Di balkon sebuah rumah mewah, sepasang suami istri tengah memandangi pemandangan langit malam yang tanpa bintang. Aska merangkul Fiara sembari tersenyum ke arah langit, sementara Fiara mendekatkan tubuhnya ke arah suaminya itu.
“Andai Cakra masih hidup, rumah kita tak akan sesepi ini,” ujar Fiara dengan nada sendu.
“Sudah empat tahun yang lalu, kau masih tidak bisa merelakannya?” tanya Aska yang merangkul Fiara semakin erat.
“Bagaimana aku bisa rela, dia adalah buah hati kita. Dia yang membuatku menjadi ibu, membuatku merasa punya sesuatu yang sangat berharga untuk dilindungi,” ungkap Fiara yang menahan dirinya untuk tidak menangis. “Namun, aku gagal melindunginya.”
Aska langsung memeluk istrinya, membuat Fiara menangis di pelukannya. Ia tahu tidak berat bagi seorang ibu kehilangan anaknya, apalagi Cakra masih berumur delapan tahun waktu itu.
Sebagai suami, ia memosisikan diri sebagai orang yang lebih tegar, tidak mau ikut terbayang masa lalu dan menangisi kehilangannya.
***
Fiara yang sudah memakai pakaian tidurnya, memandangi etalase lemarinya. Ada banyak piala di sana. Tiga piala Puspa berada di tingkat paling atas etalase itu.
Sejenak, ia mengingat masa-masa di mana dia menjadi aktris paling gemilang. Ya, sudah lebih dari satu dekade lalu. Dia dikenal sebagai aktris yang sangat bersinar pada masa itu.
Melihat wajahnya di cermin, ia membayangkan dirinya adalah Warni. Seorang perempuan desa yang merantau ke kota dan menaklukkan hati seorang saudagar kaya.
Sosok yang pernah diperankannya itu adalah sosok yang mengubah kehidupannya. Tidak hanya di dalam film, ia pun berhasil menaklukkan–atau justru ditaklukkan–sosok saudagar yang diperankan oleh suaminya sendiri.
Tubuh prianya itu terbaring di atas ranjang. Fiara bergerak ke arah ranjang dan berbaring di samping Aska. “Kau ingat saat pertama kita bertemu?” Fiara menoleh ke arah suaminya yang sudah menutup matanya.
“Aku gugup, sungguh aku sangat gugup waktu itu. Kau yang mengajak berkenalan dan melontarkan candaan lebih dulu, aku selalu tertawa dengan leluconmu. Dulu, aku berpikir kau melakukan itu pada semua gadis, tapi saat kau mengatakan bahwa kau menyukaiku. Aku percaya, kau hanya suka padaku.”
Fiara membelai wajah suaminya. Melangkahkan dua jarinya dari dahi, menuju hidung, lalu ke bibir Aska. Ia mengusap bibir itu sembari tersenyum sebelum menarik selimut dan terbaring menghadap arah yang membelakangi suaminya.
Saat mata terpejam, ada gerakan yang ia rasakan. Aska memeluknya dari belakang, membuatnya tersenyum dalam kehangatan.
***
Vanesa dan Nolan sudah sampai di apartemen mewah milik Vanesa. Apartemen sebesar itu hanya ditinggali oleh Vanesa. Nolan tahu bagaimana perasaan seorang Vanesa.
Kedua orang tua Vanesa semua tinggal di Paris, Vanesa sendiri yang memilih hidup di Jakarta sebagai aktris. Nolan yang sudah tak memiliki orang tua pasti mengerti perasaan Vanesa.
Vanesa merupakan keturunan darah Prancis dari ayahnya dan darah Sunda dari ibunya. Dari remaja, Vanesa memang sudah hidup mandiri. Vanesa pun dinilai sebagai sosok yang cerdas, belum genap dua puluh tahun, ia sudah menyelesaikan kuliahnya di perguruan tinggi jurusan seni peran di London.
Hingga ia menuju Indonesia–tempat neneknya berada–dan kemudian merintis karir sebagai aktris. Lima tahun berlalu, karirnya sekarang sedang berada di puncaknya.
“Biar aku bantu buka bajumu,” ujar Nolan seraya mendekat ke punggung Vanesa yang berdiri di depan cermin.
“Nolan,” panggil Vanesa pelan.
“Sekarang kau jarang memanggilku Sayang,” sindir Nolan yang masih berusaha membuka baju pasangannya itu.
“Jika aku kehilangan segalanya, apa kau akan tetap di sampingku?” tanya Vanesa tanpa menoleh ke arah Nolan.
“Tidak,” jawab Nolan santai yang membuat Vanesa langsung menoleh dengan wajah penuh tanya. “Sisakan satu hal untukku, hatimu. Jangan sampai kehilangan hati,” tambahnya yang kini tersenyum tenang.
