Tatapan dan air mata Tania terus menghantuiku sejak saat itu. Walau ada segudang alasan yang bisa kubuat supaya aku tidak usah peduli, tapi kenyataannya aku merasa hidupku hancur berantakan. Rasanya bernafas saja susah.
Apa yang sudah aku lakukan? Apa yang telah terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu kuteriakkan dalam hati tiap kali aku mengingatnya.
Tepat setelah kejadian ironis itu selesai, Ghea sempat minta maaf padaku. Awalnya dia cuma terdiam. Kami kembali mengenakan pakaian kami yang tercecer di lantai kamar. Ia sedang mengancingi kemejanya, belum memakai celana, ia menatapku tanpa suara. Aku mengancingi celanaku dan menunggu ia mengeluarkan kata-kata.
“Maaf kak,” ucapnya.
Hatiku semakin retak mendengar permintaan maafnya. Ini bukan salah Ghea. Aku yang memulainya terlebih dulu. Lagipula kalau mau jujur, aku yang bersalah padanya.
Aku telah menggunakannya untuk pelampiasan nafsuku dan rasa kesepianku yg kelam. Bukan salah dia kalau akhirnya aku mendapat ganjaran dari perbuatanku sendiri.
“Bukan. Aku yang harusnya minta maaf. Aku khilaf.” jawabku.
Setelah itu ia memelukku. Pelukan yang tanpa nafsu, tapi penuh dengan rasa gelisah. Beberapa menit kemudian aku mengantarnya pulang.
***
Beberapa hari kemudian di kampus aku sempat bertemu dengan Santi dan geng power rangers yang lain, kecuali Tania. Beda dengan sebelumnya, kali ini Santi tidak terlihat terlalu murung. Kami duduk di kantin untuk makan siang bersama sambil ngobrol-ngobrol.
“Eh Bro, gimana tuh kabar nya si Saras?” tanya Rian pada Galih sambil menyikut lengannya. Saras adalah gebetan Galih yang pernah dia ajak bersama kami ke festival kampus.
“He he he… baik-baik aja kok.” Galih menggaruk-garuk lehernya, kebiasaan dia kalau sedang grogi.
“Tumben tampang lo kaya gitu. Biasanya kalo ngomongin gebetan tampang lo stay cool aja. Pasti ada yg beda nih sama gebetan lo yang satu ini?” Santi ikut-ikutan menyindir sambil melahap bakso di depannya.
“Bisa aja lo semua…., biasa aja kok.”
“Di, lo inget ga? Sewaktu abis nganterin kita pulang dari festival musik di kampus Z waktu itu, si Galih kan jalan terus tuh sama si Saras, kemana coba?” tanya Rian padaku.
“Hmmm… ke mana ya? Diajak ke rumahnya kali?” jawabku ragu-ragu.
Rian menoleh ke arah Galih sambil menggelengkan kepalanya dan berdecak-decak. “Lo bawa ke rumah?”
“Nggak lah!” sanggah Rian.
“Lo tunjukin koleksi bokep original lo ya?” ucap Santi. Galih tertawa terbahak-bahak.
“Sialan lo semua. Udah kaya wartawan infotainment aja dah! Waktu itu gue langsung nganterin dia pulang kok!” Galih membela diri.
Sewaktu kami sedang asyik menggoda Galih, Santi menngangkat panggilan masuk di hp-nya. Aku tidak terlalu jelas mendengar apa yang ia katakan, awalnya wajah Santi terlihat ketus, tapi tak lama kemudian seutas senyum terlihat di bibirnya.
“Woy, guys! Diem dulu sebentar! Coba tenang dulu!” ucap Santi setelah menutup teleponnya.
Kami semua terdiam dan memandangi Santi, penasaran dengan apa yang ingin ia katakan.
Santi memajukan kepalanya dan berbisik. “Guys, temen kita si ranger pink yang udah lama ga muncul katanya mau dateng ke sini… dan mau nraktir kita makan sepuasnya!”
DEG! Jantungku seperti berhenti berdetak. Sementara itu Galih dan Rian bersorak gembira, aku berusaha untuk ikut terlihat senang, padahal tanganku mulai mengeluarkan keringat dingin.
Jantungku berdetak kencang, kakiku terus menerus mengetuk-ngetuk lantai. Seandainya aku bisa melarikan diri dari situasi ini. Mungkin aku bisa pura-pura pergi ke WC, lalu diam-diam pulang? Kalau nanti ada yang bertanya aku bisa bilang kalau aku ada keperluan mendadak.
