Aku dan Tania akhirnya resmi menjadi TTM (Teman Tapi Mesum). Di kampus dan di depan teman-teman yang lain, kami bersikap normal seperti biasa. Ia masih akrab dengan Santi, meskipun kadang Santi suka menjadikan ‘ingus’ di boneka Tania sebagai lelucon di waktu bercanda.
Sejak saat itu ia jadi sering meledek Tania sebagai “anak ingusan” atau “cewek ingusan”. Untungnya ia tidak sadar bahwa lendir yang ia sentuh tanpa sengaja saat itu bukanlah ingus Tania, melainkan spermaku yang tidak sempat Tania bersihkan.
Namun ketika kami mendapatkan waktu untuk berduaan, hal-hal di luar aktivitas pertemanan sering terjadi. Ketika Tania sedang ‘pingin’, ia sering menelpon atau mengirim SMS dan mengajakku ketemuan, kadang di tempat kostnya, namun lebih sering di tempat kostku.
Lalu kami akan bercumbu untuk memuaskan hasrat masing-masing, walaupun hingga saat ini Tania masih menolak untuk melepaskan virginitasnya. Tapi di sisi lain, sewaktu aku yang sedang horni, kadang aku masih agak gengsi untuk meminta duluan. Untungnya Tania memahami hal itu.
“Di…, kalau misalnya lo lagi horni, lagi pengen banget and ga bisa ditahan, lo call gue aja ya. Kalau lagi ga sibuk pasti gue bantuin kok. Oke? Jangan malu-malu,” ucapnya, tiap kali aku selesai membuat dia orgasme dengan jilatan di daerah vagina.
Dengan dukungan seperti itu, aku pun memberanikan diri untuk meminta duluan. Pernah saat aku sedang di sela-sela kuliah, tiba-tiba saja penisku terasa tegang dan nafsuku jadi menggebu-gebu.
Aku tidak tahu kenapa, mungkin karena saat itu sedang hujan gerimis dan udara lumayan dingin. Aku jadi ingat pada Tania, lalu aku menelponnya, tapi tidak diangkat. Aku jadi heran, lalu aku kirimi dia SMS.
‘Tan,lo lg dmn?’
Aku sengaja mengonfirmasi dulu, tidak langsung to the point, sebab kalau hapenya sedang dipegang orang lain dan hubungan rahasia kami terbongkar, bisa berabe nanti.
Beberapa detik kemudian, Tania membalas:
‘Gw lg ada kuliah. Tunggu sbntar ya.’
Aku baru ingat kalau semester ini jadwal kuliah kami banyak yang tidak sama. Tania lebih pintar dariku, ia sudah mengambil mata kuliah untuk semester depan, sementara aku masih harus mengulang beberapa kuliah semester lalu.
Lima belas menit lamanya aku menunggu, akhirnya Tania balas menelponku.
“Halo, Di. Gue baru keluar kelas nih. Ada apa?” tanyanya santai.
“Nggg…. itu Tan…. habis ini lo ada jadwal lagi nggak? Gue….”
“Nggak ada kok, udah selesai semua. Lo lagi dimana? Ada apa sih?”
Seandainya saja saat itu aku dapat mengatakan bahwa aku mencintainya lebih dari sekedar teman mesum, bahwa aku memikirkannya lebih dari sekedar nafsu seks. Tapi aku tak bisa mengatakan itu. Aku sadar hubungan di antara kami ada di posisi apa. “Friend with benefit”, begitu kata film-film Hollywood.
“Gue lagi di teras gedung E. Gue… g-gue butuh bantuan lo nih sekarang…,” ucapku pelan.
Di luar dugaan, Tania malah tertawa terbahak-bahak, “Hahahaha… ngomong lo kaya yang mau nembak gue aja….! Pake gagap segala.”
Teggorokanku terasa mampat seketika. Lalu Tania melanjutkan ucapannya.
“Ngerti, ngerti, gue ngerti kok. Tenang, gue lagi luang sekarang. Gue samperin ke sana ya?”
“Oke….”
Aku menunggu di sebuah kursi panjang yang kebetulan sedang kosong. Mahasiswa yang lain mungkin sudah pulang atau ada di dalam kelas. Geng Power Rangers selain kami berdua juga kalau tidak salah sedang ada kesibukan sendiri-sendiri.
Tania muncul di seberang sana. Ia berlari kecil sambil menutupi kepalanya dengan tas, untuk menghindari gerimis. Saat ia akhirnya tiba di hadapanku, baju kemeja kotak-kotak yang ia kenakan tampak basah sedikit.
Di sela-sela kerah kemeja yang tidak dikancingi itu, aku dapat melihat kaos putih yang ketat membungkus tubuhnya. Di bawahnya, ia mengenakan celana jeans ketat yang membuat kaki jenjangnya tercetak jelas.
“Sori Tan, gue jadi ngerepotin…,” ujarku melihat ia sedang membersihkan bekas air di pundaknya.
