Cerita Masa Ujian Semester – Perempuan yang sudah lama kusukai bernama Tania, ia adalah teman kuliahku. Orangnya ramah, sangat enerjik, dan bisa dibilang tomboy. Ia adalah salah satu di antara empat orang teman dekatku di kampus, yang lain adalah Galih (si anak orang kaya), Rian (si gendut), dan Santi (teman akrab Tania yang kemana-mana selalu bersama).
Sementara namaku adalah Adi, seorang lelaki 20 tahun biasa-biasa saja, yang paling pemalu di antara kami berlima. Pada malam ini, kami berempat janjian untuk bertemu di sebuah kafe di tengah kota untuk merayakan selesainya masa ujian semester dan tibanya masa liburan.
Aku datang ke kafe bersama dengan Gilang, menumpang di mobilnya. Bukan berarti aku tidak mau mengeluarkan uang untuk ongkos, hanya saja Gilang menawari aku untuk pergi bersamanya, jadi aku tak bisa menolak.
Ngocoks Tiba di kafe, Rian sudah memesan tempat. Ia duduk di salah satu sofa di pojok ruangan yang memang sudah disetting untuk empat orang. Mata Rian tak henti menatap monitor laptop di hadapannya, sehingga ia tak sadar kalau kami sudah ada di belakangnya.
“Hey!” Galih menepuk pundak Rian, membuat pria gemuk itu terhenyak kaget.
“Baru sendirian?” tanyaku sambil duduk.
“Iya nih. Parah dah, cuma gue aja yang nggak ngaret,” jawab Rian.
“Lah, Si Tania sama Santi belom dateng?” tanya Galih yang kemudian duduk di sebelah Rian, lalu melongok ke arah monitor laptop.
“Mana gue tau? Biasalah, cewek-cewek itu. Padahal tempat kost mereka paling deket dari sini,” jawab Rian.
Di samping laptop, terdapat sepiring roti bakar isi coklat keju yang tampak masih hangat. Tanpa minta izin, Galih segera mengambil sepotong roti dan melahapnya.
Rian menatap Galih sambil menyindir, tapi Galih hanya membalasnya dengan menaikkan alis. Selama setengah jam, kami mengobrol hal-hal ringan seperti film yang sedang diputar di bioskop dan game-game baru.
Saat kami masih asyik mengobrol, Tania dan Santi tiba di kafe. Tania datang mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih dengan logo The Rolling Stones di bagian dadanya. Untuk sekilas, perhatianku terhenti pada bagian itu.
Tidak, dia bukan wanita berdada besar seperti yang banyak dipikirkan lelaki hidung belang. Dadanya relatif kecil, namun tonjolan mungil dan menggemaskan itu terlihat samar-samar dari balik kaosnya, membuatku tak henti merasa penasaran.
Begitu pula dengan bokongnya. Bahkan pada saat ia memakai celana jeans ketat seperti sekarang pun, pantatnya cenderung rata. Ia memang kurus, tapi kakinya jenjang dan pinggangnya membentuk kurva yang menarik. Selain tentu saja, wajah dan senyumnya yang sangat manis.
“Guys, sori…, sori, tadi gue ada urusan sebentar,” ujar Tania sambil merapikan rambutnya yang lurus dan panjang sebahu.
“Iya, lagian tadi angkotnya ngetem lama banget,” tambah Santi. Santi memiliki wajah yang kurang menarik, badannya juga pendek dan agak gendut, tapi ia adalah orang yang sangat setia kawan, terutama pada Tania.
“Yaudah, duduk dulu. Nanti habis ini baru kita nonton,” ujar Galih.
Santi duduk di sebelah Galih, sementara Tania duduk tepat di sebelahku. Sudah tiga bulan ini aku merasakan gelora yang luar biasa terhadap Tania. Aku sendiri pun tidak mengerti, kenapa baru belakangan ini aku jatuh cinta kepadanya, padahal kami sudah saling kenal selama dua tahun lebih.
Tania meletakkan tas kecilnya di atas pangkuan sambil menyikut lenganku, lalu ia tersenyum manis. Gaya sapaannya yang seperti itu malah membuat jantungku berdetak semakin kencang.
“Rapi banget lo. Mau nonton apa kondangan?” sindir Tania sambil menunjuk kemeja formal yang kukenakan, lalu tertawa. Sebenarnya aku memakai kemeja ini karena pakaianku yang lain masih di laundry.
Kami berlima menghabiskan waktu di kafe sambil minum kopi dan makan kue-kue ringan. Banyak orang yang menjuluki kami sebagai Power Rangers, karena komposisi geng kami yang terdiri dari tiga pria dan dua wanita.
