Vania dan anaknya sedang duduk di meja menunggu pelayan.
“Selamat datang, mau pesan apa?”
Suara pelayan terdengar familiar di telinga Ifan. Ifan menoleh untuk melihatnya, saat kedua pasang mata itu bertatapan, keduanya terkejut. Ternyata pelayan itu adalah pengantar makanan yang tadi. Namun, tak seperti pelayan dan anaknya, Vania malah tertawa – tawa.”
“Eh, masih lapar ya? Memang lebih enak makan di sini.”
“IYa, kami bosan makan di rumah.”
“Mau pesan apa?” kata pelayan sambil menyerahkan daftar menu.
“Kami pesan teh manis dulu, dua. Iya kan?”
Ifan hanya mengangguk tanpa berkata. Ifan malu, celakanya wajahnya menunjukan itu.
“Segera.”
Setelah pelayan itu pergi, Vania menatap anaknya. “Apa pun yang terjadi, kamu jangan panggil mama. Panggil aja Vania. Jangan ada yang tau aku mamamu, Paham!”
“Dari semua tempat makan di kota ini, kenapa malah dilayani dia sih?”
“Itulah yang disebut takdir. Meski sebelum pergi kita bisa memutuskan untuk makan di restoran manapun tanpa ada yang memaksa harus ke mana, namun pertemuan ini sepertinya tidak bisa dihindari. Mama ke toilet dulu. Tunggu di sini.”
Vania berjalan menuju toilet, di tengah jalan, Vania berpapasan dengan pelayan tadi. Vania hanya tersenyum namun Ifan terlihat semakin gugup dan atau malu.
Vania kembali ke meja. Di meja telah tersedia minuman yang tadi dipesan. Saat Ifan menyedot minumannya, Vania lalu menaruh sesuatu di meja yang membuat Ifan tersedak. Ifan melihat mamanya menaruh celana dalam hijau.
“Biarkan itu terus di meja, berani gak?”
“Mama mau ngapain?”
“Senang – senang dong. Biar jadi kenangan indah buat kamu.”
Namun Ifan malah mengambil celana dalam mamanya dan memasukkannya ke saku. Vania hanya menyeringai melihat tingkah anaknya.
“Dasar mama gila.”
“Hehehe.”
Keduanya lalu diam saat pelayan kembali datang.
“Maaf, sudah siap pesan?”
“Saya pesan lasagna aja. Sedangkan wanita cantik ini sepertinya akan memesan chicken parmesan, benarkan Di?”
Vania tertawa, “bolehlah.”
“Tuan memang pintar memilih pasangan. Mau sekalian saladnya?”
“Boleh.”
“Ada yang lain lagi?”
“Tidak.”
“Terimakasih. Mohon tunggu pesanannya,” kata pelayan itu sambil berjalan pergi, namun tetap berusaha menatap Ifan.
Setelah pelayan itu pergi, Vania membungkuk hingga kepalanya agak mendekati anaknya, “dia masing ingat saat kamu telanjang lalu membayangkan gimana kamu menyentuh wanita seusia mama.”
Ifan menyemburkan minuman dari mulutnya.
“Mama benar – benar gila. Bagaimana dulu tingkah laku papa sama mama sih?”
“Papa dan mamamu pasangan serasi. Tau gak?”
“Pantes saja.”
“Mama dan papa saling mencintai. Pokoknya akan melakukan segalanya demi pasangan. Mama sangat setia, bahkan tak pernah selingkuh. Sepertinya papamu juga begitu. Pokoknya mama dan papa sangat terbuka bagi hal – hal baru. Intinya adalah komunikasi.”
Percakapan terhenti saat pelayan datang membawa salad. Mata pelayan itu tak henti – hentinya mencuri pandang ke Ifan.
“Jadi, ‘Vania’ ini biasa seperti ini dulu sama papa?”
“Mama rela melakukan apa saja demi papamu hingga separuh jiwa mama moksa seiring dengan moksanya papamu. Bertahun – tahun mama merasa hidup ini hambar, begitu hambarnya hingga bagaikan tiada lagi yang bisa lebih hambar lagi. Sampai akhir – akhir ini.”
“Sampai akhirnya aku mau jadi mahasiswa.”
