Suasana di foodcourt sebuah pusat perbelanjaan terbilang ramai. Meskipun tidak ber-suasanaseger, namun banyaknya abg yang berlalu-lalang membuat mata serasa segar bagi yang memandangnya.
“Woi, Vania, sini!”
Vania melangkah diantara deretan meja mencoba mencari sumber bunyi tersebut. Di arah kiri depannya ada sebuah meja yang ditempati tiga orang perempuan yang tidak berkalung sorban, usianya kira-kira setengah baya. Salah-seorang dari ketiga wanita itu melambaikan tangannya ke arah Vania.
“Gimana kabarnya?”
“Iya nih sombong bener.”
“Kok lu keliatan seger sih?”
Tiga suara yang keluar dari tiga mulut yang berbeda langsung menyambut begitu Vania duduk. Vania pun tersenyum sebelum menjawabnya.
“Lah kayak gak tau aja lu lu pada juga kan sibuk-sibuk.” Vania mengambil gehu yang ada di meja lalu makan sambil meneruskan pembicaraan. “Gila lu ya, di tempat kayak gini malah beli gehu.”
“Kan dari tadi kita mau pesen juga nungguin lu dulu. Dari pada bengong yang pesen gehu dulu. Lagian lu juga doyan kan.”
“Kok lu keliatan beda sih?”
“Iya, gw mau ajak anak liburan entar. Biar gak jenuh.”
“Kok badanlu agak beda sih.”
“Iya dong. Gw sering diajakin maen wii sama anak sih.”
“Apaan tuh wii?”
“Itu gim yang pake remot, terus kita maininnya sambil gerak-gerak.”
“O ya. Anak lu kan tukang maen gim.”
“Terus, lu keliatan lebih semangat, gak kayak dulu murung terus sih?”
“Iya dong. Gw kan kini jadi lebih deket sama anak. Apalagi kini tuh anak mau nerusin kuliah.”
Ketiga teman Vania saling pandang mendengar penjelasannya.
“Lah, kayak kita bloon aja.”
“Eh, sumpah deh, gw lagi gak deket sama siapa-siapa.”
“Lu liburan gak mau ngajak kita nih?”
“Enggaklah. Kan sama anak gw. Sebelum lu pade nanya, gw gak seranjang ntar sama anak.”
“Iya lah. Siapa tahu ntar ada laki biar lu bisa bebas.”
“Gak gitu juga kali.”
“Lu beli apaan tuh?”
“Biasa, buat ntar di pantai.”
“Pake aja trus tunjukin ke anaklu biar dia seneng.”
“Apaan sih? Yang ada juga dia malah lari ketakutan,” kata Vania sambil mengambil belanjaannya lalu bangkit.
“Eh, lu mau ikut gak ntar malam sabtu. Biasa kumpul di tempatnya Dewi.”
“Iya. Ntar gw cek dulu kalau anak gw gak keberatan sih,” kata Vania sambil melangkah pergi menjauh.
Vania merenung di rumahnya sambil memikirkan ide yang didapat dari percakapan dengan temannya tadi. Vania jadi ingin mencoba menjadi model pakaian di depan anaknya sendiri. Saat sedang asik merenung, tiba-tiba terdengar suara seperti pintu yang diketuk. Vania pun meraih daster, memakainya lalu membuka pintu.
“Eh, elu Wi, masuk.”
Vania mundur agar temannya, Dewi, bisa masuk. Dewi masuk, melihat Vania yang hanya memakai daster lalu mengelus tangannya.
“Lu pake ginian doang?”
“Iya, kan nyobain yang baru.”
“Gimana kalau anaklu ngeliat?”
“Kan ntar juga pasti ngeliat kalau jadi liburan.”
“Bagus.”
“Mau minum apa? Bikin aja sendiri.”
Vania dan Dewi pun melangkah menuju dapur. Dewi memilih membuat kopi. Dapur pun langsung dipenuhi aroma biji kopi pilihan.
“Gimana Ifan di tempatlu?”
“Biasa aja. Maen sama anak gue.”
“Gw udah lama kenal lu sama david. Tapi gw perhatiin sekarang kayaknya lu sama anaklu berubah deh. Padahal dah lama David meninggal. Ada apa sih?”
“Lho, emangnya kenapa?”
“Udahlah, gak usah bohong.”
“Iya deh. Kan sebentar lagi ada rencana mau liburan.”
