Di hari Jumat ini, ketika sudah waktunya pulang sekolah, aku sudah akan berdiri dari kursi ketika Jenny memintaku menunggu sebentar. “El, jangan pulang dulu dong, bentar bentar! Kamu lagi mikirin apa sih El? Gini aku jelaskan lagi ya, besok Senin, Selasa dan Rabu kita kan libur.. yaaa aku tahu memang ada bazar, tapi kita bisa berlibur dulu kan, jadi baru datang hari Selasa dan Rabunya gitu”, Jenny berkata panjang lebar. Aku terbawa oleh sikapnya yang selalu riang itu, dan mendengarkannya sambil tersenyum.
“Gini nih Eliza, aku pinginnya, kita berlibur ke Tretes, tiga hari dua malam saja. Jadi besok sore kita berangkat, terus senin sore baru balik lagi ke Surabaya. Gimana El?”, tanya Jenny. “Memangnya kita mau pergi sendiri berdua Jen?”, aku bertanya heran. “Ya nggak lah El, kamu sih dari tadi nggak dengerin kita ngomong, ngelamun aja.. Lha ini Siany, Bella dan Rini ngumpul sama kita di sini buat apa?”, gerutu Jenny, dan ketiga temanku yang lain itu memandangku dengan cemberut.
Aku baru sadar kalau ada mereka bertiga ini yang sejak tadi ngobrol dengan kami berdua. “Aduh.. sori ya.. jadi, kita berlima ya Jen?”, tanyaku lagi. Jenny mencubit kedua pipiku dengan gemas, “Nih anak memang minta dijitaaak… Sherly juga ikut Eeel!”. Aku mengeluh manja, “Aduh Jen.. iya ampun…”. Kami semua tertawa dalam suasana yang riang. “Hei.. sori telat nih, aku tadi ada perlu bentar di kelas”, Sherly mendadak muncul mendekati kami yang masih duduk duduk di dalam kelas dan menyapa kami semua.
“Sudah lengkap ya semua… Jadi gimana nih? Kita tidur di mana nanti di Tretes? Sudah ada yang membooking vila? Atau kita tidur di hotel Surya?”, tanya Sherly setelah duduk bersama kami. Rini yang pada kelas 1 SMA sekelas denganku, langsung bertanya padaku, “El, langsung aja nggak pakai basa basi, kalau vila kamu dipakai nggak? Kalau nggak dipakai, bisa nggak kita menginap di vilamu?”. Aku agak terkejut mendengar kata kata Rini. “Vilaku…?”, aku mengguman dengan ragu.
“Iya El, kalau di vilamu gimana? Selain Rini, nggak ada yang pernah ke sana lho.. please yaa?”, Sherly menambahkan. “Iya nih El.. itu ide yang bagus kan. Kalau di vila Sherly, kayaknya bakal gak cukup..”, seru Jenny dengan bersemangat, tapi terhenti karena diam diam di bawah meja aku menendang kakinya. Jenny rupanya sadar juga, mengapa aku menendang kakinya. Jenny pasti baru ingat, aku pernah menceritakan padanya kalau aku pernah dikerjain oleh penjaga vilaku, pak Basyir itu.
Rini yang jelas tak tahu apa apa, menceritakan kalau pada perpisahan kelas 1 SMA dulu, semua siswi di kelasku menginap di vilaku, sedangkan yang siswa menginap di vila Andi. Oh.. teringat kepada Andi, aku jadi merenung. Orang yang telah menjatuhkan hatiku sejak di kelas 1 dulu, tapi kini aku berlumuran dosa. Aku tahu, Andi sendiri sebenarnya menaruh hati padaku. Sekarang kami sudah nggak sekelas, tapi Andi sering mencariku, dengan alasan untuk pinjam buku catatanku.
Aku yakin itu cuma alasan, karena aku tahu Andi sendiri adalah anak yang rajin, tak mungkin dia perlu pinjam buku catatanku. Hal ini memang yang membuat aku tadi melamunkan Andi, yang baru saja meminjam buku catatan pelajaran Fisika dariku. Selain itu, Andi sering salah tingkah kalau ada di dekatku, ia tak pernah mampu menatapku lama lama. Oh seandainya saja Andi tau, aku juga suka padanya… tapi kini, aku sudah berlumuran dosa.
“Gimana El?”, pertanyaan Sherly membuyarkan lamunanku. “Oh… itu ya”, aku tergagap, dan memandang sekelilingku. Selain Jenny, mereka semua terlihat berharap untuk menginap di vilaku, dan ini membuatku tak enak untuk menolak. “Ya sudah, aku telepon penjaga vilaku dulu yah, aku suruh siapkan dua kamar untuk kita. Kita tidurnya bertiga bertiga ya?”, kataku sambil mengambil handphoneku dari dalam tas sekolahku, walaupun sebenarnya perasaanku tak karuan. Ini kan sama saja seperti aku menyerahkan diriku kepada pak Basyir?
“Asyiik..”, seru ketiga temanku, sedangkan Jenny tersenyum ragu, sementara Sherly duduk di kursi sebelahku, ia memelukku dan berkata, “Thanks ya Eliza”. Aku agak tersengat, karena aku merasakan payudara Sherly menekan payudaraku, membuat mukaku rasanya panas. “Mmm…”, aku memejamkan mataku, tapi aku langsung sadar aku tak boleh larut oleh perbuatan Sherly ini. “Iya nggak apa apa kok Sher, bentar aku telepon dulu nih”, kataku sambil mencoba melepaskan pelukan Sherly dengan agak panik, masa Sherly memelukku dengan semesra ini di depan teman teman?
Sherly melepaskanku, mungkin sungkan juga karena di sini ada teman teman kami yang lain. Kemudian aku segera menelepon penjaga vilaku, pak Basyir. “Halo, pak Baysir ya… Pak, ini Eliza, besok aku dan teman temanku mau menginap di vila, tolong siapkan kamarku dan kamar di seberangnya ya, yang lain nggak usah.”. Pak Basyir menjawab, “Beres non Liza, aduh, senangnya bapak bisa lihat non Liza lagi…”. Aku segera memotong kata kata pak Baysir yang mulai melantur ini, “Ya sudah, terima kasih pak”.
Aku cepat cepat memutus pembicaraan ini dengan gelisah, membayangkan besok saat aku menginap di vila keluargaku, berarti aku mau tak mau pasti bertemu dengan pak Basyir. Jujur saja aku bahkan masih merasa panas dingin kalau teringat aku dipermainkan oleh pak Basyir sampai aku tak kuat dan memohon mohon untuk diantar menuju orgasme, dan aku masih teringat jelas, di hari terakhir sebelum pulang aku malah membuang harga diriku dan menyerahkan tubuhku pada penjaga vilaku yang sudah tua itu.
Tapi aku tak mau memperlihatkan kegelisahanku kepada mereka. Aku berusaha tersenyum pada mereka. “Ya udah, besok kita berangkat. Tapi mobilku kan nggak cukup kalau diisi kita semua, bagaimana ini?”, tanyaku pada mereka. “Tenang aja, Eliza. Aku bisa bawa mobilku, jadi kita bawa dua mobil ke sana. Rumah Rini kan dekat Jenny, jadi kamu jemputin Jenny dan Rini aja El. Nanti aku jemput Siany dan Bella, terus kita ketemuan di hotel Surya dulu ya, vilamu kan dekat sana El”, kata Sherly panjang lebar.
“Iya boleh”, aku mengangguk setuju. Rini bertanya, “Besok kan kita pulang lebih awal, jadinya kita berangkat jam berapa?”. Siany langsung menyambung, “Sebaiknya nanti malam kita sudah bersiap siap, besok jam satu siang kita langsung berangkat, jadi kita nggak kemalaman waktu sampai di vila nanti”. Bella yang kutu buku itu bertanya juga, “Kita nggak perlu bawa bantal guling tambahan?”. Aku langsung melarangnya, “Nggak usah Bel, di sana ada cukup bantal guling juga selimut buat kita semua”.
Maka semua sudah diputuskan, besok kami akan berangkat setelah makan siang. Rini, Siany dan Bella berpamitan pulang duluan pada kami. Jenny sendiri sudah menelepon sopirnya, “Pak Hari, aku nggak usah ditunggu, aku nanti pulang sekolah ikut temanku saja, soalnya ada perlu nih… … ya sudah, makasih pak”. Lalu dengan riang Jenny berkata padaku, “El, abis ini temani aku beli camilan buat besok ya”. Aku sudah kembali terbawa oleh sikap Jenny yang riang ini, dan aku mengangguk senang.
Ketika aku berdiri, Sherly juga berdiri dan menggandeng tangan kananku, sedangkan Jenny juga sudah menggandeng tangan kiriku, dan kami semua berjalan keluar dari kelas ini. Selain Jenny, kini Sherly juga sudah menjadi teman akrabku sejak tiga minggu yang lalu ketika aku mengantarkan buku titipan Jenny, dimana Sherly waktu itu bahkan sudah akan menelanjangiku. Hal ini sempat membuatku teringat akan perkosaan yang brutal terhadap diriku setelahnya di hari itu juga, oleh 9 anak SMP dan 3 anak STM itu.
Tapi kedua temanku ini tentu tak pernah mengetahui kalau aku sejak tadi selain gelisah membayangkan nasibku besok malam di vila, aku juga gelisah melihat Girno, satpam sekolah kami yang mondar mandir di lorong depan kelasku ini, dan sesekali ia menatapku dari sana. Maka ketika kami berpapasan dengan Girno yang menatapku dengan pandangan lapar, aku hanya menundukan kepalaku dengan tegang mengikuti gandengan Jenny dan Sherly, aku sungguh takut Girno akan berbuat macam macam.
Untung saja tak terjadi apa apa sampai kami semua tiba di luar sekolah. Aku akhirnya sudah tiba di depan mobilku. “Ya sudah El, aku pulang dulu ya”, kata Sherly sambil mencium pipiku. “Iya Sher, see you”, jawabku dengan muka yang terasa panas. Apalagi ketika di dalam mobil, Jenny menggodaku, “Cieee.. mesra amat Sherly dengan kamu, El?”. Aku menunduk malu, dan menjawab, “Mana aku tahu Jen?”. Jenny tertawa sambil menggodaku, “Sherly jatuh cinta sama kamu kali, El”.
Aku segera mengalihkan topik yang gawat ini, “Ah kamu ada ada aja Jen. Udah ah, kita kemana nih?”. “Kita ke Bonnet aja Jen, beli camilan yang banyaaak sekali, jadi kita nggak bakal mati kelaparan di vila besok”, kata Jenny dengan lucu, membuatku tertawa geli. “Ya nggak sampai mati kelaparan lah Jen, paling juga kita cuma mati kebosanan”, godaku. Jenny tertawa dan menyambung, “Tapi kan jadinya nanti kita tetap mati di vila? Nggak deh. Ya udah ayo kita berangkat El”.
Aku segera menjalankan mobilku ke Bonnet, menemani Jenny memborong banyak sekali makanan dan minuman ringan, dan setelah kami membayar semua belanjaan yang sampai harus dibungkus dalam 4 plastik besar ini, aku mengantar Jenny pulang ke rumahnya. “Ya udah, see you Eliza”, pamit Jenny padaku. “See you Jenny”, aku juga pamit padanya dan menjalankan mobilku ke rumah. Aku harus segera menyiapkan perlengkapan untuk berlibur ke vila besok.
Sampai di rumah, semua belanjaan itu tidak kuturunkan, karena toh besok harus kubawa juga. Aku turun dari mobil, dan aku menggeleng gelengkan kepalaku saat melihat Wawan dan Suwito yang sudah mendekatiku dan menyergapku di garasi ini. Perbuatan mereka menunjukkan kalau tak ada siapa siapa di rumah, dan aku hanya pasrah mengikuti kemaua mereka saat aku digiring ke kamar mereka berdua. “Kalian ini, nggak bisa kali ya melihat aku menganggur?”, aku mengomel pada kedua pembantuku ini.
“Habis, siapa suruh nona kok cantik begini”, Wawan menggombal. “Kurang ajar!, Terus memangnya kalau aku cantik itu berarti salahku? Dan kalian jadi boleh berbuat begini padaku mmpph…”, omelanku yang kulontarkan dengan pura pura ini terputus ketika Suwito sudah melumat bibirku dengan gemas. Tak lama kemudian baju dan rok seragam sekolahku, berikut bra dan celana dalamku sudah berserakan di lantai, dan Dan begitu aku terbaring di kasur, Wawan dengan tak sabar sudah berada dalam posisi siap tempur.
Kedua pahaku diangkat ke atas dan dipeluk oleh Wawan, lalu dengan cepat ia membenamkan penisnya dalam liang vaginaku, membuatku melenguh pelan menahan rasa nikmat ini. “Non Eliza sendiri… yang membuat kami tambah bernafsu gini… pakai pura pura ngomel segala… nih…”, kata Wawan di antara dengusannya, ia menatapku dengan gemas penuh nafsu saat menghunjamkan batang penisnya kuat kuat.
“Annnnghhhh…”, aku mengerang keenakan dengan manja, sedikit rasa sakit yang yang bercampur dengan kenikmatan yang melanda selangkanganku ini memaksa tubuhku menggeliat. Suwito memanfaatkan terbukanya mulutku saat aku mengerang tadi, ia langsung menjejalkan penisnya ke dalam mulutku. Dengan erangan dan lenguhan tertahan, aku kembali harus menjadi budak seks mereka berdua, hal yang sudah biasa terjadi kalau aku pulang saat tak ada papa, mama ataupun kokoku di rumah.
“Mmmppphh…”, aku merintih keenakan saat Wawan makin kencang memompa liang vaginaku. Tubuhku mulai bergetar, sementara Suwito sendiri sudah melenguh lenguh, “Onnnggghhhh.. non Elizaaa….”, penisnya berkedut dan menyemburkan spermanya dalam mulutku. Aku menelan semuanya, menjilati dan menyedot penis itu sampai Suwito mengejang ngejang dan melolong lolong minta ampun, dan begitu aku menghentikan seruputanku pada penis itu, Suwito ambruk lemas ke lantai.
Dan kini Wawan menggenjotku dengan bebas, membuatku terus dihajar badai kenikmatan, dan ketika akhirnya Wawan menyemprotkan spermanya dalam liang vaginaku, aku sudah dibuatnya orgasme sampai dua kali. Dengan lemas, aku membuka mulutku dan mengulum penis Wawan. Setelah kubersihkan penisnya pembantuku yang keranjingan ini, aku berdiri meskipun betisku rasanya pegal, lalu kupungut baju seragamku dan kukenakan di depan mereka. Aku mengancingkan bajuku dengan gerakan perlahan.
Sesekali aku melihat mereka berdua, dan aku tahu mereka meskipun masih lemas karena baru ejakulasi, nafsu mereka sudah kembali menggelora melihat amoy cantik yang telanjang di depan mereka sedang mulai berpakaian. Setelah semua kancing bajuku terpasang, aku mengenakan rok seragamku, sengaja aku berlama lama saat menarik rok itu ke atas pinggang, membiarkan mereka melotot melihat paha mulusku yang perlahan tertutup oleh rok abu abu ini.
