Hari masih gelap saat sebagian besar santri dan santriwati bangun untuk melaksanakan qiyamul lail. Bagi para santri, langsung menuju masjid pesantren. Sedangkan santriwati memenuhi musala dalam. Begitu pula dengan Ifah dan Ilmi.
Keduanya mengikuti rutinitas harian dengan khusuk. Saat salat Subuh, Bu Nyai sendiri yang menjadi imam jamaah putri. Sedangkan di masjid, Gus Amar didapuk abahnya untuk mengimami salat.
Setelah selesai salat Subuh, para santri dibebaskan kegiatannya. Ada yang antre mandi agar tidak telat ke sekolah. Cara antre para santri itu menarik. Mereka tidak berjejer orangnya, tapi cukup diwakili oleh gayung yang berisi peralatan mandi.
Diletakkan begitu saja di depan pintu kamar mandi secara berderet. Jika antrean lama, mereka bisa mengerjakan hal lain tanpa takut diserobot. Apabila sudah gilirannya tapi belum datang sang empunya, maka bisa digeser belakangan. Sudah risiko dan tidak boleh ada yang keberatan.
Selain antre mandi, ada juga yang olahraga. Sebagian lagi bersih-bersih lingkungan pondok sesuai piket, hafalan, murojaah, dan yang lain masih duduk di musala untuk mendengarkan ngaji tafsir dari toa masjid.
Jika biasanya pak kiai sendiri yang membacakan tafsir, kali ini Gus Amar. Suara laki-laki itu sudah cukup familiar di pendengaran para santri dan santriwati, tak terkecuali Ifah.
Penjelasan yang disampaikan pun lebih menarik dan mudah dipahami. Mungkin karena contoh-contoh yang diambil adalah sesuai usia para santri. Sehingga mengena di benak pendengarnya.
***
Matahari menyingsing saat riuh suara langkah kaki para pejuang ilmu berhamburan menuju gerbang pesantren. Dari teras ndalem terlihat sang gus sedang berbincang dengan beberapa santri termasuk Harun.
Usia keduanya hanya terpaut satu tahun. Jadi wajar kalau terlihat akrab. Tak sengaja pandangan Ifah berserobok dengan Amar. Sempat mengulum senyum, tapi keduanya segera mengalihkan pandangan.
Tak seharusnya Ifah merasakan hangat perasaannya saat sang gus menatap walau sekejap. Namun, hati tak bisa berbohong. Tatapan sekilas itu memberi efek luar biasa baginya. Senyum terus terkembang dari sudut bibirnya.
“Fah, ngapain kamu senyum-senyum terus?” celetuk Ilmi karena menangkap keganjalan pada sahabatnya.
“Siapa yang senyum-senyum? Mending senyum ‘kan daripada cemberut?” Ifah membela diri. Tak mungkin dia menyebutkan alasan sebenarnya yang membuat hati berbunga.
Saat Ifah sibuk dengan perasaannya, terbesit kalau mungkin saja dia terlalu baper. Bisa saja Gus Amar juga menyapa dengan senyuman seperti tadi pada orang lain.
‘Ah … mungkin aku terlalu ge-er. Namun, susah juga menampik pesona gus e,’ batin gadis itu berperang.
***
Hari berganti dengan segala rutinitas yang hampir sama. Ifah lebih memilih menjaga hati dengan tidak terlalu baper pada perhatian-perhatian kecil yang diberikan Amar. Selain karena usia masih sangat muda, Ifah juga takut menaruh hati pada lelaki karena tradisi perjodohan yang dialami kakak-kakaknya.
Murojaah adalah cara gadis asal Jombang itu untuk menenangkan hati apabila bayangan sang gus menyapa. Sedangkan Amar pun sama. Walau perasaan pada Ifah dia anggap spesial, tapi tak serta merta diungkapkan.
Penuturan orang tua akan hal jodohnya sudah diatur, membuat Amar berusaha menekan gejolak di dada saat sosok Ifah terbesit di pikirannya.
Baru kali ini dia merasakan hal seperti itu. Sebelumnya tak pernah ada gadis lain yang bisa membuat tidur malamnya tak nyenyak. Menjadikan seorang pelamun, pun tersenyum sendiri kala mengingat sosok gadis itu.
Cintakah yang dia rasa? Atau hanya godaan setan yang bisa membuatnya lalai akan permintaan orang tua. Sampai sekarang pun dia tidak diberitahu siapa gadis yang dijodohkan dengannya. Sang ibu hanya mengatakan kalau jodohnya sudah disiapkan. Jadi tak boleh lirak-lirik perempuan lain.
