~~Sesuatu yang berharga itu dijaga, bukan diobral~~
***
“Bu nyai pesan, sepulang sekolah kamu disuruh ke ndalem. Gus Amar sudah datang.”
Kalimat pemberitahuan itu membuat gadis bertubuh langsing itu tercekat. Tak disangka anak kedua dari kiainya itu tiba sepagi ini. Kemarin dia dengar lelaki yang disapa Gus Amar akan datang sore hari. Karena itu bu nyai menyiapkan aneka kue kesukaan putranya.
“Waaahhh … bagaimana ya wajah Gus Amar? Pasti ganteng pakai bingitz. Secara pak kiai dan bu nyai sama-sama bagus rupanya. Aku kok jadi deg-degan ya, Fah,” celetuk Ilmi sambil senyum-senyum tak jelas, setelah teman yang membawa kabar berlalu.
Ifah berusaha cuek. “Sepertinya begitu. Tapi kenapa kamu deg-degan?”
Ilmi mencebik. “Jangan munafik deh, Fah. Cewek mana yang tidak klepek-klepek kalau ketemu sama yang bening. Lulusan luar negeri pula. Cakep iya, pinter jangan ditanya, ditambah lagi seorang gus. High quality, Gaess! Kalau kakang santri di sini bhanya bisa dihitung pakai jari yang wajahnya lumayan seger.” Ilmi beragumen panjang lebar.
“Es kali, bikin seger. Dah ah, jangan bicarakan gus e lagi. Nanti matanya keduten terus.” Keduanya lalu tertawa sambil bercanda hal lain.
Sekolah formal berada di luar kompleks pesantren. Namun masih satu desa, jadi para santri dan santriwati cukup berjalan kaki apabila berangkat dan pulang sekolah. Kelas pun dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga mereka hanya bisa berbaur saat istirahat dan perjalanan pulang pergi.
Pengasuh pesantren selalu mewanti-wanti agar seluruh santrinya bisa menjaga diri dan pandangan. Baik di dalam maupun luar pesantren. Walau begitu, tidak semuanya patuh. Tetap saja ada yang membuat ulah, semisal pacaran.
Namun, karena takzir (hukuman) ditegakkan, maka hal semacam itu bisa berkurang. Kebanyakan para pelanggar adalah santri baru yang belum kenal dengan baik kedisiplinan di pesantren.
Sepulang sekolah, Ifah segera ke ndalem bu nyai seperti yang disampaikan temannya pagi tadi. Membuang rasa penasaran, Ifah seperti biasa masuk pintu belakang yang langsung terhubung dengan taman kecil. Ada gazebo di sudut sisi untuk bersantai.
Karena tergesa-gesa, tanpa dia sadari, ada seseorang yang sedang duduk di gazebo dan memperhatikannya. Ifah memasuki dapur, tapi kondisi kosong. Bingung harus bagaimana, dia celingak celinguk ke ruang tengah. Barangkali bu nyai sedang duduk di ruang tengah. Nihil.
“Cari siapa, Mbak?” Sebuah suara mengagetkan dari arah dapur. Seorang lelaki muda berwajah kearaban, sarung biru dan kaus oblong putih lengan pendek, berdiri menatapnya menyelidik.
Ifah segera menunduk, malu sekaligus bingung. “Ma-maaf … tadi … katanya bu nyai memanggil saya ke ndalem sepulang sekolah,” ujar gadis bersarung itu sedikit gagap.
Sang lelaki mengangguk. “Mbak namanya siapa?”
“Saya Ifah, Gus,” jawabnya lirih dengan tetap pandangan ke bawah.
“Oh iya, tapi ummah masih pergi. Beliau nitip sesuatu tadi. Tunggu, saya ambil dulu.”
Dugaan Ifah benar. Lelaki itu adalah anak bu nyai yang baru pulang dari kuliah di Yaman. Gus Amar panggilannya. Baru kali ini Ifah bertemu. Di ndalem tak ada foto yang dipajang. Jadi tak tahu wajah anak kiainya.
Benar prediksi Ilmi kalau wajah gus e memang nyegerin. ‘Astagfirullahhalazim ….’ Ifah menggeleng sambil beristigfar. Bisa-bisanya dia ketularan Ilmi. Tak lama menunggu, Gus Amar muncul dengan menenteng sebuah paper bag dan kresek putih besar.
“Ini oleh-oleh untuk dibagi sama mbak-mbak. Lalu … yang ini untuk ibu sampean di rumah.”
“Lho! Kenapa ada oleh-oleh untuk umi saya, Gus?”
“Pesan ummah seperti itu. Nanti tanyakan sendiri sama beliau.”
Dengan perasaan gundah, Ifah menerima pemberian dari lelaki di depannya. Hatinya masih bertanya-tanya kenapa bu nyai memberikan sang ibu oleh-oleh. Lalu bagaimana kalau teman-temannya tahu nanti?