“Dari dulu anak gw males kalo disuruh belajar. Cuma akhir-akhir ini semenjak anaklu sering ngajarin anak gw, kayaknya anak gw jadi agak pintar dah. Lu apain tuh anaklu?”
“Ya biasa. Gw ingetin mau jadi apa ntar kalau males terus.”
“Bohong lu. Gw aja bilang kayak gitu malah gak ngefek.”
“Ya mau bagaimana lagi. Mungkin apa gw juga gak tau.”
“Ya elah, malah maen rahasia-rahasiaan. Tapi terserah dah, yang penting gw seneng liat lu kembali ceria kayak gini. Semenjak laki lu meninggal, kayaknya lu ikutan meninggal. Tapi kini, lu kembali lagi gila seperti dulu. Kok bisa gitu sih setelah sekian lama?”
“Gila lu ya. Ya gw kagak ikut suami gw lah. Gw cuma fokusin jadi emak yang baik bagi anak gw.”
“Bener nih. Dulu lu berubah jadi pendiam.”
“Ya mungkin waktulah yang ngerubah gw. Ntar deh liat aja jumat nanti.”
“Mah!” suara Ifan menggelegar.
“Di sini nak. Lagi sama mamanya Dewo,” teriak Vania.
“Mah, ntar liburannya yang lama yah. Eh, Bu Dewi.”
“Eh Ifan.”
“Sekalian aja pindah kerja dan kuliah di sana,” canda Vania.
“Siap mah. Ntar Ifan cari infonya di internet,” Ifan terdengar serius.
“Mama bercanda sayang.”
Ifan tak menjawab namun malah bergegas ke kamarnya. Vania melihat wajah Dewi yang menunjukan ekspresi aneh.
“Apa lu?”
“Kalau gw pake baju kayak lu, pasti anak gw melototin terus. Tapi si Ifan malah gak tertarik tuh. Lu apain dia?”
“Biasa aja lah. Lagian cuma baju gini kok. Ntar juga kalo jadi liburan mungkin liat lebih dari ini.”
“Apa lu mau telanjang?”
“Gak gitunya juga kali.”
“Lu kembali gila. Pasti ada yang lu tutupin dari gw.”
“Lah, lu malah curiga sih?”
Beberapa saat kemudian Dewi berusaha menanyakan kepenasarannya. Namun yang Dewi dapat hanya kekecewaan. Akhirnya Dewi memutuskan untuk pulang.
Ifan muncul tepat saat telepon berbunyi.
“Bu Dewi ngapain mah?”
“Biasa,” kata Vania lalu mengangkat telepon. “Halo.”
“Na, ini Yanti. Seneng liat kamu kembali ceria.”
“Ya, kayak dulu lagi.” Vania menyadari anaknya sedang menatap dirinya dari atas ke bawah sambil mengangkat alisnya. Vania lalu menjepit telepon dengan bahu, lalu mulai melepas pakaiannya. Pakaian itu lalu dilemparkan ke sofa.
“Gini, gw seneng lu mau ikut ngumpul ntar. Tapi …”
“Tapi apa?”
“Si Chip jadi ngamuk nih denger anaklu mau liburan. Jadi kalau lu gak keberatan, tolong ajak anak gue dong. Kalau lu setuju, ntar gue bayarin akomodasinya.”
Vania melihat Ifan meninggalkan ruangan.
“Gue sih gak keberatan, tapi mesti tanya si Ifan dulu. Ntar gw kabarin lagi keputusannya.”
“Oke, makasih ya Na.”
Vania menutup telepon berbarengan dengan munculnya Ifan sambil membawa kamera digital dan kemeja putihnya.
“Mau diapain tuh baju?”
“Mah, makannya mau pesan gak, sekalian mama jadi model kamera Ifan?”
“Iya deh terserah kamu. Tapi mau apain tuh baju?”
“Jadi ntar pas tukang makanannya datang, mama ambilnya sambil pake ini saja.”
“Apa?”
“Iya mah. Sekarang kan lagi dingin. Kasian tuh tukang anter makanan. Biar jadi anget dikit. Biar hot gitu loh.”
“Kenapa kamu dulu gak negosiasikan tentang nilai? Biar mama gak kena masalah kayak gini.”
“Lho, kan mama yang pertama mulai. Ifan hanya belajar dari yang terbaik dong mah.”
“Gak usah muji deh.”
“Lah mama. Jadi gimana mah?”