“Sudah, aku naik dulu.. dasar kalian ini..”, aku menggerutu dengan suara manja, dan aku sengaja menatap mereka berdua dengan pandangan menggoda, hingga mereka berdua melihatku dengan makin bernafsu. Sengaja aku tak mengenakan bra dan celana dalamku, yang kini baru kupungut dari lantai, lalu aku sengaja memutar tubuhku ke arah luar kamar hingga rambutku berkibar mengikuti gerakan kepalaku, yang aku tahu hal ini merupakan pemandangan yang terlalu indah dan sexy buat mereka berdua.
“Wan.. nona kita itu kok bisa cantik kayak gitu ya?”, kudengar suara Suwito, lalu kudengar Wawan menambahkan, “Sudah cantik, sexy, wangi lagi… memeknya itu lho, ngangenin…”. Lalu kudengar Suwito berkata lagi, “Non Eliza itu badannya kecil, tapi kuat sekali ya, bisa tahan kita ajak main berlama lama”. Duh, memang kalo orang dapat pujian, harusnya bangga. Tapi kalau pujian yang macam begini ini, kalau sampai terdengar ke telinga orang luar, mau ditaruh di mana mukaku ini?
Aku mempercepat langkahku, mukaku rasanya panas, dan aku menggigit bibir sambil tersenyum malu mendengar percakapan mereka. Sampai di kamar mandi, aku keramas dan membersihkan seluruh tubuhku, dan yang pasti juga liang vaginaku. Setelah mengeringkan rambutku dan juga tubuhku, aku memakai baju santai dan menyalakan AC kamarku karena rasanya panas. Lalu aku mengepak bajuku secukupnya dan keperluanku ke dalam tas, dan tas ini kusembunyikan di dalam lemariku.
Hal itu kulakukan karena aku takut kalau sampai kedua pembantuku yang keranjingan ini tahu aku akan pergi menginap selama 3 hari 2 malam di tretes, aku bisa diperkosa mereka sampai pagi. Aku lalu berbaring di ranjangku, rasanya malas untuk turun makan siang. Dan mungkin karena aku baru saja disuapi sperma Suwito yang berejakulasi di dalam mulutku saat kuoral tadi, juga tambahan sedikit sisa sperma di penis Wawan yang berejakulasi dalam liang vaginaku, jadi aku tak merasa begitu lapar.
Maka aku memilih tidur siang, mengistirahatkan tubuhku yang baru dipakai oleh kedua pembantuku untuk memuaskan hasrat mereka. Mungkin salahku juga tadi telah menggoda mereka dengan keterlaluan, dan aku harus membayar perbuatanku tadi karena aku lupa mengunci pintu kamarku. Rasa nikmat pada selangkanganku perlahan menyadarkanku dari tidur. Kurasakan liang vaginaku terbelah oleh sebatang penis yang amat keras, dan penis itu terus melesak masuk, membuatku menggeliat perlahan.
“Ngghh.. Wan… kamu itu memang kurang ajar kok… oooh…”, aku mulai mengomel di antara lenguhan dan desahanku, ketika aku sudah benar benar terbangun dan melihat Wawan yang sedang asyik memompa liang vaginaku. Kulihat jam di kamarku, sekarang sudah setengah lima sore. Oh.. lama juga tadi tidur siangku. “Habis enak sih non Eliza”, jawab Wawan dengan penuh nafsu. Suwito yang baru datang, seperti biasa mendekatiku dan meminta servis oralku. Aku hanya bisa pasrah melayani mereka berdua yang baru berhenti menggumuliku ketika mendengar deru mesin mobil orang tuaku di garasi.
Keduanya meninggalkanku yang masih tergolek lemas di atas ranjangku. Dengan malas aku bangkit dan kembali masuk ke kamar mandi untuk mandi keramas, juga membersihkan liang vaginaku. Setelah aku mengeringkan rambutku dan tubuhku, aku memakai baju tidur dan turun untuk menyapa papa mama dan kokoku, sekaligus makan bersama. Di sela sela saat makan, aku menyampaikan maksudku untuk berlibur bersama teman temanku ke vila besok selama tiga hari. Papaku menanda-tangani surat permohonan yang aku buat untuk meminta ijin tidak masuk pada hari Senin besok ini.
Setelah selesai makan, mamaku memanggilku sebentar. “Iya ma?”, aku bertanya ketika aku sudah berada di depan mamaku. “Eliza, ini buat kamu liburan besok”, kata mamaku sambil memberikan sejumlah uang padaku. “Duh, terima kasih maa… Eliza tidur dulu ya ma”, aku memeluk mamaku yang tersenyum melihatku begitu senang, dan aku mencium kedua pipinya dengan rasa terima kasih. Lalu aku kembali ke kamarku. Aku belum begitu capai ataupun mengantuk, tapi aku tahu aku harus menyimpan tenaga, karena besok aku pasti akan jatuh ke dalam cengkeraman penjaga vilaku itu.
*****
Aku sedang saling mengganggu dengan Jenny di kantin sekolah ketika bel tanda berakhirnya jam istirahat yang kedua ini berbunyi. Kami masuk ke dalam kelas dengan riang, karena hari ini sekolahku memberlakukan jam pendek, 30 menit saja untuk setiap jam pelajaran. Setelah jam istirahat yang ke dua ini, tinggal dua jam pelajaran saja, yang artinya kami akan pulang satu jam lagi. Dan kelas kami makin kacau ketika guru yang mengajar kimia menyuruh kami belajar sendiri.
Aku, Jenny, Rini, Siany dan Bella mengobrol tentang rencana kami nanti sore. Selagi kami mengobrol, tiba tiba pak Edy, wali kelas kami yang sekaligus guru geografi itu masuk ke dalam kelas. Kami semua langsung diam, karena wali kelas kami ini termasuk galak. “Anak anak, jangan terlalu ribut, nanti kalian mengganggu kelas lain! Jam pelajaran saya yang berikut ini, kalian belajar sendiri”. Maka kembali semua teman temanku bersorak senang, hanya aku yang bersikap cuek, aku memang muak pada wali kelasku ini.
“Eliza, saya minta kamu segera menuju ke ruangan saya. Ada beberapa hal tentang bazar yang diadakan mulai besok Senin ini, yang bapak ingin bahas dengan kamu selaku bendahara kelas!”, kata pak Edy kepadaku. Jantungku berdegup kencang, dan aku menjawab, “Iya pak”. Aku berdiri mengikuti Pak Edy, entah kenapa aku punya firasat buruk. Sampai di ruangan pak Edy mempersilakanku untuk duduk. Aku menurut saja walaupun jantungku terus berdegup kencang.
“Pak, apa apaan ini?”, tanyaku panik ketika pak Edy mengunci pintu ruangannya, lalu duduk di kursinya. Ia menatapku dan bertanya, “Eliza! Kamu tahu salahmu?”. Aku menggeleng perlahan. “Tidak tahu pak… Apa saya pak? Saya sungguh tidak mengerti”, jawabku dengan bingung. Pak Edy berkata, “Saya tahu dari temanmu Siska yang juga wakil bendahara di kelas, bahwa kamu besok Senin hendak membolos”.
Aku amat terkejut, “Lho pak, Senin besok itu kan cuma bazar, dan bazar itu tiga hari lamanya. Harusnya tidak apa apa kan pak, jika saya tidak datang sehari saja?”. Tapi pak Edy terus menekanku, “Tidak apa apa Eliza, kalau kamu bukan staff kelas. Kamu ini ketua bendahara kelas! Kalau hari itu kelas membutuhkan dana untuk keperluan bazar, siapa yang bertanggung jawab?”.
Aku merasa alasan itu terlalu dibuat buat oleh wali kelasku ini. “Pak, justru itu kan saya sudah menitipkan buku dan kas kelas pada Siska selaku wakil bendahara. Lagipula, Selasa saya kan sudah masuk”, aku coba menjelaskan. “Tidak sesederhana itu Eliza. Kalau saya memberikan ijin, nanti itu akan jadi perseden buruk buat yang lain. Bisa saja nanti ketua koordinator yang mengatur stan kelas kita seenaknya minta ijin seperti kamu, dan menyerahkan pada wakilnya! Mau jadi apa stan kita di acara bazar nanti?”.
“Pak, itu kan lain. Keberadaan ketua koordinator itu memang penting, karena dia yang mengerti apa saja kebutuhan untuk mengatur keberadaan stan. Kalau saya kan cuma bendahara, yang jelas sekali tak ada kaitannya dengan bazar besok. Kalaupun memang ada dana yang diperlukan, saya kira juga tidak segawat itu kalau saya tidak ada. Lalu perlu apa ada wakil bendahara kalau saya harus selalu ada? Lagipula pak, saya keberatan jika bapak bilang saya membolos, itu kan surat permohonan saya yang sudah ditanda tangani orang tua saya?”, aku mulai terbawa emosi dan berkata dengan nada keras.
“Tidak bisa! Saya sudah memutuskan, kalau kamu harus hadir besok Senin. Saya punya hak untuk menolak surat permohonan kamu, dan orang tuamu akan saya telepon sekarang juga, supaya mereka bisa membantu saya memastikan kamu datang besok Senin!”, kata pak Edy, dan ia sudah mengangkat telepon di mejanya. Aku mulai panik, terbayang acara liburan yang berantakan gara gara wali kelas sialan ini. “Pak Edy, saya mohon, biarkan saya minta ijin untuk satu kali ini saja pak”, kataku dengan memelas.
Pak Edy meletakkan gagang telepon, lalu menatapku dalam dalam. “Kenapa saya harus menuruti keinginan kamu Eliza? Apa untungnya buat saya”, tanya pak Edy. Pertanyaan ini membuatku tersudut. “Apa yang bapak inginkan?”, tanyaku dengan suara pelan, aku sudah bisa menebak apa yang diinginkan wali kelasku yang bejat ini. “Eliza, saya cuma memberikan kamu satu kesempatan untuk memberikan tawaran yang sekiranya bisa menyenangkan saya..”, tanya pak Edy sambil menyeringai mesum.
Jantungku berdegup kencang, aku tahu aku harus memberikan penawaran terbaikku. “Baiklah pak…”, aku memejamkan mata sesaat untuk menguatkan hatiku, lalu aku berdiri, dan mulai melepas kancing baju seragamku satu per satu. Kulepaskan baju seragamku dan juga bra yang membungkus payudaraku. Lalu saat aku melanjutkan melepas rok seragamku, pak Edy berdiri, rupanya ia sudah tak sabar lagi dan mendekatiku. Kedua payudaraku yang sudah tak terlindung bra ini diremas dengan kasar oleh pak Edy.
Aku menggigit bibir dan memejamkan mata menahan sakit, sambil terus melepas rok seragamku. Ketika aku sudah membungkuk untuk melorotkan celana dalamku, keadaan menjadi lebih buruk. Tiba tiba aku melihat sebatang penis sudah mengacung tegak ke arah mulutku, dan aku tahu siapa pemilik penis berukuran raksasa itu, Girno, satpam sekolahku yang akhir tahun lalu merenggut keperawananku di UKS. Dengan marah aku menoleh ke pak Edy yang masih asyik meremasi kedua payudaraku dari belakang.
“Apa apaan ini pak Edy? Aah… Mmpphh…”. Kata kataku tersumbat ketika Girno sudah menolehkan kepalaku menghadap selangkangannya, lalu menahan kepalaku dan menjejalkan penisnya ke dalam mulutku. Aku hanya bisa mengerang tak jelas ketika penis raksasa itu mulai menyodok sampai ke tenggorokanku. Girno mengerang keenakan, sedangkan aku amat menderita. Dalam hati aku mengutuk pak Edy, dasar guru biadab, masa sampai hati menjebakku dan memperkosaku bersama satpam sekolah?
Pak Edy menghentikan remasannya pada kedua payudaraku, aku tahu ia pasti sedang melepas celananya, untuk memamerkan keimpotenannya itu. Aku yang sekarang dalam keadaan menungging, tak perduli ketika merasakan penis pak Edy yang tentu saja masih tetap kecil dan agak lembek itu kesulitan untuk menembus liang vaginaku. Mungkin karena tak cukup keras, jadi pak Edy kesulitan menerjangkan penisnya, tapi ia terus berusaha sambil mengeluh, “Kok nggak bisa masuk ya?”.
Mungkin jika aku tidak sedang sangat kesal oleh kebiadaban pak Edy, dan juga menderita oleh sodokan penis Girno yang memompa tenggorokanku, aku bisa tertawa geli karena ulah pak Edy yang konyol ini. Setelah beberapa menit berusaha, akhirnya penisnya yang sedikit lebih tegang daripada waktu pertama berusaha tadi berhasil membuka bibir vaginaku. Perlahan penis yang pendek itu masuk membelah liang vaginaku, dan pak Edy mengerang keenakan.
Mungkin karena pendek, kecil dan sedikit empuk, genjotan yang dilakukan pak Edy ini tak begitu mempengaruhiku. Dan untung saja, pak Edy masih tetap pak Edy, tak sampai tiga menit, ia sudah mengerang panjang, “Oooohh…”. Penisnya yang baru berkedut itu langsung menyemburkan sperma membasahi liang vaginaku. Lalu wali kelasku yang tak bermoral ini menarik lepas penisnya.
Aku tak tahu apa yang dia lakukan, karena mataku sudah mulai berkunang kunang, sulit sekali bernafas dalam keadaan tenggorokanku dipenuhi penis raksasa ini. Untungnya, melihat vaginaku sudah menganggur, Girno menarik penisnya dari mulutku. Aku jatuh berlutut dan terbatuk batuk sambil memegangi leherku, sakit sekali rasanya tenggorokanku. Tapi aku tak bisa beristirahat, Girno segera membalikkan tubuhku hingga aku terbaring telentang, dan ia berkata, “Giliranku, non Eliza!”.
Lalu dengan tanpa belas kasihan sama sekali, penis berukuran raksasa itu diterjangkan Girno ke dalam liang vaginaku. Aku mengerang panjang kesakitan. Meskipun sudah ada cairan sperma pak Edy yang seharusnya sudah cukup membantu melumasi liang vaginaku, tapi tetap saja penis sebesar milik Girno ini amat menyiksaku, rasanya tubuhku seperti dirobek jadi dua bagian, kepalaku seperti mau pecah saja.
“Paaak… tolong pelan pelan pak…”, keluhku, dan Girno melambatkan irama sodokannya, hingga aku perlahan mulai bisa beradaptasi. Setelah rasa sakit di liang vaginaku mulai berkurang dan mulai timbul rasa nikmat, tanpa sadar aku mulai melenguh. “Ngggh.. aduuh…”, aku melenguh ketika merasakan berulang kali dinding rahimku terkena ujung penis Girno yang mentok sampai ke dalam. Aku mulai menggeliat keenakan, walaupun aku mulai ngeri melihat Girno menatapku dengan amat bernafsu.
