Kalau diibaratkan perang, malam itu aku dan Rendi habisan menyerang Tante Lala yang mungkin sudah tergolong wanita hypersex. Karena setelah aku maju untuk yang kedua kalinya, Rendi pun “maju” lagi ke “Makassar tempur” untuk kedua kalinya. Perilaku Rendi dengan ibunya itu jelas membuatku terangsang berat.
Maka setelah Rendi ambruk, aku pun maju lagi untuk yang ketiga kalinya.
Begitulah kejadiannya. Bahwa malam itu Tante Lala disetubuhi lima kali. Tiga kali denganku dan dua kali dengan anaknya sendiri.
Kisah di rumah Tante Lala itu takkan terlupakan olehku. Namun kenapa aku jadi sering membayangkan seandainya aku melakukan hal yang sama dengan Mama?
Mama memang sudah kerap kusetubuhi. Namun sejauh ini aku belum berani mengundang Rendi agar bisa bergabung untuk menggauli Mama.
Dan sebelum aku melangkah lebih jauh lagi, pada suatu sore aku ditelepon oleh Bang Idang, suami Kak Reni. Bang Idang memintaku datang ke rumahnya, karena ada sesuatu yang penting, katanya.
Aku pun berangkat menuju rumah Bang Idang dan Kak Reni. Setibanya di rumah mereka, aku dihampiri oleh suami Kak Reni dan mengajaknya ngobrol di ruang keluarga.
Lalu Bang Idang bertanya, “Abe… kamu sedang libur gak?” “Libur lima hari Bang. Emangnya kenapa?” tanyaku.
“Kakakmu itu mau ke Makassar besok. Aku tak mungkin bisa mengantarnya. Karena di kantor sedang sibuk – sibuknya. Maklum dikejar deadline tutup buku. Kamu bisa kan nganter kakakmu ke Makassar?”
“Di Makassarnya berapa hari Bang?”
“Sekitar tiga atau empat harian gitu. Gimana? Bisa?”
“Kalau empat hari sih bisa Bang. Asal jangan lebih dari lima hari aja. “
“Kalau segalanya berjalan lancar, malahan dua hari juga selesai urusannya di Makassar. “
Esok harinya, pagi – pagi sekali aku dan Kak Reni sudah berada di bandara. Karena kami akan terbang dengan pesawat yang take off jam 08.30. Bang Idang pun mengantar kami sampai di bandara.
Setelah berada di dalam pesawat, aku bertanya kepada kakakku, “Sebenarnya di Makassar mau mengurus apa Kak?”
“Ada orang yang mau pinjam uang. Dia menjaminkan rumah dan tanahnya di Makassar. Karena itu aku harus menaksir dulu seperti apa kondisi rumah dan tanah yang akan dijaminkan itu. “
“Alamat lengkapnya sudah Kakak catat?”
“Sudah. Katanya sih gak jauh dari bandara. “
Aku tidak tahu, apakah aku yang masih awam atau Kak Reni yang kebilnger. Karena menurutku, untuk menaksir harga tanah dan rumah cukup dengan menghubungi lembaga appraisal, lalju tunggu hasilnya. Nanti akan datang laporan berapa taksiran mereka harga tanah dan rumah di Makassar itu.
Entahlah. Aku tak mau mengungkapkan pendapatku, takut Kak Reni tersinggung. Yang jelas Kak Reni dan aku setibanya di Makassar langsung cek in di sebuah hotel yang tak jauh dari Bandara Sultan Hasanuddin. Hotel itu sudah dibooking oleh Kak Reni lewat sebuah biro jasa di internet, bahkan sudah dibayar untuk menginap di sana selama 4 malam.
Cukup lama kami mengotak – atik masalah itu. Sampai sore kami berada di kelurahan itu. Kemudian makan di rumah makan dan kembali ke hotel setelah senja.
