Vania masih tak percaya dia orgasme di depan mata anaknya sendiri. Lupakan tujuh tahun tak terjamah, tahun ini mesti beda. Vania senang anaknya akan keluar main. Tak mengejutkan, semenjak Vania tak lagi berpakaian, anaknya selalu di dekatnya. Kini Vania lega anaknya akan keluar hingga bisa membuat Vania menghabiskan waktu sendiri.
Saat sedang mencuci piring, Vania mendengar suara pintu ditutup. Vania tak tahu kapan anaknya pulang maka dari itu Vania memutuskan untuk mengefektifkan waktu. Langsung Vania menyelesaikan pekerjaannya dan bergegas ke kamarnya.
Setelah menutup pintu kamar Vania mengambil dildo di laci. Dulu Vania beberapa kali memakainya saat bersama suaminya. Namun semenjak kematian suaminya, gairah seksualnya seolah ikut mati.
Vania merebahkan diri sambil memegang vibrator. Jempolnya pun menekan tombol saklar, namun tiada yang terjadi. Pasti batrenya mati, pikir Vania. Untungnya Vania selalu beli batre buat anaknya.
Vania mencoba membuka penutup batre sambil berjalan ke kamar anaknya. Vania pun memutar gagang pintu hingga pintu kamar anaknya terbuka.
Vania pun melangkah masuk mendapati anaknya sedang berbaring, celana ada di lututnya dan tangan ada di penisnya yang tegang.
Vania meminta maaf, berbalik lalu keluar dan menutup pintu kamar anaknya. Vania kembali ke kamarnya sendiri dengan jantung yang berdetak lebih kencang, seperti genderang mau perang. Vania tak bisa menyingkirkan penis anaknya dari pikirannya.
Kira – kira seperempat jam kemudian setelah hatinya tenang, Vania kembali kembali mengetuk kamar anaknya. Setelah suara anaknya berkata masuk, Vania pun masuk. Vania melihat anaknya sedang duduk di depan monitor. Vania pun duduk di kasur bersebelahan dengan kursi yang diduduki anaknya.
“Maafkan mama nak. Mama kira kamu keluar main.”
“Gak jadi mah. Tadi temen bilang ada urusan.”
“Mama gak tahu sih.”
“Iya. Lagian mama ada perlu apa sih?”
“Mama butuh batre.”
“Mama lagi megang apaan tadi?”
Vania merasa malu, “mainan dewasa yang kehabisan batre.”
Akhrinya Ifan berbalik. Meski masih merasa malu namun Ifan tersenyum jua.
“Mama bercanda ah.”
“Gak juga. Mama buru – buru, karena, ingin cepet selesai, sebelum kamu pulang,” Vania bisa merasakan wajahnya memerah.
“Jadi mama mau ngelakuin, ehm, yang mama liat Ifan lakuin?”
“Kira – kira.”
Ibu dan anak itu pun saling tatap, lalu keduanya tertawa.
“Maafin mama ya nak,” kata Vania sambil menyeka matanya.
“Iya mah, lagian mama gak salah kok.”
“Mama boleh nanya gak?”
“Ya.”
“Apa kamu sering ngelakuin itu?”
Vania merasa malu melihat anaknya yang terlihat malu.
“Sekarang sih jadi sering setelah mama telanjang terus.”
“Serius dong. Mama tau mama gak jelek – jelek amat tapi, mama kan udah tua. Terus mama juga ibumu.”
“Ifan serius kok mah, mama masih cantik.”
“Gombal. Tiap lelaki pasti ngomongnya gitu. Tapi mama seneng masih bisa meng’inspirasi’ anak muda kayak kamu.”
Gambaran Ifan memegang kemaluannya muncul lagi di kepala Vania.
Vania pun bangkit, “sekali lagi maafin mama yah.” Setelah itu Vania berbalik menuju pintu.
“Tunggu mah!”
Vania kembali berbalik melihat anaknya membuka laci meja.
“Mama butuh batre apa?”
“Dua batre remot.”
Ifan pun menyerahkan batre ke mamanya.
“Mama jangan marah ya, tapi apa boleh kapan – kapan Ifan nonton mama?”
Vania menatap anaknya sambil memainkan batre di tangannya. Vania mulai sedikit khawatir akan hal ini.
“Gak tahu. Mama mesti pikirkan dulu, tapi tenang saja mama gak marah kok. Asal kamu jujur dan terbuka sama mama.”
Vania menghampiri anaknya lalu mencium pipi anaknya. Setelah itu Vania keluar kamar namun saat akan menutup pintu anaknya bilang agar biarkan saja terbuka.
Vania melangkah ke kamarnya lalu masuk dan membiarkan pintu terbuka. Vania pun duduk di kasur lalu memasang batre dildo.
Kini, rasanya masturbasi membuat Vania gugup. Padahal ini bukanlah kali yang pertama. Vania juga merasa bangga bisa menahan diri untuk tidak masturbasi hingga sekarang padahal cukup lama dia telanjang di depan lelaki. Mungkin jika dia dan anaknya menahan diri untuk tak masturbasi keadaan akan baik – baik saja.
Namun, tanpa mereka sadari, kejadian ini merupakan awal dari kaburnya batas – batasan yang telah disepakati. Entah sampai kapan hingga salah satunya mulai tak bisa menahan diri.