“Dari kemarin…”, kata Girno sambil menghunjamkan penisnya dengan gemas. “Ngghh…”, aku melenguh. “Melihat kamu… di kelas…”, sambung Girno sambil menarik penisnya sampai tinggal kepala penisnya yang terjepit liang vaginaku hingga aku menggeliat. “Menunggu kamu sampai lama…”, kata Girno dengan gemas dan penisnya kembali menghunjam dalam dalam. “Aduuuuh…”, aku merintih antara keenakan dan kesakitan, dan aku teringat kalau kemarin memang Girno sempat memandangiku dari luar kelas.
“Kamu tahu kan…”, Girno terus menyiksa diriku, ia menarik penisnya sampai sebatas kepala penisnya. Dan tanpa memperdulikan aku yang hanya bisa merintih, lagi lagi penis itu menghunjam begitu dalam saat Girno berkata, “Kalau aku sudah sangat kepingin memek kamu?”. Aku menggeliat hebat dan melenguh, “Ngghh… ampun paak…”. Aku mulai kehilangan kesadaran dan sudah tak bisa mendengar dengan jelas lagi, aku hanya bisa melenguh saat Girno entah meracau tentang apa sambil terus membuat tubuhku tersentak sentak mengikuti irama hunjaman demi hunjaman penisnya ke dalam liang vaginaku
Entah berapa lama Girno menyiksaku seperti ini, sampai aku merasakan otot vaginaku mengejang dengan hebat, dan tanpa ampun lagi akhirnya aku berkelojotan, kedua betisku melejang lejang. “Ngggghhh… nggghhhh…”, lenguhanku entah mungkin bisa terdengar sampai ke luar ruangan ini, tapi aku sudah tak mampu menahan kenikmatan yang melanda vaginaku, rasanya cairan cintaku di dalam sana membanjir tak karuan mengiringi orgasme ini. Nafasku hampir putus rasanya, dan aku merasa amat lelah.
Orgasme yang baru saja melandaku ini membuatku lemas, dan untungnya Girno langsung orgasme beberapa detik kemudian. Penisnya berkedut keras, dan siraman spermanya dalam rahimku seperti meringankan rasa pedih yang sempat melanda vaginaku ini. “Oooh.. enaknya… kesampaian juga akhirnya sejak kemarin kepingin menikmati memek kamu, Eliza..”, kata Girno dengan nafas tersengal sengal. Aku tak menanggapinya, dan mengumpulkan segenap kekuatanku lalu berdiri.
“Pak Edy, sekarang tolong jangan persulit saya pak. Bapak tadi sudah berjanji”, kataku dengan memohon. Dengan senyum yang menjijikkan, pak Edy berkata, “Cium bapak dulu Eliza, dan kamu boleh pergi”. Aku yang sudah kepalang tanggung, menuruti permintaan guru bejat ini, kucium bibirnya dan bau mulutnya yang tak enak segera menyerangku, juga payudaraku diremasnya dengan kuat. Tapi aku bertahan sekuat tenaga supaya tidak muntah. Dan setelah dia puas, selesailah penderitaanku di ruang kerja pak Edy ini.
Aku mengambil tissue, dan melap cairan sperma yang belepotan di selangkanganku. Sebenarnya ingin kulemparkan tissue yang baru kupakai itu ke muka pak Edy, tapi aku tak ingin mendatangkan masalah. Dengan sebal kubuang tissue itu ke tong sampah, lalu aku mengenakan bra dan celana dalamku, juga baju dan rok seragamku. “Terima kasih pak, saya keluar dulu”, aku berpamitan, terpaksa sopan. “Terima kasih kembali Eliza, terutama buat servisnya”, kata pak Edy dengan gaya mesumnya, diiringi tawa Girno.
Aku melangkah keluar dari ruangan wali kelasku, dengan langkah yang kuusahakan sewajar mungkin. Rasa sakit pada selangkanganku belum terlalu reda, dan masih cukup mengganggu saat aku harus melangkahkan kedua kakiku ini. Aku tahu penampilanku pasti berantakan setelah perkosaan tadi, dan aku tak boleh membiarkan hal ini memancing pertanyaan dari teman temanku. Untung saja semua orang masih ada di dalam kelas, jadi aku bisa segera ke toilet tanpa ada yang melihat keadaanku.
Aku merapikan diriku sebentar lalu melihat jam tanganku. Tinggal sepuluh menit lagi, bel pulang sekolah akan berbunyi. Berarti aku tadi diperkosa lebih dari setengah jam. Entah apa dosaku harus menerima semua ini. Hampir saja aku menangis, tapi aku cepat cepat menenangkan diri, lalu kembali ke kelasku. Aku melihat Jenny dan yang lain masih asyik ngobrol dengan seru, tapi kini aku tak begitu tertarik untuk ikut mengobrol lagi.
“Hai.. lama amat kamu El?”, tanya Rini ketika melihatku berjalan ke arah mereka. Dengan senyum yang kupaksakan, aku cepat mencari alasan, “Iya tuh, tadi sekalian membahas tentang perlu tidaknya menarik kas lebih dari kita kita, buat jaga jaga seandainya ada dana yang diperlukan stan kelas kita saat bazar nanti”. “Dasar mata duitan. Iuran bulanan untuk kas kelas kita itu sudah yang paling besar di antara semua kelas. Bukannya dana di sana pasti sudah banyak?”, omel Siany.
Rini dan Bella hanya geleng geleng kepala, sedangkan Jenny diam diam menggenggam tanganku di bawah meja, dan ia memandangku iba. Aku teringat kalau aku pernah menceritakan perkosaan yang menimpaku di UKS dulu pada Jenny, jadi mungkin Jenny tahu apa kira kira yang baru saja terjadi padaku. Lalu ia berusaha mengalihkan pembicaraan, “Sudalah, ngapain juga kita bicarain hal ini.. Oh iya, kalian nggak ada yang lupa bawa pakaian renang kan?”.
Rini menjerit kecil, “Aduh iya Jen. Duh, untung kamu bilang”. Baru saja kami sudah terlibat obrolan seru, yang mana membantuku melupakan kejadian buruk yang baru saja menimpaku, bel pulang sekolah sudah berbunyi. Setelah pembacaan doa dari interkom selesai, kami segera meninggalkan kelas. Bahkan saat ini pun, rasa sakit masih mendera selangkanganku saat aku berjalan. Maka aku berjalan agak pelan, dan Jenny yang menemaniku tiba tiba menggandeng tangan kiriku, seakan ingin menguatkan diriku.
Aku tersenyum penuh terima kasih pada Jenny, dan kami berjalan beriringan ke tempat parkir. Kebetulan tadi sopirnya Jenny memarkirkan mobilnya Jenny di sebelah mobilku. Saat akan melepaskan gandengan tangannya, Jenny berbisik lembut padaku, “Eliza, nanti di vila kamu jangan jauh jauh dari aku ya.. aku akan jagain kamu dari penjaga vilamu”. Aku memeluk Jenny, “Thanks ya Jen.. kamu baik sekali”. Setelah itu kami saling berpamitan, dan masuk ke mobil masing masing.
Ketika mobil Jenny sudah jauh dari sini, aku masih diam, memikirkan apa aku sebaiknya langsung pergi saja daripada pulang ke rumah, toh tasku sudah ada di belakang sini, jadi aku sudah bisa berangkat sekarang kalau mau. Hampir bisa dipastikan, aku akan seperti menyerahkan diriku untuk digangbang di rumah oleh kedua pembantuku jika aku pulang sekarang, dan aku sedang sangat tidak mood setelah tadi terpaksa memilih diperkosa oleh wali kelasku.
Sedangkan pergi ke rumah Jenny juga bukan pilihan yang bagus, bisa saja nanti buruh buruh di rumah Jenny beraksi, dan aku akhirnya memutuskan untuk jalan jalan ke Tunjungan Plaza, sekalian makan siang di sana. Di sana aku hanya berjalan tak tentu arah sampai akhirnya aku makan siang, baru aku pergi menuju ke rumah Jenny. Sampai di sana, aku melihat jam, sudah jam satu kurang sedikit, dan aku belum melihat tanda tanda Jenny. Maka aku turun, hendak memencet bel pintu rumah Jenny.
Tiba tiba kudengar klakson mobil, yang ternyata mobil papa mamanya Jenny. Maka aku tak jadi memencet bel pintu, dan menyapa kedua orang tua Jenny. “Suk, Ai..”, aku menyapa sambil mengangguk sopan, dan mereka juga menyapaku dengan ramah, “Halo Eliza…”. Aku melanjutkan berbasa basi sebentar, “Eliza mau ajakin Jenny pergi, apa Jenny udah bilang sama Suk Suk atau Ai?”.
Mamanya Jenny menjawab, “Oh sudah kok, Eliza. Kalau sama kamu, Ai sih pasti boleh, tapi nanti kalian di sana jangan tidur terlalu malam ya, jaga kesehatan, nanti pulang pulang malah sakit”. “Iya Ai, makasih ya Ai”, kataku sambil tersenyum. Beberapa saat kemudian Jenny keluar membawa tasnya, dan menyapa papa mamanya sekalian pamitan, “Pa.. Ma.. pergi dulu ya..”. Aku juga sekalian pamitan pada mereka berdua. “Hati hati ya kalian. Jenny, kamu jangan gangguin Eliza kalo sedang nyetir!”, kata papanya Jenny.
Jenny terus masuk ke mobilku sambil menjawab, “Iyaaa beres paaaa…”. Aku tersenyum geli dan setelah melambaikan tangan pada kedua orang tua Jenny, aku masuk ke dalam mobil. “Yuk berangkat”, kata Jenny. Aku segera menjalankan mobilku ke rumah Rini, yang kira kira sekitar tiga kilometer dari sini. Jenny tiba tiba mengeluh dan memegangi payudaranya yang sebelah kanan, “Aduh El.. sakit nih…”. Ia memandangku dengan memelas.
Aku sempat bingung, tapi aku segera bisa mengira apa yang baru saja terjadi pada temanku ini. “Mereka lagi ya Jen?”, tanyaku dengan iba. Aku tahu buruh buruh Jenny itu “Iya lah El.. siapa lagi.. liat nih..”, gerutu Jenny sambil membuka dua kancing bajunya, lalu menyingkap bajunya di bagian payudaranya yang kanan. Aku melihat memang banyak merah merah bekas cupangan di sana sini, dan aku menggigit bibir membayangkan tadi itu sakitnya seperti apa.
“Untung tadi kedengaran klakson mobil papaku, jadi mereka berhenti sebelum makin menyakitiku. Lihat nih El.. puting susuku digigiti mereka.. sakit nih…”, kata Jenny dengan manja, ia kini menyingkapkan branya dan memperlihatkan semua payudaranya kanannya. Aku melihat payudara Jenny yang sebelah kanan ini, dan sempat memperhatikan bentuk puting payudara yang mungil dan lucu itu.. tapi…
“Ya ampun Jen?? Kok kamu buka di sini sih??”, aku baru sadar apa yang sedang dilakukan Jenny, dan aku cepat cepat melihat ke depan. Untung saja tak ada siapa siapa, karena kami memang sudah memasuki kompleks perumahan dimana Rini tinggal. “Iya nih, aku lupa El, abisnya aku cuma mau nunjukin ke kamu aja, nanti kalo ada Rini kan nggak enak..”, kata Jenny dengan manja sambil menutupkan bra dan bajunya kembali. Entah kenapa, jantungku berdegup kencang dan mukaku terasa panas.
Aku tak yakin, hal ini apa karena aku baru saja melihat payudara Jenny, atau karena kata kata Jenny yang manja tadi itu. Tapi aku berusaha tak memikirkannya lagi, apalagi kami sudah sampai di rumahnya Rini yang sudah menunggu dengan sebuah tas besar di depan pintu. Setelah ia masuk ke dalam mobil dan saling menyapa dengan aku dan Jenny, aku segera melajukan mobilku, menuju ke hotel Surya di Tretes.
*****
Perjalanan ke Tretes yang hampir dua jam ini sama sekali tak terasa, karena dengan ikutnya Jenny yang memang selalu pandai membawa keceriaan ini di mobilku, kami bertiga selalu terlibat obrolan lucu maupun gossip. Akhirnya kami sampai di hotel Surya, dan ketika kami berputar putar di parkiran, Sherly yang sudah menunggu kami segera membunyikan klakson mobilnya, dan turun dari mobilnya. Aku mendekatkan mobilku ke sana, lalu kami semua turun dari mobil.
“Gimana, kalian mau langsung ke vila, atau mau bersenang senang di sini dulu?”, aku bertanya pada teman temanku. “Kita langsung ke vilamu saja El. Nanti kalau mau ke sini agak sorean juga bisa”, kata Sherly. “Ya udah, kalo gitu ikutin aku ya Sher, kita ke arah Tretes Raya, dan terus ke bawah dikit, vilaku di sebelah kanan jalan”, kataku. “Sip deh bos”, Sherly mengedipkan matanya padaku sambil tersenyum, dan diam diam aku mengakui Sherly ini cantik sekali, dan aku balas tersenyum padanya.
Kami semua masuk ke dalam mobil, dan Sherly mengikutiku dari belakang ketika aku menjalankan mobilku ke arah vilaku. Ketika sampai, aku tak perlu menekan klakson, karena penjaga vilaku sudah menanti di pintu gerbang yang dia buka lebar lebar. Aku terus melaju memarkirkan mobilku di tempat yang biasa, dan Sherly juga memarkirkan mobilnya di sebelah mobilku. Begitu kami semua turun dari mobil, celoteh riang yang amat ribut dari mereka semua segera terdengar.
Aku tersenyum geli, membayangkan kalau sampai kami berenam sekelas, entah bakal ribut seperti apa kelas kami saat jam kosong. Aku segera membuka pintu utama, dan mereka semua masuk sambil membawa barang barang mereka. “Gimana nih, yang semobil tetap sekamar, atau diseling biar nggak bosan? Atau… kita undi saja!”, usul Jenny. Ada ada saja ini anak, tapi ide Jenny memang selalu menarik, dan semua setuju untuk mengundi di kamar mana mereka nanti akan tidur.
Jenny mengambil pensil dan kertas dari tasnya, dan kertas itu dibaginya menjadi enam potongan kecil, dan tiga potong di antaranya ditulisi huruf A dan tiga potong sisanya ditulisi huruf B. Lalu semua potongan kertas itu digulung oleh Jenny, dan dimasukkan ke dalam kantung baju seragamku. Aku jadi teringat, aku memang masih pakai baju seragam sekolah, karena tadi aku tidak pulang dulu.