Sekarang Vania yang tertawa dibuatnya pun hingga saat pelayan datang.
“Ini makanannya, silakan.” Pelayan mulai meletakkan makanan, namun mulutnya tak berhenti bicara. “Mohon maaf, apabila boleh tahu, berapakan usia tuan dan puan yang sungguh sangat serasi ini?”
“Baru tujuh belas.” Kata Ifan.
“Saya sih cukup tua. Bahkan layak untuk menjadi ibu dari anak ini,” jawab Vania sambil tersenyum.
Pelayan itu menggeleng, “Luar biasa. Tuan dan puan sungguh terlihat sangat bahagia.” Pelayan itu masih tetap menggelengkan kepala sambil pergi menjauh.
“Mama ternyata suka mengambil resiko.”
“Mama dan papamu justru pemburu sensasi. Apa lagi yang sangat membuat mendebarkan. Mama jadi kangen masa – masa dulu. Apa kamu sekarang merasa berdebar – debar?”
“Bukan hanya itu, tapi juga takut setengah mati.”
“Itulah sensasinya. Pokoknya ingat, asal jangan sampai ada yang terluka dan harus saling menghormati.”
Aroma makanan membuat pembicaraan berhenti. Berganti dengan acara santap. Makanan pun habis. Vania berdiri melihat pelayan mendekat. Saat pelayan itu menghampiri meja, Vania menyapanya.
“Terimakasih untuk pelayanannya sayang.”
Setelah itu mereka pun keluar dari restoran. Namun sebelum masuk ke mobil, Ifan menatap mamanya.
“Berani gak mama lepas rok itu dan nyopir sambil gak pake bawahan?”
Vania tersentak. Vania menatap anaknya lalu melihat keadaan di parkiran itu. Setelah melihat keadaan, Vania kembali menatap anaknya sambil menyeringai. Vania lalu melepas rok dan memberikan ke anaknya.
Angin dingin langsung menyentuh tubuhnya.
Vania langsung duduk di belakang kemudi. Vania lalu menurunkan jendela di pintu kiri.
“Mama gakkan nyetir sampai dapet celanamu.”
Ifan menyeringai dan mulai melepas celana panjangnya. Kini di jok belakang terdapat rok, celana panjang dan sepatu.
“Lepas juga dong celana pendekmu?”
“Siap, tapi ada syaratnya.”
“Apa?”
“Ifan ingat belum punya video mama lagi make mainan karet mama itu. Gimana, setuju?”
Ifan sedang melepas celana pendeknya saat mamanya tertawa sambil berkata setuju. Keduanya kini tidak memakai bawahan sama sekali hingga sampai di rumah.
Sampai di depan rumah, keduanya belum keluar dari mobil. Jalanan tampak sepi sehingga meski mobil mereka melintang agak tengah, tak ada yang memprotes. Pagar masih tertutup. Vania menatap anaknya.
“Berani gak kamu buka tuh pagar tanpa pake celana dulu?”
“Asal mama isep dildo itu di akhir pertunjukan?”
Vania tertawa, “bener – bener cabul.”
“Kan belajar dari ahlinya,” kata Ifan sambil keluar dari mobil dan bergegas membuka pagar.
“Sialan mama. Dasar eksibisionis.”
“Ya ya ya… kata orang yang tak bercelana,” kata Vania, tertawa sambil keluar dari mobil.
“Ya ya sekarang waktunya tampil. Ifan ingin pantat itu siap.”
“Saatnya anakku kerja,” kata Vania berjalan sambil melepas pakaiannya.
Ifan mengikuti mamanya dari belakang, “Mah, daripada telanjang, apa mama punya lingerie?”
“Wow, mungkin masih ada. Gini aja, kamu siapin aja kameranya biar mama juga siap – siap.”
“Oh iya.” Seringai Ifan.
Vania beranjak ke kamar mandi di kamarnya untuk mulai menyiapkan diri sementara anaknya memasang tripod. Selesai memasang tripod, Ifan duduk di kasur menunggu mamanya muncul.
“Oh, mama cantik sekali.”
“Makasih.”
Vania terlihat cantik memakai lingerie hitam.
“Kamu suka?”
“Iya mah.”