Sejauh ini tak ada kejadian yang menkhawatirkan. Bahkan kebiasaan buruk Ifan mulai menghilang, Ifan mulai belajar bertanggung – jawab.
Vania mulai menyalakan vibrator dan melihatnya sebentar. Setelah itu Vania mematikan vibrator dan meletakkan di pangkuannya. Vania tiba – tiba teringat permintaan anaknya.
“Ifan, sini nak!” suara Vania agak keras.
Ifan memasuki kamar mamanya, “ada apa mah?”
“Gini aja. Tadi mama gak sengaja liat kamu, biar adil mama izinin sekarang kamu liat mama.” Vania mengangkat vibratornya lalu menunjukkannya ke anaknya, “tapi ingat, jangan sentuh apa – apa.”
“Kok mama punya yang gituan sih?”
“Oh, dulu saat mama lagi liat film sama papamu, ada adegan satu wanita main dengan dua pria. Mama iseng bilang ingin nyobain kayak gitu, eh esoknya papamu kasih mama hadian ini.”
“Kayaknya mama dan papa harmonis bener yah?”
“Udahlah nak, jangan bicarain papamu lagi. Sekarang mending kamu duduk aja.”
Ifan pun duduk di sisi kasur sedang mamanya berbaring di tengah.
“Papamu beberapa kali nonton mama gini kayak kamu, dulu.”
Vania menatap anaknya yang sedang membasahi bibir dengan lidahnya. Vania menarik nafas dalam – dalam, santai lalu melebarkan kakinya. Vania mendekatkan dildo ke mulutnya. Anaknya mengamati dengan seksama.
“Jangan pernah gunain ini jika masih kering, harus dibasahi dulu.”
Ifan mengangguk saat melihat mamanya menempatkan dildo di mulutnya. Ifan merasakan kedutan di celananya.
Vania mulai mengulum dildo di mulutnya dengan pelan. Setelah dirasa agak basah, Vania melepas dan mulai menyalakan vibrator. Ifan dapat mendengar dengungannya. Vania mulai menyentuhkan vibrator melingkari payudaranya hingga puting. Sedangkan tangan satunya lagi mengelus selangkangannya sendiri.
Erangan Vania mulai terdengar disertai turunnya vibrator dari payudara ke perut, lalu ke sekitar jembutnya. Sementara tangan yang satunya sibuk keluar masuk di selangkangannya. Vania lalu mencabut jemarinya yang kini basah dan menghisap dengan mulutnya.
Vania menoleh melihat anaknya yang menatap dildo. Vania tetap melihat anaknya saat tangannya yang satu mulai memainkan payudaranya. Kini Vania berusaha memasukan dildo ke memeknya yang makin basah. Nafasnya mulai terengah – engah.
Vania mengangkat dadanya dan melepaskan tangan dari payudaranya. Kini tangan yang bebas mulai menyentuh pinggulnya dari belakang. Kini jempol Vania menekan anusnya sendiri. Rupanya jempol itu berusaha memasuki anus. Erangan Vania makin terdengar keras.
Vania berusaha menekan dildonya sedalam mungkin seiring dengan usaha jempol di anusnya.
“Oh, nak…!”
Vania pun mengejang membuat kasurnya gemetas untuk sesaat. Perlahan, Vania kembali bergerak lalu mengeluarkan dildo dan jempol dari selangkangannya. Vania pun berbaring sambil terengah – engah. Anaknya melihat tubuhnya yang penuh peluh.
Vania menyeka dahi dengan tangannya. Rambutnya penuh keringat hingga lengket. Sementara dildo lepas dari tangnnya meski masih bergetar.
“Oh tuhan,” Vania tersenyum sambil menatap anaknya. “Bagaimana?”
“Luar biasa mah!”
“Itu yang kamu inginkan kan?”
“Ya, tapi kayaknya mama ingin pantat mama juga dijamah yah?”
Vania memerah memikirkan apa yang baru saja anaknya saksikan.
“Harus dilakukan dengan benar nak, karena sangat sensitif. Papamu kadang melakukannya, tapi dia bisa berhati – hati.”
Vania lalu berbaring menghadap anaknya.
“Udah impas kan?”
“Iya. Tapi tetep Ifan ingin mama ketuk dulu kalau mau masuk kamar.”
Ifan mulai tak nyaman dengan rasa sesak di celananya. Ifan lalu bangkit.
“Kalau kamu mau, mama bisa sangat menginspirasi. Tinggal ngomong saja sama mama.”
Vania tersenyum mendengar erangan anaknya sambil menutup pintu kamarnya. Vania lalu melangkah ke kamar mandi sambil melihat vibrator basah menggeliat di kasurnya. Vania berpikir dia harus mulai menyetok batre di kamarnya sendiri. Tapi mungkin lebih baik mengambilnya dari kamar anaknya saja.
“Apa kabarnya anak mama yang selalu terangsang ini?”
Vania muncul lalu menempelkan tubuh ke punggung anaknya karena mau mengambil makanan di lemari. Putingnya serasa menggelitiki punggung.
“Ya makin terangsang karena mama nih.”
Vania menatap payudaranya yang menekan punggung anaknya.
“Maaf, abisnya mau ambil makanan sih.”
Vania mundur membuat tubuhnya tak lagi menempel. Ifan berbalik dan matanya menatap puting mamanya yang keras.
“Masih pagi gini kok udah keras sih mah?”
“Abis pake handuk sih, jadi gini nih,” kata Vania sambil mengelus puting dengan telapak tangannya.