Sebelum aku sempat melakukan itu, Santi sudah melambaikan tangannya dan tersenyum. Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Santi, lalu aku dapat melihat Tania berjalan ke arah kami dari salah satu sudut kantin.
Ia memakai t-shirt ketat dan celana jeans seperti biasa. Namun ada hal yang berbeda dari biasanya. Tania memotong rambutnya. Sekarang rambut lurusnya jadi pendek seleher, memperlihatkan lehernya yang indah, membuat ia tampak lebih seksi.
Ia berjalan semakin mendekat, jantungku semakin cepat berdetak. Kemudian Tania menghampiri Santi dan cipika-cipiki seperti teman lama yang baru bertemu kembali.
“Buset! Potong rambut lo Tan?” goda Santi.
“Iya dong! Pantes ngga rambut baru gue?” ujar Tania sambil membelai rambutnya sendiri. Samar-samar aku dapat mencium wangi parfum Tania. Lebih harum dari biasanya. Saat ia bicara aku juga dapat melihat bibirnya yang dibalut lip gloss seolah tampak basah.
“Kemana aja lu?” sahut Rian.
“Iya, nggak pernah muncul. Pacaran mulu lo ya?” tambah Galih.
“Ada deeeh… Ntar gue jelasin!”
“Payah lo ah. Kasian tuh si Adi, kangen sama lo, daritadi diam terus… Hahahaha” ucap Galih. Tenggorokanku rasanya bagai tercekik mendengar ucapannya. Aku tahu dia cuma bercanda, tapi ucapannya begitu telak membuat aku dan Tania sama-sama terdiam.
“Hahahaha…. boro-boro gue kangen….. kangen band kali!” aku mencoba ikut bercanda, tapi jadi terdengar maksa.
Tania duduk di kursi kosong di sebelah Santi, tepat di hadapanku. Kemudian ia merebut es teh manis Santi dan menyedotnya tanpa meminta izin. Santi protes, dilanjutkan dengan candaan Galih dan Rian yang sangat garing.
Sekilas, pemandangan di hadapanku terasa sangat normal. Rasanya seperti suasana persahabatan kami dulu, suasana yang nyaman dan menentramkan yang sangat kami rindukan. Seandainya saja semua bisa kembali seperti dulu. Tapi aku tahu saat ini ada yang berbeda, setidaknya bagiku dan Tania.
“Jadi begini kawan-kawan…” Tania mulai membuka suara, “gue minta maaf kalau selama ini gue sering ngilang dan jarang ngumpul sama kalian… gue emang sempat ada masalah yang makan perhatian banget. Tapi sekarang…., gue bawa kabar gembira.”
“Kabar gembira apa Tan?” tanya Rian penasaran.
Tania dan Santi senyum-senyum, mereka sudah mengetahui sesuatu. Selama beberapa detik, Tania melirik ke arahku, kemudian kembali membelokkan pandangan.
“Gue…Ehm… Sebentar lagi gue bakal… tunangan.” ucap Tania. Suaranya agak gemetar ketika mengucapkan itu.
Sorak sorai Rian dan Galih terdengar bersahutan, Santi mengacak-acak rambut pendek Tania. Galih mengangkat gelas es tehnya dan mengajak kami semua bersulang, seperti adegan bar di film-film.
Tidak perlu dijelaskan lebih lanjut, aku tahu dengan siapa dia akan bertunangan. Sesi wawancara pun dimulai. Galih, Rian dan Santi bergantian menanyai Tania soal rencana pertunangannya itu.
Dengan kaki yang lemas, aku bangkit berdiri, lalu mengulurkan tanganku ke arah Tania. Aku berusaha tersenyum.
“Selamat ya…” ucapku.
Tania menyambut tanganku. Ia berusaha tersenyum, tapi pandangan matanya terus menunduk.
Aku tidak tahan lagi, aku harus segera pergi dari sini.
“Eh guys, sori ya. Gue harus cabut duluan nih. Gue baru inget kalau siang ini gue udah ada janji sama dosen,” ucapku dengan terburu-buru.
“Ah nggak asik lo di!” gerutu Rian.
“Iya… Rugi lo, nggak dapet traktirannya Tania,” ujar Galih.