Vania lalu berjalan menuju laci mengambil keluar dildonya. Saat melewati anaknya, Vania menepuk kontol anaknya dengan dildo sambil tersenyum.
“Temen kecil bertemu temen palsu.”
Setelah itu Vania naik ke kasur dan terlentang.
“Cdnya dilepas apa dipake, pak sutradara?”
“Dilepas aja mah.”
“Ya udah sini bukain dong.”
Ifan tertegun. Ifan mendekat dan menjulurkan tangannya saat mamanya mengangkat pantatnya. Sentuhan tangan Ifan pada pinggul mamanya membuat mereka merasakan getaran nafsu yang tak tertahankan. Tangan Ifan lalu menarik cd itu. Saat cd itu mencapai lutut, pantat Vania kembali diturunkan dan kini kakinya yang diangkat membuat cd itu akhirnya terlepas seluruhnya.
“Makasih.”
Setelah itu Vania mengambil dildo dan mulai mendekatkannya ke selangkangan yang dirasanya sudah mulai basah. Vania lalu diam, menatap anaknya.
Ifan tertawa seolah disadarkan, “Oh iya, kamera. Duh.”
Ifan lalu memainkan kamera yang ditaruh di tripod. “Oke, action.”
Vania kini mulai mengelus – elus dildo itu ke memeknya sambil mengerang. Tak butuh waktu lama bagi Vania untuk mencapai orgasme hingga erangan Vania makin keras namun tertahan, dan tubuhnya pun mengejang. Akhirnya Vania berbaring sambil terengah – engah.
Vania lalu mendekatkan dildo itu ke wajahnya.
“Mama tantang kamu jilatin ini.”
“Apa?”
“Kamu dengar tadi, jilatin aja, gak usah yang lain. Inget aja ini barusan dari mana, jangan bayangin bentuknya.”
Ifan terlihat ragu. Namun akhirnya Ifan mengambil dildo itu dari tangan mamanya. Ifan mulai mendekatkan dildo itu ke mulutnya.
“Papamu dulu suka banget rasanya.”
Meski masih terlihat ragu, namun Ifan menjulurkan lidah sambil menutup matanya.
“Okelah.”
Ifan lalu duduk di kasur, tangan kanannya memegang dildo sambil menjilatinya sementara tangan kirinya kini menyentuh kontol dan mulai mengocoknya. Hanya sebentar, namun kocokan itu mampu membuat lahar panas menyembur dari kontolnya. Lahar itu membasahi perut Ifan sendiri. Ifan pun merebahkan dirinya di kasur.
Melihat anaknya berbaring di sebelah dengan perut penuh pejunya membuat Vania membungkuk dan mencolek peju anaknya dengan tangannya. Tangan berpeju itu lalu dihisapnya hingga bersih.
“Mmmhhh… rasanya beda sama rasa papamu.”
Mereka berdua lalu menapa kamera yang masih merekam. Vania menyeringai sambil menatap anaknya.
“Mau buat salinannya untuk pelayan kita gak?”
Vania tertawa menyadari anaknya terkejut. Vania lalu bangkit menuju kamar mandi.
“Pingin tau selanjutnya? Mainkan aja imajinasimu.” Kata Vania sambil menutup kamar mandinya.
Ifan hanya berbaring sambil menyeringai. Mencoba berimajinasi.
Ifan sedang duduk di dapur sambil memperhatikan mamanya mencuci piring. Pantat mamanya terbungkus celana dalam hijau. Ifan bertanya – tanya, mengapa mama memakai cd? Namun setelah kira – kira sepenanak nasi, Ifan baru menyadarinya. Ternyata mamanya sedang datang bulan.
“Gimana ini mah? Kalau lagi datang bulan trus kita mau ngapain?”
“Kamu sih enak gak terganggu masalah kayak gini.”
Tok… tok…
“Kamu pesen makanan lagi?”
“Enggak mah. Gak pesen apa – apa kok.”
Vania bergegas ke kamarnya untuk memakai pakaian sementara anaknya menuju pintu untuk membukanya.
Tak lama kemudian, Ifan muncul di dapur bersana Dewi dan Yanti. Di dapur sudah ada Vania yang hanya berkaos saja. Dengan celana dalam tentu.
Ifan tersenyum melihat mamanya, “Ifan pergi dulu mah.”