“Ceria bener pagi ini mah.”
“Iya dong. Kan biar semangat.”
“Mau ngapain aja mah hari ini?”
“Gak tau. Kamu maunya mama ngapain aja?” tanya Vania sambil menggoyangkan bahunya. Otomatis payudaranya pun ikut bergoyang.
“Gimana bisa mikir kalau perut kosong mah.”
“Ya udah. Mama bikin panekuk aja ah. Biar bikinnya sambil goyang.”
Ifan duduk lalu tertawa, “goyang sambil bugil.”
Vania lalu membungkuk untuk mengambil wajan dari bawah lemari sambil menggoyangkan pantatnya, “goyang wajan nih.”
Bebepara saat kemudian setelah panekuk matang, keduanya pun sarapan.
“Apa anak perkasa ini mau menolong mamanya yang udah tua dan telanjang?”
“Siap. Mama kan tau caranya memotivasi tanpa busana.”
Ifan tersenyum melihat mamanya tertawa.
“Apa mama juga suka telanjang di depan papa?”
“Gak juga. Tapi sehabis ngelakuin sesuatu, kayak ngebikin kamu, kadang mama telanjang sampai sore atau malam.”
“Mama dan papa aneh juga ya?”
“Mama saling mencintai. Jadi mama dan papa hanya bersenang – senang saja. Lagian meski tua, namun tak mesti berpikiran kolot.”
“Jadi menurut mama, anal seks, masturbasi dan bicarain trisom, normal gitu?”
Vania menunjuk ke anaknya, “Hei, trisom hanyalah fantasi. Lagian bukan salah mama kalau papamu suka pantat. Urusan ranjang mama juga gak perlu jadi urusanmu. Wew,” Vania lalu menjulurkan lidah ke anaknya.
Ifan mengangkat alis mendengar pengakuan baru mamanya.
“Ifan tahu cara ngabisin waktu hari ini mah.”
“Oh ya, ngapain tuh.”
“Tapi, mama jangan marah ya…”
Vania memotong ucapan anaknya, “akhir – akhir ini kamu doyan bener bener bilang gitu?”
“Abisnya, mama telanjang sih. Bukan salah Ifan kalau terangsang.”
“Iya. Jadi apa yang mau kamu katakan?”
“Yah. Pokoknya gak kan melewati batas kok.”
“Baik. Kalau gak ngelanggar aturan sih mama gak keberatan kok.
“Janji ya mama takkan marah. Meski Ifan selalu terangsang, tapi Ifan selalu nurut. Hanya saja kini Ifan makin penasaran.”
“Terus.”
“Ifan,” mata Ifan kini menatap meja, “ingin lihat seperti apa sih anal seks itu.”
“Apa? Kamu ingin mama bawa pulang pria lalu memberi pantat mama cuma – cuma demi memenuhi rasa ingin tahu kamu?”
“Bukan begitu mah. Tapi pake mainan mama.”
“Pake itu? Sambil ditonton kamu? Kenapa gak cari tahu di internet saja?”
“Internet? Itu sih palsu mah.”
“Mama tak percaya kamu ingin nonton mama pake dildo di pantat mama sendiri.”
“Juga sambil Ifan fotoin yah mah.”
Vania terkejut mendengarnya.
“Mama kan udah pernah sama papa. Lagian Ifan gak bakal pegang – pegang kok, jadi jangan marahi Ifan dong.”
Vania menggeleng, “Mama kayaknya ngelahirin maniak. Biar mama pikirkan dulu. Memang itu tak melanggar aturan kita, namun kayaknya terlalu jauh melangkah. Kalau mama menolak apa kamu jadi gak mau bantuin mama?”
Ifan memutuskan saatnya untuk pergi dari dapur. “Tentu tidak mah. Meski mama menolak Ifan tetap akan membantu kok. Panggil saja kalau ada yang harus dikerjain mah. Cuma tadinya Ifan takut mama marah.”
Ifan pun bangkit lalu menuju ke kamarnya untuk main komputer.
Di dapur, Vania beres – beres. Lagi, perutnya kembali dilanda mules. Setelah beres, Vania ke kamarnya lalu duduk di kasur sambil berpikir. Memainkan dildo ke pantat tak bisa disebut normal jika dilakukan di depan anak sendiri. Apalagi sambil di foto. Vania tak terlalu mengkhawatirkan hasil fotonya.
Vania tak ingin membuat anaknya marah. Jadi sepertinya tak berbahaya asal masih dalam aturan. Apalagi dia telah masturbasi dua kali. Bahkan menyentuhkan jemari di anus. Tak heran anaknya jadi penasaran soal anal seks. Vania kembali teringat saat mengambil wajan sambil menggoyangkan pantat. Vania berpikir mungkin anaknya seperti suaminya.
Vania teringat per – anal – an dengan suaminya. Vania juga ingat betapa nikmatnya orgasme yang dirasakan saat masturbasi sambil ditonton anaknya. Vania jadi merasa bersalah menyebut anaknya saat orgasme, bukan menyebut suaminya.
Tak pernah terpikirkan oleh Vania untuk menggantikan suaminya dengan anaknya. Namun, Vania akui ketegangan seksual di rumahnya makin meningkat setelah Vania memutuskan telanjang. Vania kembali memikirkan saat – saat bahagia dengan suaminya. Begitu indah, liar dan nikmat. Kini, semuanya telah hilang.