“Santai aja. Yuk.”
Pertamanya, kami tidak tahu harus melakukannya dimana. Pada jam segini biasanya para mahasiswa masih belum pulang semua, jadi agak sulit menemukan ruang kelas yang kosong. Setelah beberapa menit mengitari gedung E, akhirnya kami menemukan ruang kelas yang sepertinya bisa digunakan.
“Di sini aja nih, kayanya aman,” ujar Tania.
Aku melihat jadwal pemakaian kelas yang ditempel di kaca jendela, ternyata memang kelas ini tak akan dipakai lagi sore ini.
Kami pun masuk ke dalam ruang kelas itu, Tania segera menutup pintu dan mengunci selotnya, untuk jaga-jaga. Selama beberapa detik kami bertatapan, lalu aku memeluknya.
Aku merapatkan tubuhku dengan tubuhnya, merasakan kehangatannya, merasakan buah dada yang menononjol kecil dari balik kaosnya. Lalu tanganku meraba bokongnya yang padat dan kencang, terbalut jeans ketat yang membuatnya semakin seksi.
“Gue seneng Di, lo minta duluan,” ucapnya di telingaku.
“Kenapa?”
“Jadinya gue nggak ngerasa manfaatin lo doang. Selama ini gue kok ngerasa jadi cewek mesum banget ya, selalu yang mulai duluan. hahaha.” ucapnya, lalu ia mencium leherku.
“Dasar lo Tan, lo kan emang mesum.”
Aku langsung menyerbu bibirnya, aku melumatnya dan menghisapnya, lalu kumasukkan lidahku ke dalam rongga mulutnya. Lidah kami bertautan, saling menjilat, saling menghisap.
“Mmmmmhhh….” desah Tania di sela ciuman kami.
Tanpa melepaskan mulutku dari mulutnya, aku mendorong tubuh Tania hingga ia tiduran di atas meja. Aku terus menghisap bibirnya, sementara tanganku menyelinap ke dalam kaosnya, lalu meremas-remas buah dadanya yang masih ditutupi bh.
Dengan lihai aku membuka kemejanya, lalu menarik kaosnya hingga ke atas dada. Aku dapat melihat tubuh Tania yang putih mulus, pinggangnya yang langsing, perutnya yang rata dan bersih, juga buah dadanya yang bulat mungil mengintip dari balik bh warna hitam. Jika kuibaratkan tubuhnya dengan makanan, maka ini adalah makanan sangat lezat yang siap kusantap.
“Nafsu banget lo Di…” bisik Tania.
Aku langsung menciumi perutnya, mmm…. bau parfum yang ia kenakan semakin menambah gairahku. Lalu kujilati pusarnya hingga ia menggelinjang keenakan.
“Aaahh… Adi…. Geli….”
“Jangan keras-keras suaranya, nanti ada yang denger….”
Lalu aku menyingkap cup bh-nya, menampakkan buah dadanya yang sangat ranum dan bulat bagaikan apel, meskipun ukurannya tidak terlalu besar. Kedua putingnya tampak sudah menegang berkat rangsanganku barusan.
Aku langsung melahap buah dadanya itu. Yang sebelah kanan kujilati dan kuhisap menggunakan mulut, sementara yang kiri kupijat-pijat dan kupilin-pilin putungnya.
“Mmmm…. surrrrppp!”
“Ahhh…. Urghhh….” Tania tampak tak bisa mengendalikan desahannya.
Aku terus menikmati keindahan buah dadanya, sambil aku menggesek-gesekkan selangkanganku ke arah selangkangannya yang sama-sama masih ditutupi celana.
“Di…, Adi…,” ia memanggil.
“Kenapa Tan?” tanyaku.
“Mmmmh… kok malah gue lagi gue lagi sih.. sekarang kan giliran lo, kan tadi lo yang minta,” ucapnya dengan mata sayu.
Tania kemudian bangkat berdiri dan mendorongku. Ia membetulkan posisi bh dan kaosnya, lalu menepuk pundakku.
“Sekarang lo diem aja,” ia menggoda.
Lalu ia mulai menjilati leherku, kupingku, sampai ke perut yang ada di balik kaos yang kukenakan. Aku merinding merasakan lidahnya yang lembut dan hangat menjalar di sekitar pusarku. Lalu dengan perlahan-lahan ia menggunakan tangannya untuk mengelus-elus penisku.
“Kayanya lo kedinginan ya, sampe tegang begini?” tanyanya. Aku hanya mengangguk.
Dengan terampil ia membuka resleting celanaku, lalu merogoh ke dalam dan mengeluarkan penisku yang sudah keras dan tegang. Ia pun melanjutkan jilatannya. Batang penisku ia jilati dengan lembut dan penuh perasaan, hingga permukannya basah terkena air liur. Setelah basah, ia pun menggenggam penisku dan mengocoknya perlahan.
“Hmmmmh… enak Tan….” gumamku.
