Peristiwa yang harus dirahasiakan bersama Mama itu tidak berhenti sampai di situ saja. Esok malamnya terjadi lagi “:sesuatu” yang sangat “sesuatu”.
Ketika makan malam bersama Mama, aku mulai melihat Mama sebagai sosok yang sangat menggiurkan. Tubuh yang tinggi montok dengan kepadatan yang luar biasa untuk wanita seusianya. Memang Mama rajin senam tiap pagi, sehingga menghasilkan tubuh yang begitu padat di sekujurnya. Tidak ada yang kendor sedikit pun.
Kulit Mama pun putih mulus, wajah Mama masih terlihat cantik. Ya, semuanya itu mulai kuperhatikan sejak Mama kusetubuhi, sebagai pasangan seksual yang sangat memuaskan. Bukan lagi seorang ibu yang melahirkanku.
Sikap Mama sendiri terasa mulai berubah. Kemaren Mama kelihatan seperti sedih. Bahkan kulihat air matanya berjatuhan ketika aku sudah siap – siap mau berangkat kuliah.
Tapi sore tadi, ketika melihatku datang, Mama jadi kelihatan ceria. Tatapannya jadi seperti tatapan seorang wanita kepada seorang lelaki yang dicintainya. Senyumnya juga jadi manis di mataku. Manis sekali.
Mama bahkan berkata, “Nanti kalau mau tidur sama Mama lagi, mandi dulu yang bersih ya Sayang. Supaya badanmu harum.”
“Iya Mam. Setelah isi perutku turun, aku mau mandi sebersih mungkin,” sahutku, “Nanti kita begituan lagi kan Mam?”
“Iya. Tapi kalau mau ngecrot, lepasin di dalam aja ya.”
“A… aku cuma takut bikin Mama hamil.”
“Nggak mungkin hamil. Mama kan masih ikutan KB sejak kamu lahir sampai sekarang, belum pernah dicabut. Takut mama kebablasan dalam bergaul.”
“Termasuk waktu Mama kebablasan dengan Oom Dani itu kan?”
“Sudahlah Abe. Itu masa lalu mama. Jangan diungkit – ungkit lagi. Dani itu lelaki bajingan yang hanya mengincar harta mama. Sekarang mama sudah benci dia. Benci sekali.”
“Mobil peninggalan almarhum Papa juga dijual untuk memenuhi keinginan dia kan?”
“Sudahlah. Jangan ungkit – ungkit lagi masa lalu mama yang kelam itu. Sekarang mama kan suydah punya kamu.”
“Iya… sampai kapan pun aku takkan mengkhianati dan meninggalkan Mama.”
Mama mencium pipiku. Lalu berkata setengah berbisik, “Sekarang mandi dulu gih. Pakai air panas aja, biar lancar aliran darahmu.”
“Iya Mam,” sahutku sambil melangkah ke arah kamar mandi pribadi Mama.
Sebenarnya kamarku juga ada kamar mandinya. Tapi di kamarku hanya ada shower, tanpa water heater. Sementara kamar mandi Mama ada water heaternya. Karena itu aku jadi sering mandi di kamar mandi Mama.
Di kamar mandi, ketika tubuhku sedang disemprot oleh air hangat shower yang mengepul, aku tersenyum sendiri. Karena aku merasa memenangkan sesuatu. Sedikitnya aku telah berhasil mengubah sikap Mama dengan drastis.
Kalau kemaren Mama tampak menyesal, kini malah tampak ceria. Bahkan secara tidak langsung Mama sudah memberi lampu hijau untuk melakukan seperti yang kemaren lagi.
Kenyataan menggembirakan itu membuatku berubah juga. Bahwa aku tak usah sembunyi – sembunyi untuk berjumpa dengan janda yang usianya seumuran dengan Mama itu lagi. Dengan Mama, segalanya lebih aman dan bisa kulakukan kapan saja. Sementara dengan janda itu, selalu saja aku harus mencari saat yang tepat untuk menemuinya, terutama pada saat anaknya sedang tidak ada.
Yang membuatku agak kaget, adalah ketika aku melihat memek Mama sekarang… jadi bersih dari jembut! Dalam keadaan bersih plontos begitu, memek Mama jadi lebih jelas bentuknya. Sampai lipatan – lipatannya pun terlihat dengan jelas…!
“Memeknya dicukur Mam?” tanyaku sambil menepuk – nepuk memek Mama.
“Iya. Kalau sudah gondrong suka dicukur. Karena suka gatel kalau keringatan,” sahut Mama ketika aku semakin mendekatkan mataku ke memek Mama.
“Lebih bagus gundul gini Mam. Kalau dijilatin takkan nyelip jembut di gigiku.”
“Kamu kok seperti yang sudah berpengalaman Be.”
“Berpengalaman gimana maksudnya Mam?”
“Pengalaman ngentot cewek.”
“Pengalaman sih gak ada,” sahutku berbohong, “aku cuma sering nonton bokep sama teman – teman kuliahku. Sering juga mendengar cerita mereka yang sudah berpengalaman.”
Mama bergumam, “Owh… kirain…”
Sebenarnya aku berbohong. Belakangan ini aku sering berada di rumah seorang janda bernama Kaila, tapi aku suka menyebutnya Tante Lala.
Tante Lala itu ibu sahabatku sendiri. Dan sahabatku itu bernama Rendi.
Aku masih ingat benar awal dari dekatnya hubunganku dengan Tante Lala itu, yakni pada waktu aku datang ke rumahnya.