Suaminya kurang suka diajak belanja. Jadi, untuk memotivasi suaminya, Vania membuat sebuah permainan kecil. Jika sedang belanja, suaminya menantang dia untuk melakukan lima hal, jika ada satu yang tak dipenuhi maka Vania kalah. Pun sebaliknya. Hadiahnya, ya seks.
“Dingin bener nih kulkasnya. Biar agak angetan dikit, taruh bh mama di kulkas,” suaminya menyeringai sambil menunjuk kulkas yang ada di supermarket. Vania pun melepas kaitan bh, menarik tali dari lubang lengan bajunya hingga lepas. Kemudian menaruh bhnya ke kulkas.
“Papa hutang bh baru,” Vania pun berbalik dan melangkah.
“Di bagian roti kok gerah bener yah. Buka aja cdnya di sini mah.”
Vania berhenti lalu menoleh ke suaminya, “Itu ngomong doang atau tantangan pah?”
“Kamu takut ada yang liat? Itu tantangan mah.”
Vania menatap suaminya sambil menyeringai. Vania melangkah ke sudut bagian roti, mengangkat roknya, menggoyangkan pantat, menurunkan cd lalu mengangkat kaki untuk melepasnya.
David menoleh mendengar suara wanita tua yang menggerutu kepada pria tua yang menatap Vania. David ingin Vania menyadari kehadiran pasangan tua itu, maka David menunjuknya. Vania tertawa menyadari apa yang David tunjuk.
Vania tersenyum sambil mengelus seprai. Delapan tahun tanpa belaian lelaki membuatnya gila. Vania tak pernah menyadari perubahan yang terjadi sepeninggal suaminya.
Meski menyukai pantat, namun David bisa dibilang wajar; munkin anaknya pun demikian. Kematian suami membuatnya sadar betapa kita tak tahu kapan kehidupan ini akan berakhir. Pikiran erotis itu membuat Vania sadar sekaligus menggelengkan kepala.
Vania pun melangkah mengambil hand body, kamera saku digital dan dildonya. Setelah terkumpul Vania pun duduk.
“Sini nak!” teriak Vania lantang.
“Tunggu mah,” jawab Ifan sambil bergegas ke kamar mamanya.
Vania merasakan jantungnya berdetak lebih kencang mendengar suara anaknya mendekat.
“Mau ngapain dulu kita mah?”
“Nih,” Vania melemparkan kamera ke anaknya.
“Kamu ingin mama ngapain dulu?” Vania menunjukan bodylotion dan dildo ke anaknya.
“Maksudnya apa mah?”
“Misalnya berbaring dulu, terlentang atau berlutut.”
“Maksud mama ada banyak cara?”
“Duh, kayaknya bakal jadi masalah kalau mama kasih tahu semua yang mama tahu. Mau telungkup,” Vania lalu telungkup, melebarkan pahanya. “Atau sambil berlutut,” Vania berguling lalu bangkit berlutut. Vania menoleh ke anaknya.
“Gitu bagus mah.” Ifan menatap kamera di tangannya. Merasa sangat beruntung. “Setelah selesai boleh dipindahin ke komputer kan mah?”
Vania menatap anaknya sambil memuntahkan hand body ke tangannya. “Apa mama perlu menambah aturan soal foto juga?”
“Tenang mah. Tak akan ada yang tahu kok.”
Dildonya kini dilumasi hand body. “Ingat, yang kayak gini mesti dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai. Wanita bukanlah daging yang bisa diolah seenaknya untuk kesenanganmu sendiri. Wanita juga punya perasaan dan emosi. Hormatilah selalu itu!”
“Gini aja mah. Kalau mama memang tak nyaman, mending gak usah diteruskan deh. Lagian Ifan juga gak kan marah kok.”
“Makasih nak. Tapi mama rasa gak apa – apa kok. Kamu memang kayak papamu.”
Ifan bisa melihat wajah mamanya yang penuh semangat.
“Biasanya pria membantu melumasi. Namun dalam kasus kita tentu tidak. Jadi mama memakai jari sendiri untuk melumasi pantat mama.”
“Makasih mah.”
Vania mendengus tertawa kecil.
Ifan melihat jemari mamanya perlahan masuk ke anus. Lalu tangan yang lain menyemprotkan hand body ke anus. Setelah itu jemari lainnya mencoba masuk. Kini telunjuk dan jari tengahnya sedang berusaha memasuki anus mamanya. Kedua jemari itu bergerak berputar di dalam anus. Hand body kembali disemprotkan dan kini tiga jari yang menari.
Vania melepas jemarinya lalu meraih dildo. Jempolnya berada di tombol.
Ifan melihat lubang anus mamanya membuka lebar.
Vania menyentuhkan ujung dildo ke anus. Vania menatap anaknya yang berdiri menganga, “Halo nak, mama udah siap nih!”
“Apa mah?”
“Pake kameranya dong!”
Setelah kamera itu berada di depan wajah Ifan, Vania mulai memasukan dildonya.
“Uh… Kalau kamu ngelakuin ini sama cewek, mesti pelan – pelan karena awalnya sangat tak nyaman,” kata Vania sambil menggerakan bibirnya. “Jangan pernah lakuin tanpa pelumas!”
Vania berhenti sejenak saat setengah dildo sudah masuk. Dia bisa mendengar suara tombol kamera ditekan. Setelah itu Vania melanjutkan aksinya.