Dewi dan Yanti lalu duduk di kursi sambil memperhatikan penampilan Vania yang bersender ke wastafel.
“Lu liat kan, Anaklu bahkan gak merhatiin lu.”
“Emang kenapa?”
“Kalag gw pake baju kayak gitu di rumah, udah dipelototin terus sama anak gw.”
“Lho, emang gw telanjang. Lagian gak bakalan ada yang tau gw pake cd apa.”
“Ijo,” kata Dewi dan Yanti berbarengan.
Vania hanya menggelengkan kepala mendengarnya.
“Seenggaknya gw pake baju. Lu kira gw telanjang sambil joget – joget depan anak gw.”
“Tiap anak laki pasti ngintipin emaknya. Tapi anaklu malah cuek aja. Gak normal tau.”
“Lo kira anak kita homo apa?”
“Gw pernah nemuin film porno di komputernya si cipto.”
“Iya bener, anak gw juga gitu.”
“Udahlah, kok malah ngomong yang aneh – aneh sih. Mau ngapain sih lu lu pada ke sini?”
“Oh iya, kok jadi ngelantur gini. Kita – kita mo minta maaf kemarin kemarin udah agak neken lu.”
“Gak apa apa lagi. Gw udah biasa.”
“Hehe…”
“Trus gw udah maksa lu ngajak si cipto liburan juga.”
“Gak apa – apa. Biar si Ifan seneng ada temennya. Daripada cuma sama gw, emaknya, mana udah tua lagi.”
“Eh, bay de wey baswey, keberatan gak kalo sekalian ajak si dewo. Dia denger si cipto diajak makanya dia pingin ikut.”
“Duh, ngasuh tiga anak cowok saat liburan. Setua gini masih ngasuh juga,” kata Vania sambil menggosokkan kedua telapak tangannya. Namun Vania berhenti saat melihat wajah Dewi yang terlihat gugup.
“Lu kira gw mau ngapain?”
“Ya, biasa. Kayak lu yang dulu.”
“Emangnya gw pernah nyelingkuhi David?”
“David udah al – marhum sayang.”
“Nah, sebelum gw nemuin yang baru, gw gak kan buka toko dulu.”
“Tapi, apa lu gak terpesona liburan sambil ditemenin tiga pemuda?”
“Anak – anak. Bukan pria yang bakal gw temenin hingga akhir hayat. Lagian mereka kan anak kita.”
“Anak laki. Bukannya laki. Lagian, kalau lu kira bakal kayak gitu, mending kagak usah libur aja sekalian…”
“Segila apapun kita dulu, dan atau sekarang, gw tau lu gak pernah main sama laki kita bertiga. Gw tau gw bisa mercayain anak gw ke lu. Tapi, delapan tahun gak ngapa – ngapain; hormon lu pasti berontak. Gw cuman cemas lu akhirnya memuntahkan semua lahar yang terpendam selama bertahun – tahun itu, dengan sengaja maupun tidak.
“Gak usah khawatir. Delapan tahun gw bisa nahan, delapan tahun lagi gw juga bakal mampu nahan.”
“Maaf deh gw malah ngomong yang aneh – aneh. Gw percaya, bahkan gw sayang sama lu. Hanya saja, setelah delapan tahun lu kembali normal lagi. Maafin gw ya.”
“Iya, gw ngerti. Gw paham kalau lu khawatir sama anak lu. Tapi kalau lu gak yakin gak usah izinin anaklu ikut aja.”
“Bisa – bisa dia puasa ngomong sama gw.”
“Lu yakin?”
“Apa, gak mau ngomong sama gw?”
Para wanita lalu tertawa meski pertanyaan yang dilontarkan tidak mendapat jawaban.
“Jadi gw tinggal siapin agar dewo bisa ikut?”
“Ya udah, gw cabut dulu ya.” Yanti pun bangkit, pamit lalu meninggalkan rumah sahabatnya itu.
Vania akan melangkah saat dihentikan oleh Dewi.
“Tunggu Na.” Dewi menelan ludah.
Vania duduk di kursi sambil menatap Dewi, curiga.
“Gw gak jadi enak sama lu. Akhirnya lu kembali kayak dulu lagi. Setelah kemarin – kemarin lu kayak mayat hidup. Tapi, gw merasa lu jadi tertutup. Padahal ini gw, temen deket lu selama ini. Ada apa sih?”