Bagiku, kalau memang itu benar, maka Galih adalah ranger merah, Rian adalah ranger hitam (karena kulitnya hitam), Santi adalah ranger kuning, Tania adalah ranger pink, sementara aku adalah ranger biru (karena seingatku ranger biru biasanya yang paling kalem dan pemalu).
Setelah selesai di kafe, kami pun segera beranjak ke bioskop yang letaknya tak jauh dari situ. Tiket sudah dibeli sebelumnya, sehingga kami tak perlu khawatir kehabisan tempat. Kebetulan saat kami datang filmnya sudah hampir diputar, sehingga kami segera masuk ke dalam studio tanpa menunggu lagi.
Tiket yang kubeli kemarin memiliki nomor 26, 27, 28, 29, dan 30; letaknya di pojok sebelah atas. Dan entah kenapa, mungkin ini memang sudah takdir, aku duduk bersebelahan dengan Tania. Aku duduk di kursi paling pojok, di sebelah kananku Tania, dan Santi di sebelahnya lagi.
“Anjrit, iklannya lama banget! Tau gini tadi mending gue beli popcorn dulu!” ujar Tania kesal.
“Lah, bukannya tadi kita bawa kacang atom ya?” ucap Santi sambil membuka restleting tasnya.
“Oiya, lupa gue!” Tania akhirnya menemukan sebungkus kacang atom dari tas Santi.
Tania langsung membuka bungkus kacang, meraup segenggam, lalu memasukkannya sekaligus ke dalam mulut.
“Di, mau?” ucap Tania padaku, mulutnya masih penuh dan terus mengunyah. Kupikir-pikir, cewek yang tidak anggun ini sepertinya tak pantas jadi ranger pink.
“Nanti aja deh, filmnya juga belum mulai,” ucapku.
“Yaudah, ntar kalau mau, bilang ya,” ucapnya.
Tak lama kemudian, film langsung dimulai dan lampu dimatikan. Film yang kami tonton adalah sebuah film misteri yang berjudul Fog Hill. Ceritanya tentang sekelompok orang yang tersesat di bukit misterius yang aneh. Selama setengah jam kami serius menonton dan tak banyak bicara, kecuali Tania dan Santi yang sesekali bergumam.
“Masih ada nggak kacangnya?” tanyaku pada Tania.
“Oh iya, masih ada nih, dikit lagi. Hehe,” ucap Tania sambil nyengir dan menyerahkan bungkusan kacang. Gila, kayanya dia lagi kelaparan, cepat amat makannya.
Aku mengambil segenggam kacang dan memasukkannya ke dalam mulut ketika adegan film yang menegangkan dimulai. Tokoh utama di film itu sedang dikejar-kejar oleh pembunuh kejam, dan ia harus bersembunyi demi keselamatan nyawanya.
Aku menyodorkan bungkus kacang ke arah Tania tanpa menolehkan wajahku dari film. Tania tidak langsung mengambil bungkus kacang itu, mungkin ia tidak ngeh karena gelap. Lalu aku majukan sedikit lagi tanganku dengan tujuan agar lebih dekat ke mukanya.
Namun tanpa sengaja, punggung tanganku malah menyentuh sesuatu yang aneh, sesuatu yang empuk dan agak kenyal. Entah karena sedang terfokus pada film atau apa, aku tidak langsung menarik tanganku dan malah menekan-nekan benda empuk itu dengan tangan yang sedang memegang bungkus kacang.
Baru beberapa detik kemudian aku sadar dan menoleh, dan pada saat itulah aku baru tahu kalau tanganku sedang menyentuh buah dada Tania yang mungil itu, meskipun terhalang kaos.
Nafasku tertahan dan rasa takut sekaligus malu memenuhi kepalaku. Di antara kegelapan bioskop, aku mencoba melihat ekspresi wajah Tania.
Ia sedang menatapku dengan tatapan yang canggung dan tampak seperti sedang menahan nafas. Oh tidak! Aku langsung menarik tanganku secara terburu-buru, akibatnya bungkus kacang itu malah jatuh dan menumpahkan sebagian isinya. Beberapa butir kacang berserakan di kolong kursi.
“Aduh! Maaf, maaf! Nggak sengaja!” ujarku panik. Entah aku minta maaf untuk kesalahan yang mana.
“Gapapa, santai aja kali, cuma dikit kok,” jawab Tania dengan kalimat yang kurasa agak ambigu. Ia mengucapkannya dengan senyum yang tampak dipaksakan. Mudah-mudahan ia tidak marah.