“Kita biarkan dulu sejenak.”
Vania menggoyangkan pantatnya sambil mengawasi anaknya yang sibuk memakai kamera.
Akhirnya, tangan Vania mulai menarik kemudian mendorong lagi dildo itu. Ifan mulai semakin sibuk dengan kameranya.
“Kamu menikmati pertunjukannya? Dasar anak sesat!”
“Bercanda terus ah mah.”
“Dulu papamu bahkan memakai video, bukan kamera kecil kayak gitu.” Tangan Vania mulai bergerak cepat.
“Apa? Di film mah?”
Vania tertawa melihat anaknya sibuk mengutak – atik kamera. Vania menunduk dan mulai mendorong dildo di anusnya lagi. Nafasnya mulai memburu. Ngocoks.com
“Oh, oh, oh.” Vania menjerit lalu lunglai jatuh ke kasur saat tubuhnya gemetar. Tangannya kini berada di sisi kepalanya. Saat berbaring otot anusnya membuat dildo itu perlahan keluar dan jatuh ke kasur.
Ifan melihat anus mamanya membuka – tutup berulang – ulang.
“Keren,” kata Ifan sambil memainkan zoomnya.
Vania mendengar jelas kata – kata anaknya. Tapi kesenangannya membuat Vania mengangkat pantat dan melebarkan paha ke arah anaknya.
“Goyang pinggul goyang pinggul oh asiknya,” suara Vania terdengar serak.
Setelah bergoyang Vania pun lemas dan tergolai di kasurnya. Wajahnya penuh keringat.
“Kamu mesti bantu – bantu mama abis ini.”
“Iya mah, abis mindahin ke komputer.”
Ifan bangkit lalu menghilang keluar. Vania meraih dildo di sampingnya lalu menatapnya. Memang tak sama seperti saat bersama suaminya dulu. Tapi untuk sekarang rasanya cukup. Tiba – tiba Vania tersenyum lalu memasukan dildo itu ke mulutnya. Vania tetap mengulum dildo sambil melangkah ke kamar mandi.
“Oh Tuhan, menjijikkan” Vania terhenti menatap ke kamar anaknya.
Di monitor terlihat film Vania sedang mendorong dildo ke pantatnya. Vania lalu masuk dan duduk di kasur anaknya.
“Sampe diperbesar gitu? Tunggu, mama punya tanda di sana?” Vania lalu berputar menatap pantatnya sendiri.
Ibu dan anak itu menonton video dalam diam. Hingga dildo keluar dan sang ibu menjatuhkan diri di kasur.
“Menjijikan yah,” kata Vania sambil menutup wajah dengan tangan, namun matanya mengintip dari sela-sela jemari.
Ifan tertawa, “Hahaha, kalau liat film horror juga mama bilang takut, tapi sambil ngintip.”
“Orang-orang mestinya jangan liat orang lain terbunuh; apalagi melihat mama mainin anus mama pake dildo,” kata Vania sambil melempar bantal ke anaknya. “Pokoknya, kalau sampai ada yang melihat rekaman ini, mama bersumpah akan membunuhmu.”
“Baiklah Nona Cerewet. Akan saya matikan,” kata Ifan lalu menutup media playernya.
“Ya tuhan, gambar mama lagi telanjang kok dijadiin latar belakang sih? Gimana kalau temanmu melihat? Udahlah, gak akan ada yang lihat rekaman mama karena sekarang kamu akan mama bunuh.”
“Tenang mah. Kan ada dua akun. Yang pertama kalau yang log innya Ifan. Sedangkan kalau temen pake akun umum.”
Vania melihat pantatnya memenuhi hampir seluruh layar dengan dildo menancap dan
Vania sembur. Dia melihat gambar pantatnya mengisi sebagian besar layar dengan setengah penis karet mencuat dari anusnya dengan kepala hanya terlihat di bahu di latar belakang.
“Kok pake gambar yang itu sih? Pantat mama jadi terlihat super besar.”
“Kan gambarnya juga cuma sedikit mah. Tapi Ifan siap fotoin lagi kok.”
“Tidak. Yang terakhir aja bisa jadi masalah.”
“Tapi mah, hasil kamera ini adalah hasil terindah yang pernah Ifan lihat.”
“Bercanda aja. Mama sih lihatnya kayak lihat film porno tua. Hanya saja tanpa musik latar.”
“Kalau mama mau Ifan bisa tambahin musik kok mah.”
“Bukan gitu maksud mama,” Vania menatap monitor lagi lalu bergidik. “Jorok bener gambarnya, kamu kok bisa tahan melihatnya sih?”
“Mah, Ifan tahu mama sudah empat puluh tahun lebih, tapi mama masih cantik. Ditambah susu dan pantat mama yang montok.”
“Dasar kamu aneh,” Vania tertawa, “pokoknya gambar itu mesti dihapus!”
Ifan melambaikan tangan tanda tidak sambil menyeringai pada webcam.
“Tidak, tidak, tidak. Kamu udah bikin mama gak pake baju. Kamu udah liat mama sepuasnya, bahkan kamu udah jadiin mama bintang film porno…”
“Kamera kan ide mama.”
“Jangan ngeles.”
“Iya. Kayaknya nyonya terlalu banyak protes.”
“Pokoknya hapus.”
“Enggak”
“Ifan dapet apa kalau ngehapus ini?”
“Apa? Kamu mau sesuatu? Dasar mesum!”