Vania tak segera berujar, namun terus menatap Dewi. Dewi merasakan kegugupan yang coba disembunyikan oleh Vania.
“Terus, selama delapan tahun ini, apa lu ga berubah?”
“Gw merasa bosan. Begitu bosannya hingga kadang terlintas di benak untuk ngerjain si dewo dengan ngajak dia maen kartu.”
“Terus, kenapa lu gak ajak?”
“Apa?”
“Dewi yang dulu pasti bakal merasa tertantang.”
“Tapi, dia anak gw.”
“Berkelamin lelaki. Udah gede. Lagian ngajakin maen kartu gak berarti berujung pada seks. Sekali lagi, Dewi yang dulu pasti udah tertantang. Sejauh mana sih perubahan lu?”
“Emang si Ifan lu apain?”
“Selama delapan tahun gw gak ngapa – ngapain anak gw.” Vania menghentikan ucapan lalu menatap mata Dewi dalam diam. “Tapi kini, hanya dalam sekejap.” Ngocoks.com
“Serius lu?”
“Apa lu yakin mau kembali jadi Dewi yang dulu lagi?”
“Maksud lu?”
“Ada sesuatu yang mesti gw katakan. Gw paham jika sehabis lu dengerin cerita gw, mungkin lu bakal jijik, bahkan lu bakal gak mau lagi kenal gw. Keluarga gw. Mungkin juga lu bakalan ngelarang Dewo agar tak berhubungan lagi dengan keluarga gw.”
“Gak mungkin.”
Vania kembali menatap Dewi sebelum melanjutkan percakapan. “Menjelang senja nih. Lu ada kegiatan ntar sampai malem?”
“Gak juga sih. Laki sama anak gw gak ngomong apa – apa. Emang mau sampe jam berapa?”
“Kira – kira jam sepuluhan lah…”
Dewi lalu memiankan hp untuk memberitahu keluarganya. Vania menghilang dari pandangan Dewi untuk muncul lagi beberapa saat kemudian, lalu duduk di meja dapur.
“Kenapa lu mau kembali jadi Dewi yang dulu lagi. Apa lu gak bahagia sama hidup lu yang sekarang?”
Dewi berpikir sejenak. “Gw masih cinta ama laki gw. Ama keluarga gw. Gw gak pernah lupa hubungan gw dulu sama laki gw, tapi kini serasa hambar. Apalagi laki makin sibuk sama kerjaannya.”
Tiba – tiba muncul Ifan menghampiri mereka. “He bu Dewi, bu Yantinya ke mana? Udah sepuluh menit nih mah, ada apa sih?”
“Duduk nak. Bu Yanti udah pulang. Tinggal kita aja. Bu Dewi sangat suka main kartu. Tapi mama ragu apa Bu Dewi mau main malam ini. Jadi kalau Bu Dewi gak mau main, mama bisa ngajakin kamu main, berdua aja.” Selesai berbicara lalu Vania meletakan satu pak kartu di meja.
“Apa?” teriak Dewi terjekut.
“Hah?” Ifan tak kalah terkejut.
“Lu mau kembali kayak dulu? Inilah caranya.” Kata Vania sambil mendekatkan kartu ke arah Dewi.
Dewi memandang Vania. Memandang Ifan. Memandang kartu. Vania hanya menyeringai saat dipandang sahabatnya itu.
“Dijamin lu gakkan merasa bosan.”
“Main kartu trus ngapain mah?”
“Biasa. Tapi kalau ada yang kalah, mesti lepas pakaian satu – satu hingga habis.”
“Tapi mama kan cuma pake daster doang.”
“Iya, kalau daster mama lepas, yang menang boleh nanya apa saja.”
“Siaplah. Ifan ikut main deh.”
“Lu penasaran sama perubahan gw kan Wi, nah lu punya kesempatan.”
“Kalian pernah main gini sebelumnya?” Dewi bertanya sambil menatap Vania dan Ifan bolak – balik.
“Main kartu sih iya. Tapi main kartu. UDah, ntar aja lagi gw jawab kalo lu menang.”