“Nah, sekarang semua ambil sepotong, kalau dapat A, tidur di kamar yang di sebelah kiri”, kata Jenny sambil menunjuk kamar yang biasa kupakai. “Dan yang dapat B tidur di teras, hahahaha..”, celetuk Sherly dan kami semua tertawa. “Aku duluan ya”, kata Jenny. Ia memasukkan tangannya, mengaduk aduk gulungan kertas pada bajuku. Tentu saja tangannya berkali kali menyenggol payudaraku yang kiri ini, hingga aku menggigit bibir menahan diri supaya tidak mendesah, nafasku menjadi lebih berat.
“Aku dapat B nih”, kata Jenny saat membuka gulungan kertas yang dia ambil dari kantung bajuku. Berikutnya Siany dan Bella yang merogoh kantung bajuku, mereka tidak sampai mengaduk aduk gulungan kertas ini seperti Jenny, namun tetap saja aku merasa gesekan tangan mereka pada payudaraku yang kiri ini, dan ini membuat jantungku makin berdegup kencang. Aku menahan tangan Sherly dan mencoba melepaskan remasannya dari payudaraku, tapi aku tak mampu, rasanya lemas sekali.
Dan keadaanku jadi makin kacau ketika Sherly yang merogoh kantung bajuku. Dengan nakal Sherly meremas payudaraku. “Auwww.. Sheer…?”, aku mengeluh malu sekaligus terangsang, entah sudah merah seperti apa mukaku yang rasanya panas ini. Teman temanku tertawa geli, entah apa yang mereka tertawakan, perbuatan Sherly, atau aku yang dibuat tak berdaya oleh Sherly ini. “Udah dong Sheer…”, aku memohon pada Sherly untuk menghentikan perbuatannya, karena makin lama aku makin terangsang.
Entah setelah beberapa kali aku memohon, baru Sherly akhirnya menghentikan remasannya pada payudaraku, lalu ia mengambil satu dari dua gulungan yang masih tersisa di kantung bajuku. Aku terduduk lemas di lantai, dan Jenny ikut duduk di sebelahku lalu ia merangkulku. “Sher, kamu jahat ah. Masa Eliza mau kamu perkosa?”, Jenny menggerutu pada Sherly dengan nada bercanda, dan mereka semua tertawa, kecuali aku yang semakin malu.
“Jen… kamu ini..”, aku mulai mengomel, tapi aku terdiam saat Jenny malah membelai dan menggeraikan rambutku ke belakang, lalu menyandarkan kepalanya di pundak kananku. “Tapi bukan salah Sherly sepenuhnya… salah kamu juga sih El, kok kamu bisa secantik ini… sudah cantik… kalem… baik… mm.. rambut ini halus dan wangi..”, Jenny mengguman sambil menghirup rambutku, lalu ia menatapku dengan pandangan mata yang sayu, sementara aku hanya bisa diam tertunduk malu dipuji Jenny seperti ini.
“Lho Jen, kok jadi kamu yang lesbi sama Eliza sih? Hayo.. iri ya sama Sherly?”, goda Rini. Lagi lagi semuanya tertawa sementara aku hanya bisa tersenyum malu. Kemudian Jenny berdiri dan bertanya, “Jadi gimana, siapa yang hari ini tidur sekamar denganku?”. Maka kami semua membuka gulungan kertas milik kami, dan hasilnya hari ini Jenny sekamar dengan Siany dan Rini, sedangkan aku sekamar dengan Bella dan Sherly! Oh, aku kuatir, jangan jangan nanti Sherly lupa diri dan menggumuliku di depan Bella.
Tapi… yah bagaimana nanti saja lah, selagi mereka semua masuk ke kamar yang sudah ditentukan sekaligus menaruh tas mereka, aku teringat tasku masih ada di mobil, dan aku keluar menuju mobiku yang bagasinya masih terbuka. Ketika aku mengambil tasku, kurasakan pantatku diremas oleh seseorang. Gaya meremas yang kurang ajar seperti ini, aku sudah tahu siapa pemiliknya..
“Pak Basyir…”, kataku dengan suara pelan sambil menoleh ke arahnya. “Tolong jangan menyusahkan Liza, ini kan ada teman teman, kalau kelihatan mereka gimana? Nggak lucu kan?”, sambungku dengan ketus walaupun masih dengan suara yang pelan. “Tapi non, bapak sudah kangen memeknya non.. sudah lama nih”, pak Basyir masih terus asyik meremas pantatku. “Elizaa…”, aku mendengar Jenny berseru dari dalam vila. “Iya Jeen?”, aku langsung menjawab sambil mencoba menepis tangan pak Basyir.
“Kamu di manaa?”, Jenny berseru lagi. “Aku di taman Jen, di bagasi mobil”, lagi lagi aku berseru menjawab sambil menepis tangan pak Basyir yang masih saja menggerayangi pantatku. “Kamu lagi ngapain El? Toiletnya di mana sih, temani aku dong, antarkan ke sana sebentar…”, seru Jenny yang dari suaranya aku tahu kini ia sudah ada di teras. Tentu saja hal ini menyelamatkanku walaupun untuk sementara, dan pak Basyir segera melepaskan remasan tangannya dari pantatku.
“Pak, tolong bantuin aku nih”, kataku sekalian menggunakan kesempatan ini untuk meminta bantuan pak Basyir. “Tolong bawakan tasku dan empat tas plastik ini ke kamarku ya pak, aku antar Jenny ke kamar mandi dulu”, kataku sambil meninggalkan pak Basyir, yang mau tak mau harus menuruti permintaanku. “Iya, ayo aku antar Jen”, kataku sambil berjalan mendekati Jenny. Aku tersenyum lega dan menggandeng tangan teman terbaikku ini, menunjukkan toilet utama di vilaku.
“Kamu nggak diapa apain kan sama penjaga vilamu itu El?”, bisik Jenny padaku. Aku menggeleng, “Nggak Jen, tapi nggak tahu lagi kalau kamu nggak manggil aku tadi, mungkin lama lama dia bisa ngisengin aku”. Jenny tersenyum lega, dan aku berkata dalam hati, kalau nggak terlalu parah, mungkin lebih baik aku sembunyikan dari Jenny saja. Setelah menunjukkan toilet utama pada Jenny dan Jenny melihat lihat dalamnya, kami langsung kembali ke ruang tengah, memang Jenny cuma pura pura saja mau ke toilet.
Dan saat kami sudah ada di ruang tengah, kebetulan pak Basyir baru saja menaruh plastik yang berisi makanan kecil yang kemarin dibeli oleh Jenny. “Pak, sekalian tolong tutupkan bagasi mobilku ya, terima kasih”, aku sekalian minta tolong pak Basyir supaya menutupkan bagasi mobilku, jadi aku nggak perlu keluar lagi untuk melakukan hal itu, yang mana mungkin beresiko aku akan mengalami pelecehan oleh pak Basyir seperti tadi.
Lalu tanpa memperdulikan penjaga vilaku yang sudah keluar melakukan permintaanku,, aku memasukkan tasku ke dalam kamar, aku mulai bersenang senang dengan teman temanku setelah kami mengatur semua yang diperlukan, seperti memasukkan bahan untuk memasak ke dalam kulkas dan menaruh makan ringan di meja. Aku menyempatkan diri berganti baju santai, rasanya risih juga menjadi satu satunya yang memakai baju seragam sekolah di antara kami semua.
Kami semua berkumpul di ruang tengah ini, membicarakan rencana kegiatan kami hari ini. Dan sore ini kami berjalan jalan ke atas, menikmati beberapa makanan kecil di sekitar hotel Surya dan sekitarnya. Setelah matahari benar benar tenggelam, kami membeli sate dan bakso agak banyak untuk dibawa pulang ke vila. Sampai di vila, teman temanku segera berkumpul di meja makan, sedangkan aku ke belakang sebentar untuk mengambil piring dan sendok garpu yang diperlukan.
Saat aku menumpuk piring ke enam, pak Basyir sudah ada di sebelahku. “Non Liza, jangan lupa ya non, nanti malam temani bapak”, kata penjaga vilaku ini, dan lagi lagi ia meremasi pantatku. “Apa apaan sih pak? Kenapa aku harus menemani bapak?”, aku bertanya dengan ketus. “Daripada bapak yang menemani non Liza nanti malam, kan nggak enak sama teman teman non yang lain?”, kata pak Basyir dengan nada yang penuh kemenangan.
Aku tahu memang aku tak akan bisa lolos, tapi aku tak pernah menduga pak Basyir akan mengancamku seperti ini. Aku hanya bisa menahan kesal ketika ia menyambung, “Bapak tunggu non Liza sampai jam dua malam, kalau non Liza nggak datang untuk menemani saya, terpaksa saya yang akan menemani non ke kamar”. Lalu pak Basyir meninggalkanku, ia bahkan tak membantuku mengangkat piring piring dan sendok garpu ini ke dalam.
Aku sedikit menggigil, nanti malam harus menyerahkan diriku pada pak Basyir. Kutenangkan diri sebentar, lalu masuk membawa semua yang sudah kusiapkan ini. Tak perlu membawa gelas karena semua gelas disimpan di lemari yang ada di sebelah kulkas.
Setelah semuanya siap, kami semua segera makan malam, dan celoteh riang dari teman temanku membuatku ikut larut dalam suasana ceria ini. Lalu makan dan membawa semua piring kotor ke belakang, kami bergantian mandi membersihkan diri.
Kemudian kami semua selesai mandi dan berganti baju tidur, kami beristirahat di ruang tengah dan menonton DVD yang dibawa oleh Sherly. Kini sudah jam delapan malam, berarti enam jam lagi sebelum aku harus melayani bandot tua di belakang itu. Sedangkan aku sendiri sudah mengantuk, mungkin aku kecapaian setelah diperkosa oleh wali kelasku dan satpam sekolahku tadi siang, hingga tanpa sadar aku tertidur ketika teman temanku sedang asyik nonton DVD.
*****
“Eliza… bangun El”, sayup sayup aku mendengar suara Sherly. Kurasakan rambutku dibelai lembut oleh Sherly, hingga aku makin malas bangun, malah menyandarkan kepalaku di pundak Sherly. “El, pindah kamar yuk, masa kamu tidur di sini?”, Sherly mencoba membangunkanku. “Mmm…”, aku masih belum bangun benar dan menjawab sekenanya. Setelah terdiam beberapa saat, tiba tiba kurasakan tangan Sherly merayapi tubuhku, dan kemudian tangan itu sudah meremasi payudaraku dengan lembut.
“Oh.. Sheer..”, keluhku dengan suara pelan. Perlahan aku membuka mataku, dan begitu aku mengangkat kepalaku, Sherly segera memagut bibirku. Aku hanya pasrah saja mengikuti kemauan Sherly, tapi itu karena aku belum sadar benar dari tidurku. Begitu aku mulai sadar, aku terkejut dan mencoba melepaskan pagutan bibir Sherly dengan panik. Sherly yang mungkin terkejut dengan perubahan reaksiku yang tiba tiba ini, melepaskan pagutannya dan memandangku dengan penuh pertanyaan.
“Kenapa El?”, tanya Sherly. “Nanti ketahuan teman teman Sher”, jawabku pelan, walaupun nafasku mulai memburu. “Sher, nanti di kamar kan ada Bella, tolong kamu jangan begini ya Sher. Nanti kalau dia sampai tahu kita seperti ini, kan nggak enak, juga nanti kan bisa bisa dia cerita sama teman sekelasku yang lain”, aku mencoba memberikan pengertian pada Sherly. Untungnya Sherly mengangguk sambil tersenyum, dan berkata, “Iya nona cantik, tapi sekarang aku cium kamu satu kali dulu yah”.
Dan Sherly mencium bibirku dengan mesra sekali, membuatku lemas dan hanyut dalam ciumannya. Tak hanya mencium bibirku, Sherly kembali meremas kedua payudaraku, dan aku hanya bisa pasrah, tak ada lagi perlawanan dariku karena aku sudah amat terangsang. Perlahan aku mulai membalas ciuman Sherly, dan aku juga meremas payudaranya, ini adalah pertama kalinya aku meremas payudara seorang wanita. Sherly menatapku sayu, kelihatan sekali ia juga terangsang, pasrah saja ketika aku terus meremasi payudaranya yang rasanya begitu empuk tapi kenyal ini.
Yang terjadi kemudian, kami malah bergumul, saling memeluk dengan erat, dan yang pasti ciuman kami makin memanas. Tapi aku cepat menghentikan Sherly yang sudah menyusupkan tangannya di balik celana dalamku. “Sher.. jangan, nanti kita bisa ketahuan teman teman”, aku mencoba membujuk Sherly. Aku tahu aku pasti tak tahan untuk tidak melenguh jika Sherly mengaduk aduk liang vaginaku. Dan untungnya Sherly bisa mengerti, ia menarik keluar tangannya dari balik celana dalamku. “El.. tapi kapan kapan, aku boleh ya”, kata Sherly yang terus memandangku dengan sayu, hingga aku merasa jengah.
Aku mengangguk dengan tak yakin. Sherly kembali menciumi wajahku, bahkan berlanjut ke leherku. Aku harus menahan sekuat tenaga untuk tidak merintih. Entah berapa lama kami berdua larut dalam kemesraan yang seharusnya tak boleh terjadi ini. Kami terus saling memeluk, diam diam aku melihat jam dinding. kini sudah jam satu pagi, satu jam lagi sebelum aku harus ke tempat pak Basyir. Maka aku tahu aku harus segera mengajak Sherly untuk tidur sekarang juga, jadi nanti aku bisa mengendap keluar tanpa ketahuan olehnya saat aku harus ke kamar penjaga vilaku di luar sana.
“Sher, udahan yuk, kita tidur sekarang ya”, kataku pada Sherly, yang mengangguk sambil tersenyum, dan kami berdua segera melepaskan pelukan kami, lalu masuk ke dalam kamar. Bella sudah tertidur pulas di ranjangku, dan karena memang di tiap kamar ranjangnya cuma ada satu, maka kami berdua naik ke ranjang ini dengan pelan, karena tak enak kalau sampai membangunkan Bella. Bella sendiri tidur di pinggir. Sherly membaringkan tubuhnya di tengah ranjang, dan aku berbaring di sebelahnya.
Melihat Bella sudah tidur, Sherly memelukku, meremasi payudaraku dan menciumi rambutku. Aku hanya pasrah dan menggigit bibir menahan nikmat, tapi untungnya tak lama kemudian Sherly sudah tertidur. Lalu melihat jam, setengah jam lagi paling lambat, aku sudah harus ada di kamar pak Basyir, maka kuputuskan untuk ke sana sekarang saja. Kupindahkan tangan Sherly yang menindih payudaraku, dan pelan pelan aku akhirnya bisa melepaskan diriku dari pelukan Sherly.
Perlahan saya turun dari ranjang, dan dengan langkah yang kuatur perlahan sekali, aku membuka pintu kamarku dan setelah aku keluar kamar, kututup kembali pintu kamarku, dan semua itu kulakukan nyaris tanpa suara. Lalu keluar dari bangunan utama vilaku ini, menuju kamar penjaga vilaku yang mesum itu. Tanpa mengetuk pintu, saya langsung masuk ke dalam kamar pak Basyir. Buat apa juga bersopan sopan pada orang yang tak tahu diri seperti dia ini?
