Suara tadarus dari toa masjid setelah salat tarawih menggema di penjuru pesantren. Walau sebagian besar santri telah pulang, tapi suasanya khas malam Ramadhan masih terasa kental di pesantren tersebut. Setelah tadarus, Amar memutuskan untuk pulang.
Di ruang tengah, kedua orang tuanya sedang duduk santai. Meja di depannya terdapat potongan melon sebagai kudapan. Mereka bertiga membicarakan hal-hal ringan, sampai nyerempet perihal jodoh Amar. Seperti mendapat peluang, Amar berusaha menanyakan perempuan yang dicalonkan untuknya.
“Ngapunten (maaf) Ummah, saya kan belum pernah bertemu atau melihat gadis itu selama ini. Kenapa Ummah sangat yakin kami cocok?”
“Cah e ayu, Le (Anaknya cantik). Sekarang sudah hafal 24 juz. Keluarganya juga baik. Ummah cari mantu juga gak sembarangan. Insya Allah cocok sama kamu. Sama-sama pinter dan ngerti agama,” tutur sang ibu dengan bersemangat.
Amar mengangguk untuk menghormati ibunya.
“Ummah punya fotonya? Atau akun sosmed barangkali?” Lagi, Amar mencoba mengorek informasi.
“Dia gak main sosmed. Dari kecil sudah nyantri. Anaknya kalem. Weslah percaya sama Ummah. Gak akan nyesel sampean nanti.”
Melihat antusias ibunya, Amar pun luluh. Dia urung mengungkapkan bahwa dia sudah punya pilihan hati sendiri. Gadis yang tinggal di kota yang sama dengan calon yang disebutkan ibunya. Amar hanya berdoa agar mereka orang yang sama. Menunggu … hanya menunggu sampai perjumpaan itu benar terjadi setelah lebaran nanti.
“Le, malam-malam begini apa ada counter yang buka?” tanya ummah sambil mengutak atik ponselnya.
“Pulsa Ummah habis?”
“Sepertinya iya. Aku WA Ifah kok centang satu dari tadi.”
“Ifah siapa, Ummah?”
“Ya Ifah Mbak ndalem. WA-nya centang semua ini.”
Mendengar jawaban dari ibunya, Amar mengulum senyum lalu menawarkan untuk beli pulsa. Tak lupa dia meminta untuk membawa ponsel sang ibu.
***
[Assalamualaikum]
Sebuah pesan masuk dari aplikasi berlogo gagang telepon dan chat hijau itu. Gadis yang sudah berniat tidur itu membukanya sambil bertanya-tanya. Siapa?
[Sudah tidur ya Mbak?]
Kembali sebuah pesan masuk.
“Orang iseng mungkin ya?”
Alih-alih menjawab pesan tersebut, gadis itu malah menekan logo pesawat. Menaruhnya di atas nakas lalu bersiap tidur.
Hari masih gelap. Ayam jago pun belum terbangun. Suara patrol sudah menggema di sepanjang jalanan kampung untuk membangunkan sahur.
Panci beserta tutupnya, kentongan bambu, botol kaca, galon air, ember, dan bermacam perkakas dapur disulap menjadi alat musik yang menciptakan nada berirama khas. Walau terdengar bising, tapi kegiatan itu adalah salah satu moment yang dirindukan selama Ramadhan.
Benda pipih di atas nakas berbunyi. Ifah segera meraih dan mematikan suara alarmnya. Kemudian me-nonaktif-kan mode pesawat. Beberapa saat termenung di atas kasur, deretan pesan whatsapp bermunculan dari nomor yang sama.
[Maaf malam-malam mengganggu]
[Sudah tidur nggih, Mbak?]
[Beneran sudah tidur, nggih. Afwan]
[Ini nomor saya]
[Amar]
Ifah mengucek matanya beberapa kali. Tak percaya dengan nama yang tertera.
“Gus Amar?”
“Masak Gus Amar?”
“Seingatku gak punya teman dengan nama itu selain gus e.”
“Dari mana bisa tahu nomor WA-ku?”
“Apa dikasih tahu bu nyai, ya?”
“Lalu apa maksudnya chat seperti ini?”
Deretan tanda tanya memenuhi pikirannya. Ingin membalas, tapi urung. Biar nanti saja. Kalau memang penting, pasti akan chat lagi. Mengabaikan ponsel di atas kasur, dia turun untuk melaksanakan rutinitas pagi.
Setelah salat Subuh berjamaah dengan sang ibu, masih dengan mukenah terusan berwarna putih, dia melafalkan kalamallah dengan tartil. Tak ingin menyia-yiakan jackpot yang Allah berikan di bulan yang mulia tersebut. Di mana pintu-pintu langit terbuka bagi siapa saja yang mau berdoa dan melakukan amalan saleh.
Setelah selesai tadarus, Ifah kembali ke kamarnya. Mengecek ponsel yang tergeletak di atas kasur, masih sama seperti tadi dia tinggalkan.
“Sepertinya hanya orang iseng yang kebetulan namanya sama dengan gus e. Jaman sekarang banyak modus penipuan seperti ini. Sok kenal, lalu kena tipu. Nauzubillah minzalik.” Gadis itu bermonolog.
Sirat jingga menghiasi langit. Suara burung bersahutan membentuk sebuah irama seolah menyambut kemunculan sang surya. Embun di atas dedaunan menambah kesegaran pagi di kampung tersebut.
Ifah sudah bersiap dengan alat kebersihan. Selama nyantri, dia merasakan terbentuknya perilaku disiplin dan mandiri sampai sekarang. Begitupun saat di rumah seperti ini. Kegiatan bersih-bersih rumah merupakan rutinitasnya setiap hari.