“Bukankah mama yang pertama ngajarin tawar-menawar!”
“Mama sungguh tak percaya ini. Baiklah, kamu mau apa?”
“Foto lain lagi.”
“Iya, tapi sedikit.”
“Tapi Ifan suka gambar latar ini mah. Banyak dong.”
“Gak adil itu. Masa satu gambar ditukar banyak gambar,” Vania memainkan suaranya agar terdengar seperti lebih simpati.
“Suaranya gak usah dibuat-buat mah.”
“Oke, terus mama dapet apa dong?”
“Hah?”
“Kok malah bengong sih? Kamu kan pintar negosiasi.”
“Emang apa yang bisa Ifan kasih?”
Vania ingat saat memergoki anaknya yang sedang memegang kelaminnya. Vania lalu menyeringai ke anaknya.
“Wajah mama kok aneh gitu sih?”
“Inilah mamamu, hehehe…”
Ifan menyeringai, namun Vania menunjukkan telunjuk ke wajah anaknya.
“Kamu ingin ngambil banyak foto mama demi menghapus foto yang gak mama suka dan …”
Vania menghentikan sebentar suaranya, Ifan menatap cemas.
”… kamu masturbasi hingga keluar sambil diliat mama.”
“Apa?!? Tidak mungkin!”
“Bener nih gak setuju?”
“Tapi, Ifan ambil banyak foto mama dan juga film baru.”
“Film apa?”
“Seperti yang pertama, cuma kali ini sambil nungging.”
“Kamu memang aneh. Doyan bener sama pantat.”
“Kan gara-gara mama juga. Siapa suruh liatin pantat montok mama.”
“Dasar aneh.”
“Jadi, Ifan masturbasi di depan mama, terus mama yang nentuin latar belakang monitor. Mama beri Ifan film baru dan foto baru yang banyak.”
“Maksud banyak?”
“Sampai Ifan bosan.”
“Emangnya kamu bisa bosan?”
“Ifan kan masih muda mah.”
“Baiklah. Mama akan obok-obok pantat mama sementara kamu filmkan dan fotoin. Tapi sebelumnya kamu masturbasi dulu, telanjang tentunya.”
“Tapi Ifan pasti butuh rangsangan dulu dong mah. Mama bikin film aja dulu lalu Ifan mulai lepas pakaian.”
“Baik, bikin film dulu tapi harus telanjang.”
“Baik. Tapi kalau libur kita pergi liburan mah.”
“Apa? Banyak bener keinginanmu. Kenapa gak kamu pikirkan dulu sebelum mama mulai melepas pakaian mama?”
“Kan mama yang bilang ‘lihat pantat mama agar Ifan bisa berubah.”
“Ya, tapi kini pantat mama yang terus dilihat, malah diobok-obok.”
Ifan mulai menghitung memakai jemari, “Ayo kita hitung, telanjang, masturbasi, gambar latar, film anal baru, banyak foto, liburan dan bersedia difilm lagi nanti.”
“Kamu pasti cocok kalau kerja jadi politisi.”
“Enggak deh. Jadi gimana, Telanjang, masturbasi, gambar latar, film, foto, liburan, setidaknya dua film lagi.”
“Menyebalkan.”
“Bener gak mau?”
“Mama muak sama per-pantat-an.”
Ifan lalu memutar kepalanya dari yang tadinya menghadap monitor menjadi menghadap mamanya.
Vania melihat lagi gambar pantatnya yang dijadikan gambar latar, lalu bergidik.
“Baiklah, setuju.”
Ibu dan anak itu saling tatap. Ifan mengangkat alisnya, Vania menggeleng. Keduanya lalu berdiri. Ifan melingkarkan tangan ke bahu mamanya sambil berjalan ke luar.
“Lebih baik bikin filmnya di ruang tv aja. Biar pencahayaannya lebih jelas dan latarnya sofa hitam.”
“Maksudnya?”
“Biar Ifan lebih mudah beresin sofanya mah.”
“Mama benci kamu,” kata Vania sambil memukul lengan anaknya.
“Bukankah anak-anak kebanyakan dibenci mamamnya. Ifan kan cuma kasih kesempatan mama main film berkualitas.”
Vania menghentikan langkahnya lalu menatap anaknya.
“Apalagi?”
“Berkualitas?”
“Mama masih punya handycam kan?”
“Handycam? Jangan!”
“Jadi mama mau film mama terlihat seperti film porno jadul? Sekalian aja tambah musik latar murahan.”
“Mama makin benci kamu.”
“Terserah mama, mau terlihat kuno atau cantik?”
“Sekalian aja mama pake make-up, minyak zaitun dan high heel.”
“Ide bagus tuh mah!”
“Ya, tapi mama hanya bercanda. Dasar anak aneh.”
“Gak bosan mah bilang gitu?”
“Anak aneh!” kata Vania sambil menunjukkan telunjuk ke dada anaknya.
“Mama makin galak sih? Lagian, kalau pake make-up, minyak zaitun dan high heel kan Ifan jadi bisa nyeting kameranya dulu. Ntar jadinya pasti bagus mah. Kalau tidak, mungkin gambar latarnya takkan berubah mah.”
“Baik, make-up, minyak zaitun dan highheel. Biar sekalian filmnya menang kontes film.”
Vania pun melangkah menuju kamarnya sementara Ifan diam berpikir kapan terakhir kali memakai handycam.