“Wah akhirnya non Liza datang juga, bapak sudah nggak sabar nih”, seru pak Basyir girang. Aku hanya diam, malas menanggapinya. Karena aku ingin semua ini cepat selesai, aku segera melepaskan semua pakaianku hingga aku telanjang bulat. Pak Basyir juga melakukan hal yang sama, dan sesaat kemudian aku sudah berbaring di tempat tidur pak Basyir, yang segera ikut naik dan menindih tubuhku. Ia menyibakkan rambutku sambil berkata, “Non Liza.. non cantik sekali”. Aku hanya diam saja tak perduli.
Lalu pak Basyir mulai mengecup bibirku, lalu berlanjut ke leherku dan kedua puting payudaraku. Aku tetap diam saja, menekan semua perasaanku supaya aku bisa menerima cumbuan dari orang yang umurnya sangat tua dibandingkan diriku ini. Dengan demikian aku sama sekali tak merasa terpaksa atau sedang diperkosa, bahkan perlahan aku bisa menikmati semua cumbuan ini. Setelah puas mencumbuiku, pak Basyir mempersiapkan diri untuk menyetubuhiku, kepala penisnya sudah menempel di bibir vaginaku. Perlahan, liang vaginaku terbelah oleh penis pak Basyir yang terus membenamkan penisnya dalam dalam.
“Ngghh..”, aku melenguh pelan, dan tubuhku sedikit menggeliat saat liang vaginaku menerima tusukan penis pak Basyir. Bandot tua ini terus memompa liang vaginaku dengan senyum kemenangan, sedangkan aku hanya bisa membuang muka, malu rasanya melihat penjaga vilaku sedang melecehkanku seperti sekarang ini. Tapi aku tak ada keinginan untuk melawan ataupun berontak, karena kini otot liang vaginaku mulai mengejang setelah diaduk aduk oleh penis pak Basyir, rasanya nikmat sekali.
“Oh… non Liza… memekmu memang enaak..”, erang pak Basyir yang makin cepat menggenjotku. Aku heran melihatnya seperti akan segera orgasme, tapi ini kesempatan buatku. Dari hanya pasrah, aku mulai menggerakkan pinggulku, menyambut tiap hunjaman penis pak Basyir pada liang vaginaku. “Nnggghh…”, aku melenguh keenakan, karena kurasakan liang vaginaku tertusuk sangat dalam oleh penis pak Basyir, sedangkan pak Basyir sendiri tak kuat lagi, tubuhnya mulai berkelojotan.
“Ohh… non Lizaaa…”, erang pak Basyir panjang, dan penisnya yang berkedut keras menyemprotkan cairan spermanya membasahi liang vaginaku, dan ia langsung ambruk menindihku. Aku belum orgasme, tapi aku memang sedang tak ingin. Kudorong tubuh pak Basyir yang masih menindihku hingga penisnya yang sudah loyo itu terlepas dari jepitan liang vaginaku. Ia terguling di sampingku, nafasnya tersengal sengal dan senyuman penuh kepuasan terukir di wajahnya yang sudah mulai penuh dengan keriput itu.
Aku beranjak duduk, sambil mengatur nafasku yang memburu. “Udah puas kan pak.. Liza kembali dulu”, kataku pada pak Basyir. “Non, masa cuma satu ronde? Bapak kan kangen sama memek non..”, protes pak Basyir, hingga aku yang sudah turun dari ranjang untuk memakai baju, terpaksa kembali duduk di ranjang. “Pak, jangan lama lama, satu ronde lagi saja ya.. Liza juga mau tidur”, aku mengingatkan pak Basyir agar jangan keterusan memperkosaku sampai pagi. “Iya non”, kata pak Basyir sambil mendekapku.
Aku membaringkan tubuhku di sebelah pak Basyir, dan membiarkan pak Basyir menyusu sepuasnya pada kedua payudaraku dengan bergantian. Aku memejamkan mataku, entah kenapa aku sudah mengantuk, padahal tadi aku sempat tertidur agak lama waktu bersama teman temanku menonton DVD di ruang tengah. Pak Basyir menindihku, menciumi wajahku, mataku, pipiku, dan melumat bibirku dengan begitu bernafsu. Aku agak heran, orang setua pak Basyir ini bagaimana masih memiliki gairah setinggi ini…
Kurasakan perlahan penis pak Basyir yang menempel di bawah perutku perlahan mulai membesar, kelihatannya pak Basyir sebentar lagi akan memulai ronde ke dua. Aku menggeliat sebentar supaya lebih nyaman sebelum tubuhku harus tersentak sentak lagi oleh tusukan penis pak Basyir pada liang vaginaku sebentar lagi. “Non Liza… memeknya non Liza bapak masukin lagi ya”, kata pak Basyir. Dengan ketus aku menjawab, “Biar Liza jawab jangan juga, tetep bapak masukin kan? Buat apa sih pak Basyir pakai nanya? Cepat masukin sana!”. Jengkel juga aku melihat penjaga vilaku yang pura pura lugu itu.
“Jangan marah non Liza, bapak kan permisi dulu supaya non Liza nggak kaget”, kata pak Basyir dengan cengengesan. Aku membuang mukaku mengarahkan pandanganku ke jendela, dan sesaat aku sempat agak panik ketika aku melihat bayangan berkelebat, dan aku tak bisa yakin apakah tadi itu bayangan seseorang yang berkelebat, atau hanya karena ada daun jatuh yang menutupi sinar lampu di halaman yang mengarah ke kamar ini. Tapi aku tak bisa berlama lama memikirkan hal itu, karena sesaat kemudian kurasakan liang vaginaku kembali terbelah oleh penis penjaga vilaku ini.
“Anngghh..”, aku melenguh pelan menahan nikmat, sekali ini pak Basyir dengan tepat mengaduk liang vaginaku di satu titik yang memberiku perasaan nikmat yang luar biasa. “Oooh..”, aku merintih keenakan, dan pak Basyir makin bersemangat memompa liang vaginaku. “Heghh.. Non Liza… enak yaa?”, lagi lagi pak Basyir melecehkanku saat aku menggeliat hebat, dan aku hanya bisa melenguh dan merintih, “Ngghhh… mmhhh.. iyah paak…”. Tubuhku terus tersentak sentak mengikuti irama genjotan pak Basyir, sampai akhirnya aku merasa selangkanganku seakan hendak meledak.
“Aaaaahhh… paaak… akuu… ouughh.. ngggghhhh…”, aku melenguh lenguh keenakan tak kuasa menahan terjangan badai orgasme yang melandaku, tubuhku menggeliat hebat, kedua betisku melejang lejang sementara kedua tanganku meremas sprei dengan kuat, yang merupakan ekspresiku untuk menahan nikmat, dan celakanya genjotan pak Basyir sama sekali tidak mereda. “Aaduuh paaak.. ampuuun…”, aku mengerang tak kuat menahan nikmat ini, tubuhku mengejang hebat sebelum perlahan aku mulai melemas tak berdaya di bawah keperkasaan penjaga vilaku ini setelah cairan cintaku membanjir.
“Non Liza.. enak ya?”, ledek pak Basyir. Aku sudah tak mampu menjawab, hanya mengangguk lemah. Tulangku rasanya copot semua, dan aku hanya bisa pasrah ketika pak Basyir terus melecehkanku. Betisku dijilatinya hingga aku kegelian, sementara penisnya yang masih keras itu tetap bersarang di dalam liang vaginaku dengan gerakan memompa yang perlahan. Entah mengapa di ronde ke dua ini pak Basyir malah makin perkasa, padahal di ronde pertama tadi ia sudah ejakulasi tanpa sempat membuat aku orgasme.
Aku merasa seolah olah sebuah batangan kayu atau besi sedang keluar masuk di liang vaginaku, yang membuatku tak bisa bergerak bebas. “Pak.. kok masih.. belum keluar sih? Liza capek nih..”, keluhku. “Bentar lagi non.. sabar ya…”, kata pak Basyir. Aku diam saja, dan pak Basyir terus melanjutkan memompa liang vaginaku. Ia terus memandangi wajahku, hingga aku menjadi jengah dan membuang muka, walaupun aku tak bisa kemana mana karena tubuhku masih berada di bawah tindihan pak Basyir.
Tak lama kemudian, kurasakan penis pak Basyir mulai berkedut di dalam sana, dan ia mengerang panjang menyebut namaku, “Non Lizaaaa… oooooh”. Semprotan sperma yang cukup banyak kembali membasahi rahimku. Aku menggeliat menahan nikmat, dan kemudian terkulai seiring ambruknya pak Basyir menindih tubuhku. Masih belum puas, pak Basyir melumat bibirku dan melesakkan lidahnya ke dalam mulutku, membuat aku kembali harus menelan air ludah pemerkosaku.
Setelah pak Basyir melepaskanku karena kehabisan nafas, ia ambruk terguling di sebelah kananku. Aku menarik lepas tanganku yang tertindih badannya yang penuh keringat. “Non Liza.. teman teman non Liza itu mau nggak main sama bapak?”, tanya pak Basyir. Aku langsung meradang dan membentak penjaga vilaku ini, “Pak, jangan macam macam ya! Belum cukup apa bapak memperkosa Liza seorang saja?”.
“Sabar non Liza, bapak kan cuma berandai andai. Misalnya, teman non Liza yang tadi siang ngeremasin susunya non”, kata pak Basyir sambil meremas payudaraku. Aku terkejut, ternyata tadi pak Basyir sempat mengintip kami, dan aku tahu yang ia bicarakan adalah Sherly. “Anaknya cakep, rambutnya indah, badannya seksi, bapak jadi pingin tahu apa dia juga sehebat non Liza kalau main sama bapak”, sambung pak Basyir.
Dadaku rasanya sesak, ingin rasanya aku menampar pak Basyir karena kata katanya yang amat merendahkanku itu. Tapi belum lagi aku berbuat apapun, pak Basyir sudah melanjutkan, “Yang tadi manggil manggil non di teras itu juga cakep, rambutnya panjang seperti punya non Liza, badannya juga kecil seperti non Liza. Mungkin memeknya juga enak seperti non Liza”, kata pak Basyir sambil menerawang, tapi tangannya tak berhenti meremasi payudaraku.
Yang barusan ia impikan adalah Jenny, dan aku semakin jengkel. “Pak Basyir, sebaiknya bapak bisa menjaga kelakuan bapak. Kalau sampai bapak berulah dan teman teman Liza tahu tentang hal ini, berarti nggak ada gunanya rahasia ini Liza jaga, toh Liza nanti akhirnya malu juga karena rahasia ini pasti tersebar ke mana mana. Dan karena sudah nggak ada bedanya lagi, saya pasti akan meminta papa untuk memecat bapak!”, aku mengancam dengan keras.
Mendengar ancamanku, pak Basyir keder juga, dan berkata, “Iya non Liza, bapak janji nggak akan mendekati kedua teman non Liza itu. Kalau yang tiga itu sih.. bapak nggak berminat, mereka kurang menarik buat bapak . Tapi kalau kedua teman non Liza sendiri yang mendekati bapak, non Liza jangan menyalahkan bapak lho..”. Mendengar kata kata pak Basyir, aku sedikit lega, walaupun agak muak juga.
“Pokoknya bapak jangan berani berani mendekati kedua teman Liza itu! Besok Liza mungkin agak terlambat datang ke sini!”. Aku lalu menepis tangan pak Basyir yang masih meremasi payudaraku, dan aku berdiri lalu mengenakan bra dan celana dalamku juga baju tidurku, dan aku keluar dari kamar tidur penjaga vilaku itu menuju kamarku sendiri. Aku tak langsung tidur, tapi aku mengambil baju tidur, bra dan celana dalamku yang baru, dan juga handuk kecilku, kemudian aku menuju ke dalam kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, aku kembali menelanjangi diriku, dan aku membersihkan liang vaginaku dari sperma penjaga vilaku itu. Sambil kusemprot dengan air shower, liang vaginaku kukorek sebisanya sambil menggigit bibir menahan nikmat, lalu kuberi cairan pembersih vagina hingga vaginaku terasa nyaman dan pasti berbau wangi ^^
Lalu tubuhku kuseka dengan handuk kecilku yang sudah kubasahi dengan air dan sedikit sabun. Aku membersihkan seluruh tubuhku dari keringat hasil persetubuhanku dengan pak Basyir tadi, dan tubuhku mulai terasa nyaman. Setelah aku mengeringkan tubuhku dan memakai bra, celana dalam dan baju tidurku yang baru, aku menyimpan semua pakaian kotorku dalam kantung plastik. Lalu aku segera masuk ke dalam kamar, dan aku berhasil membuka dan menutup pintu kamarku dengan nyaris tanpa suara.
Aku melihat Bella dan Sherly sudah tertidur lelap, dan dengan hati hati aku naik ke ranjang dan membaringkan diri di sebelah Sherly. Aku masuk ke dalam selimut untuk menghangatkan diri. Tiba tiba, seperti tadi, Sherly memelukku, erat sekali, hingga nafasku rasanya sesak. Dan herannya, nafas Sherly terasa berat, seperti orang yang sedang terangsang. Tapi aku tak berani banyak bergerak, dan akhirnya aku tertidur dengan nyaman dalam pelukan Sherly yang mungkin sedang bermimpi sesuatu ini…
*****
Aku masih amat mengantuk ketika tiba tiba aku mulai merasakan remasan lembut pada payudaraku yang kiri. “Eliza…”, aku mendengar bisikan Sherly. “Mmm…”, aku menjawab dengan mata terpejam dan masih ingin menikmati tidurku. “Kamu cantik…”, bisik Sherly mesra, kurasakan hembusan nafasnya yang hangat menerpa pipiku. Walaupun aku masih memejamkan mata, aku tersenyum malu. “Mmm… Thanks Sher..”, jawabku manja dan membenamkan mukaku di dada Sherly hingga menempel di tengah payudaranya.
“Bella sedang ke toilet kok El.. kamu tenang aja, Bella itu kalau ke toilet, lama..”, bisik Sherly sambil terus membelai rambutku. Aku sempat agak terkejut saat teringat di sini ada Bella. Tapi mendengar kata kata Sherly, aku terus memejamkan mata dan menggerak gerakkan kepalaku menikmati empuknya payudara Sherly. Ia tak mengenakan bra hingga aku bisa merasakan tonjolan puting payudaranya.
“Eliza.. kamu nakal.. auuw..”, keluh Sherly dengan manja ketika aku sengaja mencium tonjolan itu yang ada di balik baju tidur ini. “Biarin..”, jawabku dengan masih terkantuk kantuk. Ini memang sekalian untuk membalas perbuatan Sherly kemarin padaku. Aku kembali membenamkan mukaku di tengah payudara Sherly, rasanya begitu nyaman. Sherly mendekapku, dan kudengar detak jantungnya kencang sekali.