Ia juga tak lupa menjilat dan menghisap biji zakarku. Aku mendesah keenakan, rasanya memang sulit menahan kenikmatan ini. Apalagi ketika ia membuka mulutnya dan mulai melahap penisku. Ia menghisapnya, menyedotnya seperti sedang menikmati permen.
“Wiii…wo aaiwa woi waa….” gumamnya tidak jelas. Ucapannya tidak jelas karena mulutnya sedang disesaki oleh penisku.
“Apa Tan?”
“Wo wao… we waaaia… surrrp!” ia melepaskan penisku dari mulutnya, lalu menelan ludah, “Ahh. Sial ni mikrofon lu bukannya bikin suara jelas malah bikin ga kedengeran!”
“He hehe… lo mau ngomong apa sih?”
“Gue mau bilang, kalo lo mau keluar, pliis jangan keluarin di mulut gue kaya waktu itu…. Rasanya bikin mual. Plis kasih tau ya kalo lo udah mau keluar…,” ucapnya sambil mengocok penisku dengan tangannya.
“Iya deh, nanti gue kasih tau.”
“Janji ya?”
“Janji!” aku membentuk huruf V dengan jari tangan.
Tanpa ragu, Tania kembali melahap penisku, kali ini lebih dalam dari sebelumnya. Ia memaju-mundurkan kepalanya, membuat penisku tertelan lebih dalam. Aku tak menyangka, dalam waktu singkat ia sudah jadi seahli ini. Sesekali aku seperti merasakan ujung penisku menyentuh tenggorokannya. Kehangatan yang luar biasa, sungguh nikmat.
“MMmmmhhh… gila, nikmat banget….” gumamku.
Sambil menikmati sedotannya, aku mengelus-elus rambutnya, merasakan rambutnya yang panjang dan sehat seperti di iklan-iklan shampoo.
Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah kenikmatan fisik ini sudah cukup bagiku? Apakah di dalam hati Tania tak ada sesuatu yang lebih? Semakin aku memikirkan itu, semakin bertambah hasratku, dan aku sudah tak bisa mengendalikannya lagi.
Beberapa menit kemudian, aku pun berbisik, “Tan… gue mau keluar…. mmmh!”
Mata Tania menatap ke arahku dari bawah sana, lalu ia buru-buru melepaskan penisku. Dengan suara ‘ah’ yang keluar dari mulutnya, ia berusaha mengambil nafas yang sejak tadi terhambat, dan itu membuat wajahnya semakin cantik.
Aku memegangi kepalanya agar ia tak menghindar, lalu kukocok penisku sendiri, dan dalam waktu singkat spermaku keluar dengan kecepatan tinggi. Muncrat dan mengenai wajah Tania, sebagian ada yang di dekat hidung, di dekat mulut, dan ada juga yang mendarat di poni rambutnya. Ada perasaan puas dan nikmat ketika melihat sperma itu mengalir pelan ke dagu dan ke lehernya.
Tania masih terdiam, sepertinya ia agak kaget menerima ‘shower’ tadi. Lalu perlahan-lahan ia menyentuh spermaku di wajahnya menggunakan ujung jari. Sepertinya ia dapat merasakan sensasi lengket dan kehangatan di wajahnya.
“Gue bilang jangan keluarin di mulut, malah ngeluarin di muka. Kebanyakan nonton bokep lo ya?” ucap Tania menyindir. Ngocoks.com
“Sori, abisnya nggak keburu,” kilahku.
“Bisa tambah mulus nih muka gue, kalo maskeran kaya gini terus,” candanya, “Untung bawa tisu.”
Tania mengambil tisu di dalam kantong celananya, lalu membersihkan spermaku di wajahnya. Harus kuakui, jumlahnya memang cukup banyak. Kalau tidak salah aku sampai menyemprotkannya enam kali tadi.
“Huff…” aku menghela nafas lega.
“Gimana? udah lega sekarang?” tanya Tania.
“Udah. Lega banget. Makasih ya, Tan.”
“Santai aja. Itulah gunanya temen, saling menolong di saat butuh. hehehe,” ucap Tania sambil mengenakan lagi kemejanya.
“Teman…” aku bergumam, lalu tertawa dalam hati.
Tiba-tiba ponsel Tania berbunyi. Ia segera mengambilnya dari dalam tas, lalu mengangkatnya. Sementara itu, aku membetulkan celanaku.
“Halo….” ucap Tania pada seseorang yang meneleponnya.
Aku berusaha menguping, tapi tak terdengar jelas. Tania tak banyak bicara, ia hanya senyum-senyum malu mendengarkan suara orang di telepon itu. Dan ketika kuperhatikan lagi, aku dapat melihat wajah Tania menjadi merah, seperti orang yang merasa malu.
Belakangan, aku semakin mengerti, wajahnya yang merona merah saat itu tak sekedar berarti malu, lebih dari itu, rona merah itu karena ia sedang jatuh cinta… pada lelaki yang meneleponnya itu.
Bersambung…