Setelah itu, sepanjang sisa film aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Pikiranku selalu tertuju pada benda empuk yang baru saja kusentuh tanpa sengaja. Sejujurnya, ini adalah pertama kalinya aku menyentuh buah dada perempuan dengan sefrontal itu. Yah, aku memang cowok yang agak kuper, jadi maklumi saja.
Dan sekarang penisku jadi sedikit tegang, membayangkan kalau seandainya aku bisa meremasnya tadi. Tapi di sisi lain, aku juga takut kalau Tania marah padaku, bisa saja ia mengira aku sengaja melakukannya.
Setelah selesai nonton, aku dan Tania tidak banyak bicara. Aku juga tidak berani mengajak bicara lebih dulu, karena aku sendiri masih merasa malu. Kami pulang dengan menumpang mobilnya Galih, aku duduk di sebelah depan, sementara Tania, Santi, dan Rian di kursi belakang.
Sesampainya di rumah, aku segera mengirim SMS ke ponsel Tania. Aku memang tidak berani meminta maaf secara langsung, dan aku juga tidak mau hubungan persahabatan kami jadi renggang gara-gara masalah kecil.
“Tan, sori ya yg tadi. Sumpah, gue ga sengaja,” ucapku dalam SMS.
Tak lama kemudian, ia membalas SMS-ku.
“Iya, gue tau kok. Cuma tadi gue speechless aja, kaget gue. Geli. :p “
Entah karena kalimat yang mana, penisku menjadi tegang lagi. Karena di rumah sendiri, aku tidak ragu-ragu untuk melakukan onani sambil memandangi foto Tania. Wajahnya, senyumnya, tubuhnya, rambutnya. Seandainya saja aku bisa mengulang kejadian tadi seratus kali. Oh, seandainya saja aku bisa bercinta dengannya.
***
Esok paginya, untuk memastikan bahwa hubunganku dengan Tania baik-baik saja, aku memberanikan diri mampir ke tempat kost Tania, dengan alasan ingin mengembalikan buku yang pernah kupinjam.
Aku mengetuk pintu kamarnya, lalu tak lama kemudian ia pun membuka pintu. Selama beberapa detik, kami bertatapan tanpa suara. Wajah manisnya tampak begitu alami karena ia tidak mengenakan make up. Ia memakai kaos putih polos dan celana legging warna hitam. Sepertinya ia sedang bermalas-malasan di kamar.
“Eh, Di? Kok nggak bilang mau kesini?” tanyanya sambil tersenyum. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat.
“Iya, gue kebetulan lewat sini dan inget mau ngembaliin buku,” ucapku canggung.
“Oh iya, yuk masuk dulu. Sori agak berantakan,” ucapnya sambil mempersilakan aku masuk ke dalam kamar.
Aku mengeluarkan buku dari dalam tas dan masuk ke dalam kamarnya. Meskipun ia bilang berantakan, tapi bagiku kamarnya tampak rapi. Ada boneka kucing cukup besar di sudut kamar, yang menandakan bahwa ia tidak setomboy yang orang pikir.
Tania mengambil buku yang aku berikan, lalu menyimpannya di dalam lemari. Ketika ia sedang menyimpan buku dan membelakangiku, timbul suatu keinginan yang amat besar untuk memeluknya dari belakang, lalu mencium lehernya, dan meremas buah dadanya.
Tapi tentu saja aku tidak berani melakukan hal itu. Aku sangat menghargai dia sebagai temanku, terlebih lagi aku menyukainya sebagai perempuan yang menyenangkan.
“Adi, lain kali lo kalau nonton di bioskop deket gue, hati-hati dong. Mentang-mentang gelap, lo seenaknya aja grepe-grepe gue. Pelecehan tau!”
Dadaku serasa tertusuk mendengar ucapannya yang tiba-tiba itu. Tapi kemudian ia menoleh ke arahku dan tertawa lepas.
“Haha. Becanda ih. Muka lo pucat banget sih?”
“Iya. Abisnya gue keasyikan nonton film, lagi seru-serunya. Murni kecelakan kok, Tan,” jawabku membela diri.
“Baru pertama kalinya ‘itu’ gue dipegang cowo. Kanget banget gue waktu itu,” ucapnya sambil tersenyum. Kok rasanya pembicaraan ini jadi agak gimana gitu.
Aku tahu, di luar sifatnya yang suka seenaknya, Tania adalah gadis yang baik-baik. Setidaknya ia bukan penganut pergaulan bebas seperti perempuan perkotaan yang lain. Tapi tetap saja, dia adalah perempuan dewasa yang tidak naif lagi.
“Apalagi gue, Tan,” ucapku menimpali.