“Sekali pun aku tak lagi cantik?” tanya Vanesa.
“Siapa yang bilang kau cantik?” Nolan balik bertanya.
Vanesa menyipitkan matanya. “Oh, begitu?”
“Bukan cantik, tapi cantik banget,” jawab Nolan meringis. “Lagi pula, aku yakin kau tidak akan membiarkan dirimu menjadi jelek.”
“Tidak juga. Kalau aku harus berperan menjadi jelek, aku akan membuat diriku jelek,” jawab Vanesa.
“Iya iya, asal jangan imejmu saja yang jadi jelek,” kata Nolan tertawa kecil.
“Memangnya kenapa kalau imejku jadi jelek?” tanya Vanesa.
Nolan menggeleng. “Hal semacam itu tak mungkin terjadi.”
“Kenapa tak mungkin? Kenapa imejku tak mungkin jadi jelek?” tanya Vanesa lagi.
“Karena aku percaya padamu, kalau kau bisa menjaga personamu,” jawab Nolan dengan senyuman.
Wajah wanita muda itu langsung berubah, Vanesa kembali memandang ke depan cermin tanpa bicara apa pun lagi.
“Kau sedang banyak pikiran mengenai peran yang sedang kau mainkan bukan? Kau pasti punya beban selain kesenangan setelah kau bisa memenangi kemenanganmu sebagai aktris terbaik. Kau tidak perlu terlalu memikirkan itu, just do it because you love it,” terang Nolan mencoba mengerti.
Bagi Vanesa, Nolan adalah sosok yang hangat. Pria yang tidak hanya tampan, tetapi juga memiliki hal yang membuat Vanesa merasa nyaman.
Sentuhan Nolan di punggungnya memberikan getaran kecil yang menjalar ke tubuhnya. Saat gaunnya terlepas, Vanesa merasa telanjang walau dia memakai sesuatu yang menutupi keindahannya.
Jemari Nolan meraba lengan Vanesa yang begitu lembut dan mulus, itu membuat Vanesa segera menoleh ke arah pacarnya. “Bukannya kau harus segera pulang?”
“Bagaimana aku bisa pulang kalau melihatmu dalam kondisi seperti ini?” tanya Nolan seraya menunjukkan seringainya.
Vanesa membuka lemari dan mengambil pakaian tipis yang segera dia pakai. “Pulanglah,” suruh Vanesa yang kemudian bergerak menuju ke arah meja riasnya.
Akan tetapi, Nolan dengan gesit menarik tangan Vanesa dan segera menarik sang bidadari dalam pelukannya. Vanesa menggeleng karena Nolan selalu menggodanya seperti itu, dia pun berjinjit agar menyamai tinggi sang pangeran cinta dan mencium bibirnya.
“Kau membuatku semakin ingin,” kata Nolan kembali menunjukkan seringainya.
Vanesa hanya tersenyum sembari menggeleng pelan.
***
Milan tahu kalau adiknya tak mungkin pulang. Ia hanya tidur tiga jam sebelum bangun dan menyalakan laptopnya di ruang tengah ditemani segelas kopi. Ngocoks.com
Ia sedang mencari-cari berita di internet. Sebagai seorang kepala redaksi sebuah media, ia adalah sosok yang sangat update pada apa yang terjadi di negeri ini, khususnya masalah kehidupan para selebriti.
Abdul Keenan dan Ralina Syarif resmi bercerai setelah menikah tiga minggu.
Milan menggeleng pelan karena tidak mengerti apa yang dilakukan dua selebriti muda itu. “Sudah buang-buang uang milyaran rupiah buat pernikahan super mewah, sampai ada siaran langsungnya di stasiun televisi swasta juga. Eh, baru tiga minggu sudah bubar,” komentar Milan seraya tertawa.
Milan kemudian memindahkan halaman web berita itu dan menemukan berita tentang penghargaan Piala Puspa malam kemarin. Milan tentu tersenyum saat melihat sosok yang diniscaya akan menjadi adik iparnya itu tengah memegang piala pemeran utama wanita terbaik. Ia sangat bangga.
Akan tetapi, di barisan berita terkait muncul sesuatu yang benar-benar membuatnya membuka mata semakin besar. Ia tampak sangat kaget melihat apa yang ada di depannya.
Tangannya langsung ia angkat dan ia gunakan untuk menutupi mulutnya. Kepalanya menggeleng pelan dan matanya tampak basah saat membaca deretan kata di layar laptopnya.
Tangannya yang gemetar segera menyambar ponsel yang berada di mejanya. Ada banyak pesan di aplikasi chating miliknya. Semua pesan membahas hal yang sama, berita itu. Berita yang ia yakin akan menjadi topik hangat selama berbulan-bulan di negeri ini.
Bersambung…