Hotel itu adalah hotel berbintang. Jelas setiap kamar menggunakan AC. Tapi Kak Reni sengaja mematikan ACnya dan membuka jendela kacanya. Karena Kak Reni seorang perokok. Tapi ia hanya merokok di rumah atau dsi tempat tertutup seperti hotel ini. Tak berani merokok di tempat umum.
Aku kegerahan. Maklum udara Makassar yang terasa menyengat panasnya. Sementara fasilitas AC malah dimatikan.
Karena itu aku hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada sebelum merebahkan diri di atas bed. Sementara Kak Reni masih menggeluti angka – angka yang didapatkannya dari kelurahan tadi.
Sebelum terlena tidur, aku masih sempat melihat Kak Reni melepaskan gaunnya, lalu dalam keadaan cuma berbeha dan bercelana dalam saja ia menggeluti angka – angka itu lagi. Sambil merokok terus.
Lalu aku tertidur nyenyak di atas satu – satunya bed dalam kamar hotel ini.
Tapi aku membuka mataku ketika terasa ada sesuatu yang menghimpit pinggangku. Ternyata paha Kak Reni yang menghimpit pinggangku itu.
Memang pada waktu aku masih kecil, Kak Reni suka memelukku pada waktu tidur bersama seperti ini.
Tapi kini aku sudah dewasa. Kak Reni yang cuma mengenakan beha dan celana dalam itu jelas mengundang perasaan lain. Tapi aku berusaha untuk menindas pikiran yang bukan – bukan, karena mengingat Kak Reni iutu kakakku sendiri. Sudah punya suami pula.
Tapi batinku mulai bergulat. Membayangkan bahwa Mama pun sering kusetubuhi. Lalu apa salahnya kalau Kak Reni pun kuperlakukan yang sama? Tapi apakah Kak Reni takkan marah?
Lebih dari setengah jam batinku bergulat. Sampai akhirnya… ketika Kak Reni tampak sudah tertidur, diam – diam tanganku bergerak ke celana dalamnya. Kugeser celana dalam putih itu ke sebelah kanan, sehingga aku menyaksikan sebagian dari kemaluan kakakku.
Sang Nafsu pun mulai menguasai benak dan hatiku. Aku mulai menggunakan jemariku untuk menggerayangi kemaluan kakakku.
Gila… nafsuku semakin menjadi – jadi. Membayangkan nikmatnya kalau kemaluan Kak Reni diterobos oleh penisku.
Tapi… ketika aku sedang asyik mengelus – elus mulut vagina Kak Reni… tiba – tiba dia memegang pergelangan tanganku. Tentu saja aku kaget dibuatnya. Maka kutarik tanganku, menjauhi kemaluan kakakku. Lalu membelakanginya sambil pura – pura tidur lagi.
Mudah – mudahan Kak Reni tidak marah, pikirku.
Tapi apa yang terjadi selanjutnya?
Kak Reni mendekap pinggangku dari belakang. Bukan cuma mendekap. Tangannya menyelusup ke lingkaran elastis celana pendekku. Lalu memegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini…!
Kak Reni meremas – remas dan mengelus – elus batang kemaluanku. Ini membuatku yakin bahwa Kak Reni pun menginginkannya…!
Lalu kenapa aku harus berdiam diri dan pura – pura tertidur? Akhirnya aku memberanikan diri untuk membalikkan tubuhku jadi berhadapan dengan kakakku.
Kutatap bola mata Kak Reni yang tampak bersorot lain itu. Bahkan ia bangkit untuk menarik celana pendekku sampai terlepas dari kakiku. Lalu kembali menggenggam batang kemaluanku sambil berkata setengah berbisik, “Kontolmu sudah ngaceng banget Abe… “
“Iya Kak…” sahutku sambil merayapkan tanganku ke balik celana dalam Kak Reni. Dan menjamah kemaluannya yang licin plontos… mengelus celahnya yang mulai membasah dan membiarkannya mengelus – elus puncak penisku.