Setelah itu kami berdua saling bertatapan, cukup lama, sampai akhirnya aku berpikir untuk segera pulang saja. Namun belum sempat aku pamit, Tania membuka mulutnya dan berbicara.
“ehm, Di….”
“Ya?” tanyaku.
“Ngg… gimana ya bilangnya… bingung,” Tania tersipu.
“Apaan sih?” ucapku, berlagak santai.
“Hmm… boleh nggak? Ngg…, tapi jangan bilang siapa-siapa, yah?”
“Maksudnya?”
“Lo janji dulu, jangan bilang siapa-siapa. Please…,” ucap Tania dengan senyum malu-malu.
“Iya, gue janji kok. Ada apa?”
Tania menunduk, kedua tangannya bertautan di belakang punggung, “Lo…, lo mau nggak megang ini gue lagi? Sejak semalem gue penasaran banget, pengen ngerasain. Bagian yang lo sentuh kemarin rasanya jadi gatel terus, gimana gitu.”
“Tan, lo nggak lagi ngerjain gue kan?” nafasku serasa berhenti selama beberapa detik, sementara penisku perlahan-lahan menegang.
“Terserah elo mau nganggepnya gimana. Gue malu banget sebenernya, tapi gue percaya sama lo,” ucap Tania sambil terus menunduk.
Aku mencubit pipiku, meyakinkan diriku sendiri bahwa ini bukan sekedar mimpi basah di tengah malam. Ini sungguhan. Terdengar konyol dan kekanak-kanakan memang, tapi aku kenal Tania, dia bisa saja seperti itu.
Mungkin ini hanyalah nafsu sesaatnya. Mungkin ia tak punya perasaan apa-apa padaku, dan dia, di luar dugaanku, mungkin memang agak naif dalam urusan semacam ini.
“Yaudah, gue cuma bercanda kok! Nggak juga nggak apa-apa. Tapi lo udah janji ya nggak akan bilang siapa-siapa,” ucap Tania tiba-tiba, sambil tertawa yang dipaksakan, tapi ada sorot kecewa dari matanya.
Aku tak tahan lagi, aku tak mau bersikap munafik. Aku langsung melangkah maju dan memeluk tubuh Tania. Tubuhnya yang langsing dan tinggi sekarang berada di dalam dekapanku.
Aku dapat merasakan kehangatannya, kelembutan dan kerapuhannya, begitu juga dengan wangi rambutnya yang membuatku melayang. Lalu kutatap matanya, dan kukecup bibirnya dengan lembut. Kecupan itu berubah jadi lumatan, lalu hisapan, bahkan sesekali ia memainkan lidahnya.
“Mmmhh…”
Hanya suara lenguhan pelan yang terdengar di antara kami. Bibirnya terasa manis dan lembut, seperti mengirimkan sensasi luar biasa di seluruh mulutku. Tak lama kemudian, ia memaksaku melepaskan ciuman.
“Bego dasar! Gue nggak minta dicium, tapi gue minta lo remesin toket gue!” ucapnya sambil menahan tawa.
Lalu kami berdua tertawa terbahak-bahak. Kedengaran seperti lelucon yang sangat konyol.
Aku duduk di atas kasurnya, “Tania, sini duduk, gue pangku.”
Tania melangkah sambil tersenyum malu-malu, lalu duduk di pangkuanku dengan posisi menghadap belakang. Aku dapat merasakan pinggul dan pahanya yang hanya dibalut legging tipis. Dan aku menduga ia juga bisa merasakan tonjolan penisku di pantatnya, tapi ia tak bilang apa-apa.
“Oh iya, Di. Lo jangan macem-macem ya. Kita masih tetep temenan, jadi lo jangan ngelakuin hal yang lebih ya,” ucap Tania.
“Iya, gue ngerti kok. Gue nggak akan ngelakuin yang nggak lo minta,”
Aku melingkarkan tanganku di pinggang Tania, lalu mulai meraba perutnya yang rata dari luar kaos.
“Perut lo six pack ya?” tanyaku, bercanda. Ia hanya tertawa.
Lalu rabaan kedua tanganku naik ke atas, ke arah dua tonjolan di dadanya, namun sebelum menyentuh bagian itu, segera kubelokkan ke arah ketiak.
“Duuh Adi… Please dong. Lo lebih suka megang ketek daripada toket ya?” Tania meledek.
“Haha. Iya, iya.”
Kugunakan jari-jemariku untuk menyentuh buah dada Tania, kutelusuri permukaanya, lalu kutekan-tekan sedikit. Rasanya lembut dan kenyal, jauh lebih intens dari yang aku rasakan waktu di bioskop. Dan ternyata ia tidak memakai bra, mungkin karena tadi sedang bersantai di kamar.