“Jangan sampai Dewo tau tentang ini,” kata Dewi sambil meraih kartu.
“Terserah lu itu mah, karena gw sama anak gw gak kan pernah bilang.”
“Lu yakin Ifan gak kan ngomong?”
“Gw percaya anak gw. Apalagi anak gw udah bisa megang rahasia selama ini.”
“Maksudlu?”
“Lu mau tau jawabnya?”
“Kamu udah gede kan?” Tanya Dewi kepada Ifan.
“Baiknya saya bawa ktp dulu.” Ifan mulai bangkit dari kursinya.
“Jangan sampai dia ke kamar, bisa – bisa pake jaket tiga lapis.”
“Kan belajar dari ahlinya.”
“Apa, kamu belajar dari ibumu? Benar – benar sial.”
“Tenang aja. Bisa jadi kita yang kalah.”
“Jangan banyak ngobrol, Ifan mesti sekolah besok.”
Kartu pun dikocok, lalu dibagikan. Ternyata Vania menang, Ifan yang kalah. Ifan melepas kaosnya.
Putaran selanjutnya Dewi yang kalah. Dewi melirik Vania, lalu melirik Ifan. Setelah itu Dewi melepas kaosnya. Terlihatlah bh hitamnya, meski tidak seperti bh hitam tante denok, namun terlihat menantang bagi Ifan.
“Sip…” Vania bertepuk tangan.
“Ya… ya…” Kata Dewi sambil mengambil lalu mengocok kartu. “Fokus nak. Mamamu mesti dikalahkan.” Kata Ifan sambil menatap Dewi.
“Iya bu.”
Ternyata Ifan kalah. Dia pun melepas singletnya. Dewi menatap dada Ifan yang telanjang.
“Jangan – jangan kartunya sudah diatur nih,” celoteh Ifan.
“Tentu tidak. Ini bukti kalau perempuan lebih pintar.” Kata Dewi sambil memperbaiki posisi bhnya.
Vania kalah juga. “Kita lihat apakah ada perubahan setelah delapan tahun,” kata Dewi.
Vania melepas kaos lalu melemparnya ke lantai.
“Agak gemukan kayaknya,” kata Dewi sambil melihat Ifan. Ifan sedang menyeringai ke mamanya. “Gw tahu. Ifan udah melihat tubuh itu. Matanya gak begitu terkejut.”
“Baik, Ifan udah melihat wanita telanjang. Besok Ifan mesti sekolah, jadi selamat malam.”
“Kalau kamu pergi berarti liburan pun gak jadi.”
“Bener, jika masih mau main sama Dewo. Lagian, tante udah sering liat mamamu telanjang. Jadi biasa aja tuh.”
Ifan terpaksa duduk lagi.
Putaran berikutnya Dewi menang, Vania kalah. Karena Vania tak bisa melepas cd, jadi Dewi berhak bertanya dan Vania mesti menjawab. “Kapan Ifan pertama kali liat tubuhlu?”
“Hehe… kita kadang mandi bareng. Ya… setelah tiga kali mungkin…”
“Oh tuhan, Omong kosong.”
“Kan lu yang nanya.”
“Parah…”
Berikutnya Ifan menang, yang kalah masih Vania.
“Benar kata bu Dewi, omong kosong. Jawab aja yang jujur mah!”
“Baiklah. Dia liat kira – kira satu setengah atau dua bulan ke belakang.”
“Nah, lebih masuk akal jawabannya. Gimana awalnya?”
“Itu jawaban buat pemenang berikutnya…”
Putaran berikutnya kembali Vania kalah.
“Sampai mana tadi, oh ya, gimana awalnya?”
“Lu inget gak saat lu nanya kenapa anak gw jadi pinter. Nah, waktu itu jawabannya ngarang. Kamu mau jelasin Nak?” kata Vania sambil menatap anaknya.
“Saat itu Ifan gak mau kuliah. Namun mama janji kalau Ifan mau kuliah dan nilai Ifan membaik, mama bakalan telanjang di rumah jika hanya berdua .”
“Gak mungkin. Gila…”
“Dia lupa bilang, selain gak boleh cerita sama siapa pun juga gak boleh sentuh.”