“Tapi dikancingin ya, setuju?”
“Hanya tiga kancing dari paling bawah, setuju.”
Vania menatap kemeja, “Mama tinggal membungkuk lalu orang-orang pada ngedeketin dah.”
“Jangan membungkuk dong mah.”
“Iya deh. Tapi kalau yang nganternya cewek, yang bayarnya kamu. Tapi hanya pake celana pendek.”
“Kalau gitu, Ifan setuju asal mama cuma kancingin dua kancing saja.”
“Baiklah. Dua kancing, tapi kalau yang ngirimnya cewek, kamu yang mesti ngambil sambil goyangin pantat kamu.”
“Kalau gitu sih, mama jangan kancingin baju mama ntar kalau cewek Ifan yang ambil sambil goyang.”
“Baiklah. Asal adik kecilmu mesti keliatan… Plus kamu ajak mama ntar main keluar.”
“Setuju.”
“Gak usah banyak senyum. Dulu juga papamu pernah bikin mama kayak gini, sampai handuk mama lepas saat bayar.”
Vania lalu memikirkan menu yang akan dipesannya. Setelah yakin Vania menyambar kemejanya.
“Kamu punya niat busuk apa lagi sama mama?”
“Gak ada niat busuk, cuma apa mama gak kepanasan pake kemeja di dapur?”
“Dasar kamu. Mama mandi dulu ah… biar nanti seger pas liat kamu show.”
Vania mandi namun tak berlama-lama. Vania menuju kamar anaknya lalu mendorong pintu dengan kakinya hingga terbuka. Terpampanglah Vania yang sedang berdiri, memakai kemeja namun tiada satupun yang dikancingkannya.
Ifan langsung menyambar kamera lantas memotret. Ngocoks.com
“Mama makin hari makin cantik aja.”
“Ngegombal aja kamu nak.” Namun Vania malah terlihat berseri-seri. Vania lalu memutar tubuhnya membuat kemeja itu seolah melayang.
“Apa wanita diajari cara khusus agar bikin pria gila mah?”
“Tentu tidak sayang. Mungkin memang sudah insting,” kata Vania sambil berbalik membelakangi anaknya. Vania lantas menarik ujung kemejanya ke atas hingga memperlihatkan pantat, lalu menggoyangkannya. Vania menyeringai saat mendengar bunyi klik. Vania malah berharap agar pengantar makanan adalah pria.
Setelah beberapa menit berlalu ibu dan anak itu pun ke dapur.
“Nah, tukang foto, kamu mau mama gimana?”
“Coba mama duduk dikursi sambil menyilangkan kaki. Terus tangan mama taruh di lutut.”
Vania menuruti. Klik.
“Sekarang coba mama rebahan di meja sambil tangan mama ke depanin.”
Vania menuruti. Klik. Saat Vania bangkit, satu payudaranya terbuka membuat Ifan menyesal tak mengambil gambar pas momen itu.
“Sekarang coba mama berdiri dekat kompor, tarik baju mama ke bawah dan tatap kamera.”
Vania menuruti. Klik.
“Sekarang …” suara Ifan terpotong oleh ketukan di pintu.
Vania berbalik memperlihatkan seluruh tubuh bagian depan karena kemejanya hanya tergantung di lengan. Ifan menyadari putting mamanya agak mengeras. Ifan dan mamanya pun saling tatap. Ifan lalu mengabadikan momen itu sebelum ketukan berbunyi lagi. Mereka lalu bergegas ke ruang depan. Ifan mengintip sementara Vania menunggu.
“Yes. Yang nganternya cowok mah.”
Vania menyeringai, membetulkan kemeja dan mengancingin dua kancing terbawah.
“Dasar kamu hoki. Siapin uangnya!”
Ifan mundur lalu mengeluarkan uang dari dompetnya sambil melihat mamanya mendekati pintu. Sebagian susu mamanya terlihat namun tetap tak menunjukan areolanya.
“Maaf ya tante baru aja keluar dari kamar mandi.”
“Ng… Ng… Man… Tat… eh… Nggggaakkk apa… tanttte.”
Pintu lalu dibuka dan makanannya langsung disambar oleh Vania. Saat Ifan mendengar suara orang terkesiap, Ifan tahu pasti ada yang terlihat. Vania lalu mundur dan menyerahkan makanan ke anaknya. Entah kenapa Ifan malah melihat wajah mamanya seperti senang. Ifan menyerahkan uang ke mamanya yang langsung diraihnya sambil berseringai.