“Mmmh…,” Tania melenguh pelan, seperti ditahan.
Lalu kupijat lembut kedua payudaranya dari luar kaos. Kuremas-remas pelan. Ternyata ukurannya tidak sekecil yang terlihat dari luar kaos, bahkan gunungnya masih cukup memenuhi telapak tanganku.
Selain itu, bentuknya juga bulat dan kencang, sama sekali tidak kendor atau menggantung. Semakin lama pijatanku semakin kuat, kuremas dari bagian pangkal hingga ke putingnya. Samar-samar aku dapat merasakan putingnya yang sudah sangat keras. Langsung saja kuelus-elus menggunakan jari.
“Haaaah… Di, pelan-pelan dong,” ucap Tania dengan nafas yang penuh desahan.
Mendengar suara desahannya, penisku menjadi tegang dengan sempurna, mendesak ke arah pantat Tania.
“Gue nggak ngerti nih, rasanya gue udah gila deh. Bisa-bisanya sekarang toket gue diremes-remes sama sahabat gue sendiri…, dan sekarang, tongkol sahabat gue itu ngaceng di pantat gue,” ujar Tania di sela desahan nafasnya, dan berusaha untuk tertawa.
“Gue juga ngerasa ini bener-bener aneh,” ucapku sambil terus meremas buah dadanya.
“Iya, aneh. Tapi enak. Ahhh…,” Tania mendesah panjang ketika kuremas bagian putingnya.
Perlahan-lahan, Tania menggerakkan pinggulnya, memberikan gesekan pada penisku.
“Uhhh… gila, enak rasanya,” ujarku.
“Gue kasih bonus tuh dikit, hihi,” ucap Tania.
“Mau gue isep pake mulut ga?” tanyaku padanya. Sekarang rasa malu dan canggungku kepadanya sudah hilang entah kemana. Mungkin tenggelam di lautan nafsu.
“Mmmmh… Iyah… mau,” ucap Tania. Kemudian ia langsung berdiri dan membalikkan badan. Lalu ia duduk lagi di pangkuanku, kali ini saling berhadapan.
“Kaosnya buka dulu dong,” ucapku sambil menunjuk kaos putihnya yang sudah lecek di bagian dada.
“Nggak ah…! Nggak mau!” tolaknya sigap.
“Lah, katanya mau diisep?” tanyaku.
“Ya lo isep dari luar kaos aja, gimana?”
“Susah dong….”
“Pokoknya gue nggak mau buka baju, gue takut kebablasan ntar. Bahaya Di, kita kan cuma temenan. Lagian gue masih perawan gitu lho.” ceritasex.site
Dasar aneh, gumamku dalam hati. Namun aku tetap menghargainya, bisa begini saja sudah merupakan mukjizat bagiku. Langsung kudekatkan kepalaku ke arah dadanya, lalu kuciumi buah dadanya dari luar kaos. Kucoba untuk menghisapnya. Rasanya pahit, kaos ini rasanya tidak enak.
“Yaudah, gue kasih bonus lagi,” ucap Tania sambil menggoyangkan pinggulnya lagi. Kali ini penisku bergesek-gesekan dengan vaginanya secara tidak langsung. Rasanya membuatku kembali bergairah. Kugigit-gigit buah dadanya yang kanan, sementara yang kiri aku remas-remas.
“Mmmmhh… Di… this is… our dirty little secret,” ucap Tania.
Tiba-tiba saja ponsel Tania berdering. Merasa terganggu, aku menghentikan aktivitasku. Tania menoleh ke arah ponselnya, lalu segera meraihnya sambil tetap duduk di pangkuanku.
“Cuma SMS,” kata Tania.
“Siapa?” tanyaku.
“Dari Santi. Dia bilang… dia lagi di jalan mau ke sini, lima belas menit lagi sampe,” jawab Tania sambi mengerutkan dahi.
“Wah gawat, berarti kita harus udahan nih,” ucapku. Aku mulai panik, akan jadi bencana kalau sampai salah satu dari rangers lain mengetahui perbuatan kami.
“Sebentar, jangan dulu,” ucap Tania.
“Tapi sebentar lagi Santi mau kesini kan? Lo nggak mau kan kalau Santi sampe tau atau curiga?” tanyaku.
“Iya, gue ngerti kok. Tapi masih ada lima belas menit. Please,”
Tiba-tiba Tania menyentuh penisku dari luar celana, lalu membuka restletingnya. Ia menatapku dan tersenyum, “gue kocokin deh, yah?”
Aku tak sanggup menolak.
Bersambung…