“Tak disangka ternyata Gus Amar secakep itu ya, Fah. Duh … kenapa baru muncul sekarang, gus e?”
Sejak kepulangan Amar ke pesantren pagi tadi, pesona lelaki muda itu menjadi hot topik di antara para santriwati. Pembawaan yang kalem, wajah kearab-araban, ramah dan tentunya pintar, membuat hampir semua orang kagum padanya.
Tak kecuali Ilmi dan sahabatnya. Hanya saja tingkat kelebaian keduanya berbeda. Ifah lebih santai dan bisa menjaga sikap, sedangkan Ilmi jauh lebih ekspresif.
Sesi bertanya saat perkenalan, menjadi ajang unjuk diri bagi para santriwati. Semua hal ditanyakan, mulai dari nama lengkap, umur, pengalaman menarik saat belajar di Yaman, sampai gebetan pun ditanyakan. Hal itu membuat Amar membatasi jumlah pertanyaan agar tidak merembet pada topik yang tidak etis untuk ditanyakan di kelas.
“Memang kalau datang dari dulu, kamu mau apa tho?”
“Duuhhh … Ifah, mbak ndalem anyaran, coba bayangkan. Andaikan semua ustaz yang mengajar seperti Gus Amar, pasti semua santriwati pada semangat, rajin bertanya, hafalannya banyak, pokoknya bakal tambah pinter karena dapat nutrisi hati.”
Mendengar penuturan sahabatnya, gadis berwajah kalem itu malah terbahak. “Kamu itu niat ngaji karena ustaznya apa karena butuh ngaji?”
“Hihiii … ya dua-duanya,” jawab Ilmi nyengir.
Setelah salat Isya’, Ifah ke ndalem karena dipanggil bu nyai. Dia hanya ke kediaman kiai saat dibutuhkan karena masih sekolah. Beda dengan mbak ndalem yang sudah lulus aliyah, sudah punya piket harian untuk membantu di sana.
“Kamu sudah nerima oleh-oleh untuk umimu, kan?” tanya bu nyai saat Ifah sudah ada di dapur membantu mbak ndalem lain menyiapkan makan malam.
“Sampun, Bu Nyai,” jawabnya mengiyakan, “em … ngapunten, kenapa Bu Nyai ngasih umi oleh-oleh? Saya … ndak enak dengan mbak-mbak lainnya.” Ifah mengungkapkan hal yang menganjal di pikiran sejak menerima paper bag tadi pagi. Karena suara Ilmi yang tak bisa dikontrol, beberapa temannya menjadi kepo dengan oleh-oleh tersebut. Ifah merasa tak enak karena seperti dispesialkan.
“Gak papa, Fah. Aku pernah cerita sama umimu kalau punya anak sekolah di Yaman. Dia kepingin juga ada anak atau cucunya yang bisa belajar di sana. Pingin sambang dan bisa ziarah waliyullah di sana juga. Yawes, karena belum kesampaian, aku minta Amar belikan jilbab khas sana biar seneng umimu,” ujar bu nyai mengemukakan alasan pemberian adiah pada ibunya Ifah.
“Masya Allah … Bu Nyai saya jadi nggak enak. Matur suwun.” Rasa sungkan mendominasi perasaan gadis itu. Namun tetap saja rasa tidak enak masih ada karena dia yakin bahwa wanita di depannya itu tidak bersikap spesial kepada wali santri yang lain.
“Biasa wae, Fah. Umimu juga sering bawakan oleh-oleh kalau sambang ke sini. Jadi aku juga kepingin kasih sesuatu,” ujar wanita bergamis marun itu sambil memilah potongan kue di meja makan.
Tak sengaja, Amar datang. Sang ibu memanggil agar dia duduk di sampingnya. “Kamu sudah ketemu anakku ‘kan, Fah? Ya ini cah bagusku yang lama tak pulang. Ganteng yo?”
Mendapat pertanyaan yang menodong, gadis itu malah membelalak, lalu segera menunduk sambil menahan senyum. Bisa-bisanya bu nyai berkata seperti itu di depan Amar.
“Ummah ini. Promosikan terus saja anaknya, biar cepet laku,” celetuk lelaki berumur 24 tahun itu dengan nada bercanda.
Ifah yang berusaha menahan senyum, malah ikut tertawa mendengar ucapan gus e.
“Bukan promosi, Le (1). Aku itu seneng karena kamu sudah balik. Ifah ini sering jadi teman cerita ummah tentang kamu kalau pas kangen. Ya kan, Fah?”
Gadis berjilbab merah muda itu mengangguk pelan dengan perasaan malu. Bu nyai memang sering bercerita tentang anak-anaknya, terutama Amar karena tak pernah pulang hampir lima tahun. Hanya sekali beliau berkunjung ke sana saat selesai melaksanakan umroh.
Cinta orang tua pada anak tidak boleh menjadikan penghambat yang mau menempuh pendidikan di tempat yang jauh, termasuk di pesantren. Karena keredaan orang tua adalah sumber keberkahan dan kemudahan anak mendapat ilmu manfaat barakah.
“Memang ummah cerita apa saja, Mbak?” Mimpi apa semalam, dia diajak bicara seperti itu oleh anak kiainya? Berusaha menata kalimat agar tidak salah ucap, Ifah mengatur napasnya.
“Emm … ceritanya baik-baik kok, Gus. Tidak ada yang buruk. Bu nyai kepingin njenengan bisa memajukan pesantren ini. Intinya bu nyai sayang ke njenengan,” tutur Ifah apa adanya.
Amar tersenyum sekilas. “Kalimat terakhir nggak salah ucap kan, Mbak?”