Setelah selesai bersih-bersih rumah, dia kembali ke kamar untuk salat Dhuha. Sebelumnya mengecek ponsel. Tak ada pesan lagi. Berarti benar hanya orang iseng yang kebetulan namanya sama dengan gus e.
Setelah sata Ashar, ponselnya berbunyi. Di layar tampak foto profil seorang lelaki berdiri dengan background bangunan khas timur tengah.
“Gus Amar?” Seolah tak yakin kalau orang yang menelepon adalah anak dari kiainya, Ifah malah tertegun.
Panggilan pertama tidak dijawab. Selang beberapa detik, kembali panggilan itu lagi. Setelah mengucap bismillah, akhirnya Ifah menekan gagang telepon berwarna hijau.
“Ini benar Mbak Ifah, kan?”
Tanya suara di seberang setelah mengucap salam.
“Injih, Gus (iya).”
“Kenapa tidak dibalas chat saya tadi, Mbak?”
“Eh, ngapunten Gus (Maaf, Gus) saya kira orang iseng.”
“Astaghfirullah … saya beneran Amar Mbak. Gak percoyo sampean?”
“Injih, ngapunten Gus.”
“Nggih. Oh iya Mbak, saya sekarang di kompleks pemakaman Gus Dur. Rencananya setelah ini ke makam Syekh Jumadil Kubro di Troloyo. Rumah sampean sebelah mananya?”
‘Hah! Gus Amar di makam Gus Dur? Tanya alamat, apa mau mampir?’ batin gadis itu bertanya-tanya.
“Eemm … njenengan mau apa tanya rumah saya, Gus?”
“Mau cari buka gratisan, Mbak. Maklum musafir.”
Seketika tawa kedua orang itu pecah.
“Hehee … kok melas njenengan, Gus.”
“Lumayan Mbak bisa hemat ongkos marung (makan di warung).”
Kembali Ifah dibuat geli dengan guyonan gus e.
“Jadi beneran mau mampir?” tanyanya lagi memastikan.
“Njih, kalau tuan rumah mengizinkan. Nanggung sudah sampai sini pula.”
Ifah terdiam sejenak.
“Mbak ….”
“Eh nggih Gus. Eemm … saya tanyakan ab– eh bapak dulu nggih. Kalau diizinkan, saya kirim alamatnya lewat google map.”
Setelah mendapat jawaban dan salam penutup, Ifah segera memutuskan panggilan suara tersebut. Mencari sosok orang tua laki-lakinya yang ternyata sedang duduk di ruang baca.
Setelah menceritakan maksud gus e, lelaki berusia 58 tahun itu berpikir sejenak lalu mengangguk. Ifah mengirimkan titik lokasi rumahnya pada Amar. Setelah itu menuju dapur untuk bilang kepada ibunya. Beruntung masakannya banyak karena sang kakak dari kota sebelah tiba-tiba batal datang untuk buka bersama.
Pukul lima sore, sebuah mobil Innova berhenti di halaman rumah bercat kuning gading tersebut. Empat lelaki bersarung turun dari mobil. Ifah hanya mengintip dari selambu ruang tengah. Sang bapak yang menyambut dan mempersilakan masuk.
Setelah berbincang beberapa saat, azan Magrib berkumandang. Semua disilakan ke ruang makan untuk membatalkan puasa dengan takjil yang disediakan. Ngocoks.com
Di sana Amar bisa melihat sosok gadis yang menjadi alasan dia melakukan perjalanan hari itu. Ifah yang sedang meletakkan buah, menyapa dengan mengucapkan salam dan mempersilakan para tamu, kemudian berlalu masuk ke dapur kembali.
Melihat sekilas senyum gadis itu bagi Amar bak menemukan oase di padang pasir. Apa benar dia sedang jatuh cinta? Entahlah apa namanya, tapi dia tak mampu menolak perasaan bahagia yang dirasa.
Perjalanan ziarah mendadak kali ini memang memiliki maksud ganda. Tadi setelah subuhan, Amar mengutarakan niatnya untuk ziarah wali di Jawa Timur. Kebetulan rutenya melewati kota tempat tinggal gadis yang membuatnya merasakan arti rindu.
Setelah jamaah Magrib dan buka bersama, Amar mengirim pesan pada Ifah karena hendak pamit.
[Mbak, ada oleh-oleh dari Kudus.]
Tak lama menunggu, balasan dari Ifah diterima.
[Njih Gus. Matur suwun. Njenengan berikan pada bapak saja.]
Walau sedikit kecewa karena mendapat jawaban itu, tapi Amar memakluminya. Sebagai seorang muslimah, sikap Ifah termasuk wajar. Amar beristigfar dalam hati. Semoga ini bukan dorongan setan.
Rombongan sudah naik ke atas mobil dan bersiap melanjutkan perjalanan. Tak sengaja, gadis yang diharapkan kemunculannya itu keluar dari ruang tengah membawa nampan. Walau sekilas melihat sosoknya, hati Amar kembali seperti disiram air yang menyejukkan.
[Mbak, tidak perlu bilang ummah kalau saya mampir, ya. Nanti beliau kepingin ke sini lagi.]
Walau tak mengerti maksud gus e, Ifah menjawab singkat.
[Njih, Gus]
Di tangannya sudah ada paper bag pemberian Amar. Ifah mengeluarkan isinya. Ternyata sebuah jilbab sutera berwarna soft pink yang cantik. Ada juga sepucuk amplop dengan tulisan “Bacalah sehari sebelum balik ke pondok.”
Bersambung…