“Sori, sori banget!” ucapku. Kemudian aku menoleh ke arah Tania.
“Maaf ya, Tan.” ucapku.
Teman-temanku yang lain mungkin berpikir aku meminta maaf karena tidak bisa mengikuti acara perayaannya, tapi aku dan Tania sama-sama tahu, kata maaf itu punya makna yang lain, makna yang lebih dalam dan lebih luas.
“Maaf, gue harus pergi sekarang,” ucapku lagi.
Saat aku membalikkan badan dan berlari keluar dari kantin, tak ada yang menahanku. Tapi sepertinya aku mendengar suara Tania memanggil namaku pelan. Tapi… mungkin itu cuma imajinasiku saja.
***
Di depan kampus, tanpa sengaja aku bertemu Ghea. Ia sedang di tempat fotokopi, ia melihatku dan melambaikan tangan, seolah tak terjadi apa-apa di antara kami.
“Ghe, ikut yuk!” aku menarik tangannya. Untung ia sudah selesai memfotokopi.
Aku mengajaknya naik motorku, pergi ke sebuah kafe yang letaknya agak jauh dari kampus. Sebenarnya aku tak bermaksud menjadikannya sebagai pelarian, tapi masalahnya cuma dia saja yang mengetahui soal hubunganku dengan Tania, aku tak tahu lagi harus bercerita pada siapa kalau bukan dengan Ghea.
Selama di perjalanan, ia memeluk punggungku dengan erat, seperti orang yang sedang berpacaran. Aku dapat merasakan buah dadanya yang menempel di punggungku, tapi pikiranku sedang kacau, jadi aku tak bisa menikmati hal itu.
Di kafe, kami duduk di sebelah pojok. Tak lama kemudian pelayan datang dan kami pun memesan minuman dingin.
“Kenapa Kak?” tanya Ghea sambil membetulkan posisi kaca matanya.
Aku menghembuskan nafas gelisah, kemudian mulai bercerita tentang apa yang terjadi di kantin tadi. Ghea menatapku sambil manyun, kemudian menyedot minuman yang baru saja diletakkan pelayan di meja kami.
“Jadi, Kak Adi masih mengharapkan Tania?” tanya Ghea.
“Nggak…. Nggak tau….” jawabku. Aku memang tidak tahu apa yang sebenarnya kuharapkan.
“Mungkin Kak Adi cuma gelisah karena penasaran. Karena belum pernah ngungkapin perasaan Kakak yang sebenarnya ke dia, kan?” ucapnya lagi. Ngocoks.com
Aku termenung. Mungkin benar yang diucapkan Ghea. Mungkin perasaanku adalah semacam obsesi.
“Jadi menurut kamu?”
“Kak Adi harus ungkapin dengan jujur apa yang Kak Adi rasain selama ini pada Tania secara langsung, supaya nggak ada beban lagi. Setelah itu….” Ghea menghentikan ucapannya.
“Setelah itu?”
“Setelah itu, lupain dia.”
Aku terhenyak. Melupakan Tania?
“Tapi….” gumamku ragu-ragu.
“Habis mau gimana lagi? Kalian sama-sama udah buat pilihan masing-masing kan? Tania udah punya tunangan… dan Kak Adi…. udah punya saya.”
Aku kembali terkejut dengan ucapan Ghea. Aku mulai bisa menebak. Jangan-jangan apa yang terjadi di antara kami waktu itu dia anggap sebagai tanda bahwa kami….
“Ghe… di antara kita nggak ada apa-apa.” ucapan itu begitu saja keluar dari mulutku.
Genggaman tangan Ghea di gelasnya tiba-tiba saja menjadi sangat erat, tangannya terlihat agak gemetar. Ketika aku melihat wajahnya, aku dapat melihat api yang membara di balik kaca mata itu. Ia sungguh menyeramkan. Sepertinya ia bisa memukulku dengan gelas kaca itu kapanpun ia siap.
“Denger ya Kak…. saya memang bukan perempuan yang sok suci seperti Tania… tapi saya juga bukan pelacur munafik seperti dia yang bisa Kak Adi jadiin sex friend seenaknya tanpa komitmen apa-apa!”
Ghea bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari kafe dengan penuh amarah. AKu menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan dan berteriak dalam hati. Aku kira berbicara dengannya bisa membuatku lebih tenang. Aku salah, aku malah semakin terpuruk.
Bersambung…