Tapi ketika kudengar suara pintu kamar mandi di belakang terbuka, aku tahu kalau aku dan Sherly harus segera menghentikan semua ini. “Sher.. Bella..”, kataku, yang langsung dijawab Sherly, “Iya, kita udahan dulu deh”. Sherly melepaskan pelukannya padaku, dan aku segera menaruh kepalaku di atas bantal. Aku membuka mata dan melihat jam, ternyata sudah jam setengah enam pagi. Masih sempat kudengar bisikan Sherly sebelum Bella masuk, “Nanti kita lanjutin ya Elizaku”. Aku tersenyum geli mendengarnya.
Pintu kamarku terbuka, dan Bella yang sudah memakai baju trainingnya, masuk sambil menyapa kami berdua, “Hai.. kalian udah bangun ya? Met pagi”. Kami berdua membalas sapaan Bella, dan beberapa menit kemudian aku membuka selimutku dan duduk sebentar sementara Sherly masih tiduran di dalam selimut. “Oh iya, yang di kamar sebelah udah pada bangun semua nggak ya? Kalau pagi pagi gini kita jalan jalan di luar, udaranya segar lho”, kataku.
Baru saja aku berkata begitu, pintu kamarku sudah terbuka dan Jenny, Rini dan Siany masuk bergabung bersama kami. Jenny langsung memegang tanganku dan menarikku berdiri, “Ayo El, katanya kemarin mau jalan jalan pagi ini?”. Aku tersenyum dan menjawab, “Baru saja aku mau ngecek kamu udah bangun belum Jen”. Jenny mencibir, “Yang baru bangun siapa coba? Aku Rini dan Siany sudah pakai baju training, Bella juga.. kamu dan Sherly ini aja yang.. hayooo… jangan jangan kalian…”.
Aku mencubit lengan Jenny, “Jangan jangan apa Jen?”. Jenny mengaduh dan minta ampun, “Ampun El.. nggak.. nggak kok”. Kami semua tertawa kecuali Jenny yang mengeluh manja, “El.. sakit nih.. kamu jahat”. Jenny mengusap usap lengannya yang tadi aku cubit, dan aku hanya mencibir, “Biarin”. Lalu aku segera ngambil pakaian olah ragaku dan aku sudah hendak pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian ketika Sherly berkata, “Mau ke mana El? Kalau ganti baju, di sini aja, kita kan sama sama cewek?”
Aku agak ragu, dan selagi aku tak tahu harus bagaimana, aku yang sudah hampir keluar pintu ini ditarik oleh Rini kembali ke tengah. “Iya El, ganti di sini juga kenapa?”, tanya Rini. Dengan ragu aku melepas baju tidurku, dan untungnya semuanya termasuk Sherly dan Jenny bersikap wajar saja sampai aku selesai memakai baju trainingku, bahkan Sherly juga langsung berganti pakaian. Dan akhirnya kami semua sudah siap, lalu keluar bersama sama, berjalan jalan di pagi hari menikmati udara segar di Tretes.
*****
Kami sudah berjalan jalan lebih dari setengah jam ketika aku melihat ada seorang wanita yang sedang berjongkok dan memijit mijit pergelangan kakinya. Kebetulan kami berjalan mendekati wanita itu, dan aku bermaksud menanyakan keadaannya. “Emm.. Eh? Cie.. “, aku menyapanya dengan ragu ragu, aku yakin pernah melihat wanita ini. “Hai.. Eliza kan? Lupa yaa.. aku Liana, pegawai di kantor pak Alan”, sapa wanita yang ternyata Cie Liana, pegawai papiku ini.
“Oowh iyaa.. hai Cie Liana… oh ya, kenapa kaki Cie Liana?”, aku bertanya pada Cie Liana. “Ooh nggak apa apa kok Eliza, cuma capai aja kok, thanks ya”, kata Cie Liana. “Oooh iya Cie, kenalkan ini teman temanku”, aku memperkenalkan semua temanku satu per satu. “Wah senang ya bisa kompak gini, iri deh Cie Cie sama kalian”, kata Cie Liana setelah selesai berkenalan dengan semua teman temanku.
Sherly memandang Cie Liana dengan kagum. Cie Liana, seorang wanita yang kira kira sudah berumur 26 tahun, wajahnya manis dan terutama matanya indah, pasti membuat pria tak akan bosan memandangi Cie Liana yang mengenakan baju training yang lumayan ketat hingga menonjolkan lekuk tubuhnya yang indah. Rambutnya yang panjang sampai ke siku tangannya itu diikat dengan model ekor kuda, membuat Cie Liana tampak semakin manis.
“Memangnya Cie Cie sendirian aja ke sini?”, tanya Sherly. “Iya nih, akhir minggu, refreshing dua hari satu malam, jadi Cie Cie nggak kepikiran untuk bawa teman”, kata Cie Liana.Kami sempat mengobrol sebentar, dan kemudian kami bersama Cie Liana melanjutkan jalan jalan pagi ini. Cie Liana cepat sekali akrab dengan kami semua, dan pada saat pulang, kami melewati vila yang ternyata tempat Cie Liana menginap, yang mana kebetulan ada di dekat vilaku.
“Ini vila tempat Cie Cie menginap, kalau kalian nggak buru buru, mampir sebentar ya?”, kata Cie Liana. “Nanti siang aja Cie, sekalian kami mau buat pudding siang nanti. Cie Cie mau kan?”, tanya Sherly. “Aduh makasih lho. Kalian menginap di mana?”, tanya Cie Liana. “Itu cie, dari sini kelihatan yang pintunya putih”, kataku sambil menunjuk ke pintu vilaku yang kelihatan dari sini. “Oh dekat ya.. ya udah deh, Cie Cie tunggu ya puddingnya”, kata Cie Liana sambil tersenyum manis sekali dan melambaikan tangannya.
Kami membalas lambaian tangannya dan kami segera kembali ke vila. kini matahari masih belum menyengat, dan terbayang betapa senangnya jika kami menceburkan diri ke kolam renang di vilaku. Begitu sampai, aku segera mengambil beras secukupnya dan melakukan semua yang diperlukan untuk memasak nasi pada rice cooker. Setelah semua beres, aku mengetuk pintu kamar, “Haloo, aku mau masuk”. Dan terdengar jawaban dari dalam, “Masuk aja El, nggak dikunci kok”.
Dan ketika aku masuk ke dalam kamar, aku terpukau melihat Sherly yang memakai pakaian renang minim, yang hanya menutup payudara dan selangkangannya saja. Kulihat tubuhnya yang putih mulus, begitu indah dan menggairahkan, perutnya yang begitu rata dan pinggangnya yang ramping, benar benar sempurna. Aku dikejutkan oleh Bella yang menggodaku, “El, kamu kok ngeliatin Sherly kayak gitu sih? Hayo naksir ya?”. Aku gelagapan dan mencoba membantah, “Nggak, aku.. aku..”.
Bella tertawa dan makin menggodaku, “Ya udah, aku keluar dulu deh El, jadi kamu bisa bermesraan sebentar dengan Sherly”. Ya ampun, aku tak tahu harus menjawab apa. Dan setelah Bella keluar dari kamar, aku langsung berganti pakaian renang. Begitu aku selesai memakai pakaian renangku, Sherly mendekatiku, lalu memelukku dengan erotis, dan ia berbisik mesra padaku, “Eliza.. hari ini kamu harus ma jadi milikku.. aku pasti dapatin kamu…”.
Aku tak bisa bereaksi apapun, dan aku makin lemas ketika Sherly memagut bibirku sambil mempererat pelukannya, dan kurasakan payudara itu menekan payudaraku dengan tepat, hingga aku merasa tersengat, aku hanya bisa pasrah dalam pelukan Sherly. Cumbuan bertubi tubi dari Sherly membuatku hampir tak bisa berpikir jernih, tapi aku sadar kalau ini terus berlanjut, kami bisa ketahuan oleh yang lain. Aku nggak tahu dengan Sherly, tapi aku tak bisa membiarkan teman temanku mengetahui kemesraan kami berdua yang tidak wajar ini.
“Sher… jangan sekarang Sher…”, aku mulai meronta perlahan dari dekapan Sherly. “Nanti ketahuan yang lain…”, keluhku tanpa daya ketika Sherly meremas kedua payudaraku begitu aku lepas dari dekapannya. Tepat ketika Sherly melepaskan remasannya pada payudaraku, pintu kamarku terbuka dan Jenny masuk dan memanggil kami berdua, “Ayo dong, kalian jangan pacaran melulu dong, nanti aja pacarannya kalo udah selesai renang”.
“Kamu ini Jen, awas ya kalau ketangkap”, aku langsung pura pura marah dan mengejar Jenny yang lari keluar sambil tertawa, dan aku terus mengejarnya sampai kami berdua mencebur ke kolam renang. Aku sudah tak berminat mengejar Jenny, air yang dingin ini sungguh menyegarkan dan aku berenang sepuasnya. Mereka berenang santai sambil terus berceloteh, hanya aku sendiri yang sibuk menyelam dan berenang sampai aku agak lelah.
“Eh bentar nih, aku mau minum dulu.. haus juga nih. Kalian juga mau kan? Aku bawain lima Aqua botol buat kalian ya”, kataku ketika aku merasa agak haus. “Iyaa. Thanks ya El”, kata mereka hampir berbarengan. Aku tersenyum, lalu naik dan masuk ke dalam ruang tengah untuk mengambil minuman, dan aku minum sampai hausku terpuaskan, aku langsung menghabiskan setengah botol air minum.
Aku mengambil lima botol air minum Aqua dari kulkas dan kutaruh di meja sebentar. Tepat ketika aku menutup pintu kulkas, tiba tiba sebuah tangan menerobos dari belakang melewati celah pahaku, kemudian dengan cepat tangan itu sudah mencengkeram selangkanganku. Aku baru akan bereaksi ketika mulutku sudah dibekap oleh tangan yang satunya lagi. Saya tahu ini pasti ulah pak Basyir, yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Tak berani banyak bergerak dengan lima botol Aqua yang kudekap dengan kedua tanganku, dan pak Basyir dengan leluasa meremasi daerah selangkanganku, dan menggunakan jarinya mencari cari dan menekan bibir vaginaku, sementara kurasakan hembusan nafas pak Basyir yang hangat menerpa leherku ketika ia sedang menciumi rambutku yang basah ini.
“Emmphh…”, aku menggeleng gelengkan kepalaku menahan nikmat yang melanda selangakanganku ketika jari tangan pak Basyir dengan tepat menusuk sebagian liang vaginaku. Tubuhku mengejang kaku, merespon tusukan tusukan kecil yang dilakukan pak Basyir. “Empph.. ahhh.. pak.. jangan sekarang…”, aku merintih dan memohon pak Basyir untuk menghentikan semua ini. “Non Liza…”, desah pak Basyir dengan nafas memburu dari belakangku. “Bapak kangen..”, sambung penjaga vilaku ini.
“Jangan gila pak, apa apaan sih, udah lepaskan Liza!”, bentakku pelan. Aku makin panik karena pak Basyir tak juga melepaskanku, ia malah membalikkan tubuhku menghadap ke arahnya, lalu tiba tiba ia berjongkok dan menjilati vaginaku yang tertutup oleh baju renangku ini. “Ohhh.. pak… jangan…”, keluhku tak berdaya, aku tak bisa berbuat apa apa karena aku harus mendekap botol botol Aqua ini, daripada nanti terjatuh dan mengundang perhatian yang lain.
“Oooohh…”, aku mendesah menahan nikmat ketika pak Basyir di bawah sana dengan rakus melumat vaginaku, untungnya baju renangku memang basah, jadi tak akan mencolok kalau bagian yang itu basah oleh ludah penjaga vilaku. Sesekali tubuhku tersentak, aku tak bisa berjalan mundur karena kedua pahaku dipeluk oleh pak Basyir. Aku benar benar tak berdaya dan sudah dalam kekuasaan penjaga vilaku ini, ketika tiba tiba kudengar Jenny memanggil manggilku.
“Elizaaa… kamu kok lama kenapaa? Aku bantuin deh ambil botolnya”, kata Jenny dengan suara yang cukup keras untuk terdengar sampai ke dalam sini. Seperti tersadar dan seolah mendapat kekuatan untuk melepaskan diri dari pak Basyir. Akupun meronta sekuatnya, dan dekapan pak Basyir pada kedua pahaku terlepas, demikian juga dengan lumatan pak Basyir pada vaginaku. Tubuhku masih bergetar menahan nikmat, sementara pak Basyir tak menunjukkan tanda tanda akan berhenti.
Dalam keadaan tersengal sengal, dengan kesal aku berkata pada pak Basyir dengan penuh ancaman, “Bapak jangan nggak tau aturan ya! Bisa nggak nunggu sampai nanti malam? Tolong pak Basyir jaga kelakuan bapak, jangan lupa diri pak, Liza ini masih anak majikan bapak! Kalau bapak sampai tega mempermalukan Liza di depan teman teman Liza, maka bagi Liza nggak ada yang perlu Liza pertimbangkan lagi dan jangan salahkan Liza kalo Liza minta papa untuk memecat pak Basyir!”
Pak Basyir keder juga, “Iya non.. saya ke belakang dulu.. maaf non, abis non ngangenin sih”. Wajahku panas mendengar kata kata pak Basyir. Untung ia sudah keluar ketika Jenny sampai ke dalam ruangan ini dan aku sendiri sudah berhasil mengatur nafasku dan bersikap sewajarnya. “El.. kamu digangguin bapak itu lagi?”, tanya Jenny dengan berbisik bisik. Aku mengangguk dan berkata, “Iya Jen, untung kamu tadi panggil panggil.. thanks ya Jen”.
Jenny memelukku dan berkata, “Tenang El, aku pasti jagain kamu”. Aku merasa nyaman dipeluk seperti ini, dan ketika Jenny melepaskan pelukannya aku memandangnya dengan penuh rasa terima kasih. Kami berbagi lima botol Aqua ini dan bersama sama membawa semuanya ke tempat kolam renang. Dan sebelum sinar matahari mulai menyengat, kami semua sudah puas berenang, dan kami bergantian mandi pagi sebelum melanjutkan acara kami hari ini.
Tentu saja kami makan pagi dulu, dan kali ini aku mengajak Jenny membantuku di dapur menghangatkan makanan kaleng yang kami bawa kemarin. Sebenarnya untuk menghangatkan makanan kaleng itu tak begitu repotnya, tapi aku meminta Jenny menemaniku daripada aku nanti harus pasrah dilecehkan pak Basyir. Sementara itu teman temanku yang lain menyiapkan piring dan sendok garpu di meja makan, dan kami makan pagi dalam suasana yang santai.