“Hei nak.”
Ifan melihat arah suara yang ternyata di pintu. Mamanya sedang berdiri membelakangi, lalu rukuk dan menggoyangkan pantatnya sambil berkata goyang pinggul, goyang pinggul. Setelah itu mamanya tertawa lalu menutup pintu.
“Malah mama yang bilang Ifan aneh.”
Ifan tersenyum. Pasti akan menyenangkan nanti, batinnya.
Setelah mandi, Vania duduk di kasur sambil mengeringkan rambut. Vania merasa senang dengan apa yang akan terjadi namun Vania juga merasa tak senang akan sikap anaknya yang mulai arogan. Vania merasa sudah waktunya mengajarkan anaknya bahwa kalau bermain api bisa berakibat kebakaran.
++++
Setengah jam kemudian Ifan hampir selesai menyiapkan tempat. Di sisi sofa telah dipasangi lampu yang mirip di studio foto hingga membuat pencahayaan pada sofa sangat terang. Sedang hampir satu meter di depan sofa terdapat tripod yang dipasangi handycam. Saat mengecek handycam, Ifan mendengar langkah mamanya datang.
“Cantiknya!”
Rambut Vania masih basah. Wajahnya memakai make-up yang bahkan belum pernah terlihat secantik ini oleh Ifan. Tubuhnya berkilau dan mengeluarkan aroma baby oil. Tangan kanan Vania memegang dildo. Tak lupa kakinya memakai highheel.
Vania melihat ruangan yang telah disiapkan anaknya dengan takjub, “Kamu siapkan ini sendiri?”
Untuk kali pertama Vania melihat betapa anaknya sangat terpesona hingga tak bisa berkata-kata. Vania berjalan sambil mengelus dadanya, lalu elusannya turun ke pantat hingga pantat itu duduk menyentuh sofa hitam.
Pantat Vania yang berminyak kini duduk di sofa. Satu kaki dibuka lebar hingga tumitnya mengenai sisi sofa. Sedangkan kaki satunya dipanjangkan ke bawah.
Nafas Ifan tercekat melihat memek mamanya yang telah bersih tiada rambut sehelai pun. Jelas terlihat lipatan memeknya. Apalagi dengan olesan baby oil membuatnya memantulkan cahaya.
Melihat anaknya terpesona, Vania mengambil dildo dan memposisikan di vaginanya, namun tanpa melakukan penetrasi.
“Jangan salahkan mama kalau kamu sampai lupa ngerekamnya. Serangan di Pantat Tua Mama jilid Dua.”
Begitu Vania selesai berbicara maka dildo itu langsung berusaha memasuki pantat Vania. Beberapa bagian sofa kini telah dipenuhi minyak yang menetes dari tubuh Vania.
Ifan langsung memainkan kameranya sambil terus membasahi bibir dengan lidahnya. Tangannya begitu sibuk memainkan tombol yang ada di handycam.
Vania mencoba tersenyum di sela-sela erangan yang terus keluar dari mulutnya.
“Kamu tuh jangan cepat-cepat matiin kameranya terus pergi. Siapa tahu kali ini bisa ngerekam saat mama bersihin dildo pake mulut mama seperti yang terakhir.”
Mulut Ifan ternganga mendapati adegan yang dilewatinya.
Vania perlahan menarik dildo dari pantat lalu mendekatkan ke wajahnya.
“Kayak gini nih.”
Vania lalu memasukan dildo ke mulut dan memainkannya. Tak lupa juga menjilatinya.
Ifan merasa penisnya makin keras dan cairan pelumasnya pun keluar membasahi celananya.
“Aduh,” kata Ifan sambil mengelus celananya.
Vania melepas dildo di mulutnya lalu tertawa. Dildo itu kembali ditempatkan di pantatnya. Vania terus memainkan dildo sambil berbicara.
“Dasar anak muda.”
Setelah beberapa menit, Vania mengangkat lututnya hingga mendekati dada membuat pantatnya makin terlihat jelas. Kini kedua tangan Vania sibuk memainkan dildo di anusnya.
“Unh, unh, unh, unh AHHHHHHH.”
Vania menjerit sambil berusaha memasukan dildo sampai mentok. Kakinya bergoyang, tubuhnya kejang hingga beberapa detik kemudian tubuh Vania pun berhenti gemetaran. Kakinya terjatung lunglai ke bawah.
Setelah beberapa detik, Vania mencabut dildo dari pantat lalu mendekatkannya ke wajah. Dildo itu dijilati Vania lalu dimasukan ke mulutnya. Beberapa saat kemudian Vania asik memainkan dildo di mulut hingga merasa cukup.
“Jadi berantakan gini yah.”
“Iya, mama sih nakal.”
Vania tertawa, “yang penting tugasmu tuh ntar bersihin ini.”
Vania melihat keadaanya lalu bangkit berjalan mendekati anaknya.
“Nah, anak aneh, perjanjian pertama kita telah mama laksanakan.”
Ifan langsung mengangguk.
“Sayang sekali. Padahal mama udah siap ronde berikutnya. Nih deh mama kasih sedikit inspirasi buat kamu.”
Vania lalu memeluk anaknya membuat pakaian anaknya kini basah oleh baby oil. Paha Vania juga diangkat untuk membasahi sekitar pinggang dan celananya.
“Kayaknya bajumu perlu dicuci tuh.”
Ifan mengerang. Vania menepukkan tangannya.