“Bercanda ah. Eh, tapi, itu kelakuanlu delapan tahun silam. Liar dan nakal.” Dewi bolak – balik menatap Vania dan Ifan. “Benar – benar liar, nakal. Kasihan anak lu, bisa liat gak bisa nyentuh. Terus – terus …”
“Ya kasihan juga. Tapi dia berhasil bikin gw lakuin hal – hal gila lainnya. Bener – bener persis bapaknya…”
“Ceritain dong.”
“Ntar kalau lu menang lagi.”
Namun putaran berikutnya Dewi kalah, hingga terpaksa melepas celananya.
“Liat nak, apa cdnya selaras dengan bhnya?” kata Vania menatap anaknya.
“Iya mah.”
“Kalian ibu dan anak sama – sama gila.”
“Bentar, gw ke kamar mandi dulu.” Kata Vania lalu bangkit.
“Jadi kamu liat mamamu telanjang selama dua bulan ini nak?” Dewi menatap Ifan penasaran.
“Iya.”
“Mamamu seksi sih.”
“Ah, bu Dewi juga seksi lho,” Ifan mulai mencoba peruntungan, sambil belajar SSI.
“Makasih nak. Tante tau kamu bilang gitu agar bisa liat tante telajang, seperti mamamu.”
“Gak gitu. Ini rahasia tante, tapi kami, Dewo dan Cipto, sering ngobrolin siapa mama paling seksi.”
“Begitu ya? Tapi mamamu belum tua – tua amat.”
“Gak juga. Sebelum perjanjian, mama terlihat tanpa gairah. Pucat dan terlihat tua. Namun beberapa hari ini, mama terlihat bersemangat.”
“Tante percaya. Tapi apa kalian senang menjalaninya?”
“Memang godaan untuk menyentuh, bahkan merengkuh tubuh mama selalu datang melanda. Tapi Ifan berusaha patuh.”
“Jadi bener – bener tanpa kontak fisik? Wow.”
“Tentu. Lagian ini kan mama Ifan. Ifan juga menyayangi mama.”
Vania kembali, lalu menatap mereka. “Masih pada berpakaian, bagus.”
“Ifan juga mau ke kamar mandi.” Katanya sambil bangkit.
“Jadi, gimana meunurut lu?”
“Gw gak tau mesti mikir apa. Tapi udah lama rasanya gak ngerasain nih perut berkenyut – kenyut seperti sekarang ini.”
“Nah, itu. Beberapa hari terakhir denang Ifan membuat perut gw seakan kembali diaduk. Luar dari pada biasa,” kata Vania sambil memutar jemari di perutnya.
“Kenapa gak ngelangkah lebih lagi?”
“Ya jelas dia anak gw. Tentu gak bisa jadi suami gw. Ifan mesti nikmatin hidupnya, raih pengalaman sebanyak mungkin. Biar bisa jadi laki fearless… Tentu semua itu gak bisa dia raih jika sama gw. Lagian, dia belum cukup pengalaman buat bisa nafkahin gw, terutama nafkah lahir.”
“Lu ngomong apa sih? Maksud gw seks, ngewe. Bukan yang lainnya.”
“Bagi gw, seks bukan sekedar ngewe. Mesti spesial.”
“Bener – bener Vania yang dulu. Liar, nakal, brutal membuat semua orang menjadi gempar. Anehnya gak mau ngewe selain sama laki lu dulu.”
“Nah, itu maksud gw, mesti liar, tapi apa lu sanggup ngewe siapa aja? Mesti banyak pertimbangan. Jangan sampai pada akhirnya cukup bilang ‘saya prihatin.’”
“Nyindir gw lu yah? Itu sih udah lama banget.”
“Meski gitu, si Yanti gak pernah berubah. Malah gw rasa jadi agak ada jarak dia sekarang ini.”
“Dia bener – bener rindu lu yang dulu. Gw akuin itu.”
“Ya mau gimana lagi.”
“Gimana rasanya telanjang di hadapan anaklu?”
“Rasanya gw dulu terlalu sibuk di dapur, hingga akhirnya begitu.”
“Begitu gimana mah?” kata Ifan sambil melangkah masuk.
“Kamu ada di sini?” tatap Dewi ke Ifan.
“Jangan dibiasakan menguping percakapan orang, gak baik.” Kata Vania sambil memukul tangan anaknya.