“Abe?! Ayo masuk, “sambut Tante Lala setelah membuka pintu depan rumahnya.
“Iya Tante… terima kasih…” sahutku sambil masuk dan duduk di sofa ruang tamu.
“Rendi lagi ke Blitar Be,” ucap Tante Lala sambil duduk di sofa yang berhadapan denganku. Membuatku terkesiap, karena gaun rumah yang dikenakannya sangat tipis dan transparant. Sehingga samar – samar aku bisa melihat beha dan celana dalamnya di balik gaun rumah tipis transparan itu.
“Ohya?! Mau lama dia di sana Tante?” tanyaku sambil memandang ke arah lain, karena Tante Lala duduk sambil bertumpang kaki, sehingga paha putih mulusnya terlihat jelas di mataku.
“Selama liburan aja,” sahut Tante Lala sambil tersenyum, “Kamu juga libur sekarang kan?”
“Iya Tante. Meski Rendi berbeda fakultas denganku, tapi Rendi kan seuniversitas denganku. Ohya… di Blitar ada saudara?”
“Iya. Tante punya adik di sana. Jadi Rendi mau menikmati liburan di rumah oomnya yang di Blitar itu.”
Aku berkali – kali harus membuang pandanganku ke arah lain. Tidak berani bertatapan mata dengan ibunya Rendi itu. Karena dia seperti sedang memperhatikanku terus.
Sambil menunduk aku berkata, “Kalau tau Rendi mau ke Blitar, aku mau ikut. Sekalian ingin tau suasana Jawa Timur.”
“Memangnya Rendi nggak ngasih tau kalau dia mau ke Blitar?” tanya Tante Lala sambil berdiri, lalu melangkah ke arah sofa yang kududuki. Dan duduk di samping kiriku.
“Nggak ngasih tau, Tante,” sahutku mulai salah tingkah, karena Tante Lala duduknya terlalu merapat padaku.
“Memang keberangkatan Rendi mendadak. Setelah mendapat telepon dari oomnya, Rendi langsung bilang mau berangkat ke Blitar,” ucap Tante Lala, “Tapi Abe kalau nggak ada teman selama liburan ini, nginap aja di sini. Biar tante ada temen juga.”
Ucapan itu dilontarkan oleh Tante Lala sambil memegang tanganku, disertai remasan perlahan.
Aku mulai grogi. “Iii… iya Tante. Ta… tapi aku gak bawa baju ganti,” sahutku nyeplos begitu saja.
“Kalau buat tidur aja sih tante punya beberapa pakaian baru yang tadinya akan kuberikan untuk Rendi di hari ulang tahunnya sebulan lagi. Nanti boleh kamu miliki. Buat Rendi sih bisa beli lagi sebelum dia datang. Yang penting, jangan ngomong apa-apa sama Rendi nanti,” ucap Tante Lala sambil menarik tanganku dan meletakkannya di atas lututnya yang terbuka sampai ke pertengahan pahanya.
Aku degdegan menghadapi kenyataan ini. Apalagi setelah mendengarkan bisikan Tante Lala, “Kamu mengerti kan apa yang harus kamu lakukan kalau tanganmu sudah berada di lutut tante?”
“Bo… boleh Tante?” tanyaku tergagap.
“Boleh. Justru tante sedang membutuhkan keberanianmu sekarang.”
Meski belum punya pengalaman, sebagai seorang mahasiswa tentu saja aku mengerti apa yang harus kulakukan sebagai “keberanian” seperti yang diinginkan oleh Tante Lala itu.
Tanpa diminta kedua kalinya, aku merayapkan tanganku yang agak gemetaran ini ke paha Tante Lala. Tante Lala malah melingkarkan lengan kanannya di pinggangku, sambil merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku.
Paha dan pipi Tante Lala terasa hangat… menimbulkan desir – desir aneh di dadaku. Mungkin inilah yang disebut desir nafsu birahi.
Sementara itu tanganku sudah tiba di pangkal paha Tante Lala yang lebih hangat lagi. Membuatku mulai lupa segalanya. Ketika tanganku menyentuh celana dalamnya, aku tak kuasa lagi menahan diri, untuk menyelinapkan tanganku ke balik celana dalam Tante Lala. Sampai menyentuh sesuatu yang empuk hangat…
Nafasku mulai tak beraturan. Hah – hoh – ha – hoh terus. Namun Tante Lala memagut bibirku, lalu melumatnya. Sementara jemariku sudah menyelinap ke dalam celah basah yang licin dan hangat itu.
Saat itu aku betul – betul belum pernah menyetubuhi perempuan. Tapi meski belum berpengalaman, aku yakin bahwa jemariku sedang berada di dalam liang memek Tante Lala.
“Kamu udah pernah menyetubuhi cewek Be?” tanya Tante Lala sambil melingkarkan lengannya di leherku. Dan menatapku dari jarak yang sangat dekat.
“Belum pernah Tante,” sahutku.
“Sama sekali belum pernah?”
“Iya Tante.”
“Serius Be… kamu belum pernah menyetubuhi perempuan?”
“Belum pernah Tante. Silakan aja tanyain Rendi. Dia tau benar rahasia pribadiku.”
“Hush… semua ini harus dirahasiakan. Rendi jangan sampai tau.”
“Iii… iiiyaaa Tante…”
“Kamu mau merasakan ngentot memek Tante gak?”
“Kalau dikasih sih mau… mau banget Tante…”
Bersambung…