Tradisi perjodohan memang sudah familiar di kalangan pesantren. Walau tidak semua gus dan ning dijodohkan. Perjodohan pun biasanya bukan asal, para kiai tentu punya alasan khusus kenapa menjodohkan anaknya dengan seseorang. Bisa karena nasab, ilmu, keluarga atau alasan lain. Yang jelas paling utama adalah karena agamanya.
***
“Kamu yang nyupiri, ya, Kang,” pinta Amar kepada Harun saat menjenguk pak kiai yang sedang dirawat di rumah sakit karena typus.
Selain mereka berdua, di mobil ada kakak perempuan Amar beserta kedua anaknya yang masih balita, juga Ifah diminta bu nyai menemani. Dalam perjalanan, Amar mengajak ngobrol Harun. Sedangkan Ifah cenderung diam. Sesekali menyahuti obrolan ningnya.
“Rencana umur berapa menikah, Kang?” tanya Amar pada Harun. Lelaki berpeci hitam dan kemeja biru polos itu tersenyum simpul. Baru kali ini Ifah bisa melihat secuil senyum dari ustaznya tersebut, meski dari pantulan cermin.
“Tidak ada rencana, Gus. Sedikasihnya saja,” jawab Harun santai.
“Dikasih siapa? Mau dicarikan?” gurau Amar.
“Boleh, Gus.”
“Mau yang bagaimana?”
“Standar saja Gus. Salihah, enak dipandang, pinter, kalau bisa yang kaya dan anak tunggal,” jawab Harun sambil tertawa.
Sontak semuanya ikut tertawa mendengar jawaban lelaki berumur 25 tahun itu. Baru kali ini Ifah tahu kalau ustaz kulkasnya itu bisa bercanda.
“Kamu mau minta dicarikan jodoh sama Amar? Lha wong dia saya belum laku-laku,” ledek kakak Amar di sela gurauan mereka.
“Enak saja gak laku. Sudah ada yang inden sejak bayi aku itu,” celetuk Amar dengan gaya bergurau.
“Eh, iya lupa. Kamu kan sudah dijodohkan sama anak temannya ummah,” sahut sang kakak yang membuat keadaan tiba-tiba senyap. Ngocoks.com
Ifah segera menunduk karena matanya mulai berembun. Sedangkan Amar menyesal kenapa membahas topik jodoh dan menjawab pertanyaan sang kakak seperti itu. Walau belum tahu pasti perasaan Ifah kepadanya, tapi dia bisa merasakan kalau gadis yang sebentar lagi lulus itu terkejut dengan penuturan kakaknya.
Melalui pantulan kaca spion, Amar melirik Ifah yang sedang terdiam menunduk. Perubahan sikap dan yang tadinya tertawa menjadi murung, bisa Amar lihat. Tak ingin keadaan menjadi canggung, lelaki berhidung mancung itu pun melontarkan gurauan lain. Namun tidak berpengaruh pada mood baik gadis itu.
Amar berpikir apakah Ifah memiliki perasaan khusus sama sepertinya? Bisakah dia mengungkapkan pada orang tua tentang perasaannya agar perjodohan itu dibatalkan? Ah … sepertinya belum terlambat kalau dibicarakan segera setelah kiai sehat.
***
“Mbak, sampean lapar?” tanya Amar saat Ifah menunggu di luar. Dia menjaga kedua cucu kiainya itu di taman rumah sakit.
“Eh, mboten, Gus,” (tidak, Gus) jawab Ifah terkejut karena kehadiran gus e yang tak tiba-tiba.
“Kok murung saja sejak di mobil. Apa sakit?”
Ifah menggeleng. “Mboten, Gus,” jawabnya lirih.
“Apa keberatan di ajak ke sini hanya disuruh momong anaknya ning?”
“Mboten, Gus.”
“Apa keberatan kalau jadi uminya anak-anakku?”
“Hah ?!”
“Lho, kok bukan jawaban ‘mboten’ yang keluar?” Amar tertawa melihat ekspresi terkejut gadis di depannya itu.
“Dari tadi jawabnya ‘mboten-mboten’ terus. Barangkali jawab sama juga buat pertanyaanku yang terakhir.” Amar masih tertawa agar keadaan tidak canggung.
Ifah melengos. “Gus Amar remen guyon,” (Gus Amar suka bercanda) celetuk Ifah setelah tersadar dikerjai gus e.
Karena penasaran dan nanggung juga, dia memberanikan diri bertanya.
“Gus … boleh tanya?”
“Tanya apa?”
“Njenengan beneran sudah dijodohkan?”
Bersambung…