“Baiklah pejantan muda. Mama beri kamu sepuluh menit untuk siap-siap menghibur mama.”
Ifan pun melangkah menjauh menuju kamarnya. Namun saat baru setengah jalan, terdengar suara mamanya.
“Mama taruh baby oil di lemarimu nak.”
Vania menyeringai. Pasti malam ini bakalan seru, pikirnya.
Ifan duduk di kasur dengan hanya memakai celana pendek sambil gemetaran. Ifan memang jadi terbiasa melihat mamanya telanjang, namun Ifan merasa tak nyaman jika harus ikutan telanjang juga. Ifan menyadari memang tak adil jika dirinya tetap berpakaian, namun toh bukan salahnya. Ifan tak pernah melihat mamanya seliar ini, senakal ini.
Ifan merasa hubungannya dengan mama tak pernah sedekat ini. Ifan memang mencintai mamanya, sebagai anak, juga menghirmatinya. Ifan sungguh merasa beruntung dengan perjanjian ini, tapi kebenaran yang disampaikan sendiri oleh mama merupakan hadiah tersendiri. Telah terlalu jauh sejak kali pertama Ifan melihat mamanya telanjang di dapur.
Ifan tersenyum sendiri saat berdiri lalu melepas pakaian terakhirnya, celana pendek. Setelah itu Ifan meraih baby oil yang ada di lemarinya.
Vania duduk di sofa menunggu. Keheningan yang ia rasakan sedari tadi membuatnya sampai pada kesimpulan bahwa anaknya mungkin merasa takut dan atau tidak berani. Satu kosong untuk mama, pikirnya. Tiba-tiba terdengar dentuman suara musik yang kemungkinan berasal dari kamar anaknya. Cahaya tiba-tiba menghilang menjadikan kegelapan yang muncul menyelimuti.
Tiba-tiba ada sinar. Setelah ditelisik oleh mata Vania, sinar itu mengarah ke kepala kontol. Ternyata anaknya memegang dua senter yang kini diarahkan ke kontolnya sambil berjalan mendekat. Ifan pun sampai di depan sofa yang diduduki mamanya lalu menggoyangkan pinggulnya. Puas bergoyang, tangan kanannya melempar senter lalu memegang kontolnya.
“Mah, kok Ifan jadi gini sih?”
“Jangan berhenti nak. Lagian gak apa-apa kok jadi gini juga.”
“Ini dia mah. Siap membuat mama terangsang.”
“Whoo hoo, goyang nak!” Vania tertawa.
Ifan memaju mundurkan pinggul sambil tangannya mengocok kontol. Mata Vania berbinar melihat anaknya mengocok kontolnya sendiri. Tak butuh waktu lama Ifan pun mengejang seiring dengan menyemburnya sperma yang mendarat di kaki Vania, sofa dan di lantai. Setelah orgasme tubuh Ifan berhenti mengejang namun saat akan bergerak kakinya tersandung membuat Ifan jatuh terduduk di sofa di sebelah mamanya.
Vania bertepuk “Hebat, luar dari pada biasa!”
Ifan melambaikan tangannya, “santai mah.”
Vania dan Ifan saling memangang, lalu keduanya menyeringai.
“Mah, maafin Ifan yah udah ngedorong mama terlalu jauh hingga jadi gini. Ifan bener-bener menyesal mah.”
“Ya, kamu memang nakal. Tapi mama seneng kamu berani mengakuinya. Lagian mama juga tak terlalu suka per-anal-an.”
“Ya gak apa-apa kok mah asal perjanjian kita yang lain tetap berjalan Ifan gak keberatan kok.”
“Mama gak keberatan dengan hal baru, asal tak menyakitkan bagi kita.”
Vania melingkarkan tangan ke bahu anaknya lalu memeluknya dari samping membuat tubuh ibu dan anak itu menempel ketat.
“Sial mah, Ifan menyentuh mama.” Ifan terlihat panik.
“Ini sih sikap ibu dan anak yang saling mencintai, meski tanpa pakaian.”
Mereka pun menatap tubuh mereka yang penuh baby oil.
“Kok jembut mama dibabat habis sih?”
“Mama hanya ingin memberikan yang terbaik bagi kamu. Lagian kamu tuh bener-bener maksa mama sih.”
Vania dan Ifan menatap selangkangan Vania. Seperti berjanji, keduanya sama-sama berbicara “kayaknya jelek deh.” Menyadari kesamaan kata yang terucap, keduanya saling pandang lalu tertawa.
“Untungnya ntar tumbuh lagi. Sekarang kamu tahu kan mama juga bisa mencoba hal-hal baru. Kalau kamu gimana? Mau mulai telanjang di rumah gak?”
“Gak tahu mah. Kayaknya aneh deh.”
Vania memegang payudara lalu mengangkat susunya.
“Mama tak bisa mengatakan bagaimana rasanya hidup dengan selalu menunjukan ini padamu. Mama juga senang kalau kamu gak mau ikut-ikutan. Tapi mama tak akan keberatan kok kalau kamu berubah pikiran.”
Vania dan Ifan menatap kontol Ifan. Mereka berdua melihat betapa kontol itu kini mulai kembali mengembang.
Begitu muda begitu jantan, pikir Vania.
Vania lalu mendorong anaknya bangkit.
“Kamu bersih-bersihnya ntar mama bantu deh.”
“Setuju,” seringai Ifan.
Bersambung…