Segala hal baik menerpa Vanesa sekarang ini. Setelah kemenangannya di ajang penghargaan perfilman terbesar di negeri ini. Banyak media memberitakan penampilan cantiknya kemarin malam selain berita tentang kemenangannya dan filmnya.
Para artis lain pun berbondong-bondong memberikan selamat lewat pesan singkat atau chat. Sementara orang-orang di internet memujinya habis-habisan di berbagai kolom komentar di media sosialnya.
“Kau mengenal Fiara dengan baik? Semalam kau sampai ingin bergabung dengan dia dan Aska di meja mereka,” kata Nolan sembari terus menyetir.
“Aku mengidolakan Fiara, dia adalah salah satu aktris terbaik negeri ini. Ya, dulu sebelum dia hiatus cukup lama hingga popularitasnya menurun,” jawab Vanesa yang kini duduk di jok depan di samping pacarnya. “Dia wanita yang hebat, lebih memilih fokus membesarkan anaknya daripada melanjutkan karirnya yang gemilang.”
“Aku juga mengagumi Fiara, tapi Aska adalah idolaku. Aktor pria paling keren di layar lebar. Apa pun peran yang dia bawakan selalu mencuri perhatian utama, itu membuat filmnya tampak selalu berkelas,” jelas Nolan dengan begitu semangat.
“Pantas saja kau sangat semangat aku ajak bertemu mereka, tapi kenapa kau tidak mengatakan hal itu padanya?” tanya Vanesa dengan wajah tampak bingung.
Nolan menggeleng. “Aku malu.”
“Ya, payah!” sahut Vanesa seraya mendorong lengan Nolan dengan pelan.
“Tapi, aku ingin sekali suatu saat kita bisa seperti mereka berdua. Dikenang sebagai pasangan aktor dan aktris yang melegenda,” ungkap Nolan dengan begitu optimis.
Vanesa mengangguk pelan dengan wajah yang kemudian berubah menjadi muram. “Aku merasa berada di atas angin sekarang,” ujar Vanesa.
“Kau pantas mendapatkan itu,” ucap Nolan yang tersenyum ke arah kekasihnya.
“Kita berdua hampir tidak pernah diberitakan negatif oleh siapa pun,” kata Vanesa yang memandang Nolan dengan kerutan di dahinya.
“Memangnya kau ingin?” tanya Nolan seraya menggeleng. “Aku sebenarnya tidak peduli. Dari kecil aku sudah berada di depan kamera. Walau aku sempat berhenti bertahun-tahun untuk fokus pada pendidikanku, tetapi aku kembali ke dunia ini. Aku hanya melakukan apa yang aku suka dan cukup, aku tidak terlalu peduli pendapat orang.”
“Yakin? Sepertinya kau selalu peduli dengan gadis-gadis remaja yang mengatakan bahwa kau sangat tampan, seksi, dan mereka mau melakukan apa pun hanya untuk bisa bertemu denganmu. Ya, melihat wajahmu,” ungkap Vanesa dengan ekspresi kurang senang.
“Kau cemburu?” Nolan menyeringai.
“Jika iya, kau juga seharusnya cemburu dengan ribuan pria yang berkata ingin menikahiku,” jawab Vanesa dengan malas.
“Tidak terlalu. Aku lebih cemburu melihatmu dengan lawan-lawan mainmu. Namun, aku bisa mengendalikan rasa cemburuku. Itu resiko jadi artis, kan? Banyak orang yang memuja kita,” jawab Nolan seraya tertawa.
“Itu poinnya,” jawab Vanesa.
“Lagi pula, kau akan tetap menikahiku, kan?” tanya Nolan seraya menggerak-gerakkan alisnya.
Vanesa tidak menjawab pertanyaan Nolan. “Aku hanya bosan dengan pujaan. Saat memerankan seorang pelacur yang mendapatkan begitu banyak kata-kata kotor, aku merasakan ada sisi lain dari diriku.”
“Sisi lain? Dunia lain? Masih dunia lain?” tanya Nolan yang tidak serius.
“Aku hanya… lupakan,” ujar Vanesa yang kini memandangi sisi jalan dari jendela yang tertutup itu.
Nolan seakan tak mengerti dengan apa yang terjadi dengan Vanesa. Ia berargumen dalam benaknya. Ia tahu wanita itu rumit, akan tetapi mencoba untuk mengerti itu bukan hal yang salah.
Nolan beranggapan bahwa Vanesa adalah orang yang selalu peduli opini publik. Sekarang semua orang memuja pasangannya itu dan menurutnya mungkin saja Vanesa berpikiran jika suatu saat semua orang mencacinya.
“Percayalah, entah kau dipuja atau dicaci, aku tetap akan ada di sampingmu,” ucap Nolan yang membuat Vanesa langsung menoleh.
“Semua pria akan mengatakan hal yang sama,” kata Vanesa dengan malas.
“Syukurlah, itu berarti aku pria sejati,” jawab Nolan seraya tertawa.
“Dasar!” kata Vanesa yang kemudian menusuk pinggang Nolan dengan telunjuknya.
“Geli!”
“Katanya pria sejati, begitu doang geli,” kata Vanesa seraya tertawa.
Nolan langsung membalas perlakukan Vanesa dengan hal yang sama. Hingga keduanya saling membalas dan tertawa di dalam mobil itu.
***
Vanesa melakukan banyak pose di depan kamera di dalam kafe yang digunakan sebagai tempat pemotretan. Wanita itu tampak sangat percaya diri dengan apa pun gaya dan busana yang dipakainya. Ia memang selalu tampil cantik, wajahnya begitu cerah bagaikan sosok yang selalu punya energi positif.