Nafasku mulai tak beraturan. Kak Reni pun memegang penisku dengan mata yang terpejam. Dan tetap terpejam ketika kupelorotkan celana dalamnya sampai terlepas dari kakinya.
Masih terpejam juga mata Kak Reni ketika aku sudah mendekatkan mulutku ke memeknya yang tembem dan sudah kungangakan itu.
Lalu aku mulai menjilati memek Kak Reni… membuat nafas kakakku tertahan – tahan. Terlebih setelah jempol kiriku mulai beraksi, untjuk menekan kelentitnya… lalu menggesek – geseknya… sementara jemari tangan kananku mulai kuselundupkan ke celah kewanitaannya.
Karuan saja Kak Reni mulai merintih – rintih histeris, “Abe… ooooh… ini enak sekali Bee… ternyata kamu udah pengalaman juga ya… iya Beee… jilatin terusss… itilnya juga elus terus Beee… ooooooh… oooo… oooooh… ini luar biasa enaknya Beeee… oooo… ooooohhh… itilnya elus terus Beee…
Aku pun jadi semakin bersemangat untuk menjilati memek kakakku yang ternyata sangat menggiurkan ini.
Bahkan pada suatu saat, ketika terasa liang memek Kak Reni sudah sangat basah, aku tak minta izin dulu padanya, untuk menjebloskan batang kemaluanku ke dalam liang memeknya…!
“Ooooooh… kontolmu langsung masuk semua Be… tapi ingat… ini rahasia kita berdua aja ya Be. “
“Iya Kak. Aku juga ngerti soal itu sih. “
“Apakah kamu pernah membayangkan kejadian seperti ini?”
“Nggak pernah Kak. Baru tadi aja aku tiba – tiba jadi nafsu. “
“Mmm… begitu ya… Ayo entotin kontolmu… jangan direndem terus… ntar keburu jadi cacing… “
Aku menahan tawaklu mendengar kelakar Kak Reni itu. Lalu aku mulai mengayun batang kemaluanku seperti yang Kak Reni inginkan.
Gila… ternyata memek kakakku ini enak sekali. Sehingga aku semakin bergairah untuk mengentotnya.
Kak Reni pun mulai mendesah – desah dan merintih – rintih. “Aaaaah… aaaaah… entot terus Beee… ternyata kontolmu enak juga Beee… aaaaah… aaaah… entot terus Beee… entot terussss… entooooottttt… entooooottttt… iyaaaaaa… iyaaaaaaa… entot teruuuuusssss… entooooottttttttt…
Sambiol mempergencar entotanku, masih sempat aku membisiki telkinga Kak Reni, “Memek Kak Reni juga ternyata enak sekali Kak… rasanya legit dan menjepit gini… seperti memek yang belum pernah melahirkan… ooooh… gak nyangka kita bisa beginian ya Kak… “
“Hmh… kita ini lagi ngapain Be?”
“Lagi ngeweeee… ngewe memek Kak Reniiiii…” sahutku terengah.
“Hihihiii… kamu memang nakal, tapi menyenangkan,” ucap Kak Reni sambil menepuk – nepuk pipiku.
“Aaa… aaku bakal makin sayang sama Kak Reniii…” sahutku sambil meremas – remas toket Kak Reni.
“Aku juga bakal makin sayang padamu, Bee…” sahut Kak Reni sambil mulai menggoyang – goyangkan pantatnya. Berputar – putar, berkelok – kelok dan menghempas – hempas. Sehingga makin nikmat saja rasanya menyetubuhi kakak kandungku tercinta ini.
Keringat pun mulai membasahi tubuh kami. Tapi kami tak mempedulikannya.
Aku semakin lama semakin bergairah untuk mengentot Kak Reni yang rintihan histerisnya makin berhamburan.
“Iyaaaaaa… iyaaaaaaa… entot terus yang kencaaaaang… entoooot teruuuus Abeeee… ooooooh… ini enak sekali Beee… entot yang kencang Be… iyaaaaaa… enoooot… entoooot… !”
