubur dalam-dalam. Semua sudah terlanjur. Aku tak bisa mundur, apa lagi kini aku sudah menikah. Aku berusaha hidup senormal mungkin dengan kehidupanku sekarang meski banyak mendapat cacian. Bukankah ini yang kuharapkan??
Iya. Harusnya.
Tapi hatiku ternyata jauh lebih tahu daripada aku sendiri. Setiap ke agensi atau kemanapun aku pergi, aku berharap bisa bertemu dengannya. Meski hanya dari jauhpun tak apa. Karena aku tahu aku sudah tak bisa menemuinya lagi. Dan itu adalah salahku sendiri. Aku tak bisa memungkiri hatiku yang tersiksa rindu.
Dulu aku berpikir aku pasti bisa mengatasi itu. Tapi ternyata betapa naifnya aku. Aku masih tak mampu melepasnya dari pikiran dan hatiku. Setiap waktu aku merindukannya.
Meski istriku selalu bisa menghiburku, ditambah kehamilannya yang membuatku gembira, tapi itu tak cukup mampu mengalihkan hatiku. Aku baru sadar, yang aku miliki saat ini hanyalah kebahagiaan semu. Sedang aku telah melepas kebahagiaan abadiku.
Lalu apa yang bisa kulakukan sekarang? Semua sudah terlanjur, nasi sudah menjadi bubur. Hanya menjalani pilihanku ini dengan sebaik-baiknya adalah cara untuk menebus penyesalanku.
Mungkin memang aku tak pantas bersamanya, dia terlalu baik, tapi membayangkannya dengan orang lain membuat dadaku ngilu. Jika aku saja merasa begini hanya dengan membayangkan, apa kabar dia kemarin yang menyaksikanku??
Tuhannn!!!! Betapa kejamnya aku!!!
Sudahlah. Aku harus bisa melupakannya. Harus.
‘Ayolah Lee Seungri. Kamu pasti bisa. Lihat wajah bahagia ibumu dan istrimu. Lihatlah kedepan bagaimana calon penerusmu tertawa bahagia. Hanya itu yang perlu kau ingat terus diotakmu yang sempit itu!!!!’ kata-kata itu yang selalu aku teriakan dalam hati dan kepalaku setiap kali aku mulai goyah.
Aku tahu ayah selama ini memperhatikanku dari jauh. Tapi beliau tak pernah mengatakan apapun padaku. Dan akupun tak tahu harus bilang apa seandainya dia bertanya padaku. Tapi entah mengapa, jauh didalam lubuk hatiku aku merasa ayah tahu semuanya.
Beliau memang tak berkomentar atau bertanya apapun, tapi sorot matanya seperti bisa menembus diriku jauh kedalam bilik hatiku yang berusaha kukunci. Dan aku hanya bisa membalasnya dengan tersenyum “Gwenchana, aku baik-baik saja ayah tak perlu kawatir”.
Dan malam itu, aku melihat Jiyong dipesta. Sebenarnya aku tahu dia bakal datang, aku sudah mencari tahu terlebih dahulu. Dengan segala cara aku berusaha untuk bisa hadir juga dipesta tersebut hanya untuk bisa bertemu dengannya.
Tapi yang kuterima adalah kekecewaan dan terluka ketika dia mengacuhkan keberadaanku. Dia sama sekali tak melihatku, bahkan aku bisa merasakan kalau dia tak menganggapku ada. Emosiku mulai tak stabil, akhirnya aku melampiaskan dengan mencium istriku dilantai dansa.
Untung aku segera sadar kesalahanku, segera kuakhiri sesi ciumanku dan mengedarkan pandanganku mencarinya. Ketika kenihilan yang kudapat, hatiku benar-benar hancur, kecewa dan marah pada diriku sendiri. Menyesal dengan perbuatanku sendiri. Betapa bodohnya aku!!!!
‘Pobo kau Seungri!!!! Bodoh!!! Apa yang telah kau lakukan hahhh???!!!! Mau sampai kamu akan terus menyakitinya hahh???!!! Pantas saja dia tak mau melihatmu lagi bodoh!!!’ umpatku pada diriku sendiri.
Aku segera mendekat ke Big hyung untuk mancari informasi mengenainya. Tapi yang kudengar diluar ekspektasiku. Duniaku seperti tersambar petir yang maha dasyat.
Jantungnya rasanya berhenti berdetak saat aku tak sengaja mendengar Big hyung terkejut saat seseorang mengabarkan bahwa Jiyong mengalami kecelakaan barusan. Pikiran buruk melingkupi hati dan pikiranku membuat tubuhku tanpa sadar bergetar.