“Hah? Maksudnya?” sahut Ifah cepat.
Melihat Ifah bingung, bu nyai menyahuti, “Memang berharap siapa yang sayang sama kamu, Mar? Wes bener kui,” (Sudah betul itu.) ucap sang ibu membela Ifah.
“Barangkali salah subjek, Ummah,” ujar Amar sambil tertawa lalu menuang air minum yang tersedia di atas meja.
Apabila Bu Nyai Zumaroh dan Gus Amar menanggapi dengan bercanda, beda halnya dengan Ifah yang sudah berkeringat dingin. Ternyata selain ramah, gus e suka usil sama orang lain yang baru dikenal.
***
Tanggal merah menjadi hari yang sibuk bagi Ifah. Pasalnya, bu nyai mengajaknya dan Ilmi menemani ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah acara. Karena pak kiai dan Amar ada acara di kota yang berbeda, maka Harun diminta mengantar rombongan bu nyai.
“Titip rombongan, ya Kang,” ujar Amar pada Harun saat mobil berwarna putih itu hendak berangkat.
“Njih Gus. Siap!”
Sepanjang perjalanan, Harun hanya fokus ke lalu lintas jalanan. Hanya sesekali menimpali pertanyaan bu nyai. Dua orang itu yang menemani ngobrol sang pengasuh pesantren.
“Kang Harun bisa istirahat dulu. Acaranya kurang lebih dua jam. Biar Mbak Ifah dan Ilmi ikut saya,” ujar bu nyai saat mereka sampai di tempat acara. Kebetulan Harun merasa capek setelah nyetir kurang lebih tiga jam. Istirahatlah dia di masjid lingkungan pesantren tempat acara berlangsung.
“Fah, Ustaz Harun itu dingin sekali ya pada perempuan. Irit bicara dan nggak pernah mau menatap lawan bicaranya.” Ilmi bersuara setelah duduk di barisan hadirin. Sedangkan Bu Nyai Zumaroh duduk sebagai pengisi acara di panggung.
“Bukan dingin saja, Mi, tapi seperti kulkas. Xixixixix … kemarin mbak kelas tiga aliyah juga ngomongin beliau,” sahut Ifah cekikikan.
“Ngomongin apa?”
“Niatnya caper sama Ustaz Harun, eh, malah kena takzir(2) karena bikin gaduh kelas.”
“Hah! Masak?”
“Iya. Tahu sendiri Ustaz Harun orangnya disiplin dan gak suka bergurau saat di kelas. Jadi ditakzir deh.”
“Oalaaahhh … njur kasihan ya mbaknya. Jadi kapok kan berulah sama Ustaz Harun.” Ifah mengangguk.
Walau pernah mendapat takzir, tapi dalam hari dia bersyukur masih ada lelaki yang punya prinsip dalam hidupnya. Lelaki yang bisa menjaga pandangan pada kaum hawa. Dia tahu hal itu pasti sangat berat, karena titik kelemahan seorang lelaki ada pada perempuan.
Ifah juga berdoa agar jodohnya adalah lelaki yang punya prinsip dan bisa menjaga pandangan dari yang tidak halal. Dia ingin suami yang hanya mengagumi dirinya sebagai seorang istri. Bukan yang suka tebar pesona pada wanita lain. Ngocoks.com
Memang Harun merupakan guru yang disiplin dan tegas saat di kelas. Namun tidak berarti bersikap kaku pada semua orang. Bagi Harun, apabila bersikap lempeng pada santriwati, maka akan banyak santriwati yang akan usil kepadanya. Entah dengan menggoda ataupun hal lain yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Harun adalah lelaki yang berusaha Istiqomah menjaga pandangan dari kaum hawa. Karena itu, selain keluarga, dia tak pernah menatap lawan bicaranya kalau perempuan, terutama para santriwati. Biarlah dikata sombong atau dingin, asal tidak menambah dosa.
***
Matahari tampak kemerahan saat perjalanan pulang dari Pekalongan. Mobil yang dikendarai Harun melesat membelah lalu lintas yang cukup lenggang. Suara murotal dari tape mobil mengalun merdu, menenangkan hati yang mendengarnya.
“Sudah masuk waktu Magrib. Salat dulu ya, Kang,” pinta bu nyai ketika azan berkumandang.
Harun segera menepikan mobil di parkiran masjid. Ilmi mengikuti bu nyai untuk salat jamaah. Sedangkan Ifah sedang berhalangan, jadi hanya perlu ke kamar kecil setelah iqamah agar tidak membuang waktu jamaah yang ingin ke kamar kecil. Dia menunggu di dekat mobil.
Beberapa langkah dari mobil, Harun mendapat telepon yang ternyata dari Amar. Dia menanyakan posisi dan keadaan rombongan.
“Alhamdulillah lancar, Gus. Sekarang masih salat,” ucap Harun yang bisa didengar oleh Ifah.
………….
“Mbak Ifah yang mana ya, Gus? Pokoknya kedua mbak ndalem itu baik-baik saja,” tutur Harun setelah mendapat pertanyaan dari Amar.
Ifah tak menyangka kalau Amar cukup perhatian dengan santrinya. Pantas saja teman-teman banyak yang caper. Apalagi Ilmi, sahabatnya.
“Mbak.” Suara panggilan membuat lamunannya buyar.
“Eh, iya Ustaz?”
“Tolong sampaikan ke bu nyai kalau Gus Amar nitip lumpia Semarang.”
Setelah mendapat jawaban Ifah, Harun berlalu tanpa mengucapkan apa pun. Dari belakang dia beranikan diri untuk memandang sosok yang melangkah menjauh.
“Ustaz kulkas. Xixixiii ….”
Bersambung…