Lama sekali aku mengenrtot kakakku. Sampai pada suatu saat aku bertanya, “Kak… lepasin di mana?”
“Di dalam memekku aja Be. Tapi sebentar… tahan dulu… aku juga udah mau orgaaaa… tahan dikit… iyaaaaaa… iyaaaaa… ayo sekarang lepasin Beeee… !”
Aku pun memacju entrota nku secepat mungkin, agar cepat ngecrot.
Dan akhirnya… ketika Kak Reni terkejang – kejang di puncak orgasmenya, penisku pun menembak -nembakkan air mani di dfalam liang memek Kak Reni… Dan kami seperti sepasang manusia yang tengah kerasukan. Kami saling cengkram… saling remas dan… crootttt… crooootttt… crot… crooootttt…
Aku berkelojotan di atas perut Kak Reni. Lalu terkulai lemas… dalam kepuasan yang mendalam sekali.
Beberapa saat kemudian ketika kami sudah bersih – bersih di kamar mandi, Kak Reni membuka pembicaraan :
“Abe… sebenarnya ada rahasia yang tak boleh dibocorkan ya. “
“Rahasia tentang apa Kak?” tanyaku.
“Tentang Bang Idang itu. Sejak tabrakan di Puncak, kontolnya tak berfungsi lagi. “
“Maksud Kak Reni… Bang Idang jadi impoten?”
“Iya. Tabrakan itu membuat syaraf tertentu pada putus. Dan tidak bisa dibetulkan lagi. Makanya sejak saat itu aku tak pernah disetubuhi lagi olehnya. Untung aku sudah punya dua anak. Kalau tidak, aku bisa minta cerai… “
“Kecelakaan di Puncak itu sudah lama terjadinya kan Kak?!”
“Iya… kalau gak salah sejak kamu masih semester pertama. Sekarang kamu sudah semester akhir kan?”
“Iya Kak. Berarti sudah empat tahun, Kak. “
“Iya. Selama empat tahun aku tak pernah selingkuih satu kali pun. Baru sekarang aku selingkuh.. dengan adik kandungku pula selingkuhnya,” ucap Kak Reni dengan mata berkaca – kaca.
“Jangan sedih Kak. Aku akan siap memuasi Kakak kapan pun aku dibutuhkan. “
“Iya Be. Memang Bang Idang masih hidup juga sudah untung. Sopirnya malah meninggal kan?!”
“Iya Kak. Lagian Bang Idang kelihatannya seperti normal – normal saja tuh. “
“Yang lainnya normal semua. Bahkan prestasi di tempat kerjanya makin meningkat dengan pesatnya. Sehingga dia sudah dijadikan orang kepercayaan bossnya. Kecuali kontolnya itu, sama sekali nggak bisa ngaceng. Lemas terus. “
“Hadapi dengan tenang aja Kak. “
“Iya. Aku akan berusaha untuk bersikap seolah nggak ada apa – apa pada rumah tanggaku. Kalau aku minta cerai, kasihan sama anak – anak. Kasih sayang ayahnya tetap dibutuhkan oleh mereka. “
“Jangan minta cerai Kak. Biarin aja… kan ada aku yang bisa mewakili Bang Idang untuk meredakan hasrat biologis Kak Reni. “
“Janji ya. Kalau aku sedang horny, kamu harus siap untuk ngentot aku lagi. “
“Iya Kak. Aku janji deh. “
“Hmmm… sejak saat itu pula aku jadi perokok Be. Soalnya aku ingin menindas kegalauanku. “
“Tapi kata orang, cewek perokok itu suka enak ngemut kontolnya Kak. “
“Hihihihi… kamu ada – ada aja. Nanti kamu buktikan sendiri deh. Kita kan bakal lama di sini. Walau pun urusan penting itu sudah selesai, aku masih ingin dientot lagi olehmu sesering mungkin. Sampai aku benar – benar kenyang. ”
Bersambung…