Setelah berpamitan dengan rasa malu, Ifah meninggalkan rumah besar tersebut. Sang gus hanya memandang jejak langkah gadis yang baru bicara dengannya. Ada perasaan tak biasa di dalam hati saat menatap gadis itu.
Wajah khas pribumi dengan kulit bersih, juga caranya bicara dengan lawan jenis yang menunduk, sedikit banyak membuatnya tertarik. Namun, sang ibu sudah mewanti-wanti kalau akan menjodohkan dirinya dengan anak teman mondok dulu.
Harapan sang ibu seperti titah baginya. Dia hanya percaya pilihan orang tua adalah yang terbaik bagi anak-anaknya. Hanya saja … selama belajar di luar negeri, belum ada gadis yang bisa menggetarkan hati. Walau tak menampik jika banyak sekali pesona perempuan yang elok rupa, baik dari negara sendiri maupun asing, yang mencoba menarik perhatiannya.
***
Ifah berjalan dengan mendekap paper bag pemberian sang gus yang disembunyikan di balik jilbab. Dia tak ingin mendapat pertanyaan macam-macam dari teman yang penasaran. Hingga sampai kamar, ternyata Ilmi sedang menderas Al Quran. Berjalan membelakangi, agar tak ketahuan, nyatanya ekor mata sang sahabat menangkap keganjilan padanya.
“Kamu bawa apa, Fah? Kok kayak ada yang disembunyikan?”
Ifah memejamkan mata karena terciduk. Dia berbalik dan meringis. “Ini … oleh-oleh dari Gus Amar untuk mbak-mbak.”
Ilmi memperhatikan kresek yang dibawa Ifah. “Yang itu?” Ilmi menunjuk tangan Ifah yang masih mendekap bagian depan tubuhnya.
Terpaksa Ifah menyibak jilbab dan menunjukkan paper bag pada Ilmi. Susah memang berbohong pada sahabatnya yang punya jiwa kepo maksimal. Dengan wajah layaknya seorang detektif, Ilmi bertanya kembali.
“Apa itu? Dari gus e juga? Buat kamu? Jangan-jangan ….”
“Apa sih! Ini titipan bu nyai untuk ibu. Mungkin ibu nitip barang untuk dibeli. Jadi jangan mikir macem-macem deh, kamu!” Ifah memberikan alasan agar bisa diterima Ilmi.
“Ah, gak mungkin. Pasti ada sesuatu. Atau jangan-jangan … kamu mau diambil mantu sama bu nyai. Ya Allah … Ifah, sungguh beruntung hidupmu kalau jadi menantu Bu Nyai Zumaroh. Kamu sudah ketemu sama gus e dong.
Gimana? Cakep banget ya? Aahhh … Ifah … jadi iri aku.” Panjang lebar Ilmi menginterogasi sahabatnya. Tak hanya itu, pundaknya juga jadi sasaran digoyang-goyangkan gadis energik itu. Tak ayal membuat sebagian teman di luar kamar melonggok ke dalam karena berisik.
Segera Ifah memasukkan paper bag itu ke lemarinya. Lalu memperingatkan Ilmi agar tidak menyebar gosip tentangnya. Ngocoks.com
“Ish … tapi beneran, Fah. Aku penasaran sama gus e. Juga alasan ibumu dikasih oleh-oleh khusus sama bu nyai.”
“Sudah, jangan menebak-nebak. Apalagi nyebarkan sesuatu yang belum tahu kebernarannya. Jatuhnya fitnah tau! Kalau mau ketemu gus e, ya ke ndalem sana!” ujar Ifah ketus.
Ifah tak suka sifat kepo Ilmi yang bisa menjadi berita bohong dan menyebar seantero pondok. Mau ditaruh di mana mukanya kalau digosipkan ada sesuatu dengan gus e. Walau dalam hati, dia tak menampik pesona sang gus.
***
Saat berangkat ke madin, tak sengaja Ifah bertemu dengan Harun. Dia menyampaikan kalau tugasnya sudah dititipkan kepada seorang ustadz di kantor pagi tadi.
“Lain kali belajarlah lebih tanggungjawab dan disiplin pada diri sendiri. Juga belajar menghargai guru. Bagaimana mau mendapat ilmu manfaat kalau tidak bisa menghormati dan menghargai gurunya?”
Berniat meluruskan masalah, malah Ifah mendapat ceramah dari Harun. Mau tak mau, dia hanya mengangguk lalu meminta maaf. Dalam hati dia berujar, semoga suaminya kelak bukanlah orang yang kaku seperti Harun.
Sementara itu saat masuk kelas, ternyata sudah ada ustaz yang duduk di bangku depan.
“Gus Amar,” lirihnya.
“Silakan masuk, Mbak,” ucap Amar mempersilakan santriwati yang baru datang dengan ramah.
Berbeda dengan Harun yang super disiplin, Amar justru lebih santai memperlakukan santriwati. Tanpa disadari, bibir Ifah melengkung ke atas.
Bersambung…