Tanpa banyak babibu, aku meninggalkan istriku dipesta memintanya pulang sendiri dengan sopirku. Aku segera berlari mencegat taxi mengikuti mobil Big hyung.
Dan betapa duniaku benar-benar hancur ketika melihatnya terkulai mengenaskan memasuki ruang operasi. Pikiranku blank. Hatiku hancur lebur. Aku tak tahu harus apa atau bagaimana yang ada hanyalah ketakutan yang tak berujung berusaha menelanku hidup-hidup.
‘Aku takuuttt Tuhan!!! Sungguh takuttt!!!! Kumohon jangan ambil dia Tuhann!!! Kumohon hukumlah aku, lakukan apapun padaku, asal jangan kau ambil dia Tuhan!!!! Kumohon jangan ambil dia dariku Tuhann!!!! Jangannn!!!!!!’ teriakku histeris dalam hati.
Ketika suara lengkingan monitor memekik nyaring menandakan hal buruk terjadi pada Jiyong. Hancur sudah pertahananku. Aku tak sanggup. Sungguh tak sanggup. Kalau tahu begini jadinya, aku akan melakukan apapun untuknya. Aku menyesal sungguh amat sangat menyesal.
“Nooooooooo!!!” lolongku menyakitkan.
‘Oh Tuhan!!! Aku lah yang bersalah disini. Kenapa kau lakukan ini semua padanya. Apakah ini caramu membalasku???? Jangan kumohon jangannn…. Lakukan apapun padaku, hukum aku seberat apapun yang Kau mau, tapi jangan ambil dia Tuhan!!! Aku sungguh sangat mencintainya. Aku sangat mencintainya Tuhannnn.
Kumohon jangan lakukan ini padaku, jangan yang ini. Jangan Dia. Ambil apapun dariku tapi jangan dia Tuhan. Aku akan menebusnya dengan mengganti nyawaku untuknya, akan kulakukan apapun, tapi jangan pernah mengambilnya. Biarkan dia hidup Tuhan. Karena dia adalah hidupku. Kumohon. Ini permintaan terakhirku.’
Tak kupedulikan Big hyung menghajarku habis-habisan. Rasa sakitnya tak setara dengan rasa sakitku menyadari aku telah menyakiti Jiyong sedemikian rupa. Rasa sakitnya masih kalah dengan rasa menyesalku yang tak ada ujungnya.
Keinginanku hanya satu. Berada disampingnya, berada disisi Jiyong. Hanya itu satu-satunya yang aku inginkan. Aku tak menginginkan apapun.
Tak peduli jika dengan itu aku akan di benci, dicaci, dimaki atau bahkan menghancurkan hati ibuku. Aku hanya ingin bersamanya. Aku hanya ingin dia. Bodohnya aku menyadari ini semua saat aku sudah kehilangan segalanya.
‘Bodoh!!! Bodoh!!! Bodoh!!!’
Aku pulang dengan keadaan sangat kacau, aku hanya meringkuk dikamar tak mau menemui siapapun. Aku tahu aku membuat keluarga dan istriku kawatir, tapi aku sudah tak mampu lagi menahannya. Ketika aku mendengar Jiyong selamat tapi mengalami koma. Aku terus mencari informasi tentangnya seperti orang gila.
Berkali-kali aku diusir bahkan dihajar oleh bodyguard Big hyung karena memaksa untuk masuk. Sungguh hidupku hancur. Hariku kujalani seperti mayat hidup. Beberapa kali aku berniat mengakhiri hidupku, namun aku belum bisa sebelum meminta maaf pada Jiyong.
Aku sudah tak mempedulikan apapun disekitarku. Karir, bisnis, keluarga, ayah, ibu, bahkan istriku sendiri sekalipun. Karena semakin hari rasanya aku semakin asing dengan sosok istri dan keluargaku sendiri. Ditambah kabar buruknya istriku keguguran semakin membuatku terpuruk.
Aku sama sekali tak menyalahkannya. Aku lebih menyalahkan diriku sendiri. Karena semua itu terjadi karena kelalaianku sebagai seorang suami. Aku sudah tak sanggup berada disampingnya, rasanya sungguh sangat salah dan begitu menyakitkan. Aku bingung. Aku tak tahu harus berbuat apa.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” tiba-tiba suara ayahku mengagetkanku.
Aku saat ini sedang dikantorku menatap jendela dengan tatapan yang tak bisa dijabarkan.