“Ntar mama benerin,” bisik Vania ke anaknya. “Sekarang waktunya kamu pergi. Sembunyi!”
Vania melangkah mundur lalu berbalik sambil mencoba menutup kemeja dengan tangannya. “Makasih ya. Nih uangnya,” kata Vania yang langsung diambil oleh pengantar makanan. Pintu pun ditutup. Vania lalu berbalik dan bersandar ke pintu. Kemejanya naik turun seirama dengan dadanya yang naik turun. Lalu Vania menatap anaknya.
“Mama jadi bening.”
“Huh?”
“Udahlah, ikutin mama.”
Vania melangkahkan kakinya ke dapur. Lalu Vania mengambil panci kecil untuk merebus mie yang memiliki pegangan, menduduki meja terus melebarkan pahanya. Panci itu lalu diposisikan agar menutupi selangkangannya.
“Mama tegang bener..”
Panci itu menyentuh sebagian kecil lipatan daging antara dua kakinya membuat seluruh tubuh Vania menegang. Panci itu pun terlepas dan jatuh ke lantai. Satu tangan Vania meraih dan menyentuh rambutnya mengiringi getaran tubuhnya.
“Ooooohhhh.”
Vania terus bergetar hingga beberapa saat. Kemudian diam. Perlahan-lahan Vania turun dari meja dan berdiri. Vania menatap anaknya. Seluruh tubuh Vania dipenuhi keringat. Vania lalu mendekati anaknya, melebarkan tangan dan memeluknya. Tiadanya kancing yang terpasang membuat payudara Vania menekan dada anaknya.
“Nikmat sekali orgasme mama barusan. Kamu gak lupa memilmkannya kan?|
“Oh iya. Aduh sial.”
Vania tertawa tanpa melepas pelukannya. “Udahlah, besok kita pesen apa lagi?” $$
“Yes, yang nganternya cewek” kata Vania sambil berjingkrak.
Ifan melepas baju dan melemparkannya ke sofa. Ifan lalu melepas ikat pinggang sambil melihat mamanya berjoget.
“Kamu kayak gak semangat gitu sih?”
“Lho, kan awalnya cuma nebak laki atau bukan.”
“Ingat, sampai tiga kali ya.”
“Iya. Yang kemarin Ifan sampai telanjang.”
“Kan handuk itu idenya kamu.”
Kini Ifan berdiri di hadapan mamanya dengan hanya mengenakan celana pendek. Ifan menatap celana pendek anaknya.
“Temen kecil mama mana?”
“Gak usah ditambahin kata ‘kecil’!”
“Sini, mama bantu.”
Vania mengangkat ujung belakang kemeja sehingga pantatnya telanjang. Setelah itu Vania berbalik membelakangi anaknya dan mundur hingga pantat itu menyentuh celana anaknya. Setelah menyentuh, Vania lalu menggesek – gesekkan pantatnya hingga terdapat benjolan yang dirasa cukup besar oleh Vania.
“Ayo goyang duyu…”
“Mama kok kejam gitu sih?”
“Biar kejam, tapi efektif kan.”
Setelah benjolan itu tak lagi membesar, Vania menghentikan aksinya. Vania kembali berbalik lalu menepuk pelan benjolan yang tiba – tiba muncul di celana anaknya. Setelah itu Vania memegang bahu anaknya dan memutar tubuh anaknya lalu mendorongnya.
“Ayo cepet buka, kasian udah nunggu tuh.”
Ifan membuka pintu.
“Pak ini pesanannya,” kata pengantar makanan sambil melihat tubuh Ifan, dari atas hingga ke bawah.
“Oh ya, jadi berapa?”
“Jadi sekian.”
Ifan mengambil makanan yang lalu tangannya menerima uang yang diserahkan oleh mamanya yang sedang sembunyi di belakang pintu. Setelah uang itu diterima oleh Ifan, tangan mamanya cepat langsung menarik ujung celana Ifan hingga melorot sampai ke bawah. Ifan langsung memberikan uang ke pengantar makanan sambil meminta maaf.
Terdengar suara tertawa dari luar rumah.
Saat akan melangkah, Ifan terjatuh dengan celananya masih melorot.
“Sini mah, Ifan mau bunuh mama!”
Vania pura – pura menjerit takut sambil tertawa. Lalu Vania melesat ke dapur yang tentu saja sambil dikejar Ifan.