Setelah makan pagi selesai dan piring piring kotor sudah kami letakkan di belakang, kami melewatkan pagi ini dengan melakukan berbagai kegiatan yang menyenangkan, seperti main kartu, tebak tebakan, menyanyi bersama dan yang paling seru, menggosip ^^ dan tak terasa sekarang ini sudah jam dua belas siang. “Gimana, jadi bikin pudding?”, aku bertanya pada teman temanku. “Jadi dong!”, seru Jenny, dan Sherly langsung beranjak dari duduknya sambil berkata, “Jangan lupa, kita buat agak banyak, kan udah janji dengan Cie Liana tadi”.
“Iya, aku ingat kok Sher”, kataku padanya, dan kami semua segera sibuk. Selagi mereka mempersiapkan bahan bahan untuk membuat pudding, aku ditemani Jenny menyiapkan nasi dan makan siang kami. Setelah rice cooker menyala, aku dan Jenny bergabung membantu menyiapkan bahan bahan untuk membuat pudding, dan setelah semuanya siap, kami semua makan siang dulu, baru kemudian kegiatan pembuatan pudding itu kami lanjutkan.
Kami membuat banyak sekali, selain untuk diberikan pada Cie Liana, juga untuk kami makan malam nanti. Kami pasti begadang di malam terakhir liburan di vilaku, yang juga malam terakhir bagi pak Basyir untuk menikmati tubuhku dalam acara liburan ini. Aku mencoba tak mengingat ngingat keadaanku yang nanti harus melayani pak Basyir, kini aku hanya ingin bersenang senang dengan teman temanku.
Akhirnya beberapa cetakan pudding selesai, dan sambil menunggu pudding pudding itu mengeras, kami semua beristirahat sambil menonton DVD. Entah film drama apa yang ditonton mereka, aku tak berkonsentrasi dan lebih banyak melamun. Aku merenungi keadaan diriku. Terbersit perasaan sedih, mengapa aku bisa tertimpa berbagai perkosaan yang tak habis habisnya. Dan yang paling membuatku merasa kotor dan terhina, adalah gangbang sekaligus bukake yang menimpaku tiga minggu yang lalu.
Masih teringat jelas olehku, betapa sakitnya liang vaginaku, betapa lemasnya kedua kakiku hingga aku bahkan sempat tak punya tenaga hanya untuk berdiri saja. Bagaimanapun aku masih bersyukur, mereka tak menyekapku untuk dijadikan budak seks mereka. Kembali terngiang di telingaku suara suara melecehkan dari anak anak SMP dan STM yang menggagahiku waktu itu. Tak terasa air mataku menitik, sakit sekali hatiku rasanya jika teringat itu semua.
Aku terkejut sendiri, dan cepat cepat kuhapus air mataku yang sudah mengalir di pipi ini. Tapi lagi lagi aku terkejut, teman temanku semua juga sedang menangis. Ternyata film dari DVD yang sedang ditonton mereka ini adalah jenis cerita sedih, dan ini benar benar menyelamatkanku. Apa jadinya jika sekarang ini mereka sedang menonton film komedi dan aku malah menangis seperti ini?
Aku hanya mengarahkan pandanganku ke TV, tapi pikiranku terus melayang layang. Aku teringat saat terenggutnya keperawananku di ruang UKS, perkosaan yang akhirnya membuatku larut dan menyerahkan diri. Demikian juga halnya di rumah, berawal dari perkosaan, akhirnya aku memilih memberikan para pembantu dan sopirku kesempatan untuk menikmati tubuhku selagi situasi memungkinkan, dan yang terjadi akhir akhir ini aku malah amat menikmati persetubuhan dengan mereka bertiga.
Lalu buruh buruh Jenny yang juga pernah mendapat kesempatan untuk menikmati tubuhku, lalu penjaga vilaku ini yang berhasil membuatku memohon mohon untuk diantar menuju orgasme. Di sekolah baletku, aku harus memuaskan seorang tukang sapu, lalu aku merasakan berciuman dengan sesama wanita bersama Cie Elvira dan Sherly, lalu anak anak SMP dan STM yang membuatku menderita sengsara itu, dan kini aku kembali jatuh ke tangan pak Basyir. Lamunanku terhenti ketika Sherly mematikan DVD, dan aku tak perlu terlalu berusaha untuk tidak terlihat terkejut, karena semuanya masih sibuk menangis sedih.
“Sedih ya film ini…”, komentar Rini sambil menghapus air matanya. “Eh udah dong, masa kalian mau nangis terus? Gimana, ayo kita lihat pudingnya”, aku mencoba mencairkan suasana. “Iya nih”, kata Sherly sambil tersenyum, dan kami semua ke meja untuk melihat pudding kami. Ternyata sudah siap untuk dimakan walaupun agak hangat. “Ayo, aku temani kamu antar pudding itu El”, kata Sherly. “Iya boleh. Tapi kita cicipin dulu nih, ntar kuatirnya rasanya nggak enak”, kataku pada mereka.
“Waah.. enaknyaa”, kata Jenny, dan ia menyambung lagi, “Udah kasih aja, pasti Cie Cie itu senang. Aku tambahin dulu es buahnya ya”. Jenny menambahkan es buah dari kaleng yang sudah dingin sekali karena dimasukkan ke dalam kulkas sejak kemarin, dan setelah pudding buah ini siap, aku dan Sherly pergi ke vila tempat Cie Liana menginap tadi, meninggalkan Jenny dan yang lain yang memamerkan saat saat mereka menikmati es pudding itu. Entah apa yang mereka lakukan setelah ini sambil menunggu kami kembali, mungkin beristirahat, mungkin tidur siang atau sekedar tidur tiduran sambil mengobrol.
“El, Cie Liana itu cakep abis ya”, kata Sherly. “Iya Sher..”, aku menjawab sambil tersenyum. “Tapi kamu masih lebih cakep kok El”, goda Sherly sambil tersenyum nakal. “Ih.. apaan sih Sher.. udah ah, ini kita udah sampai”, kataku agak malu. Kami mencari cari bel, tapi tak menemukan. Dan ketika aku akan mengetuk, Sherly mendorong pintu vila ini dan ternyata terbuka, tak dikunci. “Gimana ini Sher?”, tanyaku pada Sherly, yang menjawab, “Ya kita masuk aja, toh maksud kita kan baik, mau ngasih pudding ini”.
Aku berpikir, benar juga kata Sherly. Maka aku dan Sherly masuk sekalian melihat lihat. Sempat aku memperhatikan jam tanganku, sudah jam tiga sore. Tiba tiba, aku menangkap suara desahan dan rintihan wanita, juga geraman dari pria, yang mungkin lebih dari satu. Aku tercekat, tanpa sadar aku hanya ikut ketika Sherly sudah menarik tanganku dan ia berhenti di pojok tembok. Sherly mulai mengintip halaman belakang vila ini. Aku mau tak mau mendengar suara desahan wanita yang makin jelas itu, dan aku berbisik, “Siapa Sher?”. Sherly menjawab dengan nada suara yang tak percaya, “Cie Liana.. El..!?”.
Jawaban Sherly itu amat mengejutkanku, dan aku memaksa diri untuk ikut mengintip. Aku tercekat ketika melihat Cie Liana sedang tiduran di kursi panjang, tubuhnya telanjang bulat dengan pakaian yang berserakan di teras belakang ini dengan vagina yang tertancap penis seorang laki laki yang penampilannya terlihat seperti penjaga vila di sini, sementara satu tangan Cie Liana sedang sibuk mengocok penis seorang laki laki yang aku rasa pernah melihatnya. Ya, laki laki itu adalah sopir Cie Liana.
Aku tertegun melihat pemandangan yang harusnya tak asing buatku, karena keadaanku memang tak berbeda dengan Cie Liana, menjadi pemuas nafsu seks penjaga vila, sopir, malah aku masih harus rela menjadi pemuas nafsu dari beberapa orang yang tidak sedikit jumlahnya. Cie Liana kelihatan seperti menderita ketika penis itu melesak dalam dalam pada liang vaginanya, tapi ketika penis itu ditarik sampai hampir keluar, aku merasa sepertinya kedua kaki Cie Liana menjepit pinggang laki laki itu seolah Cie Liana tak rela penis itu sampai keluar dari liang vaginanya.
“Ngghhh.. Aaaduuuh…”, kudengar lenguhan dan erangan Cie Liana ketika liang vaginanya diaduk aduk sampai pinggang Cie Liana terangkat angkat, dan aku bisa membayangkan bagaimana rasanya, karena aku sendiri sudah pernah mengalami yang seperti itu. Wajah Cie Liana yang mengekspresikan kesakitan saat liang vaginanya disodok dalam dalam membuatku kuatir. “Sher.. menurutmu, apa Cie Liana.. diperkosa?”, tanyaku dengan tak yakin.
“Ya nggak lah El, mana ada orang diperkosa tapi kakinya malah disilangkan melingkari pinggang pemerkosanya? Itu sih persetubuhan namanya”, jawab Sherly sambil terus melihat ke arah Cie Liana yang sedang tersentak sentak digenjot oleh laki laki itu. Mukaku rasanya panas, teringat aku sendiri sudah beberapa kali terlibat persetubuhan, yang pada awalnya selalu dimulai dari perkosaan, dan akhirnya aku harus larut dalam kenikmatan, malah kadang aku sampai mencari kenikmatanku sendiri.
Aku melihat Cie Liana yang sedang digenjot habis habisan tiba tiba menarik penis dari sopirnya yang sedang dikocok oleh tangan Cie Liana, kemudian Cie Liana melahap penis itu dan mengoralnya. Kini aku jadi yakin, kalaupun tadinya awalnya Cie Liana memang diperkosa, sejak Sherly dan aku melihat kejadian ini, keadaan Cie Liana pasti sudah mulai menikmati adukan pada liang vaginanya. Wajah Cie Liana yang mengekspresikan penderitaan itu besar kemungkinan karena penis dari laki laki yang mengaduk liang vagina Cie Liana itu begitu besar dan panjang.
“Ooooh… Bu Lianaaaa…”, erang sopirnya Liana itu, dan Cie Liana melepaskan kulumannya pada penis sopirnya yang langsung mengocok penisnya sendiri dan sesaat kemudian, spermanya berhamburan menyemprot wajah Cie Liana, sebagian semprotan itu mengenai rambutnya juga. Dan kini ganti Cie Liana yang melenguh lenguh, “Nggghh… ngghhh… aduuhhh…”. Tubuh Cie Liana berkelojotan, untung sopirnya menahan dan menjaga gerakan tubuh Cie Liana yang mungkin sekali sedang mengalami orgasmenya itu, hingga tak sampai terjatuh dari kursi yang menopang tubuh Cie Liana itu.
Tak lama kemudian Cie Liana melemas bersamaan dengan suara geraman dari laki laki yang beruntung menikmati liang vagina dari Cie Liana itu. Laki laki itu lalu mencabut penisnya, lalu ia cepat cepat beranjak dan mengarahkan penisnya ke payudara Cie Liana sambil terus mengocok penisnya sendiri. “Aaah…”, erang laki laki itu saat spermanya tersemprotkan keluar membasahi kedua payudara Cie Liana.
Kini kedua pejantan yang menggagahi Cie Liana sudah terpuaskan, dan Cie Liana sendiri kelihatan lemas, wajah dan payudaranya belepotan sperma dan nafasnya tersengal sengal. Nampak laki laki yang baru menyetubuhi Cie Liana itu mengelus-elus kedua payudara Cie Liana sehingga cipratan spermanya merata. Sesaat kemudian bibir Cie Liana dipagut dengan buas oleh sopirnya. “Mmmphhh… mmmm…”, Cie Liana membalas pagutan itu dan melingkarkan kedua tangannya di leher sopirnya, mesra sekali kelihatannya.
Sungguh pemandangan yang indah dan sexy, juga kontras sekali. Cie Liana yang begitu cantik dan berkulit putih mulus bak pualam, saling berpagut begitu ganas dengan sopirnya yang berwajah amburadul dengan kulitnya yang hitam tak terawat, dan kulit dari kedua insan yang berasal dari strata sosial yang amat berbeda itu, bergesekan dan menyatu dengan indahnya. Pemandangan ini membuatku jantungku berdegup kencang dan aku mati matian berusaha menekan gairahku yang meninggi ini.
Tanpa kusadari tiba tiba Sherly sudah mendekapku dari belakang dan menarikku ke arah tembok. Sherly dengan kejam merangsangku habis habisan di saat aku sendiri sudah terangsang melihat live show persetubuhan tadi. Aku tak berani bersuara, hanya bisa diam tak tahu harus berbuat apa selain mati matian menahan diriku untuk tidak mendesah. Aku menggigit bibir dan menggeliat menahan nikmat ketika tangan Sherly yang kiri sudah menyusup pada bagian depan celana dalamku, dan jari tangannya dengan cepat menemukan liang vaginaku, lalu menusuk dan mengaduk aduk liang vaginaku.
Tangan kanan Sherly sendiri bergantian meremasi kedua payudaraku, dan aku mulai mengejang akibat terangsang begitu hebat. “Nggh.. Sheer..”, aku melenguh perlahan dan mencoba melepaskan diriku dari dekapan Sherly. Setelah berhasil, dengan nafas yang memburu aku cepat ke arah pintu masuk vila ini, dan Sherly mengikutiku ke sana. “Kenapa El?”, tanya Sherly dengan senyum menggoda. Aku tersenyum malu tak kuat membalas tatapan Sherly yang sayu dan penuh hasrat padaku.
“Sher… kita jangan begini di sini, nanti kalau ketahuan Cie Liana kan nggak enak”, aku berbisik lembut, mencoba memberi pengertian pada Sherly. “Ya udah, kamu sendiri yang bilang kita jangan begini di sini, artinya nanti ditempat lain yang memungkinkan, kamu harus mau. Pokoknya hari ini kamu harus jadi milikku, Eliza”, jawab Sherly dengan mesra. Aku tak tahu harus menjawab apa, malu sekali rasanya, dan aku hanya bisa menunduk malu seperti ada seseorang yang mengajakku untuk menikah saja.
“Gimana ini El, masa kita mau menunggu Cie Liana dan mereka itu bermain satu ronde lagi?”, tanya Sherly. Aku sendiri juga bingung, dan tiba tiba Sherly sudah berseru dengan suara keras, “Permisii.. Cie Liana, aku Sherly yang tadi Cie, lagi sama Eliza nih..”. Dan terdengan suara Cie Liana dari halaman belakang tadi, “Iyaaa.. tunggu bentar di sana ya, Cie Cie bentar lagi keluar”. Aku dan Sherly saling berpandangan, seolah bersepakat untuk pura pura tak terjadi apa apa.
Tak lama kemudian Cie Liana menemui kami, dengan pakaian yang terpasang lengkap dan cukup rapi, hanya saja agak kusut di sana sini. Wajah Cie Liana merah sekali dan tubuhnya berkeringat cukup banyak seperti orang yang baru berolahraga cukup berat. Rambutnya yang tadi diikat itu kini dibiarkan bebas tergerai, indah sekali rambut Cie Liana itu dengan highlight di beberapa bagian, hingga Cie Liana terlihat semakin cantik, dan aku terus memandangi Cie Liana dengan terpukau.