“Ayah? Ada perlu apa ayah kemari?” tanyaku mengalihkan.
“Apakah mengunjungi anaknya sendiri harus ada alasan?” tanyanya balik.
Aku hanya memberinya senyum simpul dan mempersilahkannya duduk.
“Ayah mau minum apa?” tawarku.
“Kamu terlalu banyak minum wine akhir-akhir ini. Aku tahu kamu tak begitu minum, apalagi wine.” ucapnya memulai pembicaraan.
Agak kaget sih, ternyata ayah memperhatikanku sampai sebegitu. Kuletakkan sebotol air mineral dingin didepannya. Aku tahu ini pilihannya, tanpa perlu berbasa-basi seperti tadi.
“Jika kamu sudah tidak sanggup menahannya, maka lepaskan.” lanjutnya.
Aku hanya melihatnya bingung dengan arah pembicaraannya. Berusaha menerka apa maksudnya.
“Aku ayah kandungmu, aku tahu apa yang terjadi dengan anakku. Setiap ayah menginginkan anaknya bisa hidup berbahagia. Bukan menyiksa diri. Lepaskan yang tak sanggup kau genggam, raihlah apa yang bisa membuatmu bahagia.
Apapun keputusanmu, lakukanlah sesuai keinginan hatimu. Dengarkan lubuk hatimu, Karena hatimu yang paling tahu jalan mana yang benar-benar kau inginkan, kau butuhkan, dan yang akan mengantarkanmu ke kebahagiaan sejati.”
“Ayah…
“Mianhaeyo…mianhae ayah… ”
Ucapku pasrah berlutut didepannya.
Karena aku tahu, dia tahu. Aku tak mampu menyembunyikan diriku lagi. Mungkin karena aku sudah teramat lelah. Amat sangat lelah hingga rasanya ingin menyerah. sumber Ngocoks.com
“Kejarlah kebahagiaan sejatimu nak. Sudah cukup kamu memikirkan dan berkorban untuk kami semua. Sekarang giliranmu untuk membahagiakan dirimu sendiri. Tak perlu kawatir setelahnya, percayalah, perlahan semua akan bisa menerima.”
Mendengar itu tangisanku semakin pecah, antara lega, bersyukur, bahagia, sedih, dan lain-lain bercampur menjadi satu hingga tak sanggup lagi kutahan. Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya dipelukan ayahku.
Ternyata aku tak sendiri. Ternyata masih ada yang mengerti diriku. Ternyata masih ada yang menerimaku. Dan yang membuatku luar biasa karena itu tak lain adalah ayahku sendiri.
Keesokannya aku pulang, memang sudah cukup lama aku tak menapakkan kakiku dirumah. Aku lebih banyak berada diapartementku pribadi. Apartement yang dulu kutempati dengan Jiyong. Dan memang pemberiannya.
Sesampainya dirumah aku mulai membahas mengenai perpisahan dengan istriku. Aku berusaha sejujur mungkin mengatakan apa yang kurasakan, bahwa aku tak pernah mencintainya. Dan hatiku sejak awal sudah dimiliki oleh seseorang yang tak bisa kusebutkan.
Aku tahu aku jahat. Aku kejam. Aku tak punya perasaan. Tapi inilah fakta sebenarnya, yang baru benar-benar kusadari saat aku hampir kehilangan cintaku. Aku pantas menerima amukan kemarahan dari Hye Won. Aku terima tanpa mempertahankan diri. Karena aku tahu ini tak sebanding dengan rasa sakitnya.
“Percuma dipertahankan. Kita hanya akan saling menyakiti. Semua tak akan pernah bisa kembali seperti semula bagaimanapun itu. Karena saat ini aku sungguh tak memiliki belas kasih sedikitpun padamu.
Hatiku tidak disini, jadi aku tak akan bisa berada disini. Aku sudah lelah terus menerus membodohi diriku. Kamu pantas untuk bahagia. Dan itu bukanlah denganku. Maka dari itu kulepaskan kamu.
Atau disini akulah yang memintamu melepaskanku, yang mana saja boleh. Sekali lagi maafkan aku, sampai bertemu dipengadilan.” ucapku saat dia ngotot menolak.
Beberapa waktu kemudian akhirnya aku resmi bercerai dengannya. Ibuku orang kedua yang histeris mengenai perceraianku ini. Aku hanya bisa meminta maaf padanya sebelum benar-benar berjalan pergi. Ayah tak berkomentar apapun, hanya memberiku pelukan hangat dan senyuman menenangkan hatiku.
Ini memang sudah seharusnya diakhiri…
Bersambung…