“Kalau mama mati, kita gakkan liburan dong.”
Ifan kini ada di sisi meja sedangkan Vania di sisi sebrangnya. Mereka saling melotot. Saat Ifan berjalan ke arah kanannya, Vania pun melangkah ke kanannya sehingga posisi mereka tetap sama bersebrangan.
“Ayo, tangkap mama. Pasti kamu bingung setelah tangkap mama!”
“Enggak dong, pemburu selalu punya rencana.”
“Tuh liat, temen kecil mama melambaikan tangan!”
Ifan menunduk menatap kontolnya yang terlihat jelas. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Vania untuk berlari ke kamarnya lalu mengunci pintunya.
“Kuat berapa lama di dalam mah?”
“Sampai ada kesepakatan.”
“Kesepakatan apa lagi?”
“Kesepakatan yang bakal menjauhkan masalah dari mama.”
“Oh ya semoga beruntung.”
“Lho, mama juga kan udah tiga kali ngasih pertunjukan ke pengantar makanan. Jadi adil dong”
“Iya. Mama pasti keliatan seksi. Nah Ifan, pasti kelihatan bodoh.”
“Mama yakin cewek barusan gak setuju sama kata – katamu.”
“Kenapa mama gak keluar dan tanyakan aja sendiri?”
“Keluar sementara ada pembunuh liar berkeliaran di rumah? Tentu tidak.”
“Meski gak ada makanan?”
“Mama emang berencana diet kok. Ayolah, akui saja kamu juga menikmati aksimu. Temen kecil mama yang bilang kok.”
“Sekarang siapa yang ngawur? Ingat, nyonya sedang terpuruk dalam lubang.”
“Udahlah, ngaku aja kamu juga menikmatinya kan. Bahkan mama yakin kamu masih keras.”
“Terus kenapa?”
Percakapan mendadak berhenti. Kedua pihak seakan sepakat untuk berdiam diri sejenak.
“Mama bakal buat semuanya terserah kamu aja.”
“Caranya?”
“Percaya saja.”
“Enggak ah.”
“Serius nih. Mama nawarin gencatan senjata.”
“Jangan main – main lagi.”
Terdengar suara kunci dibuka. Pintu lalu terbuka perlahan hingga terbuka seutuhnya. Vania menatap anaknya yang masih berdiri.
“Tuh kan, kamu masih keras.”
“Jangan ganti topik, gimana ide mama tadi?”
“Sabar, kamu duduk dulu tuh di kasur”
Ifan melangkahkan kakinya ke kasur sambil menatap curiga mamanya yang mendekati meja rias.
“Ingat gak aturannya?” kata Vania sambil mengeluarkan celana dalam hijau dan memakainya. celana dalam itu terlihat sangat pas sehingga lekukaknya sempurna.
Ifan terlihat bingung melihat mamanya mendekat. Setelah dekat, Vania berbalik hingga membelakangi anaknya lalu seolah duduk di pangkuan anaknya, namun bukan untuk duduk melaikan untuk menggesek – gesekkan pantatnya. Tangan Vania meraih tangan Ifan dan meletakkannya di pahanya.
“Kamu hanya boleh sentuh paha,” kata Ifan sambil mencoba menekankan pantatnya lebih dalam.
“Oh tuhan,” kata Ifan sambil menarik nafas.
Vania bisa merasakan kontol anaknya yang makin tegang. Vania meletakan tangan di lututnya sambil bergoyang. Mendengar nafas anaknya yang makin tak teratur, Vania bangkit berdiri, menurunkan celana dalam hingga pantatnya kembali telanjang lalu kembali menekan kontol anaknya sambil bergoyang.
“Oh…”
Tubuh Vania tersentak dan tersentak saat kontol anaknya menyemburkan lahar panas ke pantat mulusnya. Setelah lahar itu tak lagi menyembur, kepala Vania berbalik menatap anaknya.
“Nah ingat yang barusan takkan terulang lagi.”
Ifan hanya bisa mengangguk menikmati sisa – sisa sensasinya.
“Mama udah lapar nih.”
Vania lalu bangkit berdiri yang segera disusul anaknya. Dari selangkangan keduanya menetes caiar putih kental membasahi lantai. celana dalam Vania pun dilepas.
“Kamu mandi sana. Biar mama bersihin ini. Ntar kita makan di luar aja yuk.”
Bersambung…