“Vanesa benar-benar sangat sempurna di depan kamera,” ujar seorang wanita dengan rambut sepanjang pundak yang dicat pirang pada Nolan yang berdiri di sampingnya.
“Aku beruntung mendapatkannya,” sahut Nolan yang memakai kemeja hitam yang dua kancing atasnya dibuka itu.
“Ya, tapi aku khawatir pada hubungan kalian,” kata wanita berambut pirang itu menoleh ke arah Nolan.
“Apa yang membuat Kak Milan khawatir? Aku sudah cukup dewasa untuk bisa mengatur segalanya,” jawab Nolan pada kakak perempuannya itu.
“Entahlah, aku hanya punya firasat aneh. Lupakan saja,” kata Milan yang sepertinya tak jadi mengatakan apa yang ada di benaknya.
Nolan mengernyitkan dahi. “Percaya padaku, Kak. Aku bisa menjaga diriku,” kata Nolan seraya merangkul kakaknya.
Milan tersenyum kecil seraya menoleh ke arah Vanesa yang masih dalam sesi pemotretan. Ini adalah sesi pemotretan untuk majalah dengan Milan sendiri sebagai kepala redaksinya.
Wajah Vanesa dan pialanya akan menjadi sampul majalah Generasi yang selalu mendukung hal-hal positif yang terjadi tidak hanya dunia hiburan, tetapi juga generasi muda di Indonesia.
***
Milan tengah memilih-milih foto sampel yang tersebar di atas meja. “Ini bagus, kan?” tanyanya pada Nolan dan Vanesa yang sudah duduk di depannya.
“Iya, ini bagus untuk sampul,” jawab Vanesa seraya mengangguk.
“Vanesa dari mana saja sama, jadi aku tidak bisa memilih,” ujar Nolan seraya menoleh ke arah Vanesa.
“Sama apa maksudnya?” kata Vanesa sambil melirik penuh selidik ke arah pacarnya.
“Sama cantiknya, sama apanya lagi, Sayang,” jawab Nolan seraya menyentuh dahi Vanesa dengan jari telunjuknya.
“Gombalin mulu, nikahin kapan?” sindir Milan seraya melirik ke arah Nolan.
“Kawin aja dulu,” kata Nolan dengan santai.
“Hush!” Vanesa langsung mencubit Nolan dengan keras.
Milan tertawa singkat sembari menggeleng.
“Kak, buat berita terbaik untuk Vanesa. Dia berhak mendapatkan cinta dari publik,” ujar Nolan.
“Kak Milan berhak membuat berita apa pun, kita tidak boleh memaksa,” sahut Vanesa seraya menekan dan mendorong pipi pacarnya itu dengan jari telunjuknya.
Milan tertawa singkat. “Seperti apa yang Nolan katakan, kau berhak mendapatkan cinta dari publik. Kau cantik, bertalenta, dan kau juga punya attitude. Kombinasi terbaik untuk role model masa kini,” puji Milan pada wanita yang lima tahun lebih muda darinya itu.
Vanesa tersenyum kecil. “Kau terlalu memuji, Kak.”
“Kau pantas dipuji, Sayang,” sahut Nolan yang kini membalas perbuatan pacarnya dengan menekan ujung hidung Vanesa. Ngocoks.com
Milan mengecek arlojinya, sudah lewat dari tengah malam. “Sebaiknya kita segera pulang. Kalian harus syuting lagi besok, kan?”
“Aku akan mengantar Vanesa ke apartemennya,” ujar Nolan yang segera berdiri dan mengambil jas hitamnya yang ia taruh ke atas kursi.
“Segera pulang setelah itu,” suruh Milan pada adiknya.
“Kak Milan jangan terlalu khawatir denganku,” jawab Nolan yang kini mengambilkan tas tangan milik Vanesa di meja.
“Siapa yang mengkhawatirkanmu lagi kalau bukan aku?” tanya Milan seraya menatap Nolan dengan senyum malas.
“Mungkin sepuluh juta pengikutnya di Instagram, Kak,” sahut Vanesa seraya tertawa.
“Sepuluh koma lima,” ujar Nolan membenarkan.
“Iya, bawel!” sahut Vanesa.
“Vanesa. Selama kau selalu positif, aku akan selalu mendukungmu,” kata Milan sembari mengusap lengan Vanesa.
“Kami akan selalu positif. Vanesa juga tidak akan terkena skandal kotor atau sejenisnya, ya kan?” tanya Nolan seraya melirik ke arah Vanesa.
Vanesa tampak terkejut, dia seperti tidak senang mendengar kata-kata Nolan. “Tentu saja.”
“Apalagi skandal yang di-setting, menggelikan sekali,” ujar Nolan yang tertawa disusul Milan.
Vanesa ikut tertawa sebelum ketiganya keluar dari kafe. Ia berada di belakang Nolan dan Milan yang sedang mengobrol bersama. Bagi Vanesa, sosok Milan adalah kakak yang baik, bahkan mungkin terlalu baik.
Vanesa seakan menjadi sosok yang selalu muncul di majalah Generasi, laman web, dan akun-akun resmi lainnya milik majalah Generasi.
Ia seakan berpikir, apakah sosoknya terlalu putih hingga terus dikabarkan positif? Apakah warna hitam itu perlu untuk membuat segalanya jadi abu-abu? Apa skandal itu perlu?
Bersambung…