Dewi menatap Ifan, “Kamu benar – benar anak mamamu.” Lalu menatap Vania, “Tapi gw cemburu, kalian jadi begitu dekat. Gak ada jarak.”
Vania menarik anaknya lalu memeluknya. “Ya, gimana lagi. Gw cinta banget anak gw. Meski nakalnya bukan main.”
“Duh, sekali lagi. Pelukan ini malah membuat tersiksa.”
Vania melepas anaknya, lalu melihat dadanya. “Mau gimana lagi …” Kini Vania menatap Dewi, “Kamu tau nak, malam ini bukan hanya mama yang bisa membuatmu tersiksa.”
“Benar mah, bentar lagi bu Dewi pasti telanjang.”
“Sebelum tante juga pasti kamu duluan.” Kata Dewi sambil mengocok botol, ngocok kartu.
“Kok pada ngobrol cabul di tempat gw.”
Mereka memainkan kartu. Berkonsentrasi agar tidak kalah. Namun akhirnya celana Ifan yang lepas. Otomatis Ifan hanya tinggal memakai cd nya.
“Nah, bentar lagi ketemu sama temen kecil mama.”
“Udah Ifan bilang gak perlu pake temen kecil segala. Kayaknya Ifan mesti terapi atau apalah – apalah.”
“Gak usah sok ngomongin harga diri. Coba ingat, berapa orang temanmu sekarang yang lagi sama wanita telanjang.”
“Jadi inget, lu pernah liat anaklu telanjang gak?”
“Kalahin gw dulu dong.”
“Udah, sini kartunya.” Kata Ifan sambil mengambil kartu lalu mengocoknya.
Kali ini Dewi kalah.
“Hahaha… lepas lagi nih.” Vania bertepuk tangan.
“Haha… lu mesti malu sama diri lu.” Kata Dewi sambil meraih punggungnya sendiri. Dewi tersipu malu melihat mata Ifan yang menapat tubuhnya. Dewi melepas bh dan melemparkanya ke dekat Vania yang sedang berseringai. “Gw muak liat seringai lu.”
“Hati – hati, kalau lu banyak gerak, bakal bikin susulu naik turun. Kasiah si Ifan.”
Namun, Dewi malah meletakan tangan di bawah susunya, lalu mengguncang – guncang susunya dengan tangannya sendiri, “nih, biar makin tersiksa.”
Ifan hanya bisa melihat sambil menelan ludah. Vania dan Dewi hanya tertawa. Pada putaran berikutnya, Ifan kalah.
Ifan berdiri, “jangan sampai Dewo dengar tentang ini.” Ifan melepas cdnya. DI wajahnya terlihat betapa ia malu. Kontolnya sudah agak tegang. Setelah telanjang, Ifan kembali duduk.
“Salut tante, kamu udah Dewasa,” kata Dewi menatap Ifan sambil tersenyum.
“Iya makasih.”
Tiba – tiba telepon berbunyi. Vania bangkit dan meraihnya. “Wi, ini dari Widia nih.”
Dewi pun bangkit. Saat berjalan, susunya memantul bergerak liar.
“Duh, gw inget baju basket si Widia belum di cuci.”
“Lu sengaja ya rencanain bilang gitu.”
“Sengaja? Gw malah pingin tanding ulang lagi minggu depan. Juga, Ifan…”
Ifan telah membawa pakaiannya dan akan ke kamarnya saat dia dipanggil. Ifan lalu berbalik.
Dewi meraih cdnya, lalu menurukan hingga lepas. “Jangan dengarkan kata – kata mamamu.” Dewi berdiri dengan tangan di pinggulnya.
Ifan melongo melihat sahabat mamanya berdiri telanjang di hadapannya. “Makasih tante, tenang saja, Ifan takkan dengar ucapan mama kok.” Setelah itu Ifan melihat Dewi mulai memungut pakaiannya dan memakainya kembali.
Vania kembali memakai pakaian, lalu ke pintu mengantar Dewi. Dewi lalu berbalik dan memeluk Vania.
“Makasih. Abis gw cuci baju Widia, si Jefri gak bakalan tau apa yang ntar terjadi.”
Vania tertawa hingga Dewi hilang dari pandangannya.
Bersambung…