Tapi aku agak terkejut ketika aku melihat sedikit bekas sperma pada bagian atas rambut Cie Liana, yang tadi disemprotkan oleh sopirnya itu. Dan sekilas aku juga bisa melihat beberapa warna merah bekas cupangan di bagian leher Cie Liana dari sela sela rambutnya, membuatku menahan nafas dan berusaha seolah olah aku tak melihat apapun. Aku juga berharap Sherly tak membahas apa yang kami lihat tadi saat kami sempat mengintip tadi, dan tampaknya Sherly memang belum cukup gila untuk melakukan itu.
“Hai.. kalian…?”, tanya Cie Liana dengan ragu. “Ya Cie Liana, lupa ya? Tadi kami kan janji mau bawain Cie Liana pudding?”, goda Sherly. “Oh iya yaa.. ayo masuk”, kata Cie Liana mengajak kami mampir sebentar. “Aduh, sorry ya Cie, aku dan Eliza udah ditungguin yang lain, kami lagi akan mengadakan game nih.. Cie Cie mau ikut?”, kata Sherly.
“Oh, jangan deh Sherly, nanti Cie Cie malah menggangu saja. Lagipula Cie Cie mau istirahat nih”, tolak Cie Liana dengan halus. Aku agak heran tentang game yang Sherly maksud, tapi aku tahu aku tak boleh membuat suasana menjadi canggung, maka aku mengikuti kemauan Sherly dan tersenyum pada Cie Liana.
“Ini Cie, puddingnya”, aku memberikan pudding buatan kami ini. “Ya udah kalo gitu, thanks ya puddingnya. Mmm, Eliza, tempatnya pudding ini, Cie Cie pindah sekarang, atau besok Cie Cie titipkan ke pak Alan?”, tanya Cie Liana. “Oh nggak usah repot repot Cie, besok aja titipkan papiku”, jawabku. Cie Liana mengangguk dan berkata, “Thanks ya pudingnya.. aduh ngerepotin deh… dan aduh.. kelihatannya enak nih, kalian buat sendiri ya? Wah kapan kapan Cie Cie mesti belajar sama kalian nih!”.
Aku dan Sherly tersenyum mendengar pujian Cie Liana. “Ya Cie Liana, belum dicoba kok udah bilang keliatannya enak… ntar nyesel lho udah berharap harap, nggak tahunya puddingnya kurang enak”, kata Sherly dan Cie Liana tertawa, sungguh cantik sekali Cie Liana waktu tertawa seperti ini. “Ah kamu itu ada ada aja, Cie Cie ini udah senang sekali dikasih pudding gini”, kata Cie Liana. Kami semua tersenyum, dan Sherly berpamitan pada Cie Liana, “Ya udah, kami pamit dulu Cie, sampai ketemu lagi ya”. Setelah aku juga berpamitan, kami segera keluar dari vila tempat Cie Liana ini dan kembali ke vilaku.
Di tengah perjalanan, aku merasa seperti disambar petir ketika aku mendengar bisikan Sherly, “El, kamu kok sampai seperti orang bingung gitu sih waktu tadi lihat Cie Liana digituin sama penjaga vilanya? Bukannya, tadi malam kamu sendiri juga bersenang senang dengan penjaga vilamu? Dan dari percakapan kalian, aku yakin sekali kalau tadi malam itu bukan pertama kalinya kamu menyerahkan dirimu kepada penjaga vilamu, El”.
“Hah? Kamu ngomong apa sih Sher?”, aku tergagap dan mencoba mengelak. “El, aku tahu kok, penjaga vilamu itu nyebutin aku waktu dia berkata, seperti teman non Liza yang tadi siang ngeremasin susunya non”, kata Sherly dengan senyuman yang bukan merupakan senyuman kemenangan, sinis ataupun dingin, tapi senyuman itu begitu penuh hasrat. Dan aku langsung lemas, tak tahu apa yang harus kulakukan. Rahasia ini sudah terbongkar, bukan karena kesalahan pak Basyir, melainkan karena Sherly sendiri yang tahu. Rupanya bayangan yang kemarin kulihat sekelebat itu memang bayangan orang, yaitu Sherly.
“Sher.. siapa lagi yang tahu tentang ini?”, aku bertanya dengan panik. “Jangan kuatir nona cantik, aku nggak ngasih tahu siapa siapa kok, dan waktu itu yang mengintip cuma aku sendiri. Yah sebenarnya kemarin, aku ingin dapatin kamu El. Waktu kamu keluar dari kamar, aku kira kamu ke toilet, dan aku kira aku bisa dapatin kamu di sana. Tapi tak tahunya, kamu bukannya ke toilet, malah ke kamar penjaga vilamu. Ya aku jadi ingin tahu, apa yang kamu lakukan di dalam sana”, kata Sherly panjang lebar.
Aku makin terpojok. Masih untung, setidaknya cuma Sherly sendiri yang tahu sekarang ini. “Sher.. jangan bilang yang lain ya, please..”, aku memohon pada Sherly. Dengan tersenyum geli, Sherly berkata, “Aduh Eliza.. ngapain juga aku ngomongin ke yang lain.. kita ini sama sama udah nggak suci, buat apa aku harus merusak nama baikmu… kalau kamu mau pun, kamu harusnya juga udah cerita cerita tentang keadaan kosku yang rusak, yang kamu pasti bisa menduga duga dari kunjunganmu yang terakhir itu. Nah, meskipun sama sama nggak suci, tapi aku yakin kita sama sama nggak ember, jadi kamu tenang aja ya”.
Aku sedikit lega. Sherly kemudian mendekat dan berbisik di telingaku dengan mesra, “Tapi nanti, kamu mandi sama aku ya El.. aku ingin kamu…”. Aku mengangguk lemah dan menggigit bibir dengan senyum menahan malu. Sesampai di vila, aku masuk ke dalam kamar diikuti Sherly, dan aku tak menemukan Bella. Tapi aku mendengar suara ribut yang amat riang dari kamar seberang, dan ketika aku melihat toilet, ternyata kosong. Dan terdengar tawa dari Bella dari kamar seberang, menandakan ia sedang ada di dalam sana.
“El, kalo gitu, kita mandi sekarang aja..”, kata Sherly senang. Dengan perasaan tak karuan, aku mengambil baju ganti dan handuk, dan Sherly juga melakukan yang sama. Lalu kami berdua masuk bersama ke dalam kamar mandi, dan setelah pintu tertutup dan terkunci rapat, juga baju ganti dah handuk kami tergantung di tembok, dengan sangat bernafsu Sherly menyergapku, dan mencumbuiku. Aku memejamkan mata berusaha membiasakan diri, karena aku tahu pasti, ini bukan untuk yang terakhir kalinya aku harus bercumbu dengan Sherly.
Perlahan aku membalas cumbuan Sherly, yang makin membakar nafsu temanku ini. Tak lama kemudian Sherly sudah melucuti bajuku, dan aku sendiri mencoba melakukan yang sama walaupun agak canggung. Setelah kami berdua telanjang bulat, kami kembali berpelukan dan saling memagut bibir dengan ganas. Aku sendiri sudah mulai dalam keadaan terbakar nafsu, lidahku kulesakkan ke dalam mulut Sherly dan saling bertaut dengan lidahnya di dalam sana sampai kami saling melepaskan diri karena kehabisan nafas.
“El, aku tahu kok, penjaga vilamu itu bilang kalau aku dan Jenny yang mau sama dia, kamu nggak boleh menyalahkan dia”, kata Sherly. Aku teringat betul, pak Basyir memang sempat berkata seperti itu. “Dan penjaga vilamu itu benar El, kamu nggak boleh nyalahin dia, kalau aku yang deketin dia”, kata Sherly, membuatku tak percaya dengan pendengaranku sendiri. “Hah? Kamu gila ya Sher? Kamu…?”, aku memandangi Sherly mencoba memastikan temanku ini sedang bercanda atau tidak.
“Abisnya, waktu itu aku lihat walaupun penjaga vilamu itu sudah tua, tapi kemarin dia begitu perkasa dan bisa membuat kamu orgasme sampai kamu kelihatan nggak kuat nggak kuat gitu El. Aku jadi kepingin ngerasain kenikmatan yang sampai seperti itu”, kata Sherly, membuatku ternganga. “Tenang aja Sher, kita udah sama sama nggak virgin kok”, bisik Sherly sambil menusukkan satu jarinya pada liang vaginaku dan menggerak gerakkan jari itu dengan lembut, namun seperti mengorek seluruh dinding vaginaku.
“Nggghhh..”, aku melenguh dan menggeliat, perasaanku sangat tersengat, baik oleh rangsangan fisik yang baru saja dilakukan Sherly dengan menusuk liang vaginaku menggunakan jarinya, juga oleh perkataan Sherly tadi tentang keadaanku kemarin ketika aku tak berdaya di bawah keperkasaan pak Basyir, juga masalah kami berdua sudah sama sama sudah nggak virgin. Dan aku jadi membayangkan bagaimana beruntungnya pak Basyir yang akan mendapatkan Sherly dan aku di malam nanti, yang entah kenapa membuatku makin bergairah.
Aku balas menusuk liang vagina Sherly dengan jariku, dan sesaat berikutnya bibir kami kembali saling berpagut. Puting payudara kami saling menempel, dan perlahan kami menurunkan badan dan tiduran di lantai kamar mandi sambil terus bergumul. Aku membiarkan Sherly berbuat sesuka hatinya padaku. Pagutan bibir kami terlepas, dan aku hanya bisa menggigit bibir dan menggeliat pelan menahan nikmat ketika Sherly mulai mencucup puting payudaraku.
Rambutku basah oleh air yang membasahi lantai kamar mandi ini. Sherly memandangku dengan penuh nafsu sambil berbisik, “Kamu sexy abis El kalau rambutmu basah gini”. Lalu dengan sangat bernafsu Sherly menciumi seluruh wajahku sementara kedua pergelangan tanganku yang sudah direntangkan lebar lebar ini dicengkeram erat oleh Sherly seolah olah ia sedang memperkosaku. Perasaan tak berdaya karena aku tak bisa menggerakkan kedua tanganku sementara ada Sherly yang terus mencumbuiku, membuatku dalam keadaan terangsang hebat.
“Sher…”, keluhku. “Iya.. El..?”, tanya Sherly dengan suara yang menggigil layaknya orang terbakar nafsu. “Masukin… Sher..”, aku memohon. “Iya..”, kata Sherly sambil memagut bibirku, dan tangan kanannya melepas cengkeramannya pada pergelangan tangan kiriku, lalu Sherly mengarahkan tangannya ke selangkanganku.
Awalnya Sherly mengaduk aduk liang vaginaku hanya menggunakan satu jari, dan itu sudah cukup untuk membuatku terbeliak dan mengerang menahan nikmat. Kini satu lagi jari Sherly melesak masuk menguak liang vaginaku, hingga tubuhku yang tertindih tubuh Sherly ini mengejang hebat. Cerita dewasa ini di upload oleh situs ngocoks.com
“Aaaangghh..”, aku mengerang ketika Sherly memainkan dua jari tangannya di dalam liang vaginaku. Aku merasa seolah olah liang vaginaku sedang diserang dua penis kecil, yang mengaduk aduk dinding liang vaginaku kesana kemari, dan aku terus menggeliat keenakan. “Sheer… am..puuun…”, aku orgasme dengan hebat, rasanya cairan cintaku keluar dengan sangat banyak. Sherly tiba tiba beranjak melepaskan tindihannya pada tubuhku, dan ia segera mencari liang vaginaku.
“Auuuughh.. Sheeer… aaaahhh… nggghhhh”, aku melenguh sejadi jadinya ketika Sherly mencucup bibir vaginaku, ia menyedot semua cairan cintaku. Sedangkan tubuhku terus mengejang dan menggeliat sampai akhirnya melemas. Aku benar benar kelelahan, kini aku sudah tak berdaya, nafasku tinggal satu satu. “Sher… udah dulu.. nggak kuat Sher..”, aku memohon. “Mmmm…”, guman Sherly, tapi sepertinya ia mengabulkan permohonanku, dan berbaring di sampingku sambil memelukku.
“El.. kapan kapan kamu ke kosku.. nginap yah… kita lanjutin sampai puas…”, kata Sherly. Aku hanya mengangguk pasrah sambil beringsut, aku meletakkan kepalaku di atas payudaranya Sherly, menikmati keempukannya. Sherly membelai rambutku, dan aku terbuai dalam kenikmatan ini, rasanya aku ingin sekali tidur dalam keadaan seperti ini. Gesekan antara pipiku dan puting payudara Sherly membuat gairahku bangkit, aku mencium dan mencucup puting payudaranya Sherly walau dengan agak canggung.
Sherly menggeliat dan mengeluh, “Auuw.. El.. kamu nakal…”. Aku tersenyum geli dan terus mencucup puting payudara itu sepuasnya. Kini ganti Sherly yang terus menggeliat seperti cacing kepanasan. “Ngghhh.. aduh Eel..”, keluh Sherly. Aku tak perduli, tenagaku sudah mulai kembali dan kini saatnya aku yang bersenang senang.
Perlahan kumasukkan jari telunjukku dari tanganku yang kanan ke dalam liang vagina Sherly sambil menatap wajahnya untuk melihat reaksinya. Sherly menatapku sayu dan penuh penyerahan, membuatku sedikit merasa canggung dan jantungku berdegup kencang. aku belum terlalu terbiasa dengan semua ini, dimana aku sampai seintim ini dengan sesame wanita.
Jariku benar benar terbenam dalam liang vagina seorang wanita, dan kurasakan denyutan yang begitu sexy, aku membayangkan bagaimana perasaan para laki laki yang pernah membenamkan penis mereka pada liang vaginaku. Ia mengejang perlahan selama jari tanganku terus melesak ke dalam liang vaginanya yang terasa begitu hangat dan basah oleh cairan cintanya.
Perlahan, jari tengahku kulesakkan ke dalam liang vagina Sherly, membuat ia terbeliak menahan nikmat selama proses tenggelamnya jariku yang kedua ini ke dalam liang vaginanya. “El… aduuuuh…”, keluh Sherly, tubuhnya menggeliat kaku, sementara tangan kirinya mencoba menyingkirkan tanganku yang sedang mengantarnya menunju kenikmatan, dan tak berhasil sama sekali karena tenaga Sherly sudah tidak ada, tubuhnya sudah di luar kuasanya sendiri.
Aku mengerti sekali keadaan Sherly, sekarang ini ia dalam situasi yang sama seperti aku jika liang vaginaku sedang diaduk aduk hingga aku kehilangan semua tenaga untuk meronta, hanya bisa menggeliat mengikuti adukan pada liang vaginaku.. Tangan kanan Sherly tak bisa terlalu ia gerakkan karena tertindih badanku. Dan tangan kiri Sherly terlalu lemah untuk menyingkirkan tanganku. Aku sudah